Anda di halaman 1dari 13

MANAJEMEN GANGGUAN SISTEM

MUSKULOSKELETAL DAN EVIDENCE BASED


PRACTICE DALAM PENATALAKSANAANYA

1. Anggik prahesti
2. Devi oktania
3. Dian fitria agustina
4. Fera ardelia
5. Mita nur faiqotunnisa
6. M. Alfian nur majid
7. Naimatul faridha
8. Putri nofitasari
9. Ririn ayu sofiya ningsih
10.Vera zulfi nofita sari
Apa itu Osteoporosis?
Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya
massa tulang secara nyata yang berakibat pada
rendahnya kepadatan tulang, sehingga tulang
menjadi keropos dan rapuh. “Osto” berarti tulang,
sedangkan “porosis” berarti keropos. Tulang yang
mudah patah akibat Osteoporosis adalah tulang
belakang, tulang paha, dan tulang pergelangan
tangan (Endang Purwoastuti : 2009) .
Osteoporosis dibagi menjadi 2:
1. Osteoporosis primer : terdapat pada wanita
postmenopause (postmenopause osteoporosis) dan
pada laki-laki lanjut usia (senile osteoporosis).
Penyebab osteoporosis belum diketahui dengan pasti.
2. Osteoporosis sekunder : disebabkan oleh penyakit yang
berhubungan dengan Kelainan endokrin misalnya
Chusing’s disease, hipertiriodisme, hiperparatiriodisme,
hipogonadisme, kelainan hepar, gagal ginjal kronis,
kurang gerak, kebiasaan minum alcohol, pemakaian
obatobatan/kortikosteroid, kelebihan kafein, dan
merokok

(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).


Etiologi…
• Osteoporosis postmenopouse terjadi karena kekurangan estrogen
(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan
kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita
yang berusia diantara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat
ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki resiko yang sama
untuk menderita osteoporosis postmenopouse, pada wanita kulit putih
dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita
kulit hitam.

• Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan


kasium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru. Senilis
yaitu keadaan penurunan masa tulang yang hanya terjadi pada usia
lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan dua
kali lebih sering menyerang wanita. Wanita sering kali menderita
osteoporosis senilis dan postmenopouse.

(Lukman, Nurma Ningsih : 2009).


Pathofisiologi
Patofisiologi Osteoporosis Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok,
konsumsi kafein, dan alkohol), dan aktivitas mempengaruhi puncak massa
tulang. Kehilangan masa tulang mulai terjadi setelah tercaipainya puncak
massa tulang. Pada pria massa tulang lebih besar dan tidak mengalami
perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada perempuan, hilangnya
estrogen pada saat menopouse dan pada ooforektomi mengakibatkan
percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus selama tahun-tahun
pasca menopouse (Lukman, Nurma Ningsih : 2009). Demikian pula, bahan
katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen dapat
menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortikosteroid yang lama, sindron
Cushing, hipertiriodisme dan hiperparatiriodisme menyebabkan kehilangan
massa tulang. Obat- obatan seperti isoniazid, heparin tetrasiklin, antasida
yang mengandung alumunium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid
dan suplemen tiroid mempengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme
kalsium. Imobilitas juga mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika
diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan
diresorpsi lebih cepat dari pembentukannya sehingga terjadi osteoporosis.
Penatalaksanaan
1) Terapi medis.
Sebenarnya belum ada terapi yang secara khusus
dapat mengembalikan efek dari osteoporosis. Hal
yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya untuk
menekan atau memperlambat menurunnya massa
tulang serta mengurangi rasa sakit, seperti
turunan morfin.
2) Terapi hormone pada wanita
Terapi hormone pada wanita diberikan pada masa
pramenopause. Lamanya pemberian terapi hormone
sulit ditentukan. Yang jelas jika ingin terhindar dari
osteoporosis, terapi hormone dapat terus dilakukan.
3) Terapi non-hormonal
Terapi hormone selama ini memang dianggap
sebagai jalan yang paling baik untuk mengobati
osteoporosis. Namun, karena banyaknya efek
samping yang dapat ditimbulkan dan tidak dapat
diterapkan pada semua pasien osteoporosis, maka
sekarang mulai dikembangkan terapi non-hormonal.
Pemeriksaan Diagnostik
Penilaian langsung tulang untuk mengetahui ada
tidaknya osteoporosis dapat dilakukan
dengan berbagai cara , yaitu sebagai berikut :
a. Pemeriksaan radiologic
b. Pemeriksaan radioisotope
c. Pemeriksaan Quantitative
d. Magnetic resonance imaging (MRI)
e. Quantitative Ultra Sound (QUS)
f. Densitometer (X-ray absorptiometry)
g. Tes darah dan urine
Evidence Based Practice
EBP didefinisikan sebagai intervensi dalam
perawatan kesehatan yang berdasarkan pada
fakta terbaik yang didapatkan. EBP merupakan
proses yang panjang, adanya fakta dan produk
hasil yang membutuhkan evaluasi berdasarkan
hasil penerapan pada praktek lapangan. (Gerrish
& Clayton, 2009)
EBP dalam Osteoporosis
• Judul Jurnal Penelitian : Hubungan Komposisi
Tubuh dengan Kepadatan Tulang Wanita
Usia Subur di Kota Bandung.
• Dimuat : Juni 2017
• Tujuan penelitian : untuk mengetahui hubungan
antara komposisi tubuh dan kepadatan tulang
wanita usia subur di Kota Bandung.
Hasil Penelitian :
1. Hubungan lemak tubuh dengan kepadatan tulang
• Semakin tinggi total lemak tubuh maka semakin
tinggi nilai kepadatan tulang.
2. Hubungan Lean Mass dengan kepadatan tulang
• Semakin tinggi total lean mass maka semakin
rendah nilai kepadatan tulang.
Kesimpulan Penelitian :
Semakin tinggi lemak tubuh seseorang maka
memiliki resiko lebih rendah terkena osteoporosis,
akan tetapi menjaga lemak tubuh dengan kategori
normal akan menghindarkan dari penyakit yang
berhubungan dengan kelebihan berat badan seperti
jantung, diabetes melitus sehingga disarankan
kepada responden untuk tetap menjaga total lemak
tubuh dan berat badan dalam katagori normal.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai