Anda di halaman 1dari 61

BERSUMPAH SELAIN NAMA ALLAH

Sumpah biasanya diucapkan untuk menguatkan


dan membenarkan ucapannya, bahwa dia tidak
berdusta dan tidak salah dalam pengabarannya.
Dalam keadaan seperti ini tentunya seseorang
akan bersumpah dengan menggunakan siapa
yang dia merasa segan dan hormat kepadanya,
dan zat yang paling pantas untuk disegani,
dihormati, dan diagungkan adalah Allah
Ta’ala.
Tidak Boleh Bersumpah Dengan Selain Nama Allah

Dari Abdullah bin Umar -radhiallahu anhuma- dia berkata:


‫ير ِفي‬ ُ ‫اب َو ُه َو يَ ِس‬ ِ َّ ‫ع َم َر بْ َن ال َْخط‬ ُ ‫عل َيْ ِه َو َسل َّ َم أ َ ْد َر َك‬َ ‫ولالل َّ ِه َصلَّى الل َّ ُه‬ َ ‫أ َ َّن َر ُس‬
‫حالِفًا‬ َ ‫آبائِك ُ ْم َم ْن َك‬
َ ‫ان‬ َ ‫الأَل َا ِإ َّن الل َّ َه يَن ْ َها ُك ْم أ َ ْن تَ ْحلِفُوا ِب‬
َ َ‫ب يَ ْحل ِ ُف ِبأ َ ِبي ِه َفق‬ٍ ‫َر ْك‬
ْ ‫َفل ْيَ ْحل ِ ْف ِبالل َّ ِه أ َ ْو لِيَ ْص ُم‬
‫ت‬
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- menjumpai Umar
bin Al-Khaththab yang sedang menaiki hewan
tunggangannya, seraya dia bersumpah dengan nama
ayahnya. Maka beliau -Shallallahu alaihi wasallam- menegur,
“Ketahuilah sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah
dengan nama ayah-ayah kalian. Karenanya barangsiapa yang
mau bersumpah, hendaklah dia bersumpah dengan nama
Allah atau lebih baik dia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5643,
6155, 6156 dan Muslim no. 3104)
Dari Buraidah -radhiallahu anhuma- dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
َ َ ‫ف باأْل‬
‫س ِمنَّا‬
َ ْ ‫ي‬ ‫ل‬‫ف‬ َ ‫ة‬
ِ َ ‫ن‬ ‫ا‬‫م‬َ ِ َ َ ‫حل‬
َ ‫َم ْن‬
“Barangsiapa yang bersumpah dengan amanah, maka bukan
dari golongan kami.” (HR. Abu Daud no. 3253 dan dinyatakan
shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6203)
Dari Sa’ad bin Ubaidah bahwa Ibnu Umar mendengar seorang
laki-laki mengucapkan, “Tidak, demi Ka’bah.” Ibnu Umar lalu
berkata, “Tidak boleh bersumpah dengan selain Allah.
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
ْ ‫و َأ‬
‫ش َر َك‬ َ ‫فر أ‬
ْ َ َ ‫ك‬ َ ‫د‬
ْ ‫ق‬َ ‫ف‬ َ ‫ه‬ِ َّ ‫ل‬
‫ا‬ ‫ر‬
ِ ْ ‫ي‬‫غ‬َ ‫ب‬ ِ ‫ف‬َ َ ‫حل‬
َ ‫َم ْن‬
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia
telah kafir atau berbuat syirik.” (HR. Abu Daud no.
2829, At-Tirmizi no. 1535, dan dinyatakan shahih oleh
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6204)
Di antara bentuk ibadah adalah pengagungan
kepada Allah Ta’ala, karenanya barangsiapa yang
mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan
pengagungan ibadah maka dia telah terjatuh ke
dalam kesyirikan.
Di antara bentuk mengagungkan Allah adalah bersumpah
dengan menggunakan nama-Nya, karena sumpah biasanya
diucapkan untuk menguatkan dan membenarkan ucapannya,
bahwa dia tidak berdusta dan tidak salah dalam pengabarannya.
Dalam keadaan seperti ini tentunya seseorang akan bersumpah
dengan menggunakan siapa yang dia merasa segan dan hormat
kepadanya, dan zat yang paling pantas untuk disegani, dihormati,
dan diagungkan adalah Allah Ta’ala. Karenanya bersumpah
dengan menggunakan nama Allah adalah ibadah, dan sebaliknya
bersumpah dengan menggunakan selain nama-Nya adalah
kesyirikan -sebagaimana hadits Ibnu Umar di atas- karena
mengandung pengagungan kepada selain Allah Ta’ala walaupun
hanya berupa lafazh.
Kesyirikan yang kami maksudkan di sini adalah syirik asghar (kecil), karena
definisi dari syirik asghar adalah semua amalan yang menjadi wasilah atau
bisa mengantarkan kepada syirik akbar (besar). Orang yang bersumpah
dengan selain nama Allah, walaupun dia tidak berniat mengagungkan selai
Allah tersebut, akan tetapi sumpahnya dia ini bisa mengantarkan dia untuk
mengagungkan selain Allah tersebut dengan pengagungan yang berlebihan,
dan jika dia sampai seperti itu maka dia telah terjatuh ke dalam syirik akbar.
Karenanya walaupun kita katakan hukum asal
bersumpah dengan selain nama Allah adalah
syirik asghar, akan tetapi hukumnya bisa menjadi
syirik akbar yang mengeluarkan dari agama,
yaitu jika orang yang bersumpah ini
mengagungkan selain Allah itu dengan
pengagungan yang sama dengan Allah atau
bahkan lebih.
Di antara contoh sumpah selain Allah yang tersebar adalah: Bersumpah
dengan menggunakan orang tua, bersumpah dengan amanah, bersumpah
dengan ka’bah, bersumpah dengan nama Nabi Muhammad -alaihishshalatu
wassalam-, bersumpah dengan tanah air, dan seterusnya.
Bolehkah bersumpah dengan menggunakan sifat-sifat Allah?
Ia boleh, berdasarkan nash ayat, “Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau
aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS. Shad: 82) Maka di sini Iblis
bersumpah dengan sifat izzah (keperkasaan) Allah dan Allah Ta’ala tidak
mengingkarinya.
Maka dari sini kita bisa dengan mudah menjawab pertanyaan yang lain: Apa
hukum bersumpah dengan menggunakan mushaf?
Kita katakan dalam hal ini ada rincian:
Jika yang dia maksudkan dengan mushaf adalah lembaran-lembaran kertas
yang tertulis di dalamnya Al-Qur`an, maka tidak boleh bersumpah dengan
mushaf dalam makna ini. Karena kertas dan tinta yang ada di dalamnya
adalah makhluk.
Tapi jika yang dia maksudkan dengan mushaf adalah Al-Qur`an (firman Allah )
yang tertulis di dalam mushaf tersebut, maka boleh bersumpah dengannya.
Karena Al-Qur`an termasuk dari sifat kalam Allah, dan telah berlalu
penjelasan bolehnya bersumpah dengan menggunakan sifat Allah.
Jadi, bersumpah dengan Al-Qur`an boleh secara mutlak, sementara
bersumpah dengan mushaf, butuh dirinci dengan rincian di atas, wallahu
a’lam. Hanya saja perlu diingat bahwa bersumpah dengan Al-Qur`an pada
perkara dusta merupakan dosa yang sangat besar. Ibnu Mas’ud -radhiallahu
anhu- berkata, “Barangsiapa yang bersumpah dengan menggunakan satu
surah dari Al-Qur`an (untuk kedustaan) maka dia akan menjumpai Allah
dalam keadaan memikul dosa sebanyak jumlah ayat dari surah tersebut.”
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 206 dengan sanad yang shahih)
Barangsiapa yang  bersumpah dengan nama Allah tapi dia dusta dalam
sumpahnya maka dia wajib untuk membayar kaffarah, yaitu kaffarah yang
tersebut dalam surah Al-Maidah ayat 89:
1.    Mengandung 3 perkara yang boleh dipilih salah satunya:
a.    Memberi makan 10 orang miskin dengan makanan yang dimakan dalam
keluarganya.
b.    Memberi pakaian 10 orang miskin.
c.    Membebaskan seorang budak, yakni budak yang beriman
2.    Jika dia tidak bisa menjalankan ketiga perkara di atas, maka kaffarahnya
adalah berpuasa 3 hari, dan dalam qiraah Ibnu Abbas harus 3 hari berturut-
turut, wallahu a’lam.
Kedua kaffarah ini berurut, karenanya tidak syah membayar kaffarah ke-2 jika
dia masih bisa menjalankan salah satu dari 3 kaffarah yang pertama.
Adapun bagi siapa yang bersumpah dengan selain nama Allah walaupun dia
benar (apalagi jika dusta), maka tidak ada kaffarah atasnya karena itu
merupakan kesyirikan dan sumpahnya tidak syah. Karena dia terjatuh ke
dalam kesyirikan, maka dia disyariatkan untuk memperbaharui keislamannya
dengan mengucapkan: ‫ال إله إال الله‬
Walhamdulillahi Rabbil alamin.
Dari Qutailah radhiyallahu ‘anha,
diriwayatkan:
:َ ‫عل َيْ ِه َو َسل ّ َ َم َف َق‬
‫ال ِإنَّك ُْم‬ َ ‫أ َ َّن ي َ ُهو ِديًّا أَتَى الن ّ َ ِب َّي َصلَّى الل ّ َ ُه‬
.‫ َوالْك َْعبَ ِة‬:‫ُون‬ َ ‫ َوتَ ُقول‬،‫ت‬ َ ْ‫اء الل ّ َ ُه َو ِشئ‬ َ ‫ َما َش‬:‫ُون‬ َ ‫ تَ ُقول‬،‫ُون‬ َ ‫تُ ْش ِرك‬
‫حلِ ُفوا أ َ ْن‬ ْ َ‫ادوا أ َ ْن ي‬ُ ‫عل َيْ ِه َو َسل ّ َ َم ِإ َذا أ َ َر‬ َ ‫َفأ َ َم َر ُه ْم الن ّ َ ِب ُّي َصلَّى الل ّ َ ُه‬
‫ت‬ َ ْ ‫ئ‬ ‫ش‬ِ ‫م‬ ُ ‫ث‬
َّ ُ َ ‫ه‬َ ّ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫اء‬‫ش‬َ ‫ا‬ ‫م‬ : ‫ُوا‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ق‬
ُ َ ‫ي‬ ‫ن‬
ْ َ ‫ َوأ‬،‫بالْك َْعبَ ِة‬ ِ ‫ َو َر‬:‫يَ ُقول ُوا‬
َ
“Bahwasanya seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ّ
berkata, “Sesungguhnya kalian melakukan perbuatan syirik, kalian mengucapkan,
“Atas kehendak Allah dan kehendakmu”. dan mengucapkan, “Demi Ka’bah”. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat apabila hendak
bersumpah supaya mengucapkan, “Demi Tuhan Pemilik Ka’bah, dan
mengucapkan, “Atas Kehendak Allah kemudian atas kehendakmu“.”” (Hadits
riwayat An-Nasai dan dinyatakan shahih)
“Ucapan: “Atas Kehendak Allah Dan Kehendakmu”” ketegori Muslim.
Ucapan: “Atas Kehendak Allah Dan Kehendakmu”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Qutailah Radhiyallahu ‘anhu
menuturkan:
“Bahwa ada seorang Yahudi datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik,
kamu mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’ dan
mengucapkan: ‘Demi Ka’bah’.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah supaya
mengucapkan: ‘Demi Tuhan Pemilik Ka’bah’ dan mengucapkan: ‘Atas
kehendak Allah kemudian atas kehendakmu’.”
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma menuturkan:
“Bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Atas
kehendak Allah dan kehendakmu.’ Maka ketika itu bersabdalah beliau: “Apakah kamu
menjadikan diriku sebagai sekutu untuk Allah? Hanya atas kehendak Allah saja.”
Diriwayatkan Ibnu Majah dari Ath-Thufail, saudara seibu dengan ‘Aisyah, ia berkata:
“Aku bermimpi seakan-akan aku mendatangi sekelompok orang-orang Yahudi. Aku
berkata kepada mereka: “Sungguh, kamu adalah sebaik-baik kaum, seandainya kamu
tidak mengatakan: ‘Uzair putera Allah’.” Mereka menjawab: “Sungguh kamupun
sebaik-baik kaum, seandainya kamu tidak mengatakan: ‘Atas kehendak Allah dan
kehendak Muhammad’.” Lalu aku menjumpai sekelompok orang-orang Nasrani, maka
aku berkata kepada mereka: “Sungguh, kamu adalah sebaik-baik kaum, seandainya
kamu tidak mengatakan: ‘Al-Masih putera Allah’.” Mereka menjawab: “Sungguh,
kamupun sebaik-baik kaum, seandainya kamu tidak mengatakan: ‘Atas kehendak
Allah dan kehendak Muhammad’.” Ketika pagi hari, aku beritahukan mimpiku
tersebut kepada kawan-kawanku, kemudian aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan aku beritahukan kepada beliau. Nabi bertanya: “Apakah kamu telah
memberitahukannya kepada seseorang?” Aku menjawab: “Ya.” Lalu Rasulullah ber-
tahmid dan memuji kepada Allah, kemudian bersabda:
“Amma ba’du, sesungguhnya Thufail telah bermimpi sesuatu yang telah
diberitahukan kepada orang-orang di antara kamu. Dan sesungguhnya kamu
telah mengucapkan suatu ucapan yang ketika itu aku tidak sempat
melarangnya kepadamu karena aku ada beberapa halangan, maka janganlah
kamu mengatakan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad’, akan
tetapi katakanlah: ‘Atas kehendak Allah saja.’
Kandungan tulisan ini:
ANDAIKATA
Larangan Mengucapkan Kata
“Andaikata” Atau “Seandainya”
Apabila Mendapat Suatu Musibah
Atau Kegagalan
Sering kita mendengar dari pembicaraan orang orang seperti ” Sandainya tidak
ada saya pasti kamu sudah begini dan begitu…, atau “ Andaikata dulu saya
begini pasti saya…., larangan mengucapkan “andaikata” maupun
“seandainya” telah termaktub di Al qur’an dan Hadits, mari simak fatwa ulama
berikut ini:
Firman Allah Subhanahu wata’ala :
‫ي ما قتلنا ههنا قل لو كنتم في‬ ‫يقولون لو كان لنا من األمر ش ء‬
‫بيوتكم لبرز الذين كتبعليهم القتل إلىمضاجعهم وليبتلي الله ما في‬
‫صدوركم وليمحص ما في قلوبكم والله عليم بذات الصدور‬
“Mereka (orang-orang munafik) mengatakan : seandainya kita memiliki
sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya (kita tak akan
terkalahkan) dan tidak ada yang terbunuh diantara kita di sini (perang uhud).
Katakanlah : ‘Kalaupun kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang
telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka
terbunuh. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji (keimanan) yang ada
dalam dadamu, dan membuktikan (niat) yang ada dalam hatimu. Dan Allah
Maha Mengetahui isi segala hati.” (QS. Ali Imran, 154).
‫الذين قالوا إلخوانهم وقعدوا لو أطاعونا ما قتلوا قل فادرءوا عن أنفسكم‬
‫الموت إن كنتم صادقين‬
“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka takut
pergi berperang : seandainya mereka mengikuti kita tentulah mereka sudah
terbunuh. Katakanlah : Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang
yang benar.” (QS. Ali Imran, 168).
Diriwayatkan dalam shoheh Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
: ‫ وإن أصابك شيء فال تقل‬،‫احرص على ما ينفعك واستعن بالله وال تعجزن‬
” ‫ فإن ” لو‬،‫ قدر الله وما شاء فعل‬: ‫ ولكن قل‬،‫لو أني فعلت لكان كذا وكذا‬
‫تفتح عمل الشيطان‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan
mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah
sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka
janganlah kamu mengatakan : “seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan
begini atau begitu’“, tetapi katakanlah : “ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah
akan melakukan apa yang Ia kehendaki”, karena kata “seandainya” itu akan
membuka pintu perbuatan syetan.”
Penjelasan tentang ayat dalam surat Ali Imran ([1]).
Larangan mengucapkan kata “andaikata” atau “seandainya” apabila mendapat
suatu musibah atau kegagalan.
Alasannya, karena kata tersebut (seandainya/andaikata) akan membuka pintu
perbuatan syetan.
Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam [ketika menjumpai suatu kegagalan
atau mendapat suatu musibah] supaya mengucapkan ucapan ucapan yang baik
[dan bersabar serta mengimani bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah].
Perintah untuk bersungguh-sungguh dalam mencari segala yang bermanfaat
[untuk di dunia dan di akhirat] dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.
Larangan bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.
(1)Kedua ayat di atas menunjukkan adanya larangan untuk mengucapkan kata
“seandainya” atau “andaikata” dalam hal-hal yang telah ditakdirkan oleh Allah
terjadi, dan ucapan demikian termasuk sifat-sifat orang munafik, juga
menunjukkan bahwa konsekwensi iman ialah pasrah dan ridho kepada takdir Allah,
serta rasa khawatir seseorang tidak akan dapat menyelamatkan dirinya dari takdir
tersebut.
Doa dengan Lafazh “Ya Allah, ampunilah
aku jika Engkau menghendaki”
Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kamu berdoa,
‘Ya Allah ampunilah aku jika Engkau menghendaki’ atau berdoa, ‘Ya Allah,
limpahkanlah rahmatMu kepadaku jika Engkau menghendaki’, tetapi
hendaklah ia berkeinginan kuat dalam permohonan itu, karena sesungguhnya
Allah tiada sesuatupun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu tidak bisa disamakan dengan makhluk.
Seseorang akan mengabulkan permintaan orang lain karena sebab-sebab
tertentu. Boleh jadi karena ia memiliki kepentingan dengan si peminta, atau
karena ia takut kepadanya atau karena punya harapan dengannya, lalu orang
itu memberi apa yang diminta dengan terpaksa. Lain halnya dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Dia Maha Suci, tidak mungkin bagi-Nya hal seperti itu
karena kesempurnaan sifat tidak butuh-Nya terhadap makhluk,
kesempurnaan kedermawanan dan kemuliaan-Nya, pemberian-Nya tiada
habis-habisnya, Dia sama sekali tidak butuh kepada makhluk, bahkan
makhluk-lah yang butuh kepada-Nya dengan kebutuhan yang tidak putus
sekejap matapun.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits “Tangan kanan Allah penuh, tidak akan
membuatnya berkurang sebuah nafkahpun, terbuka siang dan malam.
Tahukah kalian apa yang telah diinfakkan semenjak penciptaan langit dan
bumi? Itu semua tidak mengurangi apa yang ada di tangannya. Dan pada
tangan yang lain ada neraca keadilan, Allah merendahkannya dan
mengangkatnya.” (HR. Bukhari -diberbagai tempat dalam Al Jami’-, dan
Muslim dari Abu Hurairah). Allah Ta’ala memberi karena hikmah dan
menahan karena hikmah, dan Dia adalah Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Maka seharusnya bagi orang yang meminta kepada Allah,
hendaklah ia berkeinginan kuat dalam permohonannya karena sesungguhnya
Allah tidak memberikan sesuatu kepada hamba-Nya dalam keadaan terpaksa
ataupun menganggap besar permintaan itu.
Allah memiliki sifat kedermawanan, kedermawanan yang terus menerus dan
tiada pernah henti. Bahkan Allah memberi karunia kepada hamba-Nya
sebelum hamba tersebut meminta. Marilah kita perhatikan penciptaan
manusia, sejak air mani diletakkan di dalam rahim, nikmat-nikmat-Nya
didalam perut ibunya terus mengalir, Dia mengurusnya dengan sebaik-
baiknya. Jika ibunya telah melahirkannya, Dia menjadikan orang tuanya
merasa menyayangi dan mengurusnya dengan nikmat-nikmat-Nya sehingga
anak itu tumbuh menjadi besar dan dewasa.
Ia selalu berada dalam nikmat-nikmat Allah sepanjang hidupnya. Jika
hidupnya selalu dalam keimanan dan ketakwaan, maka bertambahlah nikmat-
nikmat Allah kepadanya. Apabila ia meninggal, maka ia memperoleh
kenikmatan yang berlipat ganda daripada kenikmatan yang ia peroleh ketika
di dunia. Ia memperoleh kenikmatan yang hanya Allah yang bisa
menghitungnya, nikmat yang Allah persiapkan khusus bagi hamba-hamba-
Nya yang beriman dan bertakwa.
Semua kenikmatan yang diperoleh seorang hamba didunia ini pada
hakekatnya adalah karunia dari Allah Ta’ala. Meskipun sebagian kenikmatan
tersebut ia peroleh melalui perantaaran orang lain, tapi ketahuilah bahwa
nikmat tersebut tidak akan pernah sampai kepadanya kecuali dengan izin,
kehendak dan kebaikan dari Allah Ta’ala. Dengan demikian, Allah-lah yang
berhak dipuji atas segala nikmat tersebut. Dialah yang menghendakinya dan
menentukannya serta mengalirkannya dengan kebaikan, kedermawanan dan
karunia-Nya. Hanya milik-Nya segala nikmat, karunia dan sanjungan yang
baik.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah datangnya,
dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nyalah kamu
minta pertolongan.” (Qs. An-Nahl (16) : 53)
Terkadang Allah Ta’ala menahan pemberian kepada hamba-Nya jika ia
memohon kepada-Nya, karena adanya suatu hikmah dan pengetahuan-Nya
tentang yang terbaik bagi hamba-Nya, dan terkadang dia mengakhirkan apa
yang diminta hamba-Nya untuk waktu yang telah ditentukan atau untuk
memberinya dengan pemberian yang lebih banyak. Maha Suci Allah Tuhan
Semesta Alam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidaklah seorang muslim
berdoa kepada Allah dengan suatu doa yang didalamnya tidak mengandung
dosa dan pemutusan silautarahmi, melainkan Allah akan memberikan
kepadanya salah satu dari tiga kemungkinan ; (yaitu) dikabulkan segera
doanya itu, atau dia akan menyimpan baginya di akhiat kelak,atau dia akan
menghindarkan darinya keburukan yang semisalnya.” Maka para sahabat pun
berkata,” Kalau begitu kita memperbanyaknya.”  Beliau bersabda, “Allah lebih
banyak lagi ( memberikan pahala).” (HR. Ahmad III/8, al-Bukhari dalam al-
Adabul Mufrad,dan lainnya. Lihat Doa dan Wirid Mengobati Guna-Guna dan
Sihir Menurut al-Qur-an dan as-Sunnah hal 37-38, karya Yazid bin Abdul Qadir
Jawas)
Hendaknya kita membesarkan harapan kita kepada Allah ketika berdo’a,
karena sesungguhnya Allah memberi permintaan yang besar karena
kedermawanan, karunia dan kebaikan. Allah Ta’ala tidak merasa diberatkan
dengan apa yang Dia berikan, maksudnya tidak ada sesuatu yang berat bagi-
Nya walaupun terasa berat bagi makhluk. Karena orang yang meminta kepada
makhluk, ia tidak memintanya kecuali sesuatu yang mudah baginya untuk
dikabulkan. Lain halnya dengan Rabb Semesta Alam, sesungguhnya
pemberian-Nya terwujud sesuai dengan Firman-Nya. Sebagaimana dijelaskan
dalam firman-Nya, “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya,”Jadilah!” maka jadilah ia.” (Qs. Yaasiin:
82).
Hukum Mencela Cuaca, Waktu,
atau Masa
Di dalam kehidupan sehari-hari, kita sangat sering mengomentari keadaan
cuaca atau suatu masa tertentu, baik dengan komentar yang baik maupun
dengan komentar yang buruk berupa celaan.

Di dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah


radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ‫ صلى الله عليه وسلم‬bersabda:

‫م ُر ُ َأقل ُِّبالَّي ْ َل‬ َ َ


ْ ‫ ِ بيَدِي اأْل‬،‫بلدَّهْ َر وَأنَا الدَّهْ ُر‬
‫س ُّ ا‬ ُ ‫ َ ي‬،‫ل ُ يؤْ ِذينِي ْ ُابن َآد َم‬:‫ج‬ ُ َّ ‫َ َقال ال‬
َّ َ‫ه ع ََّز َو‬
‫ار‬
َ ‫وَانل َّ َه‬

“Allah ‘azza wa jalla berkata: Anak keturunan Adam telah menyakiti-Ku


karena dia mencela masa padahal Aku adalah (pengatur) masa. Urusan ini
berada di tangan-Ku. Aku mengatur malam dan siang.” [HR Al Bukhari (4826)
dan Muslim (2246)]
Di dalam riwayat Muslim disebutkan:

 ‫تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر‬ ‫ال‬

“Janganlah kalian mencela masa karena sesungguhnya Allah Dialah


(Pengatur) masa.”

Para ulama merinci tentang ucapan-ucapan dan komentar-komentar burukk


tentang masa yang diucapkan oleh ke dalam tiga macam, yaitu: - See more at:
http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2012/12/hukum-mencela-cuaca-
waktu-atau-masa.html#sthash.jWnx6gFH.dpuf
1. Mencela cuaca atau masa dengan meyakini bahwa ia adalah pelaku utama
terjadinya kejelekan dan keburukan sesuatu, ini hukumnya adalah syirik akbar
karena dia meyakini adanya pencipta lain selain Allah ta’ala dan
menyandarkan terjadinya suatu peristiwa kepada selain Allah.

Contohnya seperti mengatakan: “Aku benci musim kemarau karena ia


menimbulkan bencana kelaparan.” atau  “Tahun ini merupakan tahun
pembawa kesialan.” Bila dia menucapkan celaan ini dengan diiringi keyakinan
bahwa ia adalah pelaku utama terjadinya kelaparan atau musibah lainnya
maka ini adalah syirik akbar.
- See more at: http://dakwahquransunnah.blogspot.co.id/2012/12/hukum-
mencela-cuaca-waktu-atau-masa.html#sthash.jWnx6gFH.dpuf
2. Dia meyakini bahwa pelaku sebenarnya adalah Allah, akan tetapi dia
mencela cuaca atau masa karena ia merupakan tempat terjadinya bencana
atau kejelekan tersebut, maka ini hukumnya adalah haram karena dia tidak
mencela Allah secara langsung.

Contohnya seperti mengatakan: “Musim hujan ini hanya membawa bencana


banjir saja.” atau “Masa krisis moneter seperti sekarang ini membuatku
usahaku bangkrut.” Bila dia mengucapkan seperti ini tanpa ada keyakinan
seperti yang telah dijelaskan di atas, maka ini hukumnya haram.

Meskipun dia tidak mencela Allah, namun pada hakikatnya celaannya


terhadap cuaca atau masa tadi secara tidak langsung kembali kepada Allah
karena Dia-lah yang mengatur pergerakan cuaca dan peredaran masa. Oleh
karena itu, celaaan seperti ini tetap tidak boleh diucapkan.
3. Apabila maksud dari ucapannya adalah sekedar kabar atau pemberitahuan
dan bukan celaan maka ini hukumnya adalah boleh. Contohnya seperti
mengatakan: “Aku tidak tahan dengan cuaca dingin ini.” atau “Panas hari ini
membuatku sangat lelah.” atau yang semisalnya.

Hal ini juga seperti apa yang pernah diucapkan oleh Nabi Luth ‫صلى الله‬
: ‫عليه وسلم‬

‫ص ٌيب‬
ِ ‫ع‬ َ ‫اق ِ بهِ ْم ذ َْرعًا َوقَ َا‬
َ ‫لذَا َ يوْ ٌم‬
‫ه‬ َ ‫ض‬ َ‫َت ُر ُسلُنَا ُ لوطًا ِس ء‬
َ ‫ي ِ بهِ ْم َو‬ َّ ‫َ َول‬
ْ ‫ما َجاء‬

“Tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) kepada Luth, dia merasa
susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia
berkata: "Ini adalah hari yang amat sulit.” [QS Hud: 77]
Hukum Istihza' Bid Din
(Memperolok Agama)
Istihza', secara bahasa artinya sukhriyah, yaitu
melecehkan [2]. Ar Raghib Al Ashfahani berkata,”Al
huzu', adalah senda-gurau tersembunyi. Kadang-kala
disebut juga senda-gurau atau kelakar." [3]

Al Baidhawi berkata,”Al Istihza', artinya adalah pelecehan


dan penghinaan. Dapat dikatakan haza'tu atau istahza'tu.
Kedua kata itu sama artinya. Seperti kata ajabtu dan
istajabtu.” [4]

Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna


istihzaa'. Yaitu pelecehan dan penghinaan dalam bentuk
olok-olokan dan kelakar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitabNya:
َ ‫ْالمنافق‬
ِ ُ ‫ما ِ في ُ قل‬
‫وبهِ ْم ُ ِقل ا ْست َ ْه ِزءُوا ِ َّإن‬ َ ‫ُونأن ُ تن َ َّز َلعَلَيْهِ ْم ُس‬
َ ‫ورةٌ ُ تنَبِّئُهُم َ ب‬ َ َُِ ‫ح َذ ُر‬
ْ ‫َي‬
‫حذ َُر َون‬
ْ ‫ج َم َات‬
ُ ِ‫خر‬
ْ ‫ه ُم‬
َ ‫ال‬

Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu


surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka.
Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah
dan RasulNya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti.
[At Taubah:64].
َ ْ ُ‫ولَئِن سأَلْتهم لَيقُولُن إنما كُنا نخُوض ونلْعب ق‬
ْ ُ ‫سولِهِ كُنت‬
‫م‬ ُ ‫ل أبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَ َر‬ ُ َ ََ ُ َ ّ َ َّ ِ َّ َ ْ َُ َ َ
‫ن‬
َ ‫ستَهْزِءُو‬
ْ َ‫ت‬

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan
itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda-
gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-
ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?". [At Taubah:65].
َ
‫م كَانُوا‬ ً ‫ب طَائ ِ َف‬
ْ ُ‫ة بِأنَّه‬ ْ ُ ‫منك‬
ْ ِّ ‫م نُعَذ‬ َ ِ ‫ف ع َن طَائ‬
ِّ ٍ‫فة‬ ْ ُ ‫مانِك‬
ُ ‫م إِن ن َّ ْع‬ َ ‫الَت َ ْعتَذ ِ ُروا قَد ْ كَف َْرتُم ب َ ْعد َ إِي‬
‫ين‬
َ ‫م‬ِ ِ‫جر‬ْ ‫م‬
ُ

Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami
mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami
akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang
yang selalu berbuat dosa. [At Taubah:66].
Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang munafik terhadap Allah, RasulNya dan
kaum mukminin. Kebencian yang selama ini mereka pendam, terlahir dalam
bentuk ejekan dan olok-olokan terhadap Allah dan RasulNya. Berkaitan
dengan ayat ini, Ibnu Katsir mencantumkan sebuah riwayat dari Muhammad
bin Ka'ab Al Qurazhi dan lainnya yang menjelaskan kepada kita bentuk
pelecehan dan olokan mereka terhadap Allah, RasulNya dan ayat-ayatNya.

Ia berkata: Seorang lelaki munafik mengatakan: "Menurutku, para qari


(pembaca) kita ini hanyalah orang-orang yang paling rakus makannya, paling
dusta perkataannya dan paling penakut di medan perang."

Sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu


orang munafik itu menemui Beliau, sedangkan Beliau sudah berada di atas
ontanya bersiap-siap hendak berangkat. Ia berkata: "Wahai, Rasulullah.
Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Maka
turunlah firman Allah.
َ
‫ن‬
َ ‫ستَهْزِءُو‬ ْ ُ ‫سولِهِ كُنت‬
ْ َ‫م ت‬ ُ ‫أبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَ َر‬

"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?"


sesungguhnya kedua kakinya tersandung-sandung batu, sedangkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menoleh kepadanya, dan ia bergantung di
tali pelana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[1]

Ayat ini menjelaskan hukum memperolok-olok Allah, RasulNya, ayat-ayatNya,


agamaNya dan syiar-syiar agama, yaitu hukumnya kafir. Barangsiapa
memperolok-olok RasulNya, berarti ia telah memperolok-olok Allah.
Barangsiapa memperolok-olok ayat-ayatNya, berarti ia telah memperolok-
olok RasulNya. Barangsiapa memperolok-olok salah satu daripadanya, berarti
ia memperolok-olok seluruhnya. Perbuatan yang dilakukan oleh kaum
munafikin itu adalah memperolok-olok Rasul dan sahabat Beliau, lalu
turunlah ayat ini sebagai jawabannya
Yahudilah yang menjadi pelopor dalam membuat pelesetan-pelesetan yang
isinya menghina Allah, RasulNya dan Islam. Sikap mereka ini telah disebutkan
oleh Allah dalam firmanNya.
َ ‫َ ي َُّ َاأيها ا َّلذ ِ َين ء ََامنُوا‬
ٌ ‫َ ِولْكَافِرِ َين ع َ َذٌاب ِأل‬
‫يم‬ ‫م ُعوا‬
َ ‫وَا ْس‬ ‫َال َ تقُولُوا َرا ِعنَا َوقُولُوا انظ ُ ْرنَا‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (Muhammad):


"Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-
orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al Baqarah:104].

Raa'ina, artinya sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. Dikala para


sahabat menggunakan kata-kata ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, orang-orang Yahudipun memakainya pula, akan tetapi mereka
pelesetkan. Mereka katakan ru'unah, artinya ketololan yang amat sangat. Ini
sebagai ejekan terhadap Rasulullah. Oleh karena itulah, Allah menyuruh para
sahabat agar menukar perkataan raa'ina dengan unzhurna, yang juga sama
artinya dengan raa'ina.
Yahudi juga memelesetkan ucapan salam menjadi as saamu 'alaikum, yang artinya
(semoga kematianlah atas kamu). Mereka tujukan ucapan itu kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sebelumnya, hal sama sebenarnya telah mereka lakukan terhadap Nabi Musa
Alaihissallam. Allah menceritakannya dalam KitabNya.

ٌ َّ ‫دا َوقُولُوا ِحط‬


‫ة‬ ً ‫ج‬َّ ‫دا وَ ْادخُلُوا ْابل َ َاب ُس‬ ً َ‫وامن ْ َها َحي ُْث ِشئْت ُ ْم َرغ‬ ِ ُ ‫َ فكُل‬ َ َ ‫وَإِذ ْ ُ قلْنَا ْادخُلُوا هَذِهِ ْالق َْري‬
‫ة‬
‫يل َ لهُ ْم َ فأَن َز ْلنَا‬
َ ‫موا َ قوْ ًال غَي ْ َر ا َّلذِي ِ ق‬
ُ َ ‫ظل‬ َ ‫ين َ فبَد َّ َل َّالذِ َين‬. َ ِ ‫سن‬ِ ‫ح‬ ُ ‫د ْال‬
ْ ‫م‬ ُ ‫اك ْم َو َسنَزِي‬ ُ َ ‫َّ نغْ ِف ْر َ لك ُ ْم خَطَاي‬
‫ُون‬
َ ‫سق‬ ُ ‫ما َكانُوا َ ي ْف‬ َ ‫مآءِ ِ ب‬ َ ‫س‬
َّ ‫ج ًزا ِّم َن ال‬ ْ ‫موا ِر‬ ُ َ ‫ظل‬
َ ‫عَلَى َّالذِ َين‬

Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan
makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan
masukilah pintu gerbangnya dengan bersujud, dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari
dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah
(pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-orang yang
mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.
Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu siksaan dari langit, karena
mereka berbuat fasik. [Al Baqarah:58, 59].

Mereka disuruh mengucapkan hiththah, yang artinya bebaskanlah kami dari dosa.
Namun mereka pelesetkan menjadi hinthah, yang artinya beri kami gandum.
Sebagai contoh, memelesetkan firman Allah yang berbunyi "laa taqrabuu
zina" kemudian diartikan “jangan berzina hari Rabu!” Bahkan sebagian
oknum itu, ada yang berani memelesetkan arti firman Allah: Inna lillahi wa
inna ilahi raji'un, dengan arti “yang tidak berkepentingan dilarang masuk!”
dalam bentuk guyonan dan lawakan. Kepada orang seperti ini, kita ucapakan
inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Demikian pula, kita sering mendengar dari sebagian orang yang


memelesetkan lafadz azan. Sebagai contoh ucapan "hayya 'alal falaah",
mereka pelesetkan menjadi "hayalan saja". Dan masih banyak lagi bentuk-
bentuk pelesetan, yang hakikatnya adalah pelecehan dan istihzaa' terhadap
syi’ar-syi’ar agama. Hendaklah orang-orang yang melakukannya segera
bertaubat dengan taubatan nasuha. Dan bagi para orang tua, hendaklah
mencegah dan melarang anak-anaknya, apabila mendengar anak-anak
mereka melatahi pelesetan-pelesetan bernada pelecehan tersebut.
Hendaklah mereka ketahui, bahwa perbuatan seperti itu merupakan
perbuatan Yahudi.
Dalam bentuk ejekan dan sindiran terhadap syi’ar-syi’ar agama dan orang-
orang yang mengamalkannya.
Seringkali kita mendengar sebagian orang tak bermoral mengejek wanita-
wanita Muslimah yang mengenakan busana Islami dengan bercadar dan
warna hitam-hitam dengan ejekan “ninja! ninja! Atau seorang Muslim yang
taat memelihara jenggotnya dengan ejekan “kambing!” Atau seorang Muslim
yang berpakaian menurut Sunnah tanpa isbal (tanpa menjulurkannya
melebihi mata kaki) dengan ejekan: “pakaian kebanjiran”. Sering kita dapati di
kantor-kantor, para pegawai yang taat menjalankan syi’ar agama ini diejek
oleh rekan kerjanya yang jahil alias tolol. Sekarang ini kaum muslimin yang
taat menjaga identitas keislamannya, seringkali dicap dan diejek dengan
sebutan teroris dan lain sebagainya. Yang sangat memprihatinkan adalah para
pelaku pelecehan dan pengejekan itu adalah dari kalangan kaum muslimin
sendiri.
Dalam bentuk sindiran terhadap Islam dan hukum-hukumnya.
Seperti orang yang mengejek hukum hudud dalam Islam, semisal potong
tangan dan rajam dengan sebutan hukum barbar. Menyebut Islam sebagai
agama kolot dan terkebelakang. Menyebut syariat thalak dan ta'addud
zaujaat (poligami) sebagai kezhaliman terhadap kaum wanita. Atau ucapan
bahwa Islam tidak cocok diterapkan pada zaman modern. Dan ucapan-ucapan
sejenisnya.
Al Fakhrur Razi dalam tafsirnya mengatakan: "Sesungguhnya, memperolok-
olok agama, bagaimanapun bentuknya, hukumnya kafir. Karena olok-olokan
itu menunjukkan penghinaan; sementara keimanan dibangun atas pondasi
pengagungan terhadap Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Dan
mustahil keduanya bisa berkumpul." [6]
Syaikh Abdurrahman As Sa'di menjelaskan dalam tafsirnya: "Sesungguhnya, memperolok-
olok Allah dan RasulNya hukumnya kafir, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama.
Karena dasar agama ini dibangun di atas sikap ta'zhim (pengagungan) terhadap Allah dan
pengagungan terhadap agama dan rasul-rasulNya. Dan memperolok-olok sesuatu
daripadanya, (berarti) menafikan dasar tersebut dan sangat bertentangan dengannya."
[10] Ibnu Hazm mengatakan: "Nash yang shahih telah menyatakan, bahwa siapa saja yang
memperolok-olok Allah setelah sampai kepadanya hujjah, maka ia telah kafir." [11] Ibnu
Qudamah mengatakan: "Barangsiapa mencaci Allah, maka hukumnya kafir, sama halnya ia
bercanda atau sungguh-sungguh. Demikian pula, siapa saja yang memperolok-olok Allah
atau ayat-ayatNya atau rasul-rasulNya atau kitabNya. Allah berfirman:

‫ن‬ ْ ‫ه ُكنت ُ ْم َ ت‬
. ‫ست َ ْه ِزء َُو‬ ِ ‫ول‬ِ ‫س‬ ُ ‫ه و َر‬ ِ ‫ه وَءَاي َ ِات‬
َ
ِ ‫بقْل أبِال‬ ُ ُ َ‫ُوض َ َونلْع‬
ُ ‫ما ُكنّا َ نخ‬ َ ‫ُولن َِّإن‬ ْ َ َ ‫َ َولئِن‬
َّ ُ ‫سأتلَهُ ْم َ ليَق‬
َ َ ‫ة ِّمنك ُ ْم ُ ن َعذ ِّْب‬ َ ‫م ِانك ُ ْم ِإن َّ نعْ ُفعَن‬
‫ين‬
َ ‫جرِ ِم‬ْ ‫ة ِ بأ َّنهُ ْم َكانُوا ُم‬ ً ‫ط ِائ َف‬ ٍ ‫ط ِائ َف‬ َ ‫د َكف َْر ُتم َ ب ْع‬
َ ‫د ِإي‬ ََ
ْ ‫التعْت َ ِذ ُروا َ ق‬

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu
mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main
saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-
olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami
mema'afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan
mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu
berbuat dosa. [At Taubah:65-66].”

Anda mungkin juga menyukai