Anda di halaman 1dari 48

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP

BANGSA DAN NEGARA INDONESIA


Oleh: Adhidharma Brotosusilo

Rp
$

Adhidharma Brotosusilo, 2012 1


PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP
BANGSA DAN NEGARA INDONESIA

Daftar Isi:
Bab I Latar Belakang
Bab II Permasalahan
Bab III Pembahasan
Bab IV Kesimpulan dan Saran

Adhidharma Brotosusilo, 2012 2


2
Bab I
Latar Belakang

Adhidharma Brotosusilo, 2012 3


Globalisasi
Globalisasi adalah proses
penyebaran unsur-unsur
kebudayaan --materiel maupun
immateriel— berupa kebutuhan
hidup manusia, dari suatu
tempat/kawasan ke seluruh
penjuru bola dunia (globe).
Agus Brotosusilo,
Adhidharma 2005
Brotosusilo, 2012 4
Globalisasi (termasuk dibidang
ekonomi dan perdagangan) bukanlah
suatu gejala atau kenyataan yang
harus dirisaukan, apalagi ditakuti,
karena selama ratusan tahun kawasan
Nusantara telah menjadi satu diantara
simpul terpenting globalisasi.

Globalisasi memiliki dua sisi:


membuka peluang-peluang dan
menghadirkan Adhidharma
ancaman-ancaman.
Brotosusilo, 2012 5
Globalisasi di saat ini berbeda
dengan globalisasi di masa lalu,
karena berkat kemajuan yang
sangat pesat di bidang teknologi
dan informasi, globalisasi saat ini
bersifat simultan: pada waktu yang
sama globalisasi terjadi di berbagai
bidang kehidupan (ekonomi, politik,
hukum, teknologi, sosial dan
budaya) dan berlangsung di dalam
lingkup geografis yang sangat luas.
Adhidharma Brotosusilo, 2012 6
Dimensi Globalisasi:
Globalisasi meliputi dimensi-dimensi:
• Ideologi : Kapitalisme
• Politik : Demokrasi
• Ekonomi: Free Market  Free Trade
• Teknologi: Teknologi Informasi
• Hukum : WTO.

• Presentasi ini dibatasi pada pengaruh


globalisasi ekonomi, khususnya di
sektor perdagangan internasional,
terhadap BangsaAgus dan Negara
Adhidharma Brotosusilo,
Brotosusilo,
2012 2005 RI. 7
7
PERUBAHAN
PARADIGMA PEREKONOMIAN

LAMA BARU
• PASAR MONOPOLISTIK • PASAR KOMPETITIF
• REGULASI SANGAT KETAT • HAMPIR TANPA REGULASI
• INFRASTRUKTUR • INFRASTRUKTUR INFORMASI
TELEKOMUNIKASI
• JASA DASAR & NON DASAR • JARINGAN DAN JASA
• INFORMASI DENGAN FORMAT • INFORMASI DALAM FORMAT
TERPISAH UNTUK SUARA, MULTIMEDIA (KONVERGENSI)
DATA, TEKS, GAMBAR
• HYBRID ANALOG • SELURUHNYA DIGITAL
• CIRCUIT-SWITCHED • PACKET-SWITCHED
• DOMINASI SALURAN KAWAT • DOMINASI NIR KABEL
• TARIF SESUAI MENIT • TARIF SESUAI BYTE
• TERGANTUNG JARAK • TIDAK TERGANTUNG JARAK
• DOMINASI BUMN • DOMINASI OLEH SWASTA DAN
PUBLIK
• INDUSTRIAL ECONOMY • NEW ECONOMY /Knowledge-
Agus Brotosusilo,
Adhidharma 2005
Brotosusilo, based Economy
2012 8
Three Theories of International Political Economy
Mercantilism Economic Marxism
Liberalism

Relationship Politics decisive Economics Economics


between Autonomous decisive
Economics and
politics:

Main actors/ units States Individuals Classes


of analysis:

The nature of Conflictual, Cooperative, Conflictual


Economic relations: zero-sum game positive-sum
game

Economic goals: State power Maximum individual Against


well-being Exploitation

Adhidharma Brotosusilo, 2012 9


Bab II
Permasalahan

Adhidharma Brotosusilo, 2012 10


Permasalahan:

Apa pengaruh globalisasi


terhadap bangsa dan negara
Republik Indonesia di bidang
ekonomi, terutama sektor
perdagangan?

