Anda di halaman 1dari 30

DOSEN PEMBIMBING : Summy Dwi Antono.S.Kep.Ns., M.

kes
ANGGOTA KELOMPOK :

1. FADHILA KUSUMASARI P17321183010


2. REKA SHAFNA .W. P17321181016
3. IVA SATYA RATNASARI P17321183023
4. MIRZA AULIA CAHYANI P17321183028
5. SELVYRA EKA MASTURINA P17321183040
Hukum kesehatan adalah rangkaian peraturan perundang-
undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur tentang
pelayanan medik dan sarana medik.
( Heni Puji, 2008 : 83-84)
Contoh Kasus 1
Diduga Malpraktik, Tubuh Warga Pengadaran
Melepuh
(Sumber : Modul Etikolegal dalam Praktik Kebidanan, 2016 : 165-167)
Lanjutan…..

Usai mengonsumsi obat gatal-gatal yang diberikan bidan desa, seorang ibu
di Brebes, Jawa Tengah sekujur tubuhnya melepuh seperti korban luka bakar. Diduga
Turisah menjadi korban malpraktik dan hingga Senin(30/4) masih menjalani perawatan
yang serius di Rumah Sakit Umum Islam Harapan Anda. Warga Desa Pengaradan ,
Brebes itu didiagnosa terkena alergi obat atau terkena sindrom Stevens-Johnson yaitu
penyakit kulit disebabkan alergi atau infeksi. Sindrom ini mengakibatkan kematian
pada sel-sel kulit sehingga kulit mengelupas. Awal kejadian menurut pasien saat itu
dirinya menderita gatal-gatal dan memeriksa ke bidan desa. Tapi setelah mendapatkan
obat dan diminum , tubuh Turisah mengalami demam tinggi. Tak lama kemudian
seluruh tubuh melepuh. Dari kulit muka sampai kaki mengelupas. Sementara Roidah,
bidan yang menangani Turisah mengaku saat pasien datang menderita gatal-gatal. Ia
hanya memberikan obat CTM serta amoxilin untuk diminum pasien. Roidah
mengatakan apa yang dilakukan sesuai prosedur tetap atau protap. Bahkan saat
menjalani pemeriksaan kondisi pasien sudah melepuh bagian paha. ( Modul
Etikolegal,2016)
Lanjutan….. Penyelesaian masalah
Terkait dengan kasus tersebut maka disini peran disini peran majelis pertimbangan etik
profesi adalah :
Terdapat dalam Kepmenkes RI no.554/ Menkes/Per/XII/1982.
Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan pengawasan terhadap semua
profesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
Maka disini majelis etik mempunyai kewajiban atas tugas yang telah dikerjakan oleh bidan
dalam pengawasan dan pembinaan.
Juga terdapat tugas majelis disiplin tenaga kesehatan (MDTK) yaitu meneliti menentukan ada
tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standard profesi yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan
Melakukan Supervisi lapangan, termasuk tentang tehnis, dan pelaksanaan praktik termasuk
penyimpangan yang terjadi. Apakah pelaksanaan praktik bidan sesuai Standar Praktik Bidan,
Standar Profesi dan Standar Pelayanan Kebidanan, juga batas-batas kewenangan bidan.
Membuat pertimbangan bila terjadi kasus-kasus dalam praktik Kebidanan.
Maka dari itu kasus yang dialami oleh bidan tersebut dapat dilaporkan ke majelis etik untuk
mendapat perlindungan dan penyelesaian. ( Modul Etikolegal,2016)
Contoh Kasus 2
Menolak untuk Berpartisipasi dalam Tindakan Aborsi
(Sumber : Suryani, 2005 : 148-151)

Angela, 28 tahun, menikah dengan Jo. Saat ini, ia sedang hamil anak kedua. Sebelumnya,
pasangan ini telah memiliki anak laki-laki berusia 3 tahun. Kehamilannya kali ini berlangsung
dengan baik. Pada saat usia kehamilan 25 minggu, Angela melakukan USG. Sebenarnya USG
tersebut telah direncanakan pada saat usia kehamilan 20 minggu, namun ditunda, karena hari
itu bersamaan dengan hari libur dan anak pertamanya sakit. Selain itu, penundaan tersebut
disebabkan oleh adanya masalah teknis pada alat USG.
Angela tidak merasa khawatir pada penundaan tersebut karena ia merasa yakin kalau semuanya
akan berjalan baik-baik saja. Setelah ia menjalani scan, diketahui bahwa janinnya mengalami
perdarahan intraventrikular (intraventricular hemorrhage, IVH). Berdasarkan hasil konsultasi
dengan beberapa dokter ahli, diperoleh bahwa hasil prognosisnya baik, tetapi harus dilakukan
tes/scan lanjutan untuk mengetahui adanya perubahan yang signifikan. Sayangnya, pada usia
kehamilan 33 minggu, muncul IVH baru dan prognosisnya memburuk. Angela dan Jo disarankan
untuk menjalani terminasi kehamilan (aborsi) sebagai satu-satunya pilihan terbaik. Oleh dokter
kandungannya, mereka dijelaskan mengenai beberapa prosedur yang harus dijalani.
Lanjutan…..

Akhirnya, pasangan tersebut memutuskan untuk melakukan aborsi. Pada usia


kehamilan 34 minggu, Angela datang ke klinik ditemani oleh Jo. Dokter memberi
mifepristone untuk diminum dan dengan bantuan peralatan USS, Angela
mendapatkan injeksi intrakardiak yang berisi kalium klorida. Sebelumnya, Angela
tidak diberi tahu bahwa ia akan tetap sadar selama bayinya diambil sehingga ia
merasa sedikit ketakutan. Kemudian, Angela ditemani suaminya menuju ruangan
operasi untuk melanjutkan proses aborsi, namun karena Angela sangat tertekan,
aborsi ditunda selama beberapa jam.
Lanjutan…..
Karena penundaan tersebut, aborsi akan dilanjutkan pada shift
selanjutnya agar tersedia banyak waktu untuk melaksanakannya. Akan tetapi, ketika
masuk jadwal shift selanjutnya dan para bidan datang, tidak ada satupun bidan yang
mau menangani kasus aborsi Angela. Selama ini, beberapa staf selalu mencoba
menghindari kasus aborsi dengan alasan pertimbangan moral, sedangkan sebagian
lagi tidak mau terlibat dalam terminasi kehamilan karena usia kehamilan Angela
telah lanjut. Sayangnya, tidak satu pun bidan yang pernah menyatakan
keberatannya secara tertulis. Manajer unit kebidanan mengatakan bahwa para
bidan harus segera menangani Angela karena janin dalam rahimnya bisa mengalami
kematian (IUFD). Beberapa bidan merasa hal tersebut merupakan respons yang
sensitif dan meminta saran dari supervisor bidan di unit lainnya. Sebenarnya USG
tersebut telah direncanakan pada saat usia kehamilan 20 minggu, namun ditunda,
karena hari itu bersamaan dengan hari libur dan anak pertamanya sakit. Selain itu,
penundaan tersebut disebabkan oleh adanya masalah teknis pada alat USG.
Lanjutan…..

Supervisor tersebut menyarankan para bidan untuk merawat Angela sekalipun mereka
merasakan beban moral. Supervisor juga mengatakan bahwa setelah persalinan usai, ia akan
mendiskusikan kasus tersebut lebih lanjut dengan bidan lainnya. Dua orang bidan
menawarkan diri untuk merawat Angela. Akhirnya, bayi laki-laki dengan berat 2,4 kg bisa
dikeluarkan. Akan tetapi, Angela, Jo dan para bidan tampak sangat khawatir karena ada
banyak tanda memar pada dada si bayi akibat sejumlah injeksi intrakardiak yang telah
dilakukan sebelumnya.
Beberapa hari setelah meninggalkan klinik, Angela menulis surat pada manajer kebidanan
yang isinya berupa ucapan terima kasih atas perawatan yang diberikan oleh dua orang bidan
serta perhatian mereka terhadap diri, bayi, dan suaminya.
Lanjutan…..

