Anda di halaman 1dari 17

“PERAWATAN PSIKOSOSIAL SPIRITUAL PADA KORBAN BENCANA DAN PERAWATAN

UNTUK POPULASI RENTAN (LANSIA, WANITA HAMIL, ANAK-ANAK DAN MASYARAKAT


DENGAN PENYAKIT KRONIS, DISABILITAS DAN SAKIT MENTAL).”

Di susun Oleh :
KELOMPOK 6

Meilindah Auliyah Annisa ( S2016032 )


Suriani ( S2016049 )
Rafika Fajri ( S2016042 )
Fitriani ( S2016727 )
Boby Papiyando Bolang ( S2016007 )
Munawwarah ( S2016730 )
Herlin ( S2016024 )
Erens Aruri ( S2016016 )
Pengertian Bencana

Menurut Undang-undang Nomor 24


Tahun 2007 tentang penanggulangan
bencana pada bab 1
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan menganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang di sebabkan, baik
oleh faktor alam atau faktor non-alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis.
• Pengertian
• Infographic Keperawatan
Style KEPERAWATAN SPRITUAL
Psikososial.

Konsep psikososial terdiri dari dua hal,


yaitu psiko dan sosial. Kata psiko mengacu Perawat memandang klien sebagai
pada jiwa, pikiran, emosi atau perasaan, makhluk bio-psiko-sosiokultural dan
perilaku, hal-hal yang diyakini, sikap, spiritual yang berespon secara unik
persepsi dan pemahaman akan diri. Kata terhadap perubahan kesehatan atau
sosial merujuk pada orang lain, tatanan pada keadaan krisis.
sosial, norma, nilai aturan,system Spiritual digambarkan sebagai
ekonomi, system kekerabatan, agama atau pengalaman seseorang atau keyakinan
religi serta keyakinan yang berlaku dalam seseorang,dan merupakan bagian dari
suatu masyarakat. Psiko sosial diartikan kekuatan yang ada pada diri seseorang
sebagai hubungan yang dinamis dalam dalam memaknai kehidupannya.
interaksi antara manusia, dimana tingkah
laku, pikiran dan emosi individu akan
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
orang lain atau pengalaman sosial.
Dampak Bencana pada Aspek Psikososial.

Respon individu paska trauma bervariasi tergantung dari persepsi dan kestabilan emosi yang di milikinya.
Menurut Keliat, dkk (2005), ada 3 tahapan reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana:
1. Setelah bencana (24jam) dengan reksi yang di perlihatkan : Tegang, cemas dan panik, terpaku, linglung,
syok, tidak percaya, gembira/euphoria, Lelah, bingung, gelisah, menangis dan menarik diri, merasa
bersalah. Reaksi ini termasuk reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan memerlukan upaya
pencegahan primer.
2. Saat minggu pertama sampai dengan minggu ketiga setelah bencana. Reaksi yang di perlihatkan antara lain
: ketakutan, waspada, sensitive, mudah marah, kesulitan tidur, kuatir, sangat sedih, mengulang-ulang
kembali (flashback) kejadian dan bersedih. Reaksi positif yang masih di miliki yaitu : berharap dan berpikir
tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan menyelamatkan, menerima bencana sebagai
takdir. Kondisi ini masih termasuk respon normal yang membutuhkan tindakan psikososial minimal,
terutama untuk respon yang maladaptive.
3. adalah bencana dengan reaksi yang diperlihatkan dapat menetap. Manifestasi diri yang di tampilkan yaitu :
kelelahan, merasa panik, kesedihan terus berlanjut, pesimis dan berpikir tidak realistis, tidak beraktivitas,
isolasi dan menarik diri, kecemasan yang di manifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit
kepala, dan lain-lain. Kondisi ini merupakan akumulasi respon yang menimbulkan masalah psikososi
Ciri-ciri masalah psikososial

1.Cemas, khawatir berlebihan, takut,


2.Mudah tersinggung,
3.Sulit konsentrasi,
4.Bersifat ragu-ragu atau merasa rendah diri,
5.Merasa kecewa,
6.Pemarah dan agresif,
7.Reaksi fisik seperti jantung berdebar, otot tegang,
sakit kepala
Menurut (CMHN,2005).
Perawatan atau tindakan yang dapat di
berikan pada penderita psikososial korban
bencana. Tindakan yang dilakukan berupa :
(dalam Intervensi individu dan kelompok)
1. Teknik katarsis dan ventilation = Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan
perasaan yang dialaminya   sehubungan dengan bencana yang terjadi.
2. Teknik support = Memberikan semