Anda di halaman 1dari 13

human trafficking

kelompok
anggota : ayna rahil
awannisa
elya fadhila
Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan
secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan
berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka
modus kejahatan perdagangan manusia semakin canggih. “Perdagangan
orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir
(organized), dan lintas negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan
sebagai transnational organized crime (TOC)”.
Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana
perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah
protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking
adalah:
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau
penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau
penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau
menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk
tujuan eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk
melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja
atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan,
pengahambaa atau pengambilan organ tubuh.
Faktor- Faktor Penyebab Trafficking Human

1. Faktor Ekonomi
Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab utama terjadinya
Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia merupakan ancaman
yang sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi
bahwa rendahnya ekonomi membawa dampak bagi prilaku sebagian besar masyarakat.

2. Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya


Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk
Indonisia penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM
menunjukkan sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan
dan anak-anak. Indonisia adalah suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu
struktur komonitas dimana kaum laki-laki yang lebih memegang
kekuasaan,dipersepsi sebagai struktur yang mendegorasi perempuan baik
dalam kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku masyarakat
3. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan eksploitasi terhadap
anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus sekolah, sehingga mereka tidak mempunyai
skill yang memadai untuk mempertahankan hidup. Implikasinya, mereka rentan terlibat
kriminalitas.

Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2000 lalu melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonisia
berusia 10 tahun ke atas belum atau tidak tamat pendidikandasar (SD) dan hanya 15% tamat SLTP.
Menurut laporan BPJS Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun dan 24% anak usia 13-
15 tahun tidak melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena alasan ketidak mampuan dalam hal
biaya.
4.Tidak Ada Akta Kelahiran
Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002 yang lalu memperkirakan bahwa
hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia belum mempunyai akta kelahiran.

5.Kebijakan yang Bias Gender


Indonisia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang menjamin kesetaraan hak bagi
perempuan, antara lain rativikasi konvensi untuk penghpusan deskriminasi untuk perempuan
(CEDAW) pada tahun 1984. Namun kenyataannya hukum perlindungan hanya di atas kertas
sedangkan prakteknya masih jauh dari yang diaharapkan. Kesetaraan gender belum sepenuhnya
terwujud, perempuan masih tertinggal secara sosial, politik, dan ekonomi dari kaum laki-laki.
6. pengaruh globalisasi
Bentuk dan Modus Trafficking Human
a. Bentuk Trafficking
Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah:
1. Eksploitasi Seksual Eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi.
Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau mengalami perceraian karena
akibat kawin muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan
kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk mucikari atau
disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif, misalnya jam kerja yang
tak terbatas agar menghasilkan uang yang jumlahnya tidak ditentukan
b. Eksploitasi non komersial,
Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak pelaku
pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan dengan tanpa
dijerat hukum.
C. Bentuk-Bentuk Trafficking

Ada beberapa bentuk trafficking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak.
1. Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia
2. Pembantu Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia
3. Bentuk Lain dari Kerja Migran, baik di luar ataupun di wilayah Indonesia
4. Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri
5. Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri
6. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia
7. Trafficking/penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia
E. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking

Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO, dan
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention of Child
Trafficking for Labor and Sexual Exploitation.
Tujuan dari program ini adalah :

1. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah


Menegah Atas untuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak
perempuan,
2. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus
sekolah dasar,
3. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan
penghasilan,
4. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk
memfasilitasi usaha sendiri,
5. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak
F. Hambatan Pemberantasan Trafficking

Upaya penanggulangan perdagangan manusia khususnya perdagangan perempuan dan anak


mengalami berbagai hambatan. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan SP selama ini, terdapat
3 (tiga) hal yang merupakan hambatan kunci dalam melakukan upaya tersebut, yaitu antara lain:

1. Budaya masyarakat (culture)


Anggapan bahwa jangan terlibat dengan masalah orang lain terutama yang berhubungan dengan
polisi karena akan merugikan diri sendiri, anggapan tidak usah melaporkan masalah yang dialami,
dan lain sebagainya. Stereotipe yang ada di masyarkat tersebut masih mempengaruhi cara
berpikir masyarakat dalam melihat persoalan kekerasan perempuan khususnya kekerasan yang
dialami korban perdagangan perempuan dan anak.
 
3. Aparat penegak hukum (legal structure)
Keterbatasan peraturan yang ada (KUHP) dalam menindak pelaku perdagangan
perempuan dan anak berdampak pada penegakan hukum bagi korban. Penyelesaian
beberapa kasus mengalami kesulitan karena seluruh proses perdagangan dari
perekrutan hingga korban bekerja dilihat sebagai proses kriminalisasi biasa.

Anda mungkin juga menyukai