Apakah dibenarkan tindakan aborsi pada usia kehamilan lanjut?????

Berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009


TENTANG KESEHATAN Pasal 75 berbunyi :
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi
korban perkosaan.
Lanjutan…..

Hal ini diperkuat oleh pasal 76, yang berbunyi :


Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh Menteri.
Pada kasus Angela, tujuan aborsi adalah
menyelamatkan si bayi dari cacat fisik dan mental
saat dilahirkan, sehingga tindakan tersebut dapat
dibenarkan.
Contoh Kasus 3

Bidan Menolak Merujuk Pasien


Seorang Ibu Primigravida dibantu seorang bidan untuk bersalin di BPM.
Proses persalinannya telah lama karena lebih dari 24 jam bayi belum juga keluar.
Keadaan ibu sudah mulai lemas dan kelelahan karena terlalu lama mengejan.
Bidan tetap bersikukuh untuk menolong persalinan Ibu tersebut karena takut
kehilangan komisi walaupun asisten bidan mengingatkan untuk segera dirujuk
saja. Akhirnya, Bidan tersebut menyuntikkan uterotonika pada ibu dengan alasan
mempercepat kontraksi bayi. Setelah bayi keluar, terjadilah perdarahan pada ibu,
baru kemudian bidan merujuk ibu ke RS. Ketika di jalan, ibu tersebut sudah
meninggal. Keluarga tidak terima dan menuntut bidan tersebut.
Lanjutan….. Pembahasan
Ibu tersebut sudah mengalami partus yang lama karena lebih dari 24 jam,
seharusnya bidan bisa mengidentifikasi penyebab partus lama, apakah ada
malpresentasi pada janin, emosi yang tidak stabil pada ibu atau panggul yang kecil
sehingga bidan bisa bertindak secepatnya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi,
bukan mementingkan komisi yang membahayakan nyawa ibu dan bayi. (Perdarahan
itu disebabkan karena atonia uteri akibat partus yang terlalu lama. Atonia uteri hanya
bisa bertahan dalam waktu 2 jam setelah post partum).
Dalam kasus tersebut justru Bidan dengan sengaja melakukanya demi uang, dan satu
sisi pasien juga tidak mengetahui tentang hak-hak apa yang dapat diperoleh pasien
tentang kondisi kesehatannya atau pasien sengaja tidak dikasih tahu informasi yang
jelas tentang resiko, tindakan serta prosedur persalinan yang seharusnya.
Lanjutan…..
Bidan tersebut telah melanggar wewenang bidan dan melakukan malpraktek.
Lebih tepatnya yaitu melanggar UU No.4 Tahun 2019 tentang kebidanan dan
Permenkes RI No 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Kebidanan, pasal 19 ayat 3 poin H yang berbunyi “Pemberian Uterotonika pada
Manajemen Aktif Kala tiga dan Postpartum”.
Lalu Bidan tidak memberikan informed choice dan informed consent pada ibu
saat melakukan penyuntikan uterotonika tersebut. Hal ini juga termasuk
menyalahi Kepmenkes No 938 tentang Standar Asuhan Kebidanan.
Menurut hukum yang mengatur tentang criminal malpractice yang bersifat
negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan
mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.
Lanjutan…..
Cara membuktikan kelalaiannya adalah Dereliction of Duty
(penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang
seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat
dipersalahkan. Kepala dinas kesehatan akan mencabut SIPB setelah mendengar
saran dan keputusan dari MPEB dan IBI . MPEB akan melakukan sidang dari kasus
ini. MPEB akan meminta keterangan dari bidan dan saksi. Yang menjadi saksi dari
kasus ini adalah asisten bidan. MPEB akan meminta keterangan dari bidan dan
saksi. Setelah asisten bidan mengatakan yang sebenarnya bahwa bidan lah yang
menahan rujukan karena alasan komisi, maka MPEB akan memberikan sanksi
yang setimpal karena sudah merugikan orang lain. Dan sebagai gantinya kepada
bidan tersebut dikenai sanksi berupa pencabutan ijin praktek bidan, pencabutan
SIPB sementara, atau bisa juga berupa denda. Keputusan MPEB bersifat final.
Lanjutan…..
Untuk penyelesaian tindak pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan yang telah
masuk ke pengadilan, semua tergantung kepada pertimbangan hakim yang menangani kasus
tersebut untuk menentukan apakah kasus yang ditanganinya termasuk kedalam malpraktek atau
tidak. Atau apakah si pelaku dapat dimintai pertanggung jawaban secara pidana atau tidak.

Melakukan malpraktek yuridis (melanggar hukum) berarti juga melakukan malpraktek


etik (melanggar kode etik). Sedangkan malpraktek etik belum tentu merupakan malpraktek
yuridis. Apabila seorang bidan melakukan malpraktek etik atau melanggar kode etik. Maka
penyelesaian atas hal tersebut dilakukan oleh wadah profesi bidan yaitu IBI. Dan pemberian
sanksi dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku didalam organisasi IBI tersebut.
Sedangkan apabila seorang bidan melakukan malpraktek yuridis dan dihadapkan ke muka
pengadilan. Maka IBI melalui MPA dan MPEB wajib melakukan penilaian apakah bidan tersebut
telah benar-benar melakukan kesalahan. Apabila menurut penilaian MPA dan MPEB kesalahan
atau kelalaian tersebut terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaian bidan, dan bidan tersebut
telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi, maka IBI melalui MPA wajib
memberikan bantuan hukum kepada bidan tersebut dalam menghadapi tuntutan atau gugatan di
pengadilan.
Contoh Kasus 4
SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS
Lanjutan…..
Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda
Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat
menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu (39)
tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi
sungsang itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan sedangkan
kepalanya tertinggal di dalam rahim.
Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin (40) kalut bukan kepalang.
Bayi yang diidam-idamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara
yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,”
ujar Muhaimin.
Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya
Selasa sore lalu mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda
melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak
terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia
pulang untuk shalat.
Lanjutan…..

Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa


tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal.
“Nggak ada firasat apa-apa. Ya normal-normal saja,” katanya.
Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk masih
terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan,
pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya.
Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan
ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu.
Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya
disatukan. Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah,
dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata
Muhaimin dengan mata berkaca-kaca
Lanjutan…..
Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima
dan menganggap ini takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap
menyerahkan ke yang berwenang. Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan
seadil-adilnya.
Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok
bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan
demikian, masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang
dari bidan Handayani.
Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan
Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata dia,
umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan
melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian
kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi
segera mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya.
(www.opensubscriber.com)
Lanjutan…..

Analisa kasus

Faktor yang sangat berpengaruh saat kita mau melahirkan


adalah faktor kepercayaan dan kenyamanan pada siapa dan dimana kita
akan melahirkan. Artinya pada seorang bidanpun kalau memang kondisi
ibu dan bayinya tidak bermasalah (fisiologis) dan sang ibu merasa percaya
dan nyaman maka diperbolehkan bersalin dengan bidan tersebut. Hanya
yang perlu diperhatikan adalah seorang bidan mempunyai keterbatasan
dalam melakukan tindakan, walaupun dia mampu secara ilmu
pengetahuan dan pengalamannya.
Lanjutan…..

Kasus bayi sungsang dengan kepala putus,penolongnya adalah bidan


senior yang berusia 60th dan terkenal di masyarakat sangat menggemparkan,
karena bidan tersebut sudah senior dan dipercaya oleh masyarakat.
Meskipun begitu tindakan menolong persalinan bayi sungsang tetap bukan
kewenangan Bidan. Hal ini ditegaskan dalam UU no.4 tahun 2019 pasal 49 (c)
yang berbunyi, “Memberikan Asuhan Kebidanan pada masa persalinan dan
menolong persalinan normal”. Dan PMK no. 28 pasal 28 yang berbunyi,
“Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat ditangani dengan
tepat waktu.”
Dalam kasus tersebut , bidan dapat dikatakan melanggar UU dan melakukan
tindakan malpraktek.
Lanjutan…..

Dalam kasus tersebut juga dapat dianalisa bahwa pasien maupun keluarga tidak
mengetahui tentang kondisi bayinya yang sungsang. Seharusnya bidan
menjelaskan tentang kondisi yang sebenarnya kepada pasien maupun keluarga.
Karena dalam UU No 4 tahun 2019 tentang Kebidanan pasal 62 poin (a) dan (b)
berbunyi :
Dalam Praktik Kebidanan, Klien berhak:
a. memperoleh Pelayanan Kebidanan sesuai dengan kompetensi, kode etik,
standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur;
b. memperoleh informasi secara benar dan jelas mengenai kesehatan Klien,
termasuk resume isi rekam medis jika diperlukan
Lanjutan…..

Berdasarkan hal tersebut, apabila keluarga


ingin menindaklanjuti tuntutan dapat dengan
melaporkan kepada pihak yang berwenang agar
dapat membuktikan bidan tersebut terkait dengan
tindakan malpraktik.
Kesimpulan
Dalam memberikan pelayanan kebidanan, hukum sangat diperlukan
karena untuk menyeimbangkan antara hak, kewajiban, dan tanggung jawab
masing-masing serta menjadi pedoman dalam mengambil keputusan dan
berperilaku. Hukum kesehatan yang terkait dengan etika profesi dan pelayanan
kebidanan. Hubungan bidan dan klien dari aspek hukum adalah hubungan
antar-subjek hukum. Pemahaman dan pendalaman peraturan yang
berhubungan dengan tugas profesionalisme akan memberikan keyakinan
kepada bidan dan menjaga mereka untuk selalu berada di jalur yang aman,
sehingga tidak melanggar etika dan ketentuan hukum. Bidan harus menyadari
bahwa dalam menjalankan tugasnya, mereka tidak saja bertanggungjawab
secara kesehatan kepada pasien, namun juga bertanggung jawab di bidang
hukum.
Pertanyaan
&
Jawaban
1. Nisa Amala(15)
Bagaimana jika bidan tidak mau melakukan aborsi, apakah mendapatkan
sanksi atau hukuman?

Jawab: ( Reka(14) dan Fadhila(08))


Pada kasus tadi tidak dikenai sanksi dikarenakan bidan tidak mau
melakukan aborsi karena bidan tidak mengetahui keadaan angela
dalam keadaan kegawatdaruratan. Dan dalam hal itu bidan baru saja
melakukan pergantian shift. Setelah diberikan penjelasan oleh
supervisor bidan mau melakukan aborsi. Aborsi disini diperbolehkan
karena aborsi ini dilakukan dirumah sakit, sehingga bidan melakukan
peran kolaborasi dengan dokter. Dan ketika pasien dalam keadaan
kegawatdaruratan, bila tidak di lakukan tindakan segera akan
membahayakan ibu dan bayinya.
2. Annisa Arum (02)
Bagaimana jika pasien datang dengan keadaan mau melahirkan tetapi
posisi bayi sungsang dan sudah pembukaan lengkap. Apakah bidan boleh
menolong atau dilakukan rujukan ?

Jawab : Fadhila (08)


Pertama harus dianalisa tentang sejauh apa kedaruratan (kondisi ibu
dan bayinya), jarak PMB dengan tempat Rujukan, dsb.
Jika masih memungkinkan untuk ditolong, Bidan boleh menolong ibu
dan bayinya dengan alasan kegawatdaruratan. Jika bidan tidak
menolong dan langsung melakukan rujukan akan membahayakan
nyawa ibu dan bayi, dikarenakan dalam perjalanan melakukan
rujukan memerlukan waktu yang lama sehingga membahayakan ibu
maupun bayinya.

Anda mungkin juga menyukai