Anda di halaman 1dari 48

PERSEDIAAN

Subur Sitompul, SE., M.Ak


TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Menjelaskan pentingnya pengendalian dalam persediaan.
2. Menjelaskan tiga asumsi arus biaya persediaan dan bagaimana pegnaruhnya pada
laporan laba rugi dan laporan posisi keuangan.
3. Menghitung biaya persediaan pada sistem persediaan perpetual dengan
menggunakan metode FIFO (masuk pertama keluar pertama) dan biaya rata rata
tertimbang.
4. Menghitung biaya persediaan pada sistem persediaan periodik dengan menggunakan
metode FIFO (masuk pertama keluar pertama) dan biaya rata rata tertimbang.
5. Membandingkan dan membedakan pengunaan dua metode penghitungan biaya
persediaan
6. Menjelaskan dan memberikan illustrasi mengenai pelaporan persediaan di laporan
keuangan
7. Menjelaskan dan memberi contoh perputaran persediaan dan jumlah hari penjualan
pada persediaan terhadap pengaturan persediaan
PENGERTIAN PERSEDIAAN MENURUT PSAK 14

Persediaan adalah aset:


– Tersedia untuk dijual dalam kegiatan biasa
– Dalam proses produksi untuk proses penjualan tersebut
– Dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan
dalam proses produksi atau pemberian jasa
Melindungi Persediaan

Dokumen
- Pesanan Pembelian (Purchase Order)
- Laporan Penerimaan (Receiving Report)
- Faktur Pemasuk
Pengenda Tindakan melindungi persediaan
- Disimpan dalam suatu area dengan akses terbatas
lian - Barang berharga disimpan dalam lemarin terkunci
Persediaa - Gunakan alat pemantau: cermin, kamera, penjaga
keamanan
n
Melaporkan Persediaan

- Pastikan keakuratan jumlah persediaan


- Penghitungan fisik persediaan
- Biaya perolehan dapat diestimasi
- Menggunakan satu di antara tiga macam asumsi arus biaya
untuk menentukan biaya perolehan persediaan
- Memasukkan biaya perolehan dalam laporan keuangan
Asumsi asumsi Arus Biaya Persediaan
Suatu barang dijual, perlu dilakukan dilakukan penentuan penentuan biaya per
unit dengan menggunakan menggunakan asumsi arus biaya, sehingga ayat
jurnal akuntansi yang tepat dapat dicatat.

Sebagai ilustrasi, asumsikan tiga unit identik dari barang X dibeli selama bulan
Mei.
Unit Biaya

Mei 10 Pembelian 1 Rp 9.000


18 Pembelian 1 13.000
24 Pembelian 1 14.000
Total 3 Rp 36.000

Harga rata-rata per unit: Rp 12.000 (36.000 ÷ 3 unit)


Asumsi Arus Kas
Asumsi Arus Biaya
1. Arus biaya dimulai dengan 2. Arus biaya dimulai dengan
3. Arus biaya merupakan
urutan terjadinya biaya urutan berkebalikan dengan
rata-rata seluruh biaya
terjadinya biaya

Metode Biaya Persediaan

Masuk Pertama Masuk Terakhir Biaya Rata-rata


Keluar Pertama Keluar Pertama Tertimbang
FIFO LIFO
Barang Barang Barang Barang
Dibeli Dibeli Dijual Dibeli

FI FO Biaya Barang
Rata-rata Dijual
LIFO Tertimbang

Barang
Dijual
Diasumsikan pada tanggal 30 Mei satu unit dijula senilai Rp 20.000. Laba
brutonya bervariasi mulai dari Rp 11.000 sampai Rp 6.000 bergantung pada
barang mana yang dijual.
10 Mei 18 Mei 24 Mei
Unit terjual Unit terjual Unit terjual
Penjualan Rp 20.000 Rp 20.000 Rp 20.000
Beban pokok penjualan 9.000 13.000 14.000
Laba bruto 11.000 7.000 6.000
Persediaan akhir 27.000 23.000 22.000
Jika unit tersebut dapat dikenali dengan pembelian tertentu, maka metode identifikasi
spesifik (specific identification method) dapat digunakan untuk menghitung biaya unit
yang terjual terjual. Persediaan akhir terdiri atas banyaknya unit yang tersisa dalam
persediaan. Jadi, laba kotor, beban pokok penjualan, dan persediaan akhir bervariasi
seperti ditunjukkan dalam contoh di atas.
Metode identifikasi identifikasi spesifik spesifik tidak praktis, kecuali setiap unit dapat
dikenali secara terpisah. Sebuah diler mobil, misalnya, dapat menggunakan metode ini
karena setiap mobil memiliki nomor seri yang unik.
Saat metode masuk‐pertama, keluar‐pertama ( first‐in, first‐out—FIFO) digunakan,
persediaan akhir berasal dari biaya paling baru, yaitu barang‐barang yang dibeli paling
akhir.
Sebaliknya, saat metode masuk‐terakhir, keluar‐pertama ( last‐in, first‐out— LIFO)
digunakan, persediaan akhir berasal dari biaya paling awal, yaitu barang‐barang yang
dibeli pertama kali.
Sementara saat metode biaya rata‐rata
tertimbang (weighted average inventory
cost flow method) atau sering disebut
metode biaya rata‐rata (average cost flow
method) digunakan, biaya unit persediaan
merupakan rata‐rata tertimbang biaya
pembelian.
METODE BIAYA PERSEDIAAN
Pembelian

10 Mei
Metode FIFO Rp 9.000
Laporan Laba Rugi
Penjualan............ .......Rp 20.000
Beban pokok penjualan... 9.000 18 Mei
Laba bruto.................. Rp 11.000 Rp 13.000
Laporan Posisi Keuangan
Persediaan................ Rp 27.000
24 Mei
Rp 14.000

Biaya Rata Rata Tertimbang


Biaya Rata Rata Tertimbang
[(Rp 9.000 + Rp 13.000 + Rp 14.000)/3 = Rp 12.000]

Metode Rata Rata Tertimbang

Laporan Laba Rugi


Penjualan............ ....... Rp 20.000
Beban pokok penjualan... 12.000
Laba bruto.................. Rp 8.000

Laporan Posisi Keuangan


Rp 12.000 x 2
Persediaan........................ Rp 24.000
Metode Biaya Persediaan dalam
sistem Persediaan Perpetual
Pada bagian ini, metode FIFO, LIFO, dan biaya rata-rata tertimbang
diilustrasikan dalam sistem persediaan perpetual. Kita akan memberi ilustrasi
untuk setiap metode menggunakan data untuk barang 127B, seperti
ditunjukkan berikut ini.
Unit Biaya
Jan 1. Persediaan 1.000 Rp 20.000
2. Penjualan Rp 30.000/unit 700
10. Pembelian 500 22.400
22. Penjualan Rp 30.000/unit 360
28. Penjualan Rp 30.000/unit 240
30. Pembelian 600 23.300
Metode Masuk‐Pertama, Keluar‐
Pertama (FIFO)

Saat metode FIFO dari biaya persediaan digunakan, biaya


dimasukkan dalam beban pokok penjualan dengan urutan
yang sama saat biaya tersebut terjadi. Metode FIFO sering
konsisten dengan arus fisik atau pergerakan barang. Oleh
karena itu, metode FIFO memberikan hasil yang kurang
lebih sama dengan hasil yang diperoleh dari metode
identifikasi biaya spesifik untuk setiap unit terjual dan
yang masih berada dalam persediaan.
Ayat Jurnal dan Akun Persediaan Perpetual (FIFO)

Barang 127B
Pembelian Beban Pokok Penjualan Persediaan
Jan 4 Piutang usaha 21.000 Bia Juma Bia Juma Bia Juma
Penjualan 21.000
ya h ya h ya h
4 Beban pokok penjualan 14.000
Persediaan 14.000 Kuan per biay Kuant per biay Kuant per biay
Tgl titas unit a itas unit a itas unit a
10 Persediaan 11.200 Jan 1 1.000 20,00 20.000
Utang Usaha 11.200
4 700 20,00 14.000 300 20,00 6.000
22 Piutang usaha 10.800 10 500 22,40 11.200 300 20,00 6.000
Penjualan 10.800 500 22,40 11.200
22 Beban pokok penjualan 7.344
Persediaan 7.344 22 300 20,00 6.000
60 22,40 1.344 440 22,40 9.856
28 Piutang usaha 7.200 28 240 22,40 5.376 200 22,40 4.480
Penjualan 7.200
28 Beban pokok penjualan 5.376 30 600 23,30 13.980 200 22,40 4.480
Persediaan 5.376 600 23,30 13.980
31 Saldo 26,720 18.460
30 Persediaan 13.980
Utang Usaha 13.980

Beban pokok Persediaan


penjualan 31 Januari
Buku besar pembantu persediaan untuk barang 127B ditunjukkan dalam
Tampilan 3 sebagai berikut.
1. Saldo awal pada 1 Januari adalah sebesar Rp20.000.000 (1.000 unit dengan biaya
tiap unit Rp 20.000).
2. Pada 4 Januari, terjual 700 unit dengan harga jual Rp30.000 per unit sehingga total
penjualan adalah Rp21.000.000 (700 unit × Rp30.000). Beban pokok penjualan
adalah Rp14.000.000 (700 unit dengan biaya per unit Rp20.000). Setelah penjualan,
sisa persediaan adalah Rp6.000.000 (300 unit dengan biaya per unit Rp 20.000).
3. Pada 10 Januari, dilakukan pembelian senilai Rp11.200.000 (500 unit dengan harga
per unit Rp22.400). Setelah pembelian, dalam pelaporannya persediaan ditulis ke
dalam 2 baris, Rp6.000.000 (300 unit dengan biaya per unit Rp20.000) yang
merupakan persediaan awal dan Rp11.200.000 (500 unit dengan biaya per unit
Rp22.400) yang merupakan pembelian pada 10 Januari.
4. Pada 22 Januari, sebanyak 360 unit terjual dengan harga Rp30.000 per unit sehingga
total penjualan adalah Rp10.800.000 (360 unit × 30.000). Dengan menggunakan
FIFO, beban pokok penjualan adalah sebesar Rp7.344.000 yang terdiri atas
Rp6.000.000 (300 unit dengan biaya per unit 20.000), yang merupakan saldo awal,
ditambah Rp1.344.000 (60 unit dengan biaya per unit Rp22.400) yang merupakan
pembelian pada 10 Januari. Setelah penjualan, persediaan tersisa sebesar
Rp9.856.000 (440 unit dengan biaya per unit Rp22.400) yang merupakan pembelian
pada 10 Januari.
5. Penjualan pada 28 Januari dan 30 Januari dicatat dengan cara yang sama.
6. Saldo akhir pada 31 Januari adalah sebesar Rp18.460.000. Saldo ini terdiri atas dua
lapis persediaan sebagai berikut.
5. Penjualan pada 28 Januari dan 30 Januari dicatat dengan cara yang sama.
6. Saldo akhir pada 31 Januari adalah sebesar Rp18.460.000. Saldo ini terdiri

atas dua lapis persediaan sebagai berikut.


Tanggal Pembelian Jumlah Harga per Unit Total Biaya
Lapis 1 10 Jan 200 Rp 22.400 Rp 4.480.000
Lapis 2 30 Jan 600 23.300 13.980.000

Total 800 Rp 18.460.000


Metode Masuk ‐ Pertama, Keluar ‐
Pertama (FIFO)
1. Untuk memberi ilustrasi mengenai metode FIFO dalam sistem persediaan
periodik, kita akan menggunakan data yang sama dengan barang 127B dalam
contoh persediaan perpetual. Persediaan awal dan pembelian barang 127B pada
bulan Januari adalah sebagai berikut.
Jan 1. Persediaan 1.000/unit Biaya Rp 20.000/unit Rp 20.000.000
10. Pembelian 500/unit Biaya Rp 22.400/unit 11.200.000
30. Pembelian 600/unit Biaya Rp 23.300/unit 13.980.000
Tersedia untuk dijual 2.100 unit 45.180.000
(selama bulan berjalan)

2. Penghitungan fisik pada tanggal 31 Januari menunjukkan terdapat sisa


persediaan sebanyak 800 unit. Dengan menggunakan metode FIFO, biaya sisa
persediaan pada akhir periode berasal dari biaya perolehan paling akhir. Biaya
800 unit dalam persediaan akhir pada tanggal 31 Januari dihitung sebagai
berikut.
Biaya paling akhir, pembelian tanggal 30 Januari 600/unit Biaya Rp 23.300/ unit Rp 13.980.000
Biaya paling akhir selanjutnya, pembelian tanggal 10 Januari 200/unit Biaya Rp 22.400/ unit Rp 4.480.000
Persediaan tanggal 31 Januari 800/unit Rp 18.460.000
3. Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari sebesar Rp18.460.000 dari
biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp45.180.000 akan menghasilkan
beban pokok penjualan sebesar Rp26.720.000, seperti ditunjukkan berikut
ini.
Persediaan awal, 1 Januari Rp 20.000.000
Pembelian (Rp 11.200.000 + Rp 13.980.000 Rp 25.180.000
Biaya barang tersedia untuk dijual di bulan Januari Rp 45.180.000
Persediaan akhir, 31 Januari Rp 18.460.000
Beban Pokok Penjualan Rp 26.720.000
============

4. Persediaan akhir per 31 Januari sebesar Rp18.460.000 berasal dari biaya


perolehan paling akhir. Beban pokok penjualan sebesar Rp26.720.000 berasal
dari biaya persediaan awal dan biaya paling awal.
Arus Biaya FIFO
Barang Beban
tersedia pokok
Pembelian untuk dijual penjualan

1 Jan
1 Jan
1.000
1.000 1.000 unit Rp 20.000.000
Unit Rp 20.000.000 Rp 20.000.000
Unit@ @Rp 20.000
Rp@20.000 Rp 6.720.000
Rp 20.000 Rp 6.720.000
t
uni 00
0 .4
10 Jan 30 22 Rp 26.720.000
p Rp============
26.720.000
10 Jan
500 @R
500 ============
Unit Rp 11.200.000 200
Unit@ un i
t@ Persediaan
Rp@22.400 Rp
2 2 .4
Rp 22.400 00

Rp 4.480.000
Rp 4.480.000
30 Jan
30 Jan
600 600 unit @ Rp 23.300
600 Rp 13.980.000 Rp 13.980.000
Unit Rp 13.980.000
Unit@
Rp 45.180.000 Rp 18.460.000
Rp@23.300 Rp============
18.460.000
Rp 23.300 ==============
============
Metode Masuk‐Terakhir, Keluar
Pertama (LIFO)
Saat metode LIFO digunakan dalam sistem persediaan
perpetual, biaya unit yang terjual merupakan biaya dari
pembelian yang terakhir.

Penggunaan metode LIFO awalnya dibatasi pada situasi


yang sangat jarang di mana unit yang terjual diambil dari
barang yang diperoleh paling akhir. Tetapi, untuk tujuan
perpajakan, saat ini metode LIFO banyak digunakan
meskipun metode ini tidak mencerminkan arus fisik unit.
Ayat Jurnal dan Akun Persediaan Perpetual (LIFO)

Barang 127B
Pembelian Beban Pokok Penjualan Persediaan
Jan 4 Piutang usaha 21.000 Bia Juma Bia Juma Bia Juma
Penjualan 21.000
ya h ya h ya h
4 Beban pokok penjualan 14.000
Persediaan 14.000 Kuan per biay Kuant per biay Kuant per biay
Tgl titas unit a itas unit a itas unit a
10 Persediaan 11.200 Jan 1 1.000 20,00 20.000
Utang Usaha 11.200
4 700 20,00 14.000 300 20,00 6.000
22 Piutang usaha 10.800 10 500 22,40 11.200 300 20,00 6.000
Penjualan 10.800 500 22,40 11.200
22 Beban pokok penjualan 8.064
Persediaan 8.064 22 360 22,40 8.064 300 20,00 6.000
140 22,40 3.136
28 Piutang usaha 7.200
Penjualan 7.200 28 140 22,40 3.136 160 20,00 3.200
28 Beban pokok penjualan 5.136
100 20,00 2.000 - - -
Persediaan 5.136
30 600 23,30 13.980 200 20,00 4.000
30 Persediaan 13.980 600 23,30 13.980
Utang Usaha 13.980
31 Saldo 27,200 17.980

Beban pokok Persediaan


penjualan 31 Januari
1. Saldo awal pada 1 Januari adalah sebesar Rp20.000.000 (1.000 unit dengan biaya tiap unit Rp 20.000)
2. Pada 4 Januari, terjual 700 unit dengan harga jual Rp30.000 per unit sehingga total penjualan adalah
Rp21.000.000 (700 unit × Rp30.000). Beban pokok penjualan adalah Rp14.000.000 (700 unit dengan biaya
per unit Rp20.000). Setelah penjualan, sisa persediaan adalah Rp6.000.000 (300 unit dengan biaya per unit
Rp20.000).
3. Pada 10 Januari, dilakukan pembelian senilai Rp11.200.000 (500 unit dengan harga per unit Rp22,400).
Setelah pembelian, dalamn pelaporannya persediaan ditulis ke dalam 2 baris, Rp6.000.000 (300 unit dengan
biaya per unit Rp20.000) yang merupakan persediaan awal dan Rp11.200.000 (500 unit dengan biaya per
unit Rp22.400) yang merupakan pembelian pada 10 Januari.
4. Pada 22 Januari, sebanyak 360 unit terjual dengan harga Rp30.000 per unit sehingga total penjualan adalah
Rp10.800.000 (360 unit × 30.000). Dengan menggunakan LIFO, beban pokok penjualan adalah sebesar
Rp8.064.000 (360 unit dengan biaya per unit 22.400) yang merupakan pembelian pada 10 Januari. Setelah
penjualan, persediaan tersisa sebesar Rp9.136.000 yang terdiri atas Rp6.000.000 (300 unit dengan biaya per
unit Rp20.000) yang merupakan saldo awal dan Rp3.136.000 (140 unit dengan biaya per unit Rp22.400)
yang merupakan pembelian pada 10 Januari.
5. Penjualan pada 28 Januari dan 30 Januari dicatat dengan cara yang sama.
6. Saldo akhir pada 31 Januari adalah sebesar Rp17.980.000. Saldo ini terdiri atas dua lapis persediaan
sebagai berikut.:

Tanggal Pembelian Jumlah Harga per Unit Total Biaya

Lapis 1 Saldo awal 1 Jan 200 Rp 20.000 Rp 4.000.000


Lapis 2 30 Jan 600 23.300 13.980.000

Total 800 Rp 17.980.000


Metode Masuk‐Terakhir, Keluar
Pertama (LIFO)
1. Saat metode LIFO digunakan, sisa biaya persediaan pada akhir periode berasal
dari biaya perolehan paling awal. Berdasarkan data yang sama dengan contoh
FIFO, biaya 800 unit dalam persediaan akhir per 31 Januari adalah Rp17.980.000
yang terdiri atas 200 unit persediaan awal dengan biaya per unit Rp 20.000. dan
600 unit persediaan akhir dengan biaya per unit Rp 23.300
2. Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari sebesar Rp 17.980.000 dari
biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 45.180.000 akan menghasilkan
beban pokok penjualan sebesar Rp27.200.000, seperti ditunjukkan berikut ini.
Persediaan awal, 1 Januari Rp 20.000.000
Pembelian (Rp 11.200.000 + Rp 13.980.000 Rp 25.180.000
Biaya barang tersedia untuk dijual di bulan Januari Rp 45.180.000
Persediaan akhir, 31 Januari Rp 17.980.000
Beban Pokok Penjualan Rp 27.200.000
============
3. Persediaan akhir per 31 Januari sebesar Rp 17.980.000 berasal dari biaya
perolehan paling awal. Beban pokok penjualan sebesar Rp 27.200.000 berasal
dari biaya persediaan paling akhir. Tampilan 7 menunjukkan hubungan beban
pokok penjualan untuk bulan Januari dan persediaan akhir per 31 Januari.
Persediaan akhir per 31 Januari sebesar Rp17.180.000 berasal dari biaya
perolehan paling awal. Beban pokok penjualan sebesar Rp28.000.000 berasal
dari biaya persediaan paling akhir.
Tampilan berikut menunjukkan hubungan beban pokok penjualan untuk bulan
Januari dan persediaan akhir per 31 Januari.
Barang Beban
Pembelian tersedia Pokok
untuk dijual penjualan
1 Jan
1 Jan
1.000 800 unit Rp 16.000.000
1.000
Unit Rp 20.000.000 Rp 16.000.000
Unit@ @Rp 20.000

20
Rp@20.000

0
Rp 11.200.000
nit 0Rp 11.200.000

un
Rp 20.000 u 0
0
50 22.4

it
@
p
@R

Rp
10 Jan Rp 27.200.000
10 Jan

20
500 Rp 27.200.000
==========

.0
500
Unit Rp 11.200.000 ==========

0
0
Unit@
Persediaan
Rp@22.400
Rp 22.400
Rp 4.000.000
Rp 4.000.000
30 Jan 600 unit @ Rp 23.300
30 Jan
600 Rp 13.980.000 Rp 13.980.000
600
Unit Rp 13.980.000
Unit@
Rp@23.300 Rp 17.980.000
Rp 23.300 Rp============
17.980.000
Metode Biaya Rata‐Rata Tertimbang
1. Saat metode ini digunakan dalam sistem persediaan perpetual, biaya unit
rata‐rata tertimbang dihitung setiap ada pembelian yang dilakukan.
2. Biaya unit ini digunakan untuk menentukan beban pokok penjualan sampai
pembelian berikutnya dilakukan dan nilai rata‐rata baru dihitung. Teknik ini
disebut rata‐rata bergerak (moving average).

Barang 127B
Pembelian Beban Pokok Penjualan Persediaan
Jan 4 Piutang usaha 21.000 Bia Juma Bia Juma Bia Juma
Penjualan 21.000
ya h ya h ya h
4 Beban pokok penjualan 14.000
Persediaan 14.000 Kuan per biay Kuant per biay Kuant per biay
Tgl titas unit a itas unit a itas unit a
10 Persediaan 11.200 Jan 1 1.000 20,00 20.000
Utang Usaha 11.200
4 700 20,00 14.000 300 20,00 6.000
22 Piutang usaha 10.800 10 500 22,40 11.200 800 21,50 17.200
Penjualan 10.800
22 Beban pokok penjualan 7.740 22 360 21,50 7.740 440 21,50 9.460
Persediaan 7.740
28 240 21,50 5.160 200 21,50 4.300
28 Piutang usaha 7.200
30 600 23,30 13.980 800 22,85 18.280
Penjualan 7.200
28 Beban pokok penjualan 5.160 31 Saldo 26,900 18.280
Persediaan 5.160

30 Persediaan 13.980
Utang Usaha 13.980 Beban pokok Persediaan
penjualan 31 Januari
Ayat jurnal serta buku besar pembantu persediaan untuk barang 127B, yang ditunjukkan
pada Tampilan 5 adalah sebagai berikut.
1. Saldo awal pada 1 Januari adalah sebesar Rp20.000.000 (1.000 unit dengan biaya tiap
unit Rp20.000)
2. Pada 4 Januari, terjual 700 unit dengan harga jual Rp30.000 per unit sehingga total
penjualan adalah Rp21.000.000 (700 unit × Rp30.000). Beban pokok penjualan adalah
Rp14.000.000 (700 unit dengan biaya per unit Rp20.000). Setelah penjualan, sisa
persediaan adalah Rp6.000.000 (300 unit dengan biaya per unit Rp 20.000).
3. Pada 10 Januari, dilakukan pembelian senilai Rp11.200.000 (500 unit dengan harga per
unit Rp22.400). Setelah pembelian, biaya rata‐rata tertimbang senilai Rp21.500
dihitung dengan membagi jumlah biaya persediaan tersedia senilai Rp17.200.000
(Rp6.000.000 + Rp11.200.000) dengan jumlah persediaan tersedia sebanyak 800 (300 +
500) unit. Dengan demikian, setelah pembelian, jumlah biaya persediaan adalah
Rp17.200.000 yang terdiri atas 800 unit dengan biaya per unit Rp21.500.
4. Pada 22 Januari, sebanyak 360 unit terjual dengan harga Rp30.000 per unit sehingga
total penjualan adalah Rp10.800.000 (360 unit × 30.000). Dengan menggunakan metode
biaya rata‐rata tertimbang, beban pokok penjualan adalah sebesar Rp7.740.000 (360
unit dengan biaya per unit 21.500). Setelah penjualan, persediaan tersisa sebesar
Rp9.460.000 (440 unit dengan biaya per unit Rp21.500).
5. Penjualan pada 28 Januari dan 30 Januari dicatat dengan cara yang sama.
6. Saldo akhir pada 31 Januari adalah sebesar Rp18.280.000 (800 unit dengan biaya per
unit Rp22.850).
Sistem Persediaan Perpetual
Terkomputerisasi
Catatan untuk sistem persediaan perpetual dapat dikelola secara
manual. Akan tetapi, bagi perusahaan dengan jumlah barang
persediaan yang begitu besar serta transaksi pembelian dan
penjualan yang banyak, sistem semacam
ini memakan biaya dan waktu. Dalam kebanyakan kasus,
penyimpanan catatan sistem persediaan perpetual dilakukan dengan
sistem terkomputerisasi.

Sistem ini dapat dilanjutkan untuk membantu manajer dalam


mengendalikan dan mengatur kuantitas persediaan. Sebagai contoh,
barang yang cepat terjual dapat dipesan ulang sebelum persediaan
habis. Pola penjualan yang lalu dapat dianalisis untuk menentukan
kapan harus menyediakan barang untuk penjualan normal dan untuk
barang yang dijual musiman.
Metode Biaya Persediaan dalam
sistem Persediaan Periodik
Saat sistem persediaan periodik digunakan, hanya pendapatan yang
dicatat setiap kali terjadi penjualan. Tidak ada ayat jurnal yang
dibuat pada saat penjualan untuk mencatat beban pokok penjualan.
Pada akhir periode akuntansi, penghitungan fisik persediaan dilakukan
untuk menghitung biaya persediaan dan beban pokok penjualan.

Seperti sistem persediaan perpetual, asumsi arus biaya harus dibuat


ketika unit yang identik diperoleh dengan biaya per unit yang berbeda
dalam periode tertentu. Dalam kasus seperti ini, metode FIFO, LIFO,
atau Biaya Rata‐Rata Tertimbang digunakan.
Metode Masuk ‐ Pertama,
Keluar ‐ Pertama
(FIFO)
Untuk memberi ilustrasi mengenai metode FIFO dalam
sistem persediaan periodik, kita akan menggunakan data
yang sama dengan barang 127B dalam contoh persediaan
perpetual. Persediaan awal dan pembelian barang 127B
pada bulan Januari adalah sebagai berikut.

Jan 1. Persediaan 1.000/unit Biaya Rp 20.000/unit Rp 20.000.000


10. Pembelian 500/unit Biaya Rp 22.400/unit 11.200.000
30. Pembelian 600/unit Biaya Rp 23.300/unit 13.980.000
Tersedia untuk dijual 2.100 unit 45.180.000
(selama bulan berjalan)
Penghitungan fisik pada tanggal 31 Januari menunjukkan terdapat sisa
persediaan sebanyak 800 unit. Dengan menggunakan metode FIFO, biaya sisa
persediaan pada akhir periode berasal dari biaya perolehan paling akhir.
Biaya 800 unit dalam persediaan akhir pada tanggal 31 Januari dihitung
sebagai berikut.
Biaya paling akhir, pembelian tanggal 30 Januari 600/unit Biaya Rp 23.300 per unit Rp 13.980.000
Biaya paling akhir selanjutnya, pembelian tanggal 30 Januari 200/unit Biaya Rp 22.400 per unit Rp 4.480.000
Persediaan 31 Januari 800/unit Rp 18.640.000

Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari sebesar Rp18.460.000 dari biaya


barang tersedia untuk dijual sebesar Rp45.180.000 akan menghasilkan beban
pokok penjualan sebesar Rp26.720.000, seperti ditunjukkan berikut ini.
Persediaan awal, 1 Januari Rp 20.000.000
Pembelian (Rp 11.200.000 + Rp 13.980.000 Rp 25.180.000
Biaya barang tersedia untuk dijual di bulan Januari Rp 45.180.000
Persediaan akhir, 31 Januari Rp 18.460.000
Beban Pokok Penjualan Rp 26.720.000
============

Persediaan akhir per 31 Januari sebesar Rp18.460.000 berasal dari biaya


perolehan paling akhir. Beban pokok penjualan sebesar Rp26.720.000 berasal
dari biaya persediaan awal dan biaya paling awal.
Metode Biaya Rata‐Rata Tertimbang
Metode biaya rata‐rata tertimbang menggunakan biaya unit rata‐rata
tertimbang untuk menentukan beban pokok penjualan dan persediaan akhir.
Jika pembelian selama satu periode relatif seragam, metode biaya rata‐rata
tertimbang memberikan hasil perhitungan biaya yang mirip dengan arus
barang secara fisik. Biaya unit rata‐rata tertimbang dihitung dengan cara
berikut.

Total biaya Unit yang Tersedia untuk dijual


Biaya Rata-rata Tertimbang =
Unit yang Tersedia untuk dijual

Sebagai contoh, data barang 127B akan digunakan sebagai berikut.

Total biaya Unit yang Tersedia untuk dijual 45.180.000


Biaya Rata-rata Tertimbang = =
Unit yang Tersedia untuk dijual 2.1000 unit

= 21.510

Biaya pada persediaan akhir 31 Januari adalah sebagai berikut. Persediaan, 31


Januari: Rp17.208.000 (800 unit × Rp21.510)
Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari sebesar Rp 17.208.000 dari biaya
barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 45.180.000 akan menghasilkan beban
pokok penjualan sebesar Rp 27.970.000, seperti ditunjukkan berikut ini.

Persediaan awal, 1 Januari Rp 20.000.000


Pembelian (Rp 11.200.000 + Rp 13.980.000 Rp 25.180.000
Biaya barang tersedia untuk dijual di bulan Januari Rp 45.180.000
Persediaan akhir, 31 Januari Rp 17.208.000
Beban Pokok Penjualan Rp 27.972.000
============
Membandingkan Metode Biaya
Persediaan
1. Arus biaya yang berbeda diasumsikan untuk masing‐masing dari tiga metode
alternatif biaya persediaan. Perhatikan bahwa jika biaya unit tetap stabil,
seluruh metode akan mendapatkan hasil yang sama. Akan tetapi, karena harga
berubah‐ubah, tiga metode tersebut biasanya akan menghasilkan jumlah yang
berbeda untuk:
1. Beban pokok penjualan
2. Laba kotor
3. Laba bersih
4. Persediaan akhir
2. Dengan menggunakan contoh sistem persediaan perpetual dan penjualan
sebesar Rp39.000.000 (1.300 unit × Rp30.000), perbedaan‐perbedaan ini
diilustrasikan sebagai berikut
Laporan Laba Rugi (Parsial) Biaya Rata-rata
FIFO LIFO Tertimbang
Penjualan Rp 39.000.000 Rp 39.000.000 Rp 39.000.000
Beban pokok penjualan Rp 26.720.000 Rp 27.200.000 Rp 26.900.000
Laba bruto Rp 12.280.000 Rp 11.800.000 Rp 12.100.000
Persediaan akhir, 31 Januari Rp 18.460.000 Rp 17.980.000 Rp 18.280.000
============ =========== ==========
3. Perbedaan‐perbedaan di atas menunjukkan akibat dari adanya kenaikan
biaya (harga). Jika biaya (harga) tetap sama, ketiga metode akan
menghasilkan hasil yang sama.

4. Namun demikian, biaya (harga) terus berubah. Efek dari perubahan biaya
(harga) pada metode FIFO dan LIFO ditunjukkan dalam Tampilan 8.
Metode biaya rata‐rata menghasilkan jumlah di antara yang dihasilkan FIFO
dan LIFO.

Pengaruh Kesalahan Persediaan terhadap Laporan Laba Rugi Periode Berjalan


Pengaruh Laporan Laba Rugi
Kesalahan pada persediaan Beban pokok Penjualan Laba bruto Laba Neto

Persediaan awal
Kurang saji Lebih saji Lebih saji
Kurang saji
Lebih saji Kurang saji Lebih saji
Lebih saji
Persediaan akhir
Lebih saji Kurang saji Kurang saji
Kurang saji
Kurang saji Lebih saji Lebih saji
Lebih saji
Melaporkan Persediaan dalam
Laporan Keuangan
Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, biaya merupakan dasar utama
dalam penilaian persediaan. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, persediaan
dinilai berdasarkan pertimbangan lain selain biaya. Dua kasus semacam ini
timbul saat:

1. Biaya penggantian barang dalam persediaan berada di bawah biaya yang


dicatat; dan
2. Persediaan tidak dapat dijual pada harga penjualan normal yang
disebabkan oleh kondisi barang (cacat, rusak karena terlalu lama dipajang
di toko), perubahan mode, atau sebab lainnya.
Penilaian pada Nilai yang Lebih
Rendah antara Biaya atau Pasar
1. Jika biaya penggantian barang dalam persediaan lebih rendah daripada
biaya pembelian awal, metode mana yang lebih rendah antara nilai pasar atau
biaya perolehan (lowerof‐cost‐or‐market—LCM) digunakan untuk menilai
persediaan. Nilai pasar, yang dimaksud adalah nilai pasar (nilai realisasi neto)
adalah nilai pasar (net realizable value) dari persediaan tersebut. Nilai
realisasi neto ditentukan sebagai berikut:
Nilai realisasi neto = Perkiraan harga jual – Biaya langsung atas pelepasan

Biaya langsung atas pelepasan mencakup beban penjualan seperti iklan


khusus atau komisi penjualan

Sebagai illutrasi, asumsikan data berikut tentang persediaan yang rusak


Biaya awal Rp 1.000.000
Perkiraan Harga Jual Rp 800.000
Perkiraan Beban Penjualan Rp 150.000

Nilai pasar (nilai realisasi neto) = Rp 800.000 – Rp 150.000 = Rp 650.000


2. Dalam menerapkan metode nilai pasar atau biaya yang lebih rendah, biaya‐
biaya penggantian dapat ditentukan dengan satu dari tiga cara berikut.
1. Setiap barang dalam persediaan.
2. Kelas atau kategori utama dalam persediaan.
3. Persediaan secara keseluruhan.

3. Jumlah penurunan harga dimasukkan dalam beban pokok penjualan. Hal ini
menyebabkan adanya penurunan laba kotor dan laba bersih pada periode di
mana penurunan harga muncul. Penyandingan antara penurunan harga dengan
periode di mana penurunan harga itu muncul merupakan keuntungan utama
dalam penggunaan metode nilai pasar atau biaya yang lebih rendah.

