ETIOLOGI
• Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan
jelas. Namun diperkirakan berkaitan erat dengan
beberapa faktor, antara lain
• autoimun,
• kelainan genetik,
• faktor lingkungan
• obat-obatan
Autoimun
• Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses
kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya
sendiri
• Pada SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai
antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh.
• Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B
untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang dibentuk
untuk menyerang antigen spesifik
• Ketika antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri,
maka disebut autoantibodi
• Sel B menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut
interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan
penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi
autoantibodi oleh sel B.
Kelainan genetik
• Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang
juga menderita SLE
• Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien
memiliki manifestasi klinik yang berbeda) 4 sedangkan non-
identik 2-9%.
• Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak
perempuannya untuk menderita penyakit yang sama adalah
1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25.
• Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen
yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan
haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3
serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. 1
• Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen
yang mengatur apoptosis, suatu proses alami pengrusakan
sel
• Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa
kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya
kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal.
Faktor lingkungan
• Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu
terjadinya respon autoimun pada seseorang dengan
kerentanan genetik
• Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan, stres, kontrasepsi
oral, bahan kimia, sinar matahari
GEJALA KLINIK
• Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat
bervariasi
• Gejala umum yang jelas seperti :
• Demam kadang disertai menggigil
• Malaise
• Kelemahan
• nafsu makan berkurang
• berat badan menurun
• iritabilitas.
• Banyak wanita SLE menderita flare pada fase
postovulasi dari siklus menstruasi, dan mengalami
resolusi ketika telah terjadi haid. 4
Muskuloskeletal
• Gejala yang paling sering artritis atau atralgia (53-
95%) dan biasanya mengawali gejala yang lain
• Kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi yang
bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris,
nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas, bukan
kontraktur atau ankilosis.
• Kaku pagi hari jarang ditemukan
• Kadang terdapat nodul reumatoid
• Kadang nyeri otot dan miositis
• Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP)
dan metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan
lutut.
Gejala mukokutan
• Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada
hidung dan kedua pipi (55-90%)
• Pada bagian tubuh yang terpapar matahari dapat timbul
ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. 1
• Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hiperkeratosis dan atrofi, tampak sebagai bercak
eritematosus yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin
disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung
lama akan terbentuk sikatriks. 1
• Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa
menyebabkan ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada
membran mukosa mulut, hidung, atau vagina
Ginjal
• Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan
ginjal
• Pengendapan komplek imun yang mungkin mengandung
ds-DNA, bertanggung jawab atas terjadinya kelainan
ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan
pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan
matriks ekstraseluler
• Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan tampak
dalam pola kristalin di daerah mesangeal, subendotelial
atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin yang
paling sering tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-
kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q pada
glomerulus yang sama (pola “full house“)
Sistem saraf
• Gangguan neurologik mengenai 25% penderita SLE
• Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling
umumPencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan
serabut saraf dan mielin.
• Gejala yang tampak berupa
• irritabilitas
• Kecemasan
• Depresi
• Gangguan ingatan dan konsentrasi ringan
Kardiovaskuler
• Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan
sampai berat (efusi perikard)
• iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman
Sacks)
• Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri dan
arithmia.8
Paru
• Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE
• Diagnosis pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika
faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi,
virus jamur, tuberkulosis.1
• Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
• Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary
hemorhage
• Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi
bersama gangguan tersebut.
Saluran pencernaan
• Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah
gastrointestinal
• Nausea
• kehilangan berat badan
• nyeri abdomen ringan
• diare
Mata
• Gejala yang paing umum :
• cotton-wool-like spots pada retina
• kebutaan sementara yang terjadi secara tiba-tiba
• Konjungtivitis
• Edema periorbital
• Perdarahan subkonjungtival
• Uveitis dan adanya badan sitoid di retina
KOMPLIKASI PADA KEHAMILAN
• Semua kehamilan dengan lupus diperlakukan sebagai
resiko tinggi
• 75% kehamilan mencapai masa kelahiran, dengan 25%
diantaranya prematur, 25% sisanya mengalami
keguguran
• Resiko keguguran lebih tinggi pada wanita dengan
antibodi antifosfolipid, penyakit ginjal aktif atau hipertensi,
atau kombinasi lainnya
• Risiko bayi dengan lupus neonatus yang lain, sekitar 3%
kehamilan SLE, dan membaik dalam 6 bulan.
• Jarang terjadi kelainan jantung, namun hal ini dapat
diobati
• Terdapat peningkatan resiko perdarahan setelah
persalinan, yang diakibatkan baik oleh obat anti-SLE
maupun oleh SLE itu sendiri
• Preeklampsia terjadi pada 20% wanita hamil dengan SLE
• Pasien dengan lupus nefritis yang ingin hamil, haruslah
dipertimbangkan. Disamping keadaan janin, perlu pula
dipertimbangkan terjadinya eksaserbasi dengan (mungkin
permanen) gejala ikutan berupa kerusakan organ (yang
mungkin akan mempengaruhi keselamatan maternal).
• Penelitian terbaru menyebutkan bahwa wanita hamil
dengan lupus nefritis berhubungan dengan meningkatnya
kematian maternal dan nefritis eksaserbasi pospartum.
DIAGNOSIS
Diagnosis SLE dibuat jika memenuhi paling sedikit 4 diantara 11
manifestasi berikut (kriteria dari the American Rheumatism
Association) :
1. Eritema fasial (butterfly rash)
2. Lesi diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Oral ulcers
5. Arthritis
6. Serositis (pleuritis or perikarditis)
7. Gangguan ginjal (persistent proteinuria (> 0,5 g/hari) atau
cellular casts)
8. Gangguan neurologi (seizures atau psykhosis)
9. Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopenia (<4000/uL)
atau limfopenia pada 2 atau lebih pemeriksaan, trombositopenia)
10. Gangguan Immunologi (preparat sel LE positif, jumlah anti-DNA
atau anti-Sm abnormal, tes VDRL sifilis positif palsu)
11. Abnormal ANA titer
PENATALAKSANAAN / REHABILITASI
• Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan
sempurna
• Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang
ditimbulkannya
• Penatalaksanan utama adalah menciptakan suatu
lingkungan yang dapat memberikan “istirahat” pada jiwa
dan raga, perlindungan dari sinar matahari (bahkan yang
melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi pencegahan
infeksi, menghindari semua alergen dan faktor-faktor
yang dapat memperberat penyakit.
• Kondom dan diafragma merupakan alat kontrasepsi teraman,
walaupun kurang efektif
• IUD sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai
resiko infeksi yang lebih besar
• Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau pasien
sedang mendapat pengobatan dengan obat imunosupresif.
• Angka abortus, kelahiran mati, partus prematurus, dan
preeklampsia meningkat pada SLE dengan kehamilan
• Pada kelainan ginjal dan hipertensi, prognosis menjadi sangat
buruk, abortus buatan dapat dipertimbangkan
• Jika dalam kehamilan menunjukkan gejala azotemia, maka
kehamilan harus diakhiri
• Kehamilan tidak dianjurkan bagi SLE dengan komplikasi
ginjal
Prenatal care
• Penderita SLE dengan kehamilan sebaiknya harus kontrol
kehamilannya setiap dua minggu pada trimeester
pertama dan kedua
• Sekali seminggu pada trimester ketiga.
• Pada setiap kunjungan harus selalu ditanyakan tentang
tanda dan gejala aktifnya SLE
• Darah dan urin sebaiknya diperiksa
Obat-obat antirematik dengan
kehamilan
• Meskipun belum ada penelitian acak yang membandingkan pemberian prednison pada
wanita hamil namun glukokortioid biasanya digunakan pada pengobatan SLE pada
kehamilan
• umumnya dosis yang digunakan kurang lebih sama dengan penderita yang tidak hamil
• Efek supresi pada ginjal neonatus sangatlah rendah
• Alasan yang menyebabkan pemberian prednison cukup aman adalah didapatkannya 11-
-oldehidrogenase pada plasenta. Enzim ini akan mengubah prednison menjadi 11-
ketoform yang tidak aktif, dan hanya 10 % yang aktif dan dapat mencapai janin
• Efek glukokortikoid pada ibu adalah penambahan berat badan, striae, acne, hirsutism,
supresi imun, osteonekrosis, dan ulkus saluran pencernaan, dapat menyebabkan
intoleransi glukosa
• Pasien yang diberikan glukokortikoid harus dilakukan skrining untuk mencegah
diabetes gestasional
• Glukokotikoid juga menyebabkan retensi air dan natruim yang mungkin menyebabkan
hipertensi yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pertumbuhan janin
terganggu
• Pada penelitian terbaru pemberian glukokortikoid diberikan bila diperlukan untuk
mengatasi gejala-gejala yang ditimbulkan oleh SLE
• Imunosupresi seperti azathiopirine, methotrexate dan
cyclophospamide sebaiknya tidak diberikan pada
kehamilan dengan SLE, karena efek teratogenik pada
manusia, kecuali pada keadaan tertentu pada SLE yang
sangat berat misalkan pada Progressive proliferative
glomerulonefritis
• Obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperti
kloroquin dan hydroxychloroquin menimbulkan kelainan
kongenital yang cukup berat, karena ototoksisitas, tetapi
banyak bayi yang dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat
anti malaria ternyata normal
• NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada
penderita kehamilan dengan SLE tetapi dapat
menyebabkan kelainan yang cukup serius. Yaitu
kelainan faktor pembekuan darah pada fetoneonatal
• NSAID juga berhubungan dengan menurunnya produksi
uruin dan oligohidramnion dan insufisiensi ginjal
• Asetaminophen dan codein bisa dipakai sebagai analgesi
pada wanita hamil dengan SLE
Penanganan obstetrik
• Kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE
terutama setelah umur kehamilan > 20 minggu adalah
deteksi hipertensi dan proteinuria. Karena risiko terjadinya
insufisiensi uteroplasenter
• Pemeriksaan USG setiap 4 – 6 minggu mulai usia
kehamilan 18 -20 minggu.
• NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu dan
pengukuran cairan amnion
• Ibu disuruh menghitung gerakan janin setiap hari
• USG dan pemeriksaan kesejahteraan janin harus
dilakukan lebih sering bila didapatkan SLE yang aktif,
hipertensi, proteinurin, gangguan pertumbuhan janin, dan
bila didapatkan sindroma antifosfolipid. 9,12
• SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin
membutuhkan pemberian steroid sesegera mungkin.
• Pemberian glukokortikoid dosis tinggi yaitu hidrokortison
110 mg/IV tiap 8 jam diberikan waktu persalinan dan
seksio sesarea pada semua pasien yang mendapatkan
pemberian steroid
• Menghindarkan terjadinya insufisiensi adreanal yang
berat.
• Diberikan hidrokortison secara intravena 100 mg tiap 8
jam
• Ibu yang dirawat dengan SLE untuk menyusui bayinya
jika memungkinkan karena keuntungan bagi ibu dan janin
jauh lebih besar dari kerugiannya
• Jika janin lahir dengan berat badan rendah (BBRL) dan
ibu mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang
besar, secara teoritis jumlah kortikosteroid per kgBB yang
mungkin diterima janin melalui ASI patut dikhawatirkan
• Jumlah prednisolon yang disekresikan melalui ASI
sangat kecil sehingga rasa kekhawatiran tersebut hanya
bersifat teoritis
RINGKASAN
• SLE adalah suatu penyakit yang kronis, rekuren, dan
dapat menyebabkan kegagalan multi organ yang cukup
menyulitkan untuk mendiagnosa penyakit ini secara tepat,
sehingga diperlukan kombinasi dari manifestasi klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis yang akurat
sangatlah penting karena dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas baik pada ibu maupun pada bayi.
Daftar Pustaka
1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala. Ilmu
penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h: 150-9.
2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik. 3th
edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-8,468-9,650.
3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March.
Available from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic
lupus63.html. Accessed: 2004 September 17.
4. Lamont DW. Sistemic Lupus Erythematosus. 2001 December 4. Available from:
URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic564. Accessed: 2004 September
17.
5. Lehman TJA. Sistemic Lupus Erythematosus. 2004 August 15. Available: URL:
http://goldscout.com/page2.html. Accesed: 2004 September 17.
6. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD,
editors. In: Williams obstetrics: medical and surgical complications in
pregnancy. 21st edition. New York, Chicago: McGraw-Hill Medical Publishing
Division; 2001. p:1389-1394.
1. National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases. Sistemic Lupus
Erythematosus. 1999 May 7. Available: URL:
http://healthlink.mcw.edu/article/926062834.html. Accesed: 2004 September 17.
2. Nirula A. Sistemic Lupus Erythematosus. 2002 November 11. Available: URL:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm. Accesed: 2004
September 17.
3. Parke AL. Systemic lupus erythematosus, connective tissue disorders, and the
vasculitides. In: Gleicher N, editor. Principles and practice of medical therapy in
pregnancy. 2nd edition. Norwalk, Connecticut, California: Appleton & Lange; 1992. p: 421-
6.
4. Djuanda S. Penyakit jaringan konektif. Dalam: Juanda A, Hamzah M, Aisah S, editor.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universtas
Indonesia; 1999. h: 242-5.
5. Hudono ST. Penyakit lain-lain. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin BA, Rachimhadhi T,
editor. Ilmu kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo;
1997. h: 578.
6. Branch WD, Porter TF, autoimune disease. In: DK james, PJ Steer, CP Wefer, B Gonk,
editor.High risk pregnancy, management options. Second edition.London, W.b
saunders.1999. p : 853-864.
Terima kasih