Adhidharma Brotosusilo, 2012 11


Bab III
Pembahasan

Agus Brotosusilo,
Adhidharma 2005
Brotosusilo, 2012 12
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
globalisasi ekonomi/perdagangan:

• Production Technology: high-tech,


biotech, GMO.
• Trans-border Transportation &
Information Technology.
• International Trade Law (e.g. WTO)

Adhidharma Brotosusilo, 2012 13


Agus Brotosusilo, 2005 13
GLOBALIZATION:
GLOBALIZATION:
(LIBERALIZATION
(LIBERALIZATION && PROTECTION)
PROTECTION)
• Production Technology, high-tech, biotech, GMO
• Trans-border Transportation/Information Tech.
• International Trade Law (e.g. WTO)
Regional Trade Vienna Convention on Bilateral Trade
Arrangements The Law of Treaties, 1969. Arrangements

IM
P RT/
EKS ORT/ MPO RT
POR IMPLICATIONS I SPO
T EK

• National Law
• Domestic Laws

TRIP’S LAWS
CUSTOM LAW
ANTI-DUMPING LAW
SAFEGUARD LAW
Adhidharma Brotosusilo, 2012 14
BRO 1934 – Law No.7/1994
Adhidharma Brotosusilo, 2012 15
Adhidharma Brotosusilo, 2012 16
THE ORIGIN OF WTO: the coming crisis of capitalism
<1930 US SMOOT – HEWLEY BILL: PROTECTIONISM

1930 US TARIFF ACT OF 1930: PROTECTIONISM ON TRADE POLICY


GLOBAL TRADE WAR  GREAT DEPRESSION: 1ST Crisis of capitalism

1934 THE RECIPROCAL TRADE AGREEMENTS ACT OF 1934: TRADE LIBERALIZATION

1944 BRETTON WOODS CONFERENCE: - INTERNATIONAL MONETARY FUND


- THE WORLD BANK
- INTERNATIONAL TRADE ORGANIZATION =/=
1948 ITO Principles GATT:
- NON DISCRIMINATION
- ANTI – NON TARIFF BARRIERS
- PREDICTABLE TRADE ENVIRONTMENT
- PEACEFULL DISPUTES SETTLEMENT MECHANISM

1995 WTO: - TRADE ON GOODS


- TRADE ON SERVICES
- TRIP’S
- TRIM
Principles:
Non Discrimination:
- MFN (the Most Favorite Nation);
- National Treatment;
Rules on Market Access:
- Tariff Binding; dan
- “Non-Tariff Barriers/NTB”
Adhidharma Abolition.
Agus Brotosusilo, 2005
Brotosusilo, 2012 17
- Discriminative Trade Liberalization
2008 - ? (US Financial Crisis); 2011 - ? (EU Financial Crisis): 2 nd Crisis of capitalism.
Globalisasi Timbulkan Pengaruh
Positif dan Negatif.
Pengaruh Positif :
1. peningkatan transaksi perdagangan
lintas-batas negara;
2. biaya transaksi lebih murah; dan
3. proses transaksi makin cepat dan
mudah.

Pengaruh Negatif:
Berpotensi merugikan “Kepentingan
Nasional” Bangsa dan
Adhidharma Negara
Brotosusilo, 2012 RI. 18
Adhidharma Brotosusilo, 18
2005
Pengaruh Internal Globalisasi
Terhadap Perekonomian Indonesia:

– Konsumsi domestik meningkat;


– impor “consumer products”
meningkat;
– impor “raw material” dan
barang-barang modal turun.
– produksi & daya saing industri
dalam negeri menurun;
Adhidharma Brotosusilo, 2012 19
Adhidharma Brotosusilo, 19
2005
Consumption surpassed the pre crisis level
Consum ption (1996=100)

125

120

115

110

105

100

95

90

85

80

75
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Indonesia Korea Malay sia Thailand


Adhidharma Brotosusilo, 2012 20
Source: CEIC database, January 2003
Manufacturing sector is slowing down
Growth of Manufacturing Industries
% change
15

10

-5

-10

-15
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Total manufacturing Oil & Gas


Non-oil & Gas
Adhidharma Brotosusilo, 2012 21
Source: BPS
Manufacturing sector is slowing down
• Data tentang Pertumbuhan Produk Domestik Bruto/PDB
dari Badan Pusat Statistik menunjukkan pertumbuhan
sektor ini selama tahun 2005 semakin merosot: dari 7,1
% pada triwulan ke-I, menjadi 4,9 % pad triwulan ke-II,
ke 4,5 % pada triwula ke-III, dan tinggal 2,9% pada
triwulan ke-IV. Bahkan pada triwulan ke-I 2006
pertumbuhan sektor ini merosot lebih parah lagi
sehingga tinggal mencapai 2,0 %.

• Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi:


”Sekarang ini kita tidak bisa lagi mengharapkan dari
sektor industri manufaktur. Industri padat karya itu sudah
nekat menjual produknya dengan harga rugi.
Penumpukan stok hanya akan menyebabkan biaya
semakin membengkak”.
( Harian Kompas, 25 Juli
Adhidharma 2006,
Brotosusilo, 2012 “Ekspor Menguat,
22
Industri Melemah”, h. 21).
Loosing competitiveness
Penurunan Daya Saing Indonesia, 2000 - 2003

Indoensia
Thailand

11% 7%
Inner circle 2000,
Philippines 11% 11% outer circle 2003
8%
4%

14%

Malaysia 18%
Korea
60% 56%

Adhidharma Brotosusilo, 2012 23


Ishihara, 2004
Melalui Ratifikasi (UU No.7/1994),
Indonesia menjadi anggota WTO,
pengaruhnya:

Menguntungkan atau merugikan


“Kepentingan Nasional” NKRI?

Adhidharma Brotosusilo, 2012 24


KERUGIAN INDONESIA SEBAGAI ANGGOTA WTO

1. Karena tingkat konsumsi Indonesia selalu meningkat (kecuali di


masa krisisi ekonomi 1998) (grafik 3), tetapi sebaliknya tingkat
produksi manufaktur semakin turun (grafik 4), maka sementara daya
saing negara-negara lain semakin kuat, daya saing Indonesia di pasar
internasional semakin melemah (gambar 1), Akibatnya di bidang
perdagangan barang Indonesia menderita defisit neraca pembayaran
yang besar; kerugian RI makin besar akibat tingginya tingkat
penyelundupan dan korupsi.

2. WTO juga mengatur perlindungan HAKI (Hak Atas Kepemilikan


Intelektual yang terkait dalam perdagangan internasional / Trade
Related Intellectual Property Rights/TRIPS) –a.l. hak Patent dan Hak
Cipta--, padahal Indonesia lebih banyak membeli dari pada menjual
produk yang mengandung HAKI; maka di bidang HAKI Indonesia juga
menderita defisit neraca pembayaran yang besar, karena harus
banyak membayar HAKI produk asing (tabel 1).

3. Dalam perdagangan internasional pelayanan jasa (berdasarkan


General Agreement on Trade in Services/GATS ), Indonesia menderita
defisit neraca pembayaran yang tidak kecil, karena dalam transaksi
internasional bidang jasa Indonesia
Adhidharma merupakan “ net-importing
Brotosusilo, 2012 25
country”.
Tabel :
Jumlah Permintaan Pemeriksaan Substantif Paten
Sumber: Direktorat Jenderal Paten dan Hak Cipta, 1994.

Tahun/ Jumlah Permintaan Hasil


Bulan Pemeriksaan Dalam Proses
Substantif Ditolak Diberi

Paten Paten Jumlah Paten Paten Jumlah Paten Paten Paten Paten
Seder Seder Seder Seder
hana hana hana hana
1992 86 57 143 86 57 143 2
1993 37 4 41 27 4 31 1 1 1 2
Januari 20 5 25 22 5 27 1 2 1
Februari 34 5 39 31 5 36 1 1 2
Maret 20 3 23 19 3 22 4 1
April 43 5 48 47 5 52 2 3
Mei 58 5 63 55 5 60 1
Juni 85 5 90 78 5 83 1
Juli 69 4 73 61 4 65
Agustus 81 4 85 50 4 54
Septembe 111 2 113 114 2 116
r 107 5 112 112 5 117
Adhidharma Brotosusilo, 2012 26
Oktober
November
Impact of Partial, Multilateral Liberalization
on Real Income
(with Respect to Both Elasticities)

Adhidharma Brotosusilo, 2012 27


BOTH Trade Elasticities

Low income Asia 0.3 0.6 0.9


China 2.3 2.6 2.8
India 0.6 0.6 0.5
Upper Income Asia 1.7 1.8 1.9
Indonesia -0.6 -0.6 -0.3

Other Africa -0.2 -0.2 -0.1


Nigeria -0.3 -0.4 -0.4
South Africa -0.4 -0.3 -0.3
Maghren -0.4 -0.4 -0.3

Miditerranean -0.3 -0.4 -0.3


Gulf Region 0.0 0.5 0.6

Other Latin America 1.1 0.6 0.5


Brazil 0.2 0.3 0.3
Mexico 0.0 0.0 0.0

United States 0.1 0.2 0.2


Canada 0.4 0.4 0.4
Australia & New Zeland 0.3 0.3 0.2
Japan 1.0 0.9 0.8
European Community 1.3 1.4 1.5
European Free Trade Area 1.4 1.6 1.6
European Economics --- 0.1 0.2 0.3
Former Soviet Union 0.1 0.0 0.0

Africa -0.3 -0.3 -0.3


Low Income 1.3 1.7 1.8
Latin America 0.4 0.3 0.3
Other Developing Countries 0.3 0.8 0.9
OECD 0.7 0.8 0.8
Other 0.1 0.1 0.1
Total 0.6 0.7 0.8

Agus Brotosusilo,
Adhidharma 2005
Brotosusilo, 2012 28
World Trade and Economy
(Growth, before and after Uruguay Round)

Year GDP Trade

1985 – 1994 (%) 2,64 7,15


1995 – 2004 (%) 2,58 6,53

Sources: Pos M. Hutabarat, Indonesian Perspective on Multilateral Trade


Negotiations in the GATT/WTO, 2005 (from various publication)

Agus Brotosusilo,
Adhidharma 2005
Brotosusilo, 2012 29
Agus Brotosusilo, 2005 29
Objectives of GATT/WTO

1. Expanding production and trade


2. Raising standard of living and income
3. Ensuring full employment
4. Optimal use of the world’s resources
(a) sustainable development and the need to
protect and preserve the environment
(b) to ensure that the developing countries,
especially the least developed countries secure a
better share of the growth in international trade

Adhidharma Brotosusilo, 2012 30


Agus Brotosusilo, 2005 30
Prinsip-prinsip dasar/
GATT 1994/WTO :
Non-Discrimination Rule:
 Prinsip MFN (the Most Favorite Nation);
 Prinsip National Treatment; dan

Market- Access Rule:


• Prinsip Tariff Binding;
• Prinsip larangan “Non-Tariff Barriers/NTB”;
dan
• Prinsip Liberalisasi pasar yang diskriminatif31
Adhidharma Brotosusilo, 2012
1. Prinsip MFN
(the Most Favorite Nation)
Prinsip MFN (the Most Favorite
Nation) dalam perdagangan
internasional adalah peraturan
yang melarang diskriminasi tarif
antara dua negara atau lebih; yang
memberikan kepada negara-negara
lain keuntungan-keuntungan,
perlakuan baik, hak istimewa, atau
kekebalan dalam perdagangan
yang diberikan kepada negara yang
menerima perlakuan MFN.
Adhidharma Brotosusilo, 2012 32
2. Prinsip National Treatment

• Pasal III ayat 1 GATT menetapkan bahwa pajak-


pajak dalam negeri dan berbagai pungutan,
peraturan perundang-undangan dan persyaratan-
persyaratan serta pengaturan kuantitas yang
mempengaruhi perdagangan dalam negeri, tidak
boleh diterapkan terhadap produk impor maupun
produk domestik untuk memberikan proteksi
terhadap produk domestik;

• Ayat 2 daripasal tersebut menetapkan bahwa


dalam penerapan pajak-pajak dalam negeri tidak
boleh dibedakan antara pajak terhadap produk
impor dan produk domestik.
Adhidharma Brotosusilo, 2012 33
3. Prinsip Tariff Binding
• Tarif biasanya ditetapkan berdasarkan
konsesi timbal-balik, adalah bea-masuk
yang dikenakan terhadap barang impor.

• Pada pasal II GATT ditetapkan bahwa


apabila konsesi tarif telah dibuat atas
barang tertentu, barang tersebut terikat
(bound) pada tingkat yang telah
disepakati bersama. Jadi tarif tidak
dapat dinaikkan melebihi tingkat
tersebut, tetapi penerapannya dapat
lebih rendah dari tingkat tersebut.
Penerapan konsesi ini harus sesuai
dengan prinsip MFN.
Adhidharma Brotosusilo, 34
2012
4. Prinsip larangan
“Non-Tariff Barriers/NTB”
“Non-Tariff Barriers/NTB” meliputi peraturan-
peraturan maupun persyaratan-persyaratan
yang menghambat arus impor barang;
meliputi baik pembatasan-pembatasan
kuantitatif –misalnya saja kuota--, maupun
“Non-Tariff Barriers/NTB” lainnya, misalnya
saja: peraturan perdagangan yang tidak
transparan dan penerapan sewenang-wenang
atau tidak adil di dalam peraturan-peraturan
perdagangan, formalitas kepabeanan,
hambatan-hambatan teknis dalam
perdagangan (technical barriers to trade),
serta praktek belanja pemerintah
(government procurement).
Adhidharma Brotosusilo, 2012 35
5. Prinsip Liberalisasi Pasar yang
Diskriminatif
Prinsip ini tidak pernah dikemukakan secara terbuka, bahkan
seringkali berusaha ditutup-tutupi oleh pendukung WTO. Dalam WTO
Rule liberalisasi pasar hanya diberlakukan untuk produk unggulan
Negara-Negara Maju, sebagaimana diatur pada Non-Agriculture
Products Market-Access/NAMA, Trade in Sevices Market-Access ,
Trade Related Intellectual Property Rights/TRIPs, dan Trade
Related-Foreign Investment Measures/TRIMs. Sebaliknya:
Liberalisasi pasar tidak berlaku bagi produk unggulan Negara Negara
Berkembang, yaitu Agriculture Product, yang berdasarkan Agreement
on Agriculture bahkan menghadapi hambatan perdagangan berupa
bea-masuk impor tinggi dan subsidi yang besar atas produk sejenis di
Negara-Negara Maju. Akibatnya produk unggulan negara-negara
berkembang ini meskipun biaya produksinya jauh lebih murah dari
produksi serupa di negara-negara maju, tidak dapat bersaing di pasar
internasional. Semua hal tersebut merupakan upaya menciptakan dan
mempertahankan ketergantungan (dependency) Negara-negara
Adhidharma Brotosusilo, 2012 36
Berkembang kepada Negara-negara Barat/maju.
Adhidharma Brotosusilo, 2012 37
GATT 1994/WTO memiliki sifat dan hakekat yang
sangat berbeda dibandingkan GATT 1947:
• Seluruh naskah persetujuan ini merupakan paket, sehingga negara peserta
tidak dapat melakukan "reservasi" atas ketentuan yang merugikan
pihaknya;

• Cakupan bidang yang diatur lebih luas dibanding ketentuan GATT


sebelumnya. Kecuali mencakup penurunan tarif, penghapusan hambatan
non‑tarif, masalah tropical dan natural resources‑based product, tekstil
dan pertanian, juga meliputi pengaturan tentang "new issues" yang
meliput: Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property
Rights (TRIPS); Agreement on Trade Related Aspect of Investment
Measures (TRIMS); dan General Agreement on Trade in Services;

• Negara berkembang harus menjadi "peserta aktif" yang tidak hanya


menikmati kemudahan‑kemudahan yang disediakan dalam kesepakatan,
tetapi juga harus menjalankan kewajiban sepenuhnya sebagaimana
anggota peserta dari negara maju; dan

• GATT 1994/WTO memiliki sifat mengikat yang lebih kuat dibanding GATT
1947; GATT 1947 memiliki tingkat efektivitas yang sangat rendah, karena
DSM pada rezim hukum ini menerapkan prinsip yang memungkinkan
terjadinya “a block by one veto”, sebaliknya GATT 1994 memiliki tingkat
efektivitas yang tinggi, karena DSM pada rezim hukum ini menerapkan
prinsip “a pass by one vote”.
Adhidharma Brotosusilo, 2012 38
“A block by one veto”,
• GATT 1947 mensyaratkan keputusan “Report of the Panel
of Expert’” dalam sengketa tersebut berupa resolusi yang
disampaikan kepada seluruh peserta GATT 1947 --yang
disebut “contracting parties”--, (bukan “members” seperti
sebutan di dalam GATT 1994). Majelis (a council) para
peserta GATT 1947 kemudian harus memutuskan apakah
akan mengadopsi resolusi tersebut sehingga dengan
demikian keputusan tersebut akan memiliki kekuatan
mengikat (binding). Adopsi terhadap resolusi di dalam
Majelis para peserta harus diputuskan secara konsensus.
Dengan demikian pihak yang dikalahkan dalam sengketa
tersebut dapat menolak adopsi, sehingga resolusi tidak
memiliki kekuatan mengikat. Ini berarti bahwa efektif atau
tidaknya keputusan penyelesaian sengketa ditentukan oleh
“veto” 1 (satu) peserta saja. Suara menentang dari 1 (satu)
peserta saja dapat mem”block” sehingga keputusan yang
telah diambil menjadi tidak efektif, karena tidak memiliki
kekuatan mengikat (binding).
Adhidharma Brotosusilo, 2012 39
“A pass by one vote”.
• Di dalam GATT 1994 sengketa di antara anggota
WTO yang diselesaikan oleh the Panel (pada
tingkat pertama), atau oleh the Appellate Body
(pada tingkat kedua) di dalam “Dispute Settlement
Body/DSB” dan keputusannya dianggap diadopsi,
sehingga memiliki kekuatan mengikat (binding),
kecuali apabila secara konsensus seluruh anggota
WTO –termasuk negara yang dimenangkan (ini
hampir mustahil terjadi)--, menolak untuk
mengadopsinya. Dengan demikian berlaku
prosedur pengambilan keputusan yang didasarkan
pada “konsensus terbalik/a Reverse Concencus”.
Adhidharma Brotosusilo, 2012 40
WTO tidak jamin pertumbuhan
perekonomian dan perdagangan
Pengalaman Republik Rakyat China
menunjukkan negara tersebut
selama beberapa dasawarsa
mengalami pertumbuhan
perekonomian dan perdagangan
tertinggi di dunia, meskipun negara
tersebut dikucilkan, dilarang menjadi
anggota WTO sejak didirikannya
organisasi perdagangan tersebut
sampai belasan tahun kemudian. 41
Adhidharma Brotosusilo,
2012
.

• .

Bab IV
Kesimpulan dan Saran

Adhidharma Brotosusilo, 2012 42


Kesimpulan:
Pengaman Indonesia menjadi
anggota WTO, pengaruhnya:

Merugikan “Kepentingan Nasional”


Bangsa dan Negara.

Adhidharma Brotosusilo, 2012 43


KERUGIAN INDONESIA SEBAGAI ANGGOTA WTO

1. Karena tingkat konsumsi Indonesia


.
selalu meningkat (kecuali di
masa krisisi ekonomi 1998) (grafik 3), tetapi sebaliknya tingkat
produksi manufaktur semakin turun (grafik 4), maka sementara daya
saing
• .
negara-negara lain semakin kuat, daya saing Indonesia di pasar
internasional semakin melemah (gambar 1), Akibatnya di bidang
perdagangan barang Indonesia menderita defisit neraca pembayaran
yang besar; kerugian RI makin besar akibat tingginya tingkat
penyelundupan dan korupsi.

2. WTO juga mengatur perlindungan HAKI (Hak Atas Kepemilikan


Intelektual yang terkait dalam perdagangan internasional / Trade
Related Intellectual Property Rights/TRIPS) –a.l. hak Patent dan Hak
Cipta--, padahal Indonesia lebih banyak membeli dari pada menjual
produk yang mengandung HAKI; maka di bidang HAKI Indonesia juga
menderita defisit neraca pembayaran yang besar, karena harus
banyak membayar HAKI produk asing (tabel 1).

3. Dalam perdagangan internasional pelayanan jasa (berdasarkan


General Agreement on Trade in Services/GATS ), Indonesia menderita
defisit neraca pembayaran yang tidak kecil, karena dalam transaksi
internasional bidang jasa negara
Agus Brotosusilo,
Adhidharma ini
2005
Brotosusilo, merupakan “ net-importing
2012 44
country”.
Pancasila = Liberalism?
Tujuan WTO adalah liberalisasi
perdagangan.

Sesuaikah nilai-nilai ideologi NKRI –


Pancasila--, dan Sistem Ekonomi
Kerakyatan seperti diharuskan oleh Pasal
33 UUD Negara 1945 dengan semangat
liberalism/capitalism yang harus diikuti
anggota-anggota WTO?

Adhidharma Brotosusilo, 2012 45


Pertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Dunia
Turun .

sejak berdirinya WTO


• .

World Trade and Economy


(Growth, before and after Uruguay Round/WTO)
Year GDP Trade

1985 – 1994 (%) 2,64 7,15


1995 – 2004 (%) 2,58 6,53

Sources: Pos M. Hutabarat, Indonesian Perspective on Multilateral Trade


Negotiations in the GATT/WTO, 2005 (from various publication)

012 46
46
Saran-saran
Karena:
1. Pengaman Indonesia menjadi anggota WTO,
pengaruhnya: Merugikan “Kepentingan Nasional”
Bangsa dan Negara;
2. Aturan-aturan WTO (WTO Rules) yang berjiwa
liberalism/capitalism tidak sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945;
3. Aturan-aturan WTO (WTO Rules) hanya
menguntungkan Negara-negara Maju dan tidak adil
bagi Negara-negara Berkembang (termasuk Indonesia);
4. Sejak berdirinya WTO, tujuannya untuk
meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan
perdagangan dunia tidak pernah tercapai.

Sebaiknya Indonesia keluar dari WTO.


Adhidharma Brotosusilo, 2012 47
• .

• . .

Adhidharma Brotosusilo, 2012 48


Agus Brotosusilo, 2002. 48
Agus Brotosusilo, 2011. 48

Anda mungkin juga menyukai