4. Sebagai contoh, diasumsikan data berikut ini merupakan data dari 400 unit
identik barang A dalam persediaan 31 Desember 2015:

Biaya unit yang dibeli Rp 10.250


Nilai pasar (nilai realisasi neto) Rp 9.500
Menghitung Persediaan pada Nilai
Pasar atau Biaya yang Lebih Rendah
Total
Jumlah Harga Nilai Penurunan
Barang Persediaa Biaya per Realisasi
Biaya (Rp) Harga pasar dari C atau
n Unit (Rp) Neto (Rp) (Rp) NRV (Rp)

Echo 400 10.500 9.500 4.100.000 3.800.000 3.800.000


Foxtrot 120 22.500 24.100 2.700.000 2.892.000 2.700.000
Sierra 600 8.000 7.750 4.800.000 4.650.000 4.650.000
Tango 280 14.000 14.750 3.920.000 4.130.000 3.920.000
Total 15.520.000 15.472.000 15.070.000
Persediaan di Laporan Posisi
Keuangan
Persediaan biasanya disajikan di bagian Aset Lancar dalam laporan posisi
keuangan, setelah akun‐akun piutang. Selain nilai persediaan, hal‐hal berikut ini
juga dilaporkan:
1. Metode untuk menghitung biaya persediaan (FIFO, LIFO, atau biaya rata‐rata
tertimbang)
2. Metode penilaian persediaan (biaya, atau nilai pasar atau biaya yang lebih
rendah)
Kedai Kopi
Laporan Posisi Keuangan
31 Desember 2016
Aset Lancar
Kas dan setara 235.000.000.000
Kas............................................................
Investasi perdagangan (biaya 420.000.000
rill)..........................................
Ditambah penyisihan penilaian untuk investasi perdagangan....... 45.000.000 465.000.000.000
Piutang 305.000.000
usaha..................................................................
Dikurangi penyisihan piutang 12.300.000 292.700.000
usaha.....................................
Persediaan – nilai yang lebih rendah antara biaya (metode FIFO atau
nilai
PSAK
PSAK 2525 memberikan
memberikan
panduan
panduan cara
cara dalam
menyajikan
dalam
menyajikan laporan
laporan Pengaruh Kesalahan Persediaan pada
keuangan
keuangan apabila
perusahaan
apabila
perusahaan membuat
kesalahan
membuat Laporan Keuangan
kesalahan material
material

1. Setiap kesalahan persediaan yang terjadi akan berpengaruh pada Laporan


Posisi Keuangan dan Laporan Laba Rugi. Beberapa alasan bahwa kesalahan
persediaan dapat terjadi termasuk sebagai berikut.
a. Persediaan fisik yang ada di tangan salah hitung.
b. Biaya‐biaya dialokasikan tidak benar ke dalam persediaan. Contoh: Metode
FIFO, LIFO, rata‐rata yang diaplikasikan secara tidak benar.
c. Persediaan yang ada di pengiriman dimasukkan atau tidak secara benar dari
persediaan.
d. Persediaan konsinyasi termasuk atau tidak secara benar dari persediaan.

2. Kesalahan persediaan selalu meningkat dari persediaan yang ada di


pengiriman pada akhir tahun. Seperti yang didiskusikan pada Bab 6, persyaratan
pengiriman menentukan kapan kepemilikan terhadap barang berpindah.

3. Ketika barang dibeli atau dijual FOB shipping point, kepemilikan berpindah
ketika barang telah diterima oleh pelanggan. Ketika perjanjiannya adalah FOB
destination, kepemilikan berpindah ketika barang diterima oleh pembeli.
Untuk mengilustrasikannya, asumsikan bahwa Sinar Express memesan barang
dagangan berikut dari Indonesian Products:
Tanggal pemesanan 27 Desember 2015
Jumlah Rp 10.000.000
Persyaratan FOB titik pengiriman 2/10,n/30
Tanggal pengiriman oleh penjual 30 Desember 2015
Tanggal kirim 3 Januari 2016
Kesalahan persediaan sering timbul dari persediaan konsinyasi (consigned
inventory). Pengusaha kadang-kadang mengirimkan barang dagangan ke
pedagang eceran yang bertindak sebagai agen penjual pengusaha. Pengusaha,
yang disebut pengirim barang (consignor), mempertahankan kepemilikan
sampai barang terjual.
Barang dagangan tersebut biasanya disebut untuk dikirim pada konsinyasi (on
consignment) kepada pedagang ecer biasanya disebut penerima barang
(consignee).
Pengaruh Laporan Laba Rugi Kesalahan pada persediaan akan
menyalahsajikan jumlah laporan laba rugi untuk beban pokok penjualan, laba
kotor, dan laba bersih.
Barang dagangan yang belum terjual pada akhir tahun adalah bagian dari
persediaan pengusaha (penerima barang), walaupun barang tersebut masih
ada pada pihak penerima barang. Pada akhir tahun, hal itu akan mudah bagi
pedagang ecer (penerima barang) untuk tidak benar memasukkan barang
terkonsinyasi dalam persediaan fisiknya.

Demikian juga, pengusaha (pengirim barang) harus memasukkan persediaan


konsinyasi ke dalam persediaan fisik walaupun persediaan fisiknya tidak di
tangan.
Pengaruh Laporan Posisi Keuangan Kesalahan persediaan menyalahsajikan
persediaan dagang, aset lancar, total aset, dan ekuitas pemilik dari laporan
posisi keuangan. Pengaruh dari kesalahan persediaan pada laporan posisi
keuangan tahun berjalan dirangkum dalam Tampilan 12.
Pengaruh Kesalahan Persediaan untuk Laporan Laba Rugi selama 2 tahun
Sinar Express
Laporan Laba Rugi
Untuk tahun Berakhir pada 31 Desember 2015 dan 2016
2015 2016
Benar Tidak benar Benar Tidak benar
Penjualan 980.000 980.000 1.100.000 1.100.000
Persediaan, 1 Januari 55.000 55.000 50.000 60.000
Pembelian 650.000 650.000 700.000 700.000
Persediaan yang dapat dijual 705.000 705.000 750.000 760.000
Persediaan yg semakin berkurang 60.000 50.000 70.000 70.000
31 Desember
Beban Pokok Penjualan 645.000 655.000 680.000 690.000
Laba Bruto 335.000 325.000 420.000 419.000
Beban operasi 100.000 100.000 120.000 120.000
Laba Neto 235.000 225.000 300.000 290.000

Pelaporan Pelaporan
lebih rendah lebih tinggi
Rp 10.000 dari laba neto Rp 10.000 dari laba neto

Pengaruh akhirnya adalah nol untuk dua tahun tersebut


Kesalahan pada persediaan berbalik (atau batal) sehingga laporan laba rugi gabungan
untuk dua tahun sebesar Rp 525.000(Rp 225.000 + Rp 300.000) sudah benar
Pengaruh Kesalahan Persediaan terhadap Laporan Posisi Keuangan Periode Berjalan
Pengaruh pada Laporan Posisi Keuangan
Kesalahan Persediaan Aset Total Ekuitas Pemilik
Persediaan Dagang Lancar Aset (Modal)
Akhir

Kurang saji Kurang saji Kurang saji Kurang saji Kurang saji

Lebih saji Lebih saji Lebih saji Lebih saji Lebih saji

Kesalahan Persediaan menyalahsajikan persediaan dagang, aset lancar, total aset,


dan ekuitas pemilik dari laporan posisi keuangan
Kesalahan Persediaan berbalik dalam dua tahun. Hasilnya laporan posisi keuangan
akan benar pada 31 Desember 2016. Menggunakan illustrasi Sinar Express sebagai
berikut: Jumlah salah saji
31 Desember 2015 31 Desember 2016
Laporan Posisi Keuangan
Persediaan dagang lebih saji (kurang saji) (10.000.000) Benar
Aset lancar lebih saji (kurang saji) (10.000.000) Benar
Total aset lebih saji (kurang saji) (10.000.000) Benar
Ekuitas pemilik dilaporkan lebih saji (kurang saji) (10.000.000) Benar
LaporanLaba Rugi
Beban pokok penjualan lebih saji (kurang saji) 10.000.000 (10.000.000)
Laba bruto lebih saji (kurang saji) (10.000.000) 10.000.000
Laba neto lebih saji (kurang saji) (10.000.000) 10.000.000
Analisis dan Interpretasi Keuangan:
Perputaran Persediaan dan Jumlah
Hari Penjualan dalam Persediaan
1. Sebuah perusahaan dagang harus menyimpan sisa persediaan dalam jumlah
memadai untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya. Kekurangan persediaan
akan mengakibatkan kehilangan penjualan. Namun sebaliknya, terlalu banyak
persediaan mengurangi likuiditas perusahaan karena dana yang seharusnya
digunakan untuk memperluas atau meningkatkan kegiatan operasional, malah
tertanam dalam bentuk persediaan.

2. Di samping itu, kelebihan persediaan meningkatkan beban seperti


penyimpanan, asuransi, dan pajak properti. Akhirnya, kelebihan persediaan
akan meningkatkan risiko kerugian akibat penurunan harga, kerusakan, atau
perubahan dalam pola pembelian pelanggan.

3. Dua ukuran yang dapat digunakan adalah:


1. Perputaran persediaan (inventory turnover)
2. Jumlah hari penjualan dalam persediaan (number of days’ sales in
inventory).
PERPUTARAN PERSEDIAAN
Perputaran persediaan (inventory turnover) mengukur hubungan antara volume
barang terjual dan jumlah persediaan yang dimiliki selama periode tertentu.
Rasio ini dihitung sebagai berikut.
Beban Pokok Penjualan
Perputaran Persediaan =
Persediaan Rata-rata
Sebagai illustrasi, data berikut diambil dari laporan tahunan dua tahun terakhir
milik PT. Matahari Departement Store.
2016 2015
Beban pokok penjualan Rp 3.685.279 Rp 3.335.638
Persediaan:
Awal tahun 1.007.811 955.231
Akhir tahun 955.276 1.007.811
Persediaan rata-rata
(1.007.811 + 955.276) ÷ 2 1.001.543,5
(955.231 + 1.007.811) ÷ 2 981.521
Perputaran persediaan
(3.685.279 ÷ Rp 1.001.543,5 3,7
(3.335.638 ÷ 981.521 3,4

Semakin besar nilai perputaran persediaan, semakin efisien dan efektif pengelolaan
persediaan. Dalam illustrasi : perputaran persediaan meningkat dari 3,4 ke 3,7 selama 2016.
Menunjukkan bahwa efisien persediaan Matahari meningkat selama tahun 2016
Jumlah hari penjualan dalam persediaan (number of days’ sales in inventory)
merupakan ukuran kasar atas lamanya waktu yang diperlukan untuk
memperoleh, menjual, dan mengganti persediaan, yang dihitung sebagai
berikut.
Persediaan Rata-rata
Jumlah hari penjualan dalam Persediaan =
Beban Pokok Penjualan rata-rata harian

Beban pokok penjualan harian rata-rata ditentukan dengan membagi beban


pokok penjualan dengan 365. Berdasarkan data sebelumnya jumlah hari
penjualan dalam persediaan untuk Matahari dihitung sebagai berikut:

2016 2015
Beban pokok penjualan Rp 3.685.279 Rp 3.335.638
Beban pokok penjualan harian rata-rata:
Rp 3.685.279 ÷ 365 hari 10.096,7
Rp 3.335.638 ÷ 365 hari 9.138,7
Persediaan rata-rata
(1.007.811 + 955.276) ÷ 2 1.001.543,5
(955.231 + 1.007.811) ÷ 2 981.521
Jumlah hari penjualan dalam persediaan
Rp 1.001.543,5 ÷ 10.096,7 99,2 hari
Rp 981.521 ÷ 9.138,7 107,4
Semakin rendah jumlah hari penjualan dalam persediaan, semakin efisien dan
efektif perusahaan dalam mengelola persediaan. Seperti yang ditunjukkan
dalam gambar , jumlah hari penjualan dalam persediaan menurun dari 107,4 ke
99,2 selama tahun 2016. Menunjukkan bahwa manajemen persediaan Matahari
semakin baik. Hal ini sesuai dengan peningkatan perputaran persediaan selama
tahun tersebut
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai