Anda di halaman 1dari 69

Tax Planning PPh Pasal 22, Pasal

23/26 dan PPh Final

Kelompok 5. Kangguru:
1. Erlina
2. Ismawati
3. Norvidianti
4. Riskia Zuliannisa
5. Siti Mariam
Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang
dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-
lembaga negara lainya berkenaan dengan
pembayaran atas penyerahan barang, dan
badan-badan tertentu baik badan pemerintah
maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-
254/KMK.03/2001 sebagaimana telah diubah diakhir
dengan PMK No. 08/PMK.03/2008, pajak ini menyangkut
PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 22 Bendaharawan dan
BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan
penyerahan barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPH
Pasal 22 atas kegiatan usaha lain (hasil penjualan: produksi
pertamina, produksi rokok, semen, otomotif, baja, kertas,
dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang yang
tergolong sangat mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008).
Tarif

Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 ini bervariasi, tergantung apakah
perusahan punya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan kalau
tidak dikuasai artinya barang tak bertuan.
1. Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 2,5% dari nilai impor (API)
2. Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang (Non API)
3. Dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 7,5% dari harga jual lelang (barang
tidak dikuasai)
Persentase tersebut dihitung dari harga barang atau nilai CIF + BM
(Cost Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan (jika
ada)).
Tentu yang dipikirkan oleh Tax Planner adalah mencari tarif
terendah, sehingga dalam melakukan impor, Tax Planner yang baik
akan merekomendasikan impor dengan API.
Rate yang berbeda juga akan mendorong
orang untuk lari ke API, bagaimana caranya?

Bagaimana mungkin importir yang punya API


memperbolehkan menggunakan fasilitas API nya
kepada pemilik barang yang kurang atau tidak
dikenalnya?

Tax Planner bisa tersenyum karena “berhasil” menekan beban PPh


Pasal 22 menjadi 5%, dari yang tadinya 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan
untuk menghemat cash Flow perusahaan selama masa tertentu.
Walaupun pada akhirnya PPh pasal 22 ini akan menjadi kredit pajak
dari PPh Badan yang terutang dalam SPT tahunan PPh Badan (bila
perusahaan dapat profit).
Dalam dunia Shipping (laut dan udara) kita menganal
adanya “Handling Fee” yakni jumlah fee yang harus
dibayarkan berdasarkan perjanjian handling fee antara
importir yang mempunyai API dengan pemilik barang atas
jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling fee tersebut,
dipotong PPh Pasal 23.

Bila benefitnya (5%) > cost of handling fee yang


dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%) maka si pemilik barang
masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22
sebesar 3% - 3,5% dari harga barang impor tadi (yakni dari
cost insurance & freight + bea masuk).
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai atau barang tidak
bertuan adalah membayar rate yang sama dengan dikenakan pada
non API. Bagi tax planer, banyak hal yang bisa dimanfaatkan dalam
hal barang yang tidak dikuasai ini. Memang brang tak bertuan ini,
tidak (mau) diketahui siapa pengimpornya.

Mengapa barang tersebut menjadi barang


tidak bertuan?

Bagaimana jika importir atau pemilik barang


ingin menebus semuanya?

Total pengeluaran yang harus dibayarkan sama atau lebih besar


dari nilai jual barang tersebut. Mengikhlaskan saja untuk pemerintah
buat dilelang karena bagi mereka tidak ada lagi nilai tambah (cost >
benefit), bahkan justru akan menambah kerugian.
Resiko perusahaan yang meminjamkan benderanya harus berhati-hati
karena transaksi peminjaman bendera ini dapat menimbulkan masalah
pajak dan masalah hukum dimana transaksi tersebut dimanfaatkan untuk
hal-hal negatif atau melanggar hukum. Bila hal ini terjadi maka pihak yang
harus bertanggung jawab adalah pihak perusahaan yang meminjamkan
benderanya itu.

Tax management dan tax planing yang baik mensyaratkan beberapa hal,
seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk akal
(reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai
(kontrak, invoice, dan sebagainya). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi
koreksi fisikal pihak fikus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah
dengan membuat kontrak yang jelas dan secara transparan
mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.

Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh Psal 22


yang tidak bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang bersifat final
tidak dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption)
PPh Pasal 22
Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
yaitu:

1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan


ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang
pajak penghasilan

2. Impor barang yang dibebasakan dari pungutan Bea Masuk


dan atau Pajak Pertambahan Nilai sebgaimana ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Keuangan N0. 254/KMK.03/2001
yang telah berubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan
236/KMK/.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir
diubah dengan PMK No. 08/PMK.03/2008.
CONTOH KASUS
Perusahaan PT A (BUMN), yang memiliki fasilitas bebas impor
barang (impor atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang
bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN [PP No. 12
Tahun 2001] sebagaimana telah diubah ketigakalinya, terakhir
dengan PP No. 7 Thaun 2007), dan juga dibebaskan dari pungutan Ba
Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai (KMK No.
254/KMK.03/2001 yang terakhir diubah dengan PMK No.
08/PMK.03/2008, artinya, segala sesuatu yang menyangkut pajak-
pajak impor, dibebaskan yaitu Bea Masuk,PPh impor, dan PPN impor.

PT A memiliki rekanan ontraktor yaitu PT B (kontraktotr).


Sebebenarnya PT B ini juga mempunyai API tapi dia tidak
memanfaatkan API nya sendiri, tapi menyuruh PT A menggunkan API
nya. Jadi segala sesuatu yang melaksankan impor seolah-olah PT A,
padahal dalam pelaksanaanya di lapangan yang mengeksekusi PT B.
Kenapa demikian ?
Pengajuan SKB PPh Pasal 22
Sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002,
wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dari
pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak
lain kepada Direktur Jenderal Pajak karena:

1. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat


menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena
mengalami kerugian fisikal.
2. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fisikal
sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari
perkiraan penghasilan neto tahun pajak yang bersangkutan.
3. Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak
Penghasilan yang akan datang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh final dapat diajukan permohonan
Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang memenuhi kriteria seperti
yang dimaksuda dalam keputusa Dirjen Pajak tersebut dan tax planer yang baik
akan selalu memanfaatkan momentum kapan permohonan SKB PPh Pasal 22
tersebut diajukan agar tidak terjadi lebih bayar pajak penghaslian.

Ketentuan Pasal 22 UU No. 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa menteri


keuangan dapat menetapkan bendahara pemerintak untuk memungut pajak
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, badan-bdan tertentu
untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang
impor atau kegiatan usaha di bidang lain, dan wajib pajak badan tertentu untuk
memungut pajak dari pembeli atas penjuala barang yang tergolong sangat
mewah.

Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan


pajak diatur dengan Peraturan Menteri keuangan. Ketentuan Menteri Keuangan
mengenai pengenaan PPh Pasal 22 diatur dalam KMK 254/KMK.03/2001
sebagaimana telah diubah terkhir dengan PMK No. 08/PMK.03/2008. Secara garis
besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat 3 kelompok yaitu :
1.PPh Pasal 22 Impor
Besarnya PPh Pasal 21 Impor adalah:
a) Yang menggunkan angka pengenal impor (API):
• Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir dikenai tarif
sebesar 0,5% dari nilai impor.
• Selain impor gandum dan tepung terigu oleh importir yang memiliki API
tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.

b)Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% dari nilai impor

c) Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% dari harga jual lelang

Catatan:
• Nilai impor : Harga Patokan Impor (nilai CIF) + Bea Masuk + Bea Masuk
Tambahan (jika ada)
• Kurs yang digunkan untuk menghitung nilai impor adalah kurs
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
PPH Pasal 22 impor tersebut dipuungut oleh ditjen Bea dan Cukai
atau bank Devisa pada saat pembayaran bea masuk. PPh Pasal 22
impor merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh
terutang di akhir tahun pajak.
• Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final
• Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang
atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh Final, tidak dikenai
PPh Pasal 22 impor.
• WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang
yang bersangkutan
• Jika kemudian tidak diketahui atas impor tersebut tidak digunakan
untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh Final, maka PPh Pasal 22
yang terutang akan ditagih beserta dengan sanksi bunganya.
2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD
Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang
dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut
adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang dipungut pada saat
pembayaran. Pemungutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran, Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) atau BUMN/D yang dananya
berasal dari APBN/D.

PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak


penjual dan harus setor oleh pemungut dengan menggunakan SSP
atas nama Wajib pajak yang dipungut (penjual).
3. PPh Pasal 22 atas Kegiatan Usaha Lain
Tabel berikut ini memperlihatkan rincian besarnya PPh Pasal 22
untuk kegiatan usaha lain yang harus dipungut oleh wajib pajak
pemungut di mana tarifnya sanagt bervariasi tergantung pada jenis
usahnya:
Tabel IV-1
Objek PPh Pasal 22

(sumber: Softindo Exac Library Enterprise, April 2014 yang


disesuaikan oleh penulis)
Excl. PPN = tidak termasuk PPN
Catatan:
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
210/PMK.03/2008, sejak 1 Januari 2009 industri rokok tidak lagi
ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22.
4. PPh Pasal 22 atas Penjualan Brang yang
Tergolong Sangat Mewah

Sesuai dengan PMK No. 253/PMK.03/2008 tentang wajib pajak


badan tertentu sebagai pemungut PPh dari pembeli atas penjualan
barang yang tergolong sangat mewah, pemungut pajak adalah wajib
pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong
sangat mewah yang diwajibkan memungut pajak penghasilan pada
saat melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Besarnya pajak penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual,


tidak termasuk PPN dan pajak penjualan atas barang mewah
Barang yang tergolong sangat mewah sebagaimana dimaksud adalah:

• Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 10 miliar.


• Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10 miliar.
• Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya
lebih dari Rp 10 miliar dan luar bangunan lebih dari 500 m2.
• Apertemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp 10 iliar dan atau luas bangunan lebih dari
400 m2.
• Kendaranan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari
10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose
vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp
5 miliar dan dengan kapasitas silinder dari 3.000 cc.
Pasal 23
Merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang
diperbolehkan wajib pajak dalam negeri dan BUT yang berasal
dari modal , penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan
selain yang telah dipotong PPh pasal 21
Pemotong PPh pasal 23/26
• Badan pemerintah
• Subjek pajak badan dalam negeri
• BUT atau perwakilan perusahaan dalam negeri
• Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu :
Akuntan, arsitek, dokter,notaris,PPAT(kecuali camat),pengacara, konsultan yang
melakukan pekerjaan bebas
Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan
pembukuan

Objek Pajak PPh pasal 23/26


• Wajib pajak dalam negeri
• BUT
• Wajib pajak luar negeri

Subjek pajak PPh pasal 23/26


Penghasilan yang berasal dari:
• Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi
• Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan
• Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak dan orang pribadi selain yang
telah dipotong PPh pasal 21
Tarif pengenaan PPh pasal 23
• 15% dari penghasilan bruto:
 Dividen, kecuali yang diterima BUMN/BUMD, koperasi dengan syarat kepemilikan
saham miniman 25% (kecuali koperasi) dan dividen tersebut diambil dari laba ditahan
 Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
 Royalti
 Hadiah dari penghargaan lain selain yang telah dipotong PPh pasal 21
• 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga sebagai simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan menteri
keuangan
• 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain selain sehubungan dengan
penggunaan harta yang telah dikenai PPh final
• Imbalan sehubungan dengan jasa tehnik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telahdipotong di PPh pasal 21
• e) Tarif sebesar 100% dari besaran PPh 23 yang berlaku untuk badan yang tidak memiliki
NPWP
• Objek-objek pajak PPh pasal 23 lainnya yang tidak disebutkan disini, terdapat dihal 146-
150
Jumlah bruto juga memiliki beberapa pengecualian, diantaranya:

a) Pembayaran gaji, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang berupa


imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan wajib pajak penyedia
tenaga kerja pada karyawan berdasarkan dengan kontrak dengan pengguna jasa.

b) Pembayaran yang dilakukan atas pengadaan atau pembelian barang, yang


kemudian dibuktikan dengan adanya faktur pembelian.

c) Pembayaran ke pihak kedua yang berperan sebagai perantara kemudian baru


dibayarkan ke pihak ketiga. Hal ini dibuktikan dengan adanya faktur tagihan pihak
ketiga dan perjanjian tertulis antara pihak terkait.

d) Reimbursement atau penggantian pembayaran sesuai dengan jumlah yang


dibayarkan pihak kedua ke pihak ketiga dengan bukti faktur tagihan yang telah
dibayarkan pada pihak ketiga.
Metode Gross Up PPh pasal 23 • PT Dinding Dingin melakukan pembayaran atas
yang ditanggung oleh pemberi jasa akuntansi kepada CV Lantai Licin, keduanya
kerja/ pemberi penghasilan Pengusaha Kena Pajak, senilai Rp18.000.000,-
Metode ini artinya nilai jasa yang pada tanggal 01 Maret 2017. Namun CV Lantai
hendak dibayarkan sudah Licin tidak mau dipotong PPh Pasal 23 sehingga
memperhitungkan PPh Pasal 23 yang PT Dinding Dingin melakukan gross up atas nilai
seharusnya dipotong dan disetorkan ke sewa menjadi Rp18.367.347,- (dari hasil
negara. Dengan langkah seperti ini, Rp18.000.000 x 100%/(100%-2%)). Maka jurnal
perusahaan membebankan PPh Pasal dari sisi PT Dinding Dingin adalah sebagai
23 kepada dirinya sendiri dan berikut:
melakukan pemotongan serta
menyetorkan ke kas negara. Kondisi ini
Uraian Debit Kredit
biasanya terjadi jika penyedia jasa Beban Jasa Rp18.367.
adalah perusahaan yang belum ber- –
Akuntansi (gross up) 347
NPWP (tarif 4%) atau memang sengaja
tidak mau dipotong PPh Pasal 23 (2%). PPN Masukan (10% Rp1.836.7

