Istilah Ontologi baru muncul pada pertengahan abad 17 yg berasal dari bahasa Yunani yaitu on (ada) dan ontos (berada) yg kemudian disenyawakan dgn kata logos (ilmu atau studi tentang). Dlm bahasa Inggris ia diserap menjadi Ontology dgn pengertian sbg study atau ilmu mengenai yg ada atau berada. Pembicaraan mengenai obyek materi ilmu adalah pembicaraan mengenai apa yg menjadi obyek penyelidikannya shg melahirkan ilmu mengenai obyek tsb. Dlm relevansinya dgn pembicaraan filsafat pengetahuan khususnya melalui filsafat science (Barat) modern sebenarnya pembahasan masalah ontologis berpusat pd keinginan utk Menjawab pertanyaan apa yg sesungguhnya dimaksud sbg kenyataan (reality). Berikut secara singkat pandangan pandangan realitas dari filsafat science modern : 1. Naturalisme (paham serba alam) 2. Materialisme (bersangkutan dgn materi) 3. Idealisme (tdk bersifat materi tetapi bersifat rohani atau spriritual (kejiwaan) 4. Hilomorfisme (semua benda fisis tersusun dari materi dan berforma) 5. Positivisme (suatu keadaan dpt diverifikasi atau non metafisik). Cara pandang filsafat science modern mengenai obyek materi ilmu dgn karakteristik : 1. Memandang obyek meteri ilmu tdk dlm kerangka pandangan adanya Pencipta yg memandang segala sesuatu selain Pencipta adalah ciptaan. 2. Memandang sesuatu sbg suatu obyek materi ilmu sejauh ia berada dlm jangkauan indera/atau rasio manusia utk bisa memahaminya dan pemahaman atasnya merupakan fungsi dari indera dan atau/rasio itu. 3. Memandang keberadaan obyek materi ilmu hanya dlm kerangka ruang dan waktu dunia belaka. 4. Memandang obyek materi ilmu diatur oleh hukum-hukum keberadaan namun tdk mempersoalkan asas hukum-hukum keberadaan itu. Dgn karakteristik pandangan ontologis, filsafat science modern memandang bahwa pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan mengenai obyek-obyek materi yg dpt dijangkau oleh indera lahiriah dan/atau pemahaman rasional manusia melalui penalaran. Hal tsb sejalan dgn pandangan Jujun S. Suriasumantri (1990) bahwa ilmu memulai penjelajahannya pd pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman manusia. Ilmu membatasi penjelajahannya pd batas pengalaman manusia disebabkan metode yg dipergunakan dlm menyusun pengetahuan yg telah teruji kebenarannya secara empiris melalui pembuktian secara metodologis. • “Dialah (Allah) Yang Awal dan yang akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. • “Allah lah Maha Pencipta segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu”. • “Allah lah yang menciptakan tujuh langit, dan demikian pula bumi. Perintah Allah berlaku pada keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu”. • “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dan malam, adalah ayat-ayat (tanda-tanda) Allah bagi orang-orang yang berakal”. • “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadar. Dgn tdk melepaskan diri dari landasan Al Qur’an diatas dpt dikatakan bahwa sejauh kita akan berbicara mengenai hakikat realitas sbg realitas ciptaan Allah, maka pertama tama ia harus berangkat dari doktrin keniscayaan adanya pencipta sbg sebab keterciptaannya. Memahami realitas bukan dgn cara mengkontradiksikan ekstrimitas pandangan – pandangan yg saling berlawanan, melainkan menempatkannya dlm suatu tatanan. Menurut Naguib Al Attas, ke-ada-an dimiliki oleh semua yg ada dlm beragam tingkat eksistensi, dan walaupun tingkat eksistensi merupakan bahan pembentuk realitas, sebenarnya yg membuat sesuatu menjadi dirinya sendiri bukanlah apa yg dimilikinya atau berlaku baginya, tetapi yg membedakannya dari yg lain. Karena itu, realitas dipahami karena adanya kebedaan. • Obyek ilmu adalah alam syahadah maupun alam gaib. • Membangun pengetahuan ilmiah mengenai alam tsb dilakukan dgn acuan petunjuk Allah.