Anda di halaman 1dari 22

KOMPETENSI

DELIRIUM

Oleh:
JULIANTO RIZAL T
N 111 18 076

PEMBIMBING :
dr. Dewi Suriany A, Sp. KJ
BAB I
PENDAHULUAN
Delirium ditandai oleh kebingungan jangka pendek serta
gangguan kognisi. Terdapat empat subkategori berdasarkan
sejumlah penyebab: (1) kondisi medis umum, seperti infeksi;
(2) terinduksi obat seperti kokain, opioid, fensiklidin; (3)
etiologi multipel, seperti trauma kepala dan penyakit ginjal, dan
(4) delirium yang tak tergolongkan di tempat lain, seperti
kurang tidur (Benjamin, 2015).

Delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada


pasien di rumah sakit. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis
dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat kurangnya
kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien berada di unit gawat
darurat atau unit rawat jalan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu
penyakit. Delirium adalah suatu gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara
global. Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak
(beberapa jam atau hari), perjalanan singkat dan berfluktuasi
dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi
dan dihilangkan (Benjamin, 2015).
B. Epidemiologi

Delirium merupakan gangguan yang lazim dijumpai.


Menurut DSM-IV-TR, prevalensi delirium pada satu titik waktu
pada populasi umum adalah:
• 0,4 %  > 18 tahun
• 1,1 %  > 55 tahun
– Usia lanjut  faktor risiko utama timbulnya delirium.
• Sekitar 30-40% pasien rawat inap yang berusia di atas 65
tahun mengalami satu episode delirium, dan 10-15% lansia
lainnya mengalami delirium saat masuk rumah sakit.
• ± 10-30 % pasien yang sakit secara medis dan dirawat di
rumah sakit mengalami delirium.
Angka delirium tertinggi dijumpai pada pasien
pascakardiotomi-pada beberapa penelitian mencapai lebih dari
90%.
Diperkirakan 20% pasien luka bakar berat dan 30-40%
pasien AIDS mengalami episode delirium saat dirawat.
Delirium timbul pada 80% pasien yang mengalami stadium
penyakit terminal. Kausa delirium pascaoperasi meliputi stress
pembedahan, nyeri pascaoperasi, insomnia, pengobatan nyeri,
ketidakseimbangan elektrolit, infeksi, demam, dan kehilangan
darah.
C. Etiologi

Kausa utama delirium adalah penyakit susunan saraf pusat


(seperti epilepsi), penyakit sistemik (seperti gagal jantung), serta
baik intoksikasi maupun keadaan putus obat dari zat
farmakologis atau toksik. Saat mengevaluasi pasien delirium,
klinisi harus menganggap bahwa obat apapun yang dikonsumsi
pasien dapat terkait secara kausatif dengan deliriumnya
(Benjamin, 2015).
Salah satu penyebab lain timbulnya delirium adalah
toksisitas penggunan obat dengan aktivitas antikolinergik.
Obat-obat dengan aktivitas antikolinergik tersebut antara lain
amitryptiline, doxepin, imipramine, thioridazine, dan
chlorpromazine yang merupakan obat-obat yang sering
digunakan dalam psikiatrik. Neurotransmiter lain yang juga
berperan adalah serotonin dan glutamat.
Patofisiologi
• Delirium akibat penghentian alkohol
• Ketidakseimbangan mekanisme inhibisi dan eksitasi pada
sistem neurotransmiter

• Inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi


reseptor GABA-A (gammaaminobutyric acid-A)
• Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan
neurotransmiter yang memperkuat transmisi dopaminergik
dan noradrenergik

• Aktivasi simpatis dan kecenderungan kejang epileptik


• Delirium yang tidak diakibatkan karena substansi timbul melalui
berbagai mekanisme, jalur akhir melibatkan defisit kolonergik
dengan hiperaktivitas dopaminergik
D. Diagnosis dan Gambaaran klinis

Gambaran klinis terkait sering muncul dan dapat


menjadi prominen. Gambaran tersebut meliputi diorganisasi
proses pikir (berkisar dari tangensialitas ringan hingga
inkoherensi nyata), gangguan persepsi seperti ilusi dan
halusinasi, hiperaktivitas dan hipoaktivitas psikomotor,
gangguan siklus tidur – bangun (manifestasi yang sering
berupa tidur yang terfragmentasi di malam hari, dengan atau
tanpa rasa kantuk di siang hari), perubahan mood (dari
iritabilitas halus sampai disforia, ansietas, atau bahkan
euphoria yang nyata), serta manifestasi lain dari fungsi
neurologis yang terganggu (contoh: hiperaktivitas atau
instabilitas otonom, hentakan mioklonik, dan disartria)
(Benjamin, 2015).
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan status mental di bangsal rawat-


Mini-Mental State Examination (MMSE)

dapat digunakan untuk mendokumentasikan


hendaya kognitif serta untuk memberikan landasan untuk
mengukur perjalanan klinis pasien.
Pemeriksaan fisik sering mengungkapkan petunjuk
penyebab delirium. Adanya penyakit fisik yang telah
diketahui atau riwayat trauma kepala atau ketergantungan
alkohol atau zat lain membantu menegakkan diagnosis
(Benjamin, 2015).
Kriteria Diagnostik
Tabel 2.4 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Delirium Akibat Kondisi Medis Umum
(293.0) (Benjamin, 2015).
A. Gangguan kesadaran (contoh: berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap lingkungan)
disertai penurunan kemampuan memfokuskan, mempertahankan, atau mengalihkan
atensi.
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau
timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh demensia yang telah ada
sebelumnya, telah ditegakkan sebelumnya, atau sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam hitungan jam
atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh konsekuensi fisiologis langsung dari suatu
kondisi medis umum.

Catatan Pengkodean: jika delirium terjadi bersamaan pada demensia vascular yang telah
ada sebelumnya, nyatakan delirium dengan kode demensia vascular, dengan delirium.
Catatan Pengkodean: sertakan nama kondisi medis umum pada aksis I, contoh: Delirium
akibat ensefalopati hepatic, juga kode kondisi medis umum pada Aksis III.
Tabel 2.5 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Delirium pada Intoksikasi Zat (Benjamin,
2015).
A. Gangguan kesadaran (contoh: berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap lingkungan)
disertai penurunan kemampuan memfokuskan, mempertahankan, atau mengalihkan
atensi.
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) atau
timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh demensia yang telah ada
sebelumnya, telah ditegakkan sebelumnya, atau sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam hitungan jam
atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
adanya poin (1) atau (2):
(1) Gejala pada kriteria A dan B timbul saat intoksikasi zat.
(2) Penggunaan obat secara etiologis berkaitan dengan gangguan*.
Catatan: diagnosis ini sebaiknya dibuat untuk menggantikan diagnosis intoksikasi zat
hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh sindrom intoksikasi dan bila
gejala cukup parah hingga memerlukan perhatian klinis tersendiri.
*Catatan: diagnosis sebaiknya dicatat sebagai delirium terinduksi zat bila berkaitan dengan
penggunaan obat.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Amfetamin [atau zat yang menyerupai amfetamin]; Kanabis; Kokain;
Halusinogen; Inhalan; Opioid; Fensiklidin atau ansiolitik; Zat lain [atau yang tidak
diketahui, cth: simetidin, digitalis, benztropin].
Tabel 2.6 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Delirium pada Keadaan Putus
Zat (Benjamin, 2015).
A. Gangguan kesadaran (contoh: berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap
lingkungan) disertai penurunan kemampuan memfokuskan, mempertahankan,
atau mengalihkan atensi.
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh demensia yang
telah ada sebelumnya, telah ditegakkan sebelumnya, atau sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa gejala pada kriteria A dan B timbul selama, atau segera
setelah suatu sindrom putus zat.
Catatan: diagnosis ini sebaiknya dibuat sebagai ganti diagnosis keadaan putus zat
hanya bila gejala kognitif melebihi yang biasa disebabkan oleh sindrom putus zat
dan bila gejala cukup parah hingga memerlukan perhatian klinis tersendiri.
Kode delirium pada intoksikasi (zat spesifik):
(Alkohol; Sedativa, hipnotik, atau ansiolitik; Zat lain [atau yang tidak diketahui].
Tabel 2.7 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Delirium Akibat Etiologi
Multipel (Benjamin, 2015).
A. Gangguan kesadaran (contoh: berkurangnya kejernihan kesiagaan terhadap
lingkungan) disertai penurunan kemampuan memfokuskan, mempertahankan,
atau mengalihkan atensi.
B. Perubahan kognisi (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau timbulnya gangguan persepsi yang tidak disebabkan oleh demensia yang
telah ada sebelumnya, telah ditegakkan sebelumnya, atau sedang berkembang.
C. Gangguan tersebut muncul dalam jangka waktu singkat (biasanya dalam
hitungan jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari.
D. Terdapat bukti berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium bahwa delirium tersebut memiliki lebih dari satu etiologi (contoh:
lebih dari satu kondisi medis umum sebagai etiologi, satu kondisi medis umum
plus intoksikasi zat atau efek simpang obat).

Catatan pengkodean: gunakan kode multipel yang mencerminkan delirium


spesifik dan etiologi spesifik, contoh: Delirium akibat ensefalitis viral; Delirim
pada keadaan putus alkohol.
Tabel 2.8 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Delirium yang
Tak Tergolongkan (Benjamin, 2015).

Kategori ini sebaiknya hanya digunakan untuk mendiagnosis delirium


yang tidak memenuhi kriteria untuk salah satu dari delirium tipe spesifik
yang telah dijelaskan di bagian ini.
Contohnya meliputi:
1. Tampilan klinis delirium yang dicurigai diakibatkan oleh suatu
kondisi medis umum atau penggunaan zat namun belum ada cukup
bukti untuk menetapkan etiologi yang spesifik.
2. Delirium akibat kausa yang tidak terdaftar di bagian ini (contoh:
deprivasi sensorik).
Pemeriksaan penunjang

Delirium merupakan sindrom bukan suatu penyakit.


Pemeriksaan penunjang yang dapat dipertimbangkan sebagai
berikut: (Benjamin, 2015).
•Pemeriksaan laboratorium, pasien delirium sebaiknya
mencakup uji standar dan pemeriksaan tambahan sesuai indikasi
situasi klinis.
•Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG), EEG secara
karakteristik menunjukkan perlambatan aktivitas secara umum
dapat berguna untuk membedakan delirium dengan depresi atau
psikosis.
Diagnosis Banding

umumnya halusinasi dan waham pada pasien


skizofrenia lebih konstan dan lebih teratur
Skizofrenia dibandingkan pada pasien delirium. Pasien skizofrenia
biasanya tidak mengalami perubahan perubahan
tingkat kesadaran atau orientasi.

Pasien delirium dengan gejala hipoaktif mungkin akan


tampak serupa dengan pasien depresi berat namun dapat
Depresi dibedakan berdasarkan EEG. Selain itu, pasien depresi
juga mungkin memiliki gejala kognitif, tetapi tingkat
kesadaran pasien normal.
Demensia

Sejumlah gambaran klinis dapat membantu


membedakan delirium dengan demensia. Bertentangan dengan
awitan delirium yang mendadak, awitan demensia biasanya
perlahan. Meski kedua kondisi tersebut mencakup hendaya
kognitif, perubahan pada demensia lebih stabil dengan
berjalannya waktu dan tidak berfluktuasi sepanjang hari.
Contohnya, seorang pasien demensia biasanya waspada;
seorang pasien delirium mengalami episode penurunan
kesadaran. Kadang-kadang, delirium dapat terjadi pada pasien
demensia, suatu kondisi yang dikenal sebagai demensia
berkabut.
Penatalaksanaan

dukungan fisik
Manajemen Delirium

Terapi suportif sensorik

lingkungan

Haloperidol
Psikosis
(Haldol)
Farmakologis Gejala utama
Insomnia lorazepam
Prognosis

• Gejala delirium biasanya berlangsung selama faktor


kausatif yang relevan tetap ada meski delirum umumnya
berlangsung kurang dari seminggu.
• Setelah identifikasi dilakukan dan faktor kausatif
dihilangkan, gejala delirium biasanya akan surut dalam
periode 3-7 hari meski beberapa gejala mungkin akan
memakan waktu hingga 2 minggu sebeum benar-benar
menghilang.
• Semakin tua pasien dan semakin lama pasien mengalami
delirium, semakin lama waktu yang dibutuhkan delirium
untuk mereda.
Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai


berikut:
•Malnutrisi, gangguan cairan dan elektrolit
•Pneumonia aspirasi
•Pressure ulcers
•Kelemahan, penurunan mobilitas, dan penurunan fungsi
•Jatuh dan perilaku agresif yang mengarah ke cedera dan patah
tulang
•Berkeliaran dan tersesat
Gangguan kognitif jangka panjang: Bukti yang terkumpul
menunjukkan bahwa delirium tidak hanya sementara,
kebingungan akut reversibel, tetapi juga dapat menimbulkan
gangguan kognitif jangka panjang terus-menerus.
BAB III
KESIMPULAN
• Delirium ditandai oleh kebingungan jangka pendek serta gangguan kognisi.
Terdapat empat subkategori berdasarkan sejumlah penyebab: (1) kondisi medis
umum, seperti infeksi; (2) terinduksi obat seperti kokain, opioid, fensiklidin;
(3) etiologi multipel, seperti trauma kepala dan penyakit ginjal, dan (4)
delirium yang tak tergolongkan di tempat lain, seperti kurang tidur.
• Delirium adalah sindrom, bukan suatu penyakit, dan memiliki banyak kausa,
yang semuanya mengakibatkan pola gejala yang serupa berkaitan dengan
tingkat kesadaran dan gangguan kognitif pasien.
• Dalam revisi DSM-IV-TR edisi ke-4, delirium ditandai oleh gangguan
kesadaran serta perubahan kognisi yang timbul dalam waktu singkat.
• Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai
sebab.
• Gejala penanda delirium yang utama adalah hendaya kesadaran, biasanya
terjadi pada hendaya fungsi kognitif secara menyeluruh.
• Penatalaksanaan delirium meliputi dua gejala utama delirium yang mungkin
memerlukan pengobatan farmakologis adalah psikosis dan insomnia.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai