Identitas Nasional Indonesia
Identitas Nasional Indonesia
1. Budaya Lokal.
Hasil kreasi atau karya ‘cipta, rasa, dan karsa’ masyarakat
daerah, mencerminkan ‘sistem nilai’ yang diyakini berguna
dan menjadi “identitas, jatidiri dan karakter”.
Bangsa Indonesia: “masyarakat bineka” (majemuk) secara
etnik (suku bangsa), kepercayaan, bahasa, seni, dan daerah
tinggal (lokal); masing-masing memiliki “ciri khas atau
identitas”.
Perbedaan jatidiri, identitas, & karakter ‘lokal’ (primordial),
dimasa lampu menjadi “sekat pembatas” antar kelompok
masyarakat satu dengan lainya atas dasar ‘adat (kesukuan),
politik (kekuasaan), dan kepercayaan (agama)’.
Semangat “Primordial” sempit, dimasa lalu menjadi jalan
mulus kaum imperialisme barat, menancapkan kolonialisme
di nusantara, dengan politik “pecah belah dan adu domba”.
Budaya lokal yang ‘tertutup’ dan ‘primordialisme’ sempit:
sikap budaya berbahaya, mengancam kelestarian identitas
lokal, dan menghambat kemajuan budaya lokal itu sendiri.
Budaya lokal sebagai Identitas lokal, harus mampu
menampilkan “kearifal lokal” yang bersifat “terbuka dan
fleksibel”. Keterbukaan budaya lokal untuk menerima “nilai-
nilai baru” dari luar yang “selaras”, serta mampu
menyesuaikan ‘dinamika perkembangan jaman’: keunggulan
“lokal genius” budaya daerah yang dapat menjamin
kelestariannya.
2. Budaya Nasional.
Karya budaya (produk) bangsa Indonesia (kolektif), bersumber
dari daya “cipta, rasa, karsa” dan refleksikan “sistem nilai” yang
menjadi ‘panduan hidup’ seluruh anggota bangsa Indonesia.
Budaya Nasional Indonesia terlahir dari munculnya “solidaritas
terbuka” yang terbukti dapat menekan semangat “primordialisme”
masyarakat diberbagai daerah. Landasanya: “rasa senasib
sepenanggungan” dimasa ‘kolonialisme’. Kesadaran kebersamaan,
persaudaraan, dan persatuan bangsa (nasionalisme) berhasil
meruntuhkan ‘sekat pembatas’ identitas lokal.
Benih ‘solidaritas terbuka’ yang berkembang menjadi
semangat “nasionalisme” untuk memperjuangkan “Negara
Indonesia Merdeka”, telah ditebar “Boedi Oetomo” (1905).
Berkembang pesat hingga terjadi peristiwa “Sumpah Pemuda”
(1928), bangsa Bhineka menyatakan: ‘Satu Nusa, Satu Bangsa,
Satu Bahasa Indonesia”.
Simbol-simbol “budaya lokal kedaerahan” benar-
benar diredam dan dilokalisir pada wilayah yang terbatas,
lahirlah satu simbol budaya baru: “Budaya Nasional Indonesia”.
Budaya Nasional Indonesia resmi terbentuk, ketika
dideklarasikan “Kemerdekaan bangsa Indonesia” (17-8-1945),
dan di undangkanya “sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia” (18-8-1945).
Sesudah deklarasi Kemerdekaan Indonesia, untuk
menyelenggarakan Negara berdasar pada “Sistem Nilai Budaya
Nasional Indonesia” yang telah dirumuskan para ‘Faunding
Father’ sebagai “Dasar Negara”, sedang pokok-pokok pikiran
dari “Nilai Dasar Negara” telah dijabarkan pada “Konstitusia
Negara Indonesia” (UUD’45).
Sistem Nilai Budaya Nasioanl Indonesia yang menjadi “Dasar
Negara”, dirumuskan dalam forum sidang BPUPKI dan sahkan
(ditetapkan) pada sidang PPKI. Sistem Nilai Dasar Budaya
Nasional Indonesia itu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa. (Nilai Religius)
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. (Nilai Humanis)
3. Persatuan Indonesia. (Nilai Unity)
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan /
Perwakilan. (Nilai Demokrasi)
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. (Nilai
Keadilan Sosial)
Sistem nilai dasar bangsa Indonesia ini ditetapkan pada
sidang PPKI, tercantum dalam “Pembukaan UUD’45” dan
dijabarkan (dikonkritkan) pada “Undang-Undang Dasarnya”
(Konstitusi).
Identitas Nasional Indonesia: “Sistem Nilai Nasionalisme
Indonesia” tidak boleh terjebak sifat “Caufinisme”
(Seokarno). Sifat ini menjurus pada sikap ‘Congkak,
Sombong, dan Tertutup’, mengancam kemajuan.
Identitas Nasional Indonesia: harus menyerap ‘nilai
budaya baru’ yang relevan, dan menyesuaikan “semangat
perkembangan jaman”, agar tidak mudah lapuk dan usang.
3. Budaya Asing.
Globalisasi, kemajuan teknologi telekomunikasi,
komputer dan internet telah berhasil menyatukan jarak,
waktu dan ruang di seluruh dunia. Tetapi juga memudahkan
jalan masuk bagi budaya asing dan budaya global diseluruh
penjuru tanah air.
Hadirnya buaya asing dan budaya global belum tentu
“selaras” dengan budaya lokal atau budaya sendiri. Dampak
nyata, terjadi ‘benturan budaya’ di masyarakat atas dasar
kepentingan tertentu, melahirkan paradog “budaya
sandingan” dan “budaya tandingan”.
Budaya sandingan: prinsip berpegang teguh pada ‘budaya
lokal dan nasional’ dengan menyerap nilai budaya asing dan
global yang selaras. Budaya lokal, dan nasional
“mengekplorasi” dan “mengakulturasikan” budaya baru
(asing dan global) untuk memperkokoh “eksistensi budaya
nasional Indonesia” dan “budaya lokal Indonesia”.
Budaya tandingan: sikap pengagum dan pendukung
‘budaya baru’ dari asing dan global sebagai penggerus dan
penggusur budaya lokal dan nasional. Dampak yang nyata:
kini bangsa Indonesia bak kehilangan Identitas, jatidiri, dan
karakter. Identitas, jatidiri dan karakter bangsa: terdapat
pada budaya nasional Indonesia dan budaya lokal yang
original, disebut: “lokal genius” .
Nilai budaya asing dan global yang mengalir deras:
Liberalisme (Individualisme), Kapitalisme (Materialisme),
Demokrasi (Kebebasan mutlak), Hak Individual (HAM),
Tranparansi (Keterbukaan) tanpa kecuali dll.
4. Pendidikan:
Berpengaruh signifikan pada penanaman nilai atau
pembudayaan Identitas, jatidiri, atau karakter personal dan
bangsa. Pendidikan identity dapat dilakukan secara formal
dan non formal.
Di sektor formal, sangat minim pendidikan “EQ dan SQ”
(rasa &karsa). Sektor non formal, cenderung
mengutamakan rasional dan IQ. Ketimpangan IQ dengan
EQ dan SQ begitu jauh, menghasilkan generasi “cerdas dan
pinter, untuk minteri, ngakalin orang lain, tidak merasa
bersalah dan berdosa meski korupsi, merampas hak orang
lain”.
Pendidikan: usaha mencapai keseibangan ‘Cipta, Rasa,
dan Karsa’ atau IQ, EQ, dan SQ (Suwardi Suryaningrat).
Pendidikan: usaha mencerdaskan bangsa, berbasis nilai
budaya keluarga, Masyarakat & bangsa.
D. IDENTITAS NASIONAL INDONESIA.
Identitas Nasional Indonesia: ditetapkan bersamaan terbentuknya
NKRI. Prosesnya sejak masa ‘imperialisme & kolonialisme,
perjuangan kemerdekaan, pembentukan dan penetapan NKRI,
(masa kemerdekaan)’.
Tonggak pembentukan identitas: “Supah Pemuda, Perumusan
Dasar Negara, dan Penetapan Konstitusi NKRI”. Sejak ditetapkan
konstitusi NKRI: telah ditetapkan “prinsip-prinsip dasar tata-
kehidupan” bagi setiap warga negara, penyelenggara negara,
pengusaha, intelektuan, enginir, ekonom dan profesional lain dalam
beraktivitas di lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara
Republik Indonesia. Prinsip-prinsip dasar tata-kehidupan itu oleh
‘faunding father’ di rumuskan sebagai “falsafah Negara” alias
‘falsafah hidup bangsa Indonesia’, terdiri dari 5 (lima) azas.
Identitas Nasional: hasil kreasi bangsa Indonesia/hasil karya
budaya bangsa yang dapat ‘merepresentasikan jatidiri dan
karakter’ dari seluruh warga bangsa Indonesia.
Identitas Nasional Indonesia: “sistem nilai atau value” yang
menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia. Sistem nilai (value)
itu tercermin pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak (perilaku)
masyarakat ketika beraktivitas baik secara perseorangan dan
kolektif di lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Sistem nilai (value) yang berhasil di gali dari budaya bangsa,
diangkat sebagai Identitas Nasional Indonesia oleh para pendiri
negara: “Nilai Religius, Humanis, Unity, Gotong-royong (demokrasi)
dan Keadilan sosial” – Falsafah Negara.
Identitas Indonesia: “Kongregart, bukan Agregart” (Sartono
Kartodirdjo). Kongregart: Hasil kreasi/ karya budaya original yang
sengaja di buat oleh seluruh warga bangsa Indonesia melalui wakil-
wakilnya (faunding father), keberadaannya dapat
merepresentasikan, mewakili karakteristik dan jatidiri seluruhnya.
Agregart: sekedar pengakuan atau sekedar mengklim produk
budaya tempelan dari berbagi unsur budaya lokal, atau merasa dan
mengaku terwakili oleh produk budaya yang bukan hasil kreasi
bangsa sendiri.