Namun agar konsisten dalam x Rp18.367.347) 35
pembukuan, setiap dokumen yang
terbit dengan perhitungan gross        Hutang PPh
up harus mencantumkan nilai yang Pasal 23 (2% x – Rp367.345
konsisten yaitu nilai sebesar setelah Rp18.367.347)
dilakukan perhitungan gross up.
Rp19.867.7
       Kas –
Analisis Ekualisasi Objek Pajak PPh
23 pada SPT Tahunan PPh badan
• Contoh:
dengan SPT Masa PPh pasal 23 • Berikut ini adalah rekapitulasi
Ekualisasi yaitu mencocokan jumlah dari ekualisasi PPh pasal 23
penghasilan bruto dalam SPT masa PPh pasal
23 dengan pos pengeluaran yang menjadi Jumlah PPh pasal 23 Rp. 400.000.000
objek pemotongan PPh pasal 23. ekualisasi ini menurut tax review,
ada karena banyak kasus pengenaan kurang berdasarkan
ayar atas pemotongan PPh pasal 23 dan penjumlahan
transaksi dari
mengakibatkan terbitnya SKB karena sebab keseluruhan objek
berikut: pajak PPh pasal 23
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi
objek pajak PPh pasal 23 yang belum
dilakukan pemotongan oleh wajib pajak Jumlah PPh pasal 23 Rp. 200.000.000
pemberi kerja menurut SPT Masa
PPh pasal 23
2. Jumlah PPh pasal 23 yang disetorkan ke
kas Negara tidak cocok atau lebih rendah Kekurangan bayar Rp. 200.000.000
atau setor PPh pasal
dari jumlah yang dipotong oleh wajib 23
pajak
3. Jumlah PPh pasal 23 yang dibukukan di
buku besar atau ledger pembukuan tidak
cocok dengan SPT Masa PPh pasal 23
Denda
• Kelalaian atau keterlambatan dalam
penyelesaian kurang bayar atau setor PPh
pasal 23 tersebut , maka WP membayar bunga
pajak sebesar 2% setiap bulannya maksimum
24 bulan (pasal 13 ayat 2 UU KUP)
Pajak Penghasilan Pasal 24
• Merupakan pajak yang terutang atau dibayarkan
di luar negeri atas penghasilan yg diterima atau
diperoleh dari luar negeri yang dapat dikreditkan
terhadap pajak penghasilan yang terutang atas
seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.
• Pengkreditan pajak luar negeri tersebut
dilakukan dalam tahun pajak digabugkan
penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan
di dalam negeri.
Subjek dan Objek PPh pasal 24
Wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas
seluruh penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri
Penggabungan penghasilan
Penggabungan penghasilan dari luar negeri dilakukan sbb:
1. Untuk penghasilan dari usaha, dilakukan dalam tahun pajak
diperolehnya penghasilan tsb
2. Untuk penghasilan lainnya yg dilakukan dalam tahun pajak
diterimanya penghasilan tersebut
3. Untuk penghasilan berupa dividen yg diperoleh wajib pajak
dalam negeri atas penyertaan modal sekurang-kurangnya 50%
dari jumlah saham yg disetor, atau secara bersama-sama dengan
wajar dalam negeri lainnya sekurang-kurangnya sebesar 50% dari
jumlah saham yg disetor pada badan usaha diluar negeri
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam
tahun pajak pada saat perolehan dividen tsb.
Pajak luar negeri yg dapat dikreditkan

Pajak yg dikenakan dari penghasilan yg secara


langsung diterima wp dari luar negeri, dan atas
penghasilan dari luar negeri yg diterima atau
diperoleh dalam tahun pajak yg sama
Batas maksimum kredit pajak
• Jumlah pajak yg terutang atau dibayar diluar
negeri
• (Penghasilan luar negeri/ seluruh penghasilan
kena pajak) x pph atas seluruh yg dikenakan
tarif pasal 17
• Jumlah pajak yg terutang untuk seluruh
penghasilan kena pajak (lebih kecil dari
penghasilan luar negeri)
Pph 24 wajib pajak orang pribadi
Informasi terkait penghasilan yang terdapat
pada ilustrasi sebelumnya dipergunakan
kembali, kecuali atas perubahan bahwa subjek
pajak yang kini dilibatkan adalah Tuan Iskandar
Muda, seorang lajang yang tinggal bersama
seorang anak berusia setara SD.
Pajak Penghasilan Pasal 26

PPH Pasal 26 ini dikenakan kepada wajib pajak


luar negeri (WPLN). Aspek yang
memeprengaruhibnisalnya adalah rate- nya.
Dalam PPH Pasal 26 ini tariff pemotongan atas
pembayaran kepada WPLN dalah 20%, dengan
memperhatikan ada tidaknya tax treaty (P3B,
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ). Kalau
tax treaty nilai efektifnya 10%, tapi bisa juga 5%
dan bisa juga 0%.
Pasal 26 ayat (1)
Imbalan sehubungann dengn jasa , pekerjaan dan Kegiatan
1. Bila ada tax treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN kurag dari time test (uji waktu)
• Tidak ada BUT, maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima
oleh WPLN
• Syarat : agar pemotongan pajak bisa dilakukan sesuai tax treaty, WPLN harus dapat
menunjukkan agar memberikan Certificate Of Residence Tax Payer (CRT) ata Certificate Of
Domicile (COD) dari Competent Authority di Negara bersangkutan
b. Jika pemberianjasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu)
• Ada BUT, maka Indonesia berhak mengenakan pajak atas pengahsilan yang diterima oleh WPLN
bersangkutan yang berupa:
• *Corporate Tax (Tarif PPH Pasal 27)
• * Branch Profit Tax (tariff PPH Pasal 26)
2. Bila tidak ada Tax Treaty
a. Jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji waktu)
• Ada BUT, maka Indonesia mengenakan pajak :
• *basis bruto dan tariff tunggal 20%
b. jika pemberian jasa oleh WPLN melebihi time test (uji wkatu)
• ada BUT , maka Indonesia mengekan pajak :
*basis bruto dan tariff pasal 17 UU PPH
Bunga Offshare
• Ada contoh kasus bank dalam negeri buka cabang di luar negeri. Mereka membuka
cabang di tax heaven country, katakannnlah cook island. Disana penghasilan bank bebas
pajak, sehingga banyak perusahaan membuka cabang di luar negeri berharap dana
offshare yang kemudian disalurkan kedalam neger.

• Dalam keadaan nrmal, jika bank membayar bungan akan dikenakan PPH Oasal 26 yang
tarifnya tergatung pada tax treaty – nya. Sekarang permasalahannya , bagaimana cara
memungut PPH Pasal 26 nyz ?

• Pph pasal 23 dan 26 kapan saat terutangnya? Saat dibayarkan terutang pajak. Yang jadi
permasalahan adalah terutang menurut pembukuan. Prmbukuan menggunakan accual
consept, asal sudah di bebankan sebagi biaya , harus membayar PPH Pasal 26. Kalau
sekarang alagi trend kurs. Seorag tax planner harus memprediksikan trend kurs ini naik
atau turun. Kalau trend kurs nya naik menjadi 15.000 dan katakanlah jatuh temponya
bulan februari tahu depan. Tax planner akan beusaha membebankan pada abulan
desember tahun ini, supaya dia membayar PPH Pasal 26 nya lebih dulu atau sejarang
dengan kurs yang lebh rendah . kebalikannya kalau trend kurs nya menurun,
membayranya belakangan saja. Itulah shifting from one period to another, atau kalau
dalam literature istilahnya mendeferall atau menangguhkan.
Tarif dan pengenaan PPh Pasal 26
• Penggenaan PPH Pasal 26 tersebut, adalah:
• Dikenakan sebesar 20% dari jumlah bruto an bersifat finl atas penghasilan WPLN yang
berupa :
• Bunga, divde, royalty, sewa, dn imbalan lain segubungan dengan penggunaan harta.
• Pengahilan kena pajak setelah dikurangi PPH dari suatu BUT , kecuali ditanamkan
kembali di Indonesia dengan syarat:
• Penanaman kembali dilakukan atas sluruh pengahsilan kena pajak setelah dikurang
pajak penghasilan dalam bentuk pemyertaan modal pada perusahaan yang abru
didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendri atau peserta pendiri
• Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana
dimaksudkan pada huruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan
akte pendiriannya, paling lama 1 tahu sejak perusahaan tersebut didirikan.
• Peanaman kembali dilakukan salam tahun pajak berjalan atau paling lama tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut.
• Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali paling singkat dalam jangja wktu
2 tahun sesudah perusahaa baru tersebut berproduksi komersial.
• Dikenakan sebesar 20% dari perkiraan penghasilan netto
dan bersifat final atas peghasilan WPLN berupa:
• Penghasilan dari pemjualam harta di Indonesia
(20%x25%xharga jual)
• Premi asurnsi yang dibyarkan ke luar negeri :
• Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di
luar negeri oelh tertanggung (20%x50%jumlah premi)
• Premi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi LN
oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di
Indonesia (20%x10%x jumlah premi)
• Premi yang dibayarkan kepafa perusahaan asuransi LN,
oleh perusahaam reasuransi yang berkedudukan di
Indonesia (20%x5%xjumlah premi)
• Apabila transaksi yang terjadi dalah diantara
penduduk Indonesia dengan pendduduk neara lain
yang telah memliki tax treaty, maka ketentuan yan
dipergunakan mengacu pada ketemtuam tax treaty.
• Agar pemotongn pajak bisa dilakukan sesuai tax
treaty, WPLN harus dapat menunjukkan dan
memberikan Certificate of Residence Taxplayer (CRT)
atau Cetificate of Domicilie (COD) atau surat
keterangan domisili pebayar pajak dari Competent
authority di negaranya.
Penggunaan Metode Gross Up atau Pajak Penghasilan PPH Pasal 21 dan PPH
Pasal 26 yang Ditanggug oleh Pemberi Penghasilan/Pemberi Kerja.
(pasal 4 huruf d PP.Nomor 138 Tahun 2000)

Contoh 1
PT ABC membayar bunga pinjaman kaepada bank di luat negeri
sebesr 100.000.000 yang sesuai dengan perjanjian, pajak
penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif
pemotongan PPH Pasal 26 yang berlaku dalah 20%
Dasar pengenaan PPH pasal 26 =
100/80 x 100.000.000 = 125.000.000
Pph pasal 26 yang terutang =
20% x 125.000.000 = 25.000.000
Jumlah biaya bungan yang oleh dikurangkan dari penhasilam
bruto PT ABC dalah 125.000.0000 (=100.000.000 +25.000.000)
Contoh 2
• Atas penerbitan global bnds senilai 1.000.000.000 dolar AS dengan
tingkat bunga (kupon) tetap sebesar 6,75% semi annually(yang
dibayar setiap tanggal 10 maret dan 10 september) dan akan jatuh
tempo pada tanggal 10 maret 2014 (10 tahun)nyang ditunjukkan
bagi para investor yang ber kedudukan di luar negeri

• Pertanyaannya : bagaimana perlakuan perpajakn obligasi negara


dalam valuta asing tersebut ?

Jawabannya : tetap dapat dikenai pajak penghasilan dengan


metode gross up. Pengenaanya dengan meleakukan groos up
terhadap pembayaran bungan tersebut. Dalam bunga yang
dibayarkan sudah termasuk pajak penghasilan pasal 26, tergantung
tarif yang erlaku , apakah sesuai dengan pasal 26 UU PPH atau
dengan P3B , apabila ada P3B anatra indonesai dengan negara
pembeli.
Analisi Ekualissi Objek pph pasal 26 pada SPT Tahunan
PPH Badan dengan SPT Masa PPH Pasal 26
• Ekualisasi tersebut mengindikasikan adaya potensi kekurangan
bayar atau setor PPH Pasal 26 sebesar 300.000.000 yang harus
dilakukan pengecekkan lebih lanjut oleh wajib pajak terhadap
bukti bukti poendukung dan transaksi transakis apa saja yang
dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah disetujui.

• Jika ada kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian


kurang bayar atau setor PPH Pasal 26 tersebut hanya akan
menambah beban bagi wajib pajak dari pengenaan bunga pajak
2% setiap bulannya maksumum 24 blan (pasal 13 ayat 2 UU
KUP)
PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT (2) FINAL
Pajak yang terutang dan dibayarkan seketika penghasilan diperoleh atau
diterima. Pemotongan dilakukan oleh pemberi penghasilan, atau pihak lain yang
ditentukan.
Ketika dilakukan penghitungan pajak terutang di akhir tahun, penghasilan yang
dikenai pajak bersifat final tidak diperlakukan sebagai penambah penghasilan.
Kewajiban perpajakannya dianggap telah selesai saat pemotongan.

Pokok Perubahan UU PPh No. 36 Tahun 2008 Atas Objek Pajak Pasal 4 Ayat (2)
Karakteristik PPh Final Pasal 4 ayat (2)
• Pengenaannya diatur khusus dengan peraturan pemerintah
• Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabung dengan
penghasilan lainnya (dianggap selesai/rampung)
• Jumlah PPh final baik yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan
• Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan yang dikenai
PPh final tidak dapat dikurangkan
Objek PPh Final Pasal 4 Ayat (2)

• Diskonto/bunga obligasi dan surat utang negara


• Penghasilan dari transaksi penjualan saham, obligasi dan sekuritas lainnya
yang diperdagangkan di Bursa Efek
• Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI
• Penghasilan berupa hadiah atas undian
• Penghasilan atas sewa tanah dan/atau bangunan
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
• Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
• Bunga dan/atau diskonto obligasi dan surat berharga negara (SBN)
• Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi
• Penghasilan atas dividen yang diterima oleh WP orang pribadi dalam negeri
• Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu
1. Diskonto atau bunga obligasi yang diperdagangkan dan/atau
dilaporkan perdagangannya di bursa efek (PP No. 6 Th 2002)
Pengecualian aturan:
• Pemotongan PPh tidak bersifat final apabila penerima
penghasilan adalah orang pribadi dalam negeri, yang
seluruh penghasilannya termasuk penghasilan bunga dan
diskonto obligasi tersebut dalam satu tahun pajak tidak
melebihi jumlah PTKP (bisa direstitusi)
• Tidak dilakukan pemotongan jika penerima penghasilan
adalah:
• Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia
• Dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya
teah disahkan oleh menteri keuangan
• Reksadana yang terdaftar pada Bapepam selama lima
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau
pemberian izin usaha.
2. Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek
(PP 41/1994 jo. PP 14/1997)

• Besarnya Pajak Penghasilan:


• 0.1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan
• Saham pendiri dikenai tambahan PPh sebesar 0.5%
dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan
bursa di akhir tahun 1995
• Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di
bursa efek setelah 1 Januari 1997, nilai saham sebagai
dasar pengenaan tarif 0.5% ditetapkan sebesar harga
saham pada saat penawaran umum perdana
3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI (PP
131/2000)
Tarif Dasar Pengenaan Tarif Dasar Pengenaan
(WP DN dan BUT) (WP LN)

Pph (Final) = 20% x Bruto Pph (Final) = 20% x Bruto


(Atau sesuai tarif P3B )

Pemotong, Penyetor, dan Pelapor

• Bank yang membayarkan bunga dan diskonto.


• Dana pensiun yang disahkan Menkeu dan bank yang
menjual kembali SBI dan sertifikat deposito.
• Kantor pusat bank di Indonesia atas bunga tabungan dan
deposito yang ditempatkan di cabang LN.
• Kantor cabang bank LN atas bunga tabungan dan deposito
yang ditempatkan di luar negeri.
• Objek Dikecualikan dari Pemotongan
• Bunga dan diskonto atas deposito, tabungan,
dan SBI yang < Rp 7.500.000,00.
• Bunga dan diskonto yang diterima atau
diperoleh bank di Indonesia atau cabang bank
LN.
• Bunga dan diskonto yang diterima atau
diperoleh dana pensiun yang disahkan Menkeu.
• Bunga tabungan dalam rangka kepemilikan
Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat
Sederhana (RSS) berikut kavling siap bangun.
4. Penghasilan berupa hadiah atas undian (PP 132/2000)

• besarnya PPh yang wajib dipotong atau


dipungut adalah 25% dari jumlah bruto hadiah
undian
• yang wajib memotong atau memungut PPh
adalah penyelenggara undian
5. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan (PP
29/1996 jo PP 5/2000)

• Sewa tanah dan bangunan: tanah, rumah


susun, apartemen, kondomium, gedung
kantor, rumah kantor, toko, rumah toko,
gudang, industri
• Tarif pemotongan PPh: bagi orang pribadi dan
badan adalah 10% dari jumlah bruto
6. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi (PP No. 51 Tahun
2008)

Penyedia jasa adalah bentuk usaha tetap (BUT), tarif PPh


tersebut tidak termasuk PPh atas sisa laba bentuk usaha tetap
setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final.
7. Objek PPh Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
(PP 48/1994 jo PP 71/2008)

a. Objek PPh Pengalihann Hak atas Tanah dan atau Bangunan (PPh PHTB)
• Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan
hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah.
• Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, atau cara lain
yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan, termasuk
pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
• Penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, atau cara lain
kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan persyaratan khusus.
b. Tarif
1. 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
2. atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhan yang
dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% dari jumlah bruto
nilai pengalihan.
c. Sifat
• Pembayaran PPh PHTB oleh siapa pun (baik WPOP, yayasan, badan termasuk
yang bisnis utamanya mengalihkan tanah dan atau bangunan) bersifat final.

d. Pengecualian Objek PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan atau bangunan:
• OP berpenghasilan di bawah PTKP yang mengalihkan hak atas objek bernilai
bruto < Rp 60.000.000,00 dan tidak dipecah – pecah.
• OP atau badan yang mengalihkan hak kepada pemerintah guna
pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan
khusus.
• OP yang mengalihkan hak melalui hibah kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat.
• OP atau badan yang mengalihkan hak melalui hibah kepada badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, dan
OP yang menjalankan UMKM.
• Pengalihan melalui warisan.
• OP atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.
8. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang
pribadi dalam negeri (PP No. 19 Th 2009)

Pemotongan:
• Atas penghasilan berupa dividen (termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi) yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenai
Pajak Penghasilan sebesar 10% dari jumlah bruto dan
bersifat final
• Pajak Penghasilan yang bersifat final dilakukan melalui
pemotongan oleh pihak yang membayar atau pihak lain
yang ditunjuk selaku pembayar dividen. Pemotongan
dilakukan pada saat dividen disediakan untuk dibayarkan.
9. Bunga dan atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga
Negara (SBN); (PP No. 16 tahun 2009 Jo. PMK
No.85/pmk.03/2009)

Bunga dan Diskonto Obligasi


Bunga obligasi adalah imbalan yang diterima dan atau diperoleh
pemegang obligasi dalam bentuk bunga atau diskonto
Tidak berlaku apabila:
1. WP dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
h UU No 7 Th 1983 tentang PPh dan terakhir diubah menjadi
UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
2. WP bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.
Besarnya Pajak Penghasilan:
a. Bunga obligasi dengan kupon:
• WPDN dan BUT  15% X Bruto
• WPLN  20% X Bruto bunga (atau sesuai tarif P3B)
b. Diskonto obligasi dengan kupon:
• WPDN dan BUT  15% X Bruto
• WPLN  20% X selisih lebih hrg jual atau nilai nominal di atas hrg perolehan
obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (atau sesuai tarif P3B)
c. Diskonto obligasi tanpa bunga:
• WPDN dan BUT  15% X Bruto
• WPLN  20% X selisih lebih hrg jual atau nilai nominal di atas hrg perolehan
obligasi (atau sesuai tarif P3B)
d. Bunga dan atau diskonto dari obligasi yang diterima dan atau diperoleh wajib
pajak reksadana yang terdaftar pada Bapepam dan Lembaga Keuangan:
• 0%  thn 2009 – 2010
• 5%  thn 2011 – 2013
• 15%  thn 2014 dst
Surat Berharga Negara
• Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan
berupa bunga atau imbalan surat berharga negara
yang diterbitkan di pasar internasional,
ditanggung oleh pemerintah.
• Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan
pihak ketiga atas jasa yang diberikan kepada
pemerintah dalam penerbitan surat berharga di
pasar internasional ditanggung oleh pemerintah
• Penerbitan di pasar internasional adalah kegiatan
penawaran dan penjualan surat berharga negara
dalam valuta asing di luar wilayah Indonesia.
10. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada
Anggota Koperasi Orang Pribadi (PMK No.
85/PMK.03/2008)

Besarnya pajak penghasilan:


• penghasilan bunga simpanan <= Rp240.000/bln
 0%
• penghasilan bunga simpanan > Rp240.000/bln 
10% X bruto bunga
Pajak penghasilan wajib dipotong oleh koperasi
yang melakukan pembayaran bunga simpanan
kepada anggota koperasi orang pribadi saat
pembayaran
11. Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
Badan atau WPOP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP
46/2013)

- WP yang memiliki peredaran bruto tertentu dengan kriteria:


• WPOP atau WP Badan tidak termasu BUT
• Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1 tahun
pajak.
- Tidak termasuk WPOP yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam
usahanya:
• Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap
• Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
- Tidak termasuk WP Badan adalah:
• WP badan yang belum beroperasi secara komersial
• WP Badan yang dalam jangka waktu 1 tahun beroperasi secara komersial memperoleh
peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00
- Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah 1%
- Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dala 1 tahun dari
tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final) pada SPT Tahunan
PPh Badan dengan SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 (Final)

Dalam banyak kasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan


PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus)
sehingga menyebabkan terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil
pemeriksaan tersebut. Disebabkan:
1. Ditemukannya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 4 ayat 2
(Final) yang belum dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi
kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang disetorkan ke kas negara tidak
cocok atau lebih rendah dari jumlah yang dipotong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 4 ayat 2 (Final) yang dibukukan di buku besar
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa Pasal 4 ayat 2 (Final)
Keterlambatan penyelesaian kurang bayar atau setor PPh
Pasal 4 ayat 2 (Final) tersebut hanya akan menambah
beban tambahan bagi wajib pajak dari pengenaan bunga
pajak @2% setiap bulannya maksimum 24 bulan (Pasal 13
ayat 2 UU KUP)
Pph pasal 15
Yang dikenakan berdasarkan norma perhitungan khusus (NPK) yg meliputi
1. Pph atas sewa pesawat dalam neger, tarif pajaknya 1,8% dari peredaran
bruto dan bersifat tidak final
2. Pph final perusahaan pelayaran dalam negeri, tarif pajaknya 1,2% dari
peredaran bruto dan bersifat final
3. Pph final perusahaan pelayaran/ penerbangan luar negeri, tarif pajaknya
2,64% dari peredaran bruto dan bersifat final
4. Pph final atas wajib pajak luar negeri yg mempunyai kantor perwakilan
dagang di indonesia,tarif pajaknya 0,44% dari ekspor bruto dan bersifat
final
5. Penghasilan neto wajib pajak BUT dari kegiatan usaha pengeboran
minyak dan gas bumi, tarifnya 15% dari peredaran bruto bersifat tidak
final
Tax planning 22/23/26 dan pph final
Beberapa hal krusial dalam penanganan pph pasal
22/23/26 dan pph final:
1. Masalah Pembuatan Kontrak
hal yg harus diperhatikan adalah masalah
pembuatan kontrak, kontrak bisa dikatakan sebagai
cikal bakal terjadinya transaksi antara pihak-pihak
terkait. Oleh karena itu kesepakatan yg dibuat dalam
kontrak harus mencakup kesepakatan yg di buat
didalam kontrak yg memengaruhi hak dan kewajiban
perpajakan masing-masing pihak.
2. Konflik dalam withholding tax
akan terjadi jika penerima penghasilan tidak bersedia
dipotong pajaknya atau adanya perbedaan penafsiran mengenai
jenis pajak dan besarnya tarif yg dipotong.
3. Rekonsiliasi objek withholding tax dengan laporan keuangan
kewajiban dalam wajib pajak dalam kedudukan sebagai
pemotong atau pemungut perlu mendapat perhatian serius dari
perusahaan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian
perpajakan untuk memastikan bahwa seluruh objek withholding
tax sudah dilakukan pemotongan atau pemungutannya.
4. Klausul Kontrak dengan WPLN
disamping harus mengatur klausul secara jelas dan terinci,
khusus kontrak dengan wajib pajak luar negeri.
Tax planning pph pasal 25 orang pribadi

• Sesuai permenkeu No. 255/PMK.03/2008,


besarnya angsuran pph 25 untuk wajib pajak
orang pribadi pengusaha tertentu (yaitu wajib
pajak orang yg mempunyai perusahaan
tersebar dibeberapa tempat –Ref Per - Dirjen
pajak No.35/PJ/2009), Ditetapkan sebesar
0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap
bulan dari tempat masing-masing usaha
tersebut
SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai