Anda di halaman 1dari 12

PENGENDALIAN VEKTOR

PENYAKIT TROPIS

ZETH ROBERTH FELLE, S.Kep., Ns., M.Sc

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAYAPURA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
PENGANTAR
SEJARAH PENGENDALIAN
VEKTOR
Sejarah pengendalian vektor tidak terlepas dari pengendalian
hama pada bidang pertanian
 Meningkatnya pertambahan pddk, meningkatnya kebutuhan pangan, mk
pertanian tradisional menjadi pertanian agribisnis/ komersial dgn
menerapkan bbg teknologi (peng. hama). Ini terjadi setelah Revolusi
pertanian 1750-1880.
 Utk pengendalian hama tanaman, semula digunakan racun dari tumbuh-2
an : nikotin, pirethrin, rotenon, dan senyawa kimia berupa bubur bordeaux,
paris green (tembaga dan arsenit), larutan belerang dll.
 Menjelang PD II ditemukan senyawa sintetis DDT ( Dichloro, diphenyl
trikhloro ethana) semula DDT sangat efektif digunakan utk pemb. serangga
pertanian, lalat dan vektor penyakit.
 Menyusul ditemukan senyawa sinthetis sekelompok DDT (aldrin, dieldrin,
BHC dll.), senyawa mengandung fosfor ( parathion, malathion, sumithion,
dursban, diazinon dll.), karbamat (sevin)
 Masa-masa jayanya penggunaan pestisida pada th. 1940-1960, termasuk di
Indonesia baik di bidang pertanian maupun kesehatan
 Munculnya laporan dampak negatif (resistensi dan pencemaran
lingkungan)
 1946, 20 th setelah penggunaanya 224 sp serangga pertanian sdh resisten
 1972, Amerika mengutuk penggunaan DDT, saat ini di Indonesia lagi
gencar-2 nya penggunaan DDT Dl program BIMAS.
 1986 Presiden mengeluarkan Inpress no. 3/1986 yg melarang penggunaan
insektisida organoklorin. Dibidang pertanian dimulailah PHT.
Pengendalian vektor

Abad 19, setelah diketahui banyak serangga dan siput yg dapat menularkan
penyakit maka dimulaialah upaya pengendalian vektor dgn tahapan sbb :
 Sejak vaksin dan obat tidak mencegah dan menyembuhkan penyakit,
maka mulailah dilakukan upaya pengendalian vektor: mencegah vektor
masuk rumah, dgn memasang kawat kasa, pengeringan dan menimbun
genangan air, rawa-rawa dan penggunaan minyak dan paris green pada
TP
 Setelah ditemukan DDT, maka pada tahun 1940 mulailah digunakan DDT
untuk pengendalian vektor dgn aplikasi IRS. Karena efektif dan lebih
ekonomis, makaDDT juga digunakan untuk pengendalian lalat, midges,
fleas, lice, bedbugs, triatom bug.
 Pada Tahun 1950 sampai dg permulaan 1960, DDT mulai digunakan untuk
proram pengendalian vektor dalam rangka pembasmian Penyakit seperti ;
malaria, chagas, lesmaniasis dll.
 Setelah dilaporkan dampak negatif akibat penggunaan DDT: 224 spesies
telah resisten, timbulnya ledakan hama (musuh-musuh alami
mati),timbulnya hama sekunder, mencemar lingkungan (presistensi di
alam)
 Alternatif pengendalian vektor : a. l. Pengelolaan dan modifikasi
lingkungan, hayati, partisipasi masyarakat,sanitasi lingkungan,
PENGENDALIAN VEKTOR DI
INDONESIA

Pengendalian kimiawi untuk pemberantasan malaria

Aplikasi DDT dengan penyemprotan dinding rumah (IRS)

I.Periode Pra Pembasmian (1953-1960.


. 1. Dimulai tahun 1952, tahun 1954 kurang lebih 3 th. setelah pengg.
DDT ada laporan bahwa An. Sundaicus resisten
2. Insektisida pengganti, yaitu Dieldrin. Penyemprotan DDT dan
dieldrin dikombinasikan dengan pengobatan kinanisasi imasal hasilnya
sangat efektif, SPR menurun dari 23,73% (1952) menjadi 0,71% (1959)
(Sukamto, 1999).

II. Periode Pembasmian 1960-1965.


Berdasarkan hasil (2) IRS DDT diintensifkan dalam Program
Pembasmian Malaria (12 Nopember 1959). Th. 1962 kurang lebih 3
tahun setelah gerakan KOPEM atau 10 tahun sejak pertama
digunakannya DDT, vektor malaria An. aconitus resisten. (Soerono dkk.,
1965).
III. Periode Transisi (1966-1969)
Karena masaalah politik, bantua WHO terputus
IRS DDT dilakukan terbatas sp th 1969. SPR
0,04 % meningkat jadi 2,84%).

IV. Pelita I (1969- 1973)-


Pembasmian berubah menjadi Pembr yg diintensifkan.
IRS masih terbatas, ada evaluasi entomologi. (resistensi)
Th. 1970 vektor malaria An. aconitus yang resisten terjadi hp
di semua daerah di Jateng (O’Connor and Arwati, 1974).
Penderita malaria td menurun, meningkat dari 275.887 menjadi
2.454..579 orang.

V. Pelita II (1974- 1978), III (1979-1983), IV (1984-1989)


DDT digunakan terbatas, sifat hanya utk repelen (resisten).
Kasus sama saja dgn waktu Pelita I, pada Pelita IV peng. Vektor sdh
melibatkan lintas sektor, masyarakat dan sifat sudah terpadu (tanam
padi serempak, mina padi, tanam padi selang-seling, penebaran ikan,
peningkatan jml ternak. SPR menurun dari 2,98% jadi 0,66%.
Pelita V.
Sifat memepertahankan hasil pemberantasan, IV yg sd
rendah.
Penggunaan DDT dihentikan 1986, dg Inpress no. 3/1986
yg melarang penggunaan insektisida organoklorin (DDT).

Pelita VI (Selanjutnya):
Badan Litbang Kes.dng WHO-VBCRU-2 mendirikan proyek
penelitian uji coba insektisida di Semarang, Tujuan: Mencari
dan mempersiapkan insektisida-2 alternatif yang dapat
digunakan menanggulangi vektor malaria yang resisten
DDT dan kelompoknya

Hasil:
21 macam insektisida telah diuji
Diantara 21 insektisida yang pernah diuji,10 yaitu
fenitrothion, malathion, decamethrin, pirymiphos-methyl,
Organokhlorin (OMS-1558), cypermethrin, alphamethrin,
lambdacyhalothrin, baythroid, permethrin sudah pernah
diuji pada tingkat pedesaan, 7 yaitu Fenitrothion,
Bendiocarb, Permethrin, Lambdacyhalothrin, Etofenprox,
Cyfluthrin dan Bifenthrin sudah pernah diuji pada tingkat
operasional
Pengganti DDT untuk
pemberantasan malaria
1. Fenitrothion (kelompok organofosfat), residunya dan
fumigasinya sangat efektif untuk membunuh nyamuk
walaupun nyamuk tidak kontak dengan residunya . Insektisida
ini berbau, mengotori dd rmh (Sdh tidak direkomendasikan)
 Fenitrothion juga pernah diaplikasikan dgn penyemprotan selektif
 Penyemprotan kandang saja di Kecamatan Mlonggo Kab. Jepara
2. Bendiocarb (Karbamat) (msh direkomendasikan)
3. Kelompok pyrethroid (permethrin, lambda - cyhalothrin,
bifenthrin alphacypermethrin, deltamethrin, etofenprox)
(direkomendasikan)
4. Malathion, Cyfluthrin, lambdacyhalothrin, cypermethrin,
permethrin dan bioalethrin (Direkomendasikan utk fogging
DBD)
5. Abate dan altosid (Direkomendasikan utk larvasida)
APLIKASI INSEKTISIDA

1. Indoor Residual Spraying (IRS)


2. Dipoleskan pada kelambu (Kelambu Berinsektisida)
3. Foging (Pengasapan)
4. Larvasiding
5. Dusting
6. Ditaruh pada bumbung bambu/pralon
PENGENDALIAN VEKTOR
PRADEWASA

1. LARVACIDES ( Temephos, IGR, Bioinsecticides)


Larvasiding dgn BTI untuk TP An. sundaicus hasil cukup efektif
Uji coba penebaran BTI galur lokal
Uji coba larvasiding dgn IGR altosid

2. PENGELOLAAN DAN MODIFIKASI LINGKUNGAN)


- Pembersihan lumut (Entramorpha) di TP An. sundaicus di Cilacap,
Brebes dan Tegal
- Pembuatan klep di muara sungai, utk mencegah air laut masuk
- Membangun kanal/ terowongan yg menghubungkan lagun dgn
laut diLuwuk, Kebumen
- Penimbunan TP. vektor
- Pola tanam padi serentak
3. HAYATI (Predator, Parasit, Pathogen)
- Penebaran ikan kepala timah (Aploceilus panhac) di Kec. Suruh,
Setelah itu ikan tsb. ditebarkan diseluruh daerah endemis Jawa
Tengah dan propinsi lain
- Mina padi, yaitu penebaran ikan ekonomis didomplengi ikan pemakan
jentik ( Poecilius reticulata) di sawah
- Uji coba penebaran cacing parasit (Romanomermis iyengari) pd TP
vektor malaria di Flotim

4. REB0ISASI HUTAN BAKAU


Pernah dilakukan di Cilacap

5. Pengaturan letak kandang (Sapi dan kerbau)


Sapi dan kerbau dikandang di luar rumah, antara TP dengan pemukiman pddk

6. PSN (DBD)
PUSTAKA:

1. J.A. Rozendaal (1997). Vector Control. WHO,


Geneva
2. Ida Nyoman Oka (1995). Pengendalian Hama
Terpadu dan implementasinya di Indonesia.
Gajah Mada University Press.
3. Sukamto, (2001). Riwayat penanggulangan
malaria di Prov. Jawa Tengah
4. Umar Fahmi, 2003.Informas Teknis Insektisida
dan Larvasida untuk Pemberantasan Vektor
malaria dan DBD. Ditjen P2M & PL, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai