Anda di halaman 1dari 18

II

______________TUJUAN
TASYRI’______________

Dosen pengampu: Ali Kadarisman, M. HI

Muh Mujtahid Sulthony (17210009)


Khairatun Hisan (17210045)
Kating()
MASLAHAT SEBAGAI TUJUAN TASYRI’

 Tasyri' adalah kata yang diambil dari lafaz syariah yang


artinya "jalan yang lurus". Secara terminologis, tasyri'
oleh para fuqaha diartikan sebagai hukum-hukum yang
ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya yang
diungkapkan melalui perantaraan Rasulullah Saw., agar
manusia melaksanakan hukum-hukum tersebut atas dasar
keimanan, baik hukum yang berpautan dengan perbuatan
badaniah manusia maupun yang berkaitan dengan
masalah akidah, akhlak dan budi pekerti.
Fazlur Rahman menjabarkan secara bahasa, kata syari'ah berarti "jalan ke sumber
air" dan "tempat orang-orang pada minum". Orang Arab menggunakan istilah ini
khususnya dengan pengertian "jalan setapak menuju sumber air yang tetap dan
diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata". Dengan pengertian bahasa
tersebut, syari'ah berarti suatu jalan yang harus dilalui. Pengertian di atas
memberikan pemahaman bahwa tasyri, merupakan proses pembuatan undang-
undang yang diambil dari syariat. Oleh karena itu, syariat yang diturunkan oleh
Allah dan yang datang dari Nabi Muhammad Saw., belum berarti telah menjadi
tasyri', sebaliknya tasyri' di dalamnya adalah substansi dari syariat Islam.
PENGERTIAN MASLAHAT

Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan ”alif” di


awalnya yang secara arti kata berarti ”baik” Iawan dari kata ”buruk” atau
”rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalâh, yaitu ”manfaat” atau
”terlepas dari padanya kerusakan ”. Jika dipandang dari segi bahasa
dengan penambahan ‘’alif’’, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al-
manfa'at, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat
mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-Shalah, seperti halnya
lafazh al-manfa'at sama artinya dengan al-naf 'u.
Dalam memberikan definisi kepada kata maslahat itu terdapat rumusan yang berbeda.
Semula imam al-Gazali mengartikan al-maslahat itu dengan kalimat: (menurut
asalnya mendatangkan manfaat atau menolak mudarat). Arti yang sederhana itulah
yang semula digunakan oleh Imam Gazali. Namun karena "mendatangkan manfaat dan
menghindarkan mudarat" itu merupakan maksud atau keinginan manusia, bukan
maksud Allah, sedangkan maslahat itu adalah maksud dari Allah yang membuat
hukum, maka al-Gazali membuat rumusan baru yaitu: (memelihara tujuan syara'),
sedangkan tujuan syara' sehubungan dengan hambanya adalah menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Tujuan yang lima itulah yang popular dengan sebutan al-
ushul al-khamsah (prinsip yang lima).
Hal penting lainnya dari maslahat yaitu, kemaslahatan dapat terealisasikan dengan
baik jika lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta.
TUJUAN TASYRI’ (MASLAHAT)

Syari'at Islam datang membawa rahmat bagi umat manusia. Oleh


karena itu, ada tiga sasaran tasyri’:
Pertama, penyucian jiwa, agar setiap muslim bisa menjadi sumber
kebaikan bukan sumber keburukan bagi masyarakat lingkungannya. Hal
iniditempuh melalui berbagai ragam ibadah yang disyari'atkan, yang
kesemuanya dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta
memperkokoh kesetiakawanan sosial. Ibadah-ibadah itu dapat
membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran (penyakit) dengki yang
melekat di hati manusia. Dengan demikian akan tercipta suasana
maslahat, bukan saling berbuat dholim dan keji, di antara sesama
muslim.
Kedua, menegakkan keadilan dalam masyarakat Islam: adil baik
menyangkut urusan di antara sesama kaum muslimin maupun
dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim). Firman Allah
Swt: Artinya: ‘’Dan janganlah sekali-kali kebencian terhadap suatıı
kaum, mendorong kamu untıık berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa.’’ (al-Maidah : 8).

Ketiga, dan ini merupakan tujuan puncak tasyri’ yang hendak


dicapai, yang harus terdapat di dalam setiap syariat Islam, ialah
kemaslahatan. Tidak sekali kali suatu perkara disyari’atkan oleh
Islam melalui Al-Qur’an maupun Sunnah melainkan di situ
terkandung maslahat yang hakiki, walaupun maslahat itu tersamar
pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya.
MACAM-MACAM MASLAHAT

1. Dari Segi Kekuatannya Sebagai Hujjah Dalam


Menetapkan Hukum

2. Dari Adanya Keserasian Dan Kesejalanan Anggapan


Baik Oleh Akal Itu Dengan Tujuan Syara' Dalam
Menetapkan Hukum, Ditinjau Dari Maksud Usaha
Mencari Dan Menetapkan Hukum.
DARI SEGI KEKUATANNYA SEBAGAI HUJAH DALAM
MENETAPKAN HUKUM

a. Mashlahah dharuriyah adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat


dibutuhkan oleh kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak
punya arti apa-apa bila satu saja dan prinsip yang lima itu tidak ada.
b. Mashlahah hajiyah adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup
manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. Bentuk
kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok
yang lima (dharuri), tetapi secara tidak langsung menuju ke arah sana
seperti dalam hal yang memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan
hidup manusia.
c. Mashlahah tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia
kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji;
namu kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi
kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.
 Mashlahah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima
kebutuhan pokok manusia. Contoh, jihad di jalan Allah, disyariatkan untuk
menegakkan agama meskipun dengan mengorbankan jiwa dan harta
sebagaimana tersebut dalam firman Allah pada surat (al-Maaidah (5): 41)
yang artinya:
 Berjihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu dalam jalan (menegakkan)
agama Allah.
 Ayat di atas menunjukkan keharusan mendahulukan agama atas jiwa dan
harta. Begitu pula syariat membolehkan meminum khamar bagi orang yang
tercekik, untuk melepaskan keadaan daruratnya.
Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan
hukum.
Mashlahah al-Mu'tabarah: Munasib mu’atstsir, yaitu ada petuniuk langsung dari
pembuat hukum (Syari') yang memerhatikan mashlahah tersebut. Maksudnya, ada
petunjuk syara' dalam bentuk nash atau ijma' yang menetapkan bahwa mashlahah itu
dijadikan alasan dalam menetapkan hukum.
Munasib mulaim yaitu tidak ada petuniuk langsung dari syara' baik dalam bentuk nash
atau ijma' tentang perhatian syara' terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak
langsung ada. Mashlahah al-Mulghah, atau mashlahah yang ditolak, yaitu mashlahah
yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk
syara’ yang menolaknya. Hal ini berarti akal menganggabnya baik dan telah sejalan
dengan tujuan syara’, namun ternyata syara’ menetapkan hukum yang berbeda dengan
apa yang dituntut oleh mashlahah itu. Contoh: seorang raja atau orang kaya yang
melakukan pelanggaran hukum, yaitu mencampuri istrinya di siang hari bulan
Ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang paling baik adalah disuruh puasa dua bulan
berturut-turut, karena cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jera melakukan
pelanggaran.
 Mashlahah al-Mursalaat, atau yang biasa disebut
Istishlah, yaitu apa yang dipadang baik oleh akal,
sejalan dengan tujuan syara' dalam menetapkan hukum;
namun tidak ada petunjuk syara' yang
memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk
syara' yang menolaknya. Contoh: dalam masalah
ibadah dalam arti khusus sama sekali mashlahah. Dan
shalat Dzuhur 4 rakaat dilakukan setelah tergelincir
matahari, tidak dapat dinilai akal apakah itu baik atau
buruk.
ISTIHSAN
 Menurut Bahasa Istihsan artinya menganggap sesuatu
itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik,
mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti,karena memang di suruh
untuk itu.
 Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya
seseorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jali
(nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafi(samar)atau
dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitnainy
(pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia
mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini .
DALIL KEHUJJAHAN ISTIHSAN
 Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang
seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18. 
‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan
kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah
menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan
adalah hujjah.

 
Contoh penerapan istihsan Syara’ melarang seseorang memperjual belikan atau
mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada
saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan
perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhshah
(keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan
pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk
memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada
salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan
menggunakan hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan
adat kebiasaan dalam masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas
jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus
karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika
dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah,
tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama,
hanya namanya saja yang berlainan.
ARGUMEN KELOMPOK ULAMA YANG MENOLAK ISTIHSAN

Sebagian ulama (fuqaha) telah menerima istihsan sebagai dalil hukum syara’.
Namun tidak sedikit diantara mereka yang menolaknya, yaitu ulama Syafi’iyah,
Zahriyah, Syi’ah dan Mu’tazilah. Mereka berargumen sebagai berikut:
 Istihsan bukanlah metode yang dilandasi Al-Qur’an dan hadits melainkan suatu
upaya penetapan hukum dengan akal dan hawa nafsu. Apabila boleh berdalil
selain nash dan qiyas, itu berarti memberikan peluang kepada seseorang yang
tidak memiliki pengetahuan tentang nash dan qiyas untuk menetapkan hukum
berdasarkan istihsan dengan alasan mereka juga berakal. Imam Syafi’i
menegaskan bahwa orang yang menerapkan istihsan dalam menemukan
hukum berarti ia telah membuat-buat hukum syara’ yang baru.
 Nabi Muhammad saw tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan,
hal ini dapat dilihat ketika Rasulullah saw tidak pernah menjawab pertanyaan
yang ditujukan kepadanya perihal li’an dan zihar, pertanyaan itu tidak pernah
dijawab berdasarkan istihsan akan tetapi menunggu turunnya wahyu.
 Istihsan tidak memiliki kriteria dan tolak ukur yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu istihsan tidak bisa diterima sebagai
sumber hukum kecuali jika didukung dengan adanya dalil dari Al-Qur’an dan
sunnah yang menunjukkan dapat diterimanya dalil ini. Sedang ini tidak
terdapat satu dalil pun yang menunjukkan hal itu.
ISTIHSAN PADA MASA SEKARANG
 Istihsan digunakan oleh sekelompok ulama dalam menghadapi suatu kasus pada
keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku
secara konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut
cara-cara yang biasa dilakukan. Dengan cara konvensional itu, ketentuan hukum yang
dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari
penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau
pendekatan yang konvensional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah
dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
 Dan pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin
berkembang dan semakin komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang
menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum Islam. Kalau hanya
semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvensional)
yang digunakan oleh ulama’ terdahulu untuk mengahadapinya, mungkin tidak akan
mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu,
si mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif di luar
pendekatan lama. Oleh karena itu kecenderungan untuk menggunakan istihsan akan
semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang
berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin
kompleks.

Anda mungkin juga menyukai