Anda di halaman 1dari 7

Penerapan Sistem Zonasi di

Indonesia pada Sekolah


Menengah Atas

Oleh :
Alvin Kurniawan
Ning Ratih
Sistem Pendidikan di Indonesia dari tahun ke tahun selalau
memperbarui sistemnya. Sebelum sistem zonasi diberlakukan, siswa yang
ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi harus mengikuti beberapa
tahap ujian masuk ke sekolah yang dituju. Hal itu membuat siswa menjadi
lebih giat belajar karena mereka menghadapi persaingan yang sangat ketat.
Dengan diberlakukannya ujian masuk tersebut, mengakibatkan bebberapa
sekolah kekurangan murid Karena mereka menganggap hanya sekolah
tertentu saja yang menjadi favorit. Pada akhirnya pemerintah memperbarui
sistemnya dengan menerapkan sistem zonasi. Namun penerapan sistem
zonasi dari pemerintah masih banyak kontroversi.
Salah satu kontroversi yang paling berpengaruh adalah Penerimaan
siswa ditentukan dengan letak rumah ke sekolah tanpa memikirkan prestasi
siswa. Dengan demikian siswa tidak dapat leluasa dalam memilih sekolah
yang mereka inginkan. Sistem zonasi dianggap sebagai momok yang
menggerikan bagi siswa yang mengejar sekolah favorit namun jauh dari
sekolah.
Pada tahun 2019 tercatat hampir seluruh SMA di Indonesia sudah menggunakan
sistem zonasi. Para golongan orang tua juga banyak yang mengelah dengan adanya
sistem ini. Mereka beranggapan bahwa sistem tersebut masih membingungkan dan
kurang fair, sebab pada saat pendaftaraan peserta didik baru para orang tua siswa tidak
dapat membantu lebih kepada siswa dan hanya dapat pasrah dengan
pemerintah.Penerapan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk
menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya
masing-masing. Peserta didik bisa memiliki opsi maksimal tiga sekolah, dengan catatan
sekolah tersebut masih memiliki slot siswa dan berada dalam wilayah zonasi siswa
tersebut.
 
Berdasarkan Permendikbud nomor 51/2018 diatur PPDB melalui zonasi. Seleksi
calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal
terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan. Jarak tempat tinggal terdekat
dimaksud adalah dihitung berdasarkan jarak tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan
menuju ke sekolah. Jika jarak tempat tinggal sama, maka yang diprioritaskan adalah
calon peserta didik yang mendaftar lebih awal.
Umumnya, jalur zonasi memiliki kuota paling besar dari semua jalur
penerimaan. Misalnya, di PPDB SMA Jawa Timur, kuota jalur zonasi adalah
50 persen, sedangkan di PPDB DKI Jakarta kuota yang disediakan untuk
zonasi adalah 60 persen. Sistem seleksi PPDB zonasi dilakukan dengan cara
pemeringkatan, yang berbeda-beda di setiap provinsi. Akan tetapi, umumnya,
pemeringkatan untuk jalur zonasi dilakukan dengan jarak, nilai UN, usia
peserta didik, dan waktu mendaftar. Di PPDB SMA Jatim misalnya, seleksi
dilakukan berdasarkan pada pemeringkatan berdasarkan zona dengan kuota
sebesar 50 persen, yaitu pemeringkatan yang berdasarkan jarak tempat
tinggal dalam zona dengan sekolah yang dipilih. Jika jarak sama, maka
pemeringkatan berdasarkan nilai Ujian Nasional dan waktu pendaftaran.
Pemeringkatan berdasarkan nilai UN dengan kuota sebesar 20 persen,
pemeringkatannya berdasarkan nilai UN. Jika terdapat kesamaan nilai, maka
diperingkat berdasarkan urutan nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA,
Matematika, dan Bahasa Inggris. Jika masih terdapat kesamaan, maka
diperingkat berdasarkan waktu pendaftaran.
Sementara itu di PPDB SMA DKI Jakarta, seleksi PPDB dilakukan dengan
urutan nilai rata-rata hasil UN/UNPK untuk Calon Peserta Didik Baru lulusan
SMP/Madrasah, urutan pilihan sekolah, usia Calon Peserta Didik Baru, dan
waktu mendaftar. Setiap jenjang yang membuka jalur zonasi PPDB memiliki
pemeringkatan tertentu, tetapi umumnya pemeringkatan didasarkan pada nilai
rata-rata hasil US/M-BN untuk Calon Peserta Didik Baru lulusan SD/Madrasah,
urutan pilihan sekolah, usia Calon Peserta Didik Baru, dan waktu mendaftar.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pada


pelaksanaan PPDB tahun lalu, sistem zonasi masih kurang baik, sehingga masih
perlu evaluasi dan perbaikan. Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI),
Satriwan Salim menilai ada empat masalah sistem zonasi pada pelaksanaan
PPDB 2018.
 
Mendikbud mengakui pada pelaksanaan PPDB tahun lalu, sistem zonasi masih
kurang baik, sehingga masih perlu evaluasi dan perbaikan.
Namun dengan kebijakan sistem penerimaan siswa baru berbasis zonasi menuai
protes, terutama dari orang tua dan siswa dari kelas menengah ke atas yang
sebelumnya diuntungkan oleh sistem penerimaan berdasarkan prestasi. Orang tua
merasa bahwa sistem zonasi ini justru menyulitkan mereka dalam mendaftarkan
anaknya ke sekolah.
Bahkan, sebagian orangtua terpaksa menginap untuk memastikan anak mereka
diterima di sekolah yang dituju. Mereka merasa lebih nyaman dengan sistem lama
yang menggunakan prestasi anak pada jenjang sebelumnya sebagai variabel seleksi.
Kebijakan penerimaan siswa berbasis zonasi ini mengalokasikan minimal 90% kuota
sekolah negeri untuk menerima calon siswa berdasarkan jarak rumah-ke-sekolah dan
10% sisanya untuk prestasi dan perpindahan. Pekan lalu, kebijakan kuota siswa diubah
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi minimal 80% untuk jalur
zonasi, 15% jalur prestasi, dan 5% jalur pindahan.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017, No. 14
Tahun 2018, dan No. 51 Tahun 2018, Kementerian berargumen bahwa sistem PPDB
zonasi ini bertujuan meningkatkan akses layanan pendidikan di sekolah negeri, tanpa
memandang kelas ekonomi orang tua siswa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Muhadjir Effendy mengatakan PPDB zonasi juga bertujuan untuk menghapus predikat
sekolah favorit.

Anda mungkin juga menyukai