Anda di halaman 1dari 18

REVITALISASI WAWASAN KEBANGSAAN

Dewi Kurniasih, S.IP.,M.Si


Dosen Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Komputer Indonesia Bandung
PENDAHULUAN
• Semangat kebangsaan Indonesia mulai mengkristal dan mencapai tahapan
yang baru sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda
pada tanggal 28 Oktober 1928.
• Sejak saat itu, para pemuda Indonesia bersepakat untuk berikrar tentang
satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air Indonesia.
• Komitmen nasional dalam kerangka Sumpah Pemuda kemudian menjadi
dasar yang sangat kuat bagi bangsa Indonesia untuk memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Barat pada tanggal 17 Agustus
1945 yang terepresentasikan oleh Soekarno dan Hatta.
• Sejak saat itulah, bangsa Indonesia berdiri kokoh sebagai sebuah negara
bangsa atau nation state yang berdaulat dan tidak diintervensi oleh pihak
asing manapun.
• Konsepsi kebangsaan “Bhineka Tunggal Ika” yang merupakan salah satu
senyawa dari ideologi bangsa Indonesia, yakni Pancasila, merupakan
sebuah cerminan betapa Indonesia menghargai dan menghormati
perbedaan, keragaman, dan kemajemukan dalam kerangka persatuan dan
kesatuan Indonesia.
• Para “founding father” bangsa Indonesia sangat menyadari bahwa bangsa
Indonesia ini terbentuk karena didasarkan pada persamaan nasib,
persamaan sejarah, dan persamaan perjuangan. Artinya, nasib, sejarah, dan
perjuangan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke inilah yang
mendorong terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, bukan
persamaan etnis, suku, agama, dan golongan yang melahirkan Indonesia.
• Dalam kontkes inilah, semangat kebangsaan yang menghargai perbedaan,
kemajemukan, pluralisme dan keanekaragaman harus dijunjung tinggi dan
ditanamkan secara simultan kepada anak cucu generasi penerus bangsa
Indonesia agar supaya mereka menyadari hakekat bangsa Indonesia yang
luas dan bervariasi ini.
• Hal ini sangat penting mengingat saat ini ada kecenderungan dikalangan
generasi penerus bangsa Indonesia mulai menipis semangat kebangsaan
dan bahkan tidak tahu makna dan hakekat dari “perbedaan dalam kesatuan”
yang dilahirkan oleh bapak pendiri bangsa Indonesia ini. Maraknya konflik
politik, kekerasan kolektif dan kerusuhan massal yang terjadi di Indonesia
pada penghujung abad 20 ini telah mengindikasikan mulai menguatnya gejala
disintegrasi bangsa yang bermuara pada gerakan-gerakan separatisme
secara sporadis dibeberapa daerah di Indonesia.
PENGERTIAN WAWASAN KEBANGSAAN

Pengertian Wawasan
Kata ”wawasan” berasal dari ”wawas” (bahasa Jawa) yang artinya melihat
atau memandang. Dengan penambahan akhiran ”an”, kata ini secara
harfiah berarti : cara penglihatan atau cara tinjau atau cara pandang.

Pengertian Kebangsaan
Dalam bahasa Inggris, kata Kebangsaan disebut dengan “Nationality”.
Berbicara kebangsaan pasti akan terkait dengan nasionalisme. Dan
berbicara tentang nasionalisme tentu sangat berkait dengan dua konsep
penting, yakni negara (nation) dan bangsa (state). Ketiga-tiganya adalah
konsep-konsep penting yang menjadi semacam kata kunci (key word)
dalam memperbincangkan masalah semangat kebangsaan. Oleh karena
itu, alangkah lebihnya apabila kita membedah konsepsi nasionalisme baik
secara definisi, karakteristik maupun pola-polanya yang sangat unik.
Ada banyak sekali pandangan dari berbagai ilmuwan politik tentang pengertian
dan asal-usul dari nasionalisme.
• Menurut Gooch[1], nasionalisme adalah merupakan kesadaran diri suatu
bangsa. Nasionalisme adalah ikatan emosional dan refleksi hakiki antar
entitas dalam suatu bangsa. Nasionalisme telah berkembang sejak akhir
abad ke-18.
• Menurut Greenfeld dan Chirot[2], istilah nasionalisme mengacu pada
seperangkat gagasan dan sentimen yang membentuk kerangka konseptual
tentang identitas nasional yang sering hadir bersama dengan berbagai
identitas lain seperti okupasi, agama, suku, linguistik, teritorial, kelas, gender,
dan lain-lain.
• Menurut Emerson[4], nasionalisme merupakan konsep yang dimuncul
sebagai tanggapan terhadap kekuatan yang datang dari Barat. Kolonialisme
Barat terhadap negara-negara sedang berkembang pada abad ke-17 sampai
dengan abad ke-20 telah menstimulan munculnya semangat dan rasa
nasionalisme dikalangan komunitas masyarakat dari negara sedang
berkembang dalam rangka melakukan perlawanan perjuangan melawan
penjajah.

[1] Pendapat Gooch ini dikutip dari L.L. Snyder, The Dynamic of Nasionalism, (Princeton : D. Van Nostrand Co. Inc.), hlm. 25.
[2] L. Greenfeld dan D. Chirot, “Nasionalisme and Agression” , dalam Theory and Society, 23 (1) 1994, hlm. 79 – 130.
[3] A. M. Alonso, “The Politics of Space, Time, and Substance : State Formation, Nationalism, and Ethnicity”, dalam Annual Review of Anthroplogy, 23, 1994, hlm. 379 –
[4] R. Emerson, From Empire to Nation, (Cambridge : Harvard University Press, 1967), hlm. 188
[5] E. Kedourie, Nationalism, (London : Hutchinson University Library, 1996), hlm. 9
• Berdasarkan pengertian tentang wawasan dan kebangsaan, maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian wawasan kebangsaan adalah cara
pandang suatu bangsa yang telah menegara tentang diri dan
lingkungannya dalam eksistensinya yang serba terhubung (melalui
interaksi dan interelasi) dan dalam pembangunannnya di lingkungan
nasional (termasuk lokal dan propinsional), regional, dan global.

PEMBABAKAN SEJARAH KEBANGSAAN INDONESIA


• Kebangsaan Gelombang Pertama : Kebangkitan Nasional 1908
• Kebangsaan Gelombang Kedua : Soempah Pemoeda 1928
• Kebangsaan Gelombang Ketiga : Kemerdekaan 1945
• Kebangsaan Gelombang Keempat : Lahirnya Orde Baru 1966
Kebangsaan Gelombang Kelima : Lahirnya Orde Reformasi 1998
• Bangunan rumah “Negara RI” dapat dijaga ketat dengan laras senapan
ABRI lebih dari 20 tahun, yaitu hingga mencapai 1,5 kali lipatnya
menjadi 32 tahun. Tetapi akhirnya goyah, walaupun bukan oleh gugatan
para pemuda dan mahasiswa, tetapi oleh krisis moneter, yang
menyingkap kain penutup “bangunan” negara RI, sehingga
menampakkan pilar-pilar penyangganya yang sudah demikian kropos,
digerogoti oleh rayap-rayap yang menjadi begitu gemuk dan makmur
lewat jejaring KKN.
• Gelombang krismon yang melanda Asia Tenggara, dimanfaatkan dengan
baik oleh para mahasiswa dan pemuda, yang sudah termarjinalkan lewat
laras ABRI, begitu muak melihat kenyataan bangunan RI.
• Para pemuda berhasil menjatuhkan Soeharto dari kursinya. Tetapi
sayang, para penggantinya tak dapat menyatukan seluruh kekuatan
bangsa. Bahkan para pengganti Soeharto cenderung lebih parah dalam
menggerogoti pilar-pilar bangunan yang masih tersisa.
KONDISI KEBANGSAAN INDONESIA

Kondisi Ideologi
Mulai lunturnya semangat dan keyakinan akan jiwa Pancasila di sebagian besar
rakyat Indonesia. Pemahaman terhadap ideologi Pancasila hanya sebatas pada
penghafalan, namun belum pada tataran implementasi dan pengamalan nilai-
nilai yang terkadung dalam Pancasila. Bahkan ada upaya-upaya dari beberapa
pihak untuk menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain.

Kondisi Politik
Munculnya berbagai gejala beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau gejala disintegrasi dan
separatisme, seperti di Aceh, Papua, dan Riau merupakan gambaran
nasionalisme bangsa yang semakin menipis. Selain itu, tidak terciptanya
konsensus nasional antar elit yang kemudian berakibat pada terfragmentasinya
kekuatan-kekuatan politik dan sebagian demonstrasi mahasiswa yang sudah
tidak murni lagi memperjuangkan rakyat merupakan gambaran umum kondisi
carut marutnya perpolitikan bangsa.
Kondisi Ekonomi
Krisis ekonomi regional yang kemudian merembet ke Indonesia telah
menghancurkan sendi-sendi dasar perekonomian Indonesia sehingga
menciptakan berbagai permasalahan seputar kemiskinan, pengangguran dan
kesenjangan pendapatan. Masuknya IMF, bercokolnya perusahaan asing,
privatisasi terhadap BUMN, penjualan asset strategis bangsa, disusul dengan
Capital flight dan hancurnya sistem perbankan merupakan sedikit gambaran
kondisi ekonomi bangsa Indonesia yang sedang dalam krisis.

Kondisi Sosial-Budaya
Semangat gotong royong dan tenggang rasa yang merupakan ciri khas
bangsa Indonesia telah mengalami penggerogotan oleh nilai-nilai
individualisme Barat sehingga sangat mempengaruhi gaya hidup dan pola
hidup bangsa Indonesia, terutama kaum mudanya. Budaya pop (Pop culture)
telah berhasil menggantikan budaya timur (Rest culture). Budaya lokal-
nasional telah tergusur oleh proyek ”uniformisasi budaya” global Barat.
Kondisi Pertahanan-Keamanan
Adanya embargo persenjataan oleh AS telah melemahkan sistem
pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia sehingga membuat TNI
agak kesulitan dalam melengkapi dirinya dengan peralatan yang
dibuthkan, dihadapkan kepada luasnya wilayah yang harus dijaga yakni
keseluruhan integritas wilayah Indonesia. Hal ini dapat dicontohkan
dengan masuknya enam pesawat udara militer AS di Pulau Bawean tahun
lalu yang tidak bisa dicegah oleh TNI. Selain itu, pencurian atas kekayaan
laut oleh negara asing juga sulit diantisipasi oleh TNI. Keterbatasan
anggaran pertahanan juga menjadi salah satu hal yang ikut melemahkan
kehandalan kinerja TNI.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI KEBANGSAAN INDONESIA
Eksternal
• Yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor penyebab yang berasal dari
luar, yakni adanya penetrasi asing berupa globalisasi.
• Menurut Anthony Giddens (1999)[1], globalisasi telah melahirkan ruang
sosio-kultural yang spektakuler dalam hubungan antar bangsa dan
interkoneksi yang melampaui batas-batas geografis dan kedaulatan
negara. Dalam kaitan ini, penetrasi globalisasi membawa tiga dampak
siginfikan.
• Pertama, mulai meluntur dan mengendurnya ikatan-ikatan negara bangsa
sebagai hasil dari pergulatan antara kedaulatan negara versus
kapitalisme global.
• Kedua, pola “tekanan ke bawah”. Artinya, globalisasi telah membuka
katub-katub peluang bagi bangkitnya identitas budaya lokal (local
culture) yang selama ini sedang terbuai oleh kemasan ikatan
nasionalisme budaya yang didasarkan pada negara bangsa.
• Ketiga, pola “desakan ke samping”. Artinya, kecenderungan penetrasi
globalisasi telah menciptakan domain ekonomi dan kultural baru yang
melintasi batas-batas negara bangsa yang selama ini ada.

• Jika dilihat lebih mendalam, pola-pola penetrasi globalisasi ini menimbulkan
suatu paradoks. Disatu sisi, globalisasi melakukan gerak meluas ke wilayah
global melalui teknologi komunikasi dan informasi. Namun di sisi lain,
globalisasi telah menstimulan tumbuhnya identitas-identitas lokal yang
primordial. Meskipun begitu, yang perlu diwaspadai adalah proses
uniformitas nilai yang mengarah pada hegemoni budaya.

• Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola pentrasi asing yang


dibungkus dalam kemasan globalisasi telah menimbulkan distorsi ekonomi
yang ditandai dengan kemiskinan, kesenjangan, dan ketimpangan, distorsi
politik yang ditandai dengan konflik, kekerasan dan kerusuhan berbau
SARA, yang kemudian mengarah pada gejala disintegrasi bangsa atau
gerakan separatisme. Tiadanya filter yang kuat dari bangsa Indonesia telah
mendorong globalisasi direspon secara parsial oleh kelompok-kelompok
etnis tertentu untuk memisahkan diri dari Bangsa Indonesia.

Internal
• Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam, yakni gerakan
etnisitas yang muncul karena dampak dari penetrasi asing dan globalisasi
UPAYA MENINGKATKAN WAWASAN KEBANGSAAN
Formula atau resep tersebut adalah revitalisasi wawasan kebangsaan
berbasis spiritual.
• Revitalisasi wawasan kebangsaan bisa dimaknai menghidupkan kembali
“ruh” wawasan kebangsaan dalam kondisi masyarakat dewasa ini yang
diwarnai oleh arus globalisasi dan modernisasi. Apabila pada masa
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, hal itu dituangkan secara
eksplisit dalam bentuk Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, maka pada
masa kemerdekaan ini seharusnya wawasan kebangsaan dituangkan
dalam struktur dan kultur kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Artinya, konsepsi wawasan kebangsaan bukan hanya
sekedar rumusan ideologi yang berfungsi sebagai slogan atau jargon
belaka, akan tetapi harus dituangkan, dimaknai dan diimplementasikan
dalam interaksi sosial di masyarakat.
• Wawasan kebangsaan pada masa kini bukanlah mengulang kembali
secara tekstual apa yang terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa
mengusir penjajah, akan tetapi secara kontekstual memberi makna dan
warna baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks
ini, bangsa Indonesia harus mampu menangkap “ruh” Sumpah Pemuda
dan kemudian menempatkannya sesuai dengan tantangan jaman. Hal ini
bisa dilakukan melalui suatu proses sosialisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam Sumpah Pemuda sehingga kesadaran terhadap jati diri bangsa
dapat terinternalisasi secara mendalam.
• Revitalisasi wawasan kebangsaan yang diselenggarakan melalui
pemantapan kembali komitmen bangsa yang mengacu pada filosofi
Sumpah Pemuda, bertujuan untuk meneguhkan kembali nilai-nilai
kebangsaan dalam hati sanubari setiap insan manusia Indonesia,
khususnya bagi generasi muda penerus bangsa untuk menyadari dan
mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam konsepsi satu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
• Pemaknaan modal kebangsaan “sumpah pemuda” sebagai jati diri bangsa
seharusnya dijadikan landasan filosofis dan ideal dalam memulai
pembenahan kembali cara pandang bangsa terhadap keberadaan negara
dan bangsanya. Karena Sumpah Pemuda ditempatkan dalam format
sebagai landasan filosofis, maka sangatlah tepat jika kita semua
mengupayakan agar pemaknaan tersebut juga sekaligus mencerminkan
sikap diri yg berbasis moral spiritual. Artinya, proses memaknai filosofi
Sumpah Pemuda tidak hanya dikaitkan dengan kepentingan fisik material
belaka.
• Pembentukan karakter bangsa (character building) sebagai alat untuk
menumbuhkan wawasan kebangsaan dapat termanifestasikan dalam
proses kaderisasi pemimpin bangsa dan pemikir-pemikir bangsa yang
berwawasan kebangsaan dengan semangat nasionalisme yang tinggi
berlandaskan kepada pemilikan kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual.
• Proses dan mekanisme untuk menginternalisasi konsepsi Sumpah
Pemuda dalam kerangka wawasan kebangsaan adalah dengan cara
pencanangan program gerakan disiplin nasional, program tegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, membasmi korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta gerakan cinta tanah air.
• karena itu, berbagai kegiatan pendidikan, pelatihan, pengkajian,
penelitian, dan lokakarya untuk mendeseminasikan serangkaian
nilai-nilai yang terkandung dalam konsepsi Sumpah Pemuda mutlak
harus dilakukan agar supaya timbul kesadaran masyarakat akan
pentingnya wawasan kebangsaan dalam kerangka menghadapi
“Perang Modern”.
• Berbagai program aksi atau action programm perlu dilakukan secara
sinergis oleh berbagai stake holders bangsa Indonesia untuk
menginternalisasi konsepsi Sumpah Pemuda kepada generasi
penerus bangsa, baik di lembaga pendidikan seperti pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi, maupun di lembaga pendidikan non
formal yang ada di dalam masyarakat.
• Rekonsiliasi nasional, yang sangat penting dibutuhkan demi
pemulihan krisis multidimensi, hanya bisa terwujud apabila
dikerangkai oleh semangat revitalisasi wawasan kebangsaan yang di
dalamnya mengandung nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme.
Pembangunan karakter bangsa harus difokuskan pada pembentukan
jiwa-jiwa nasionalisme dan patriotisme bangsa yang berbasis
spiritual. Spiritual adalah ruh dan jati diri yang akan selalu
memberikan senyawa kepemimpinan, ketauladanan dan kepatuhan
dalam menata ulang masyarakat Indonesia ditengah jebakan
“Perang Modern”.
• Pemberdayaan dan sinergi antar komponen masyarakat merupakan
modal yang sangat ampuh dan perlu dilembagakan dalam rangka
membangun semangat wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan
yang digalang oleh segenap bangsa Indonesia tidak akan tercapai
dengan baik apabila masing-masing komponen bangsa tidak berdaya
dan bersinergi menyatukan kekuatan dalam menghadapi musuh
bersama bangsa Indonesia yang termanifestasikan dalam “Perang
Modern”.
• Untuk menghadapi Perang Modern, perlu kiranya dilakukan suatu
kebijakan yang mengarah pada gerakan revitalisasi kebangsaan
dengan fokus pada tiga pilar pembangunan, yakni ”State Building,
Nation Building, dan Character Building”.
• Dari solusi berupa revitalisasi wawasan kebangsaan yang telah
diuraikan di atas, sudah selayaknya segenap komponen bangsa
menaruh perhatian terhadap fenomena “Perang Modern”. Revitalisasi
wawasan kebangsaan berbasis spiritual inilah yang harus dijadikan
penangkal dalam menghadapi ancaman “Perang Modern”. Dalam
konteks inilah, nilai-nilai spiritual yang terbalut dalam revitalisasi
wawasan kebangsaan patut dijadikan resep untuk menyelesaikan
permasalahan menurunnya nasionalisme yang telah disebabkan oleh
“Perang Modern”.

Anda mungkin juga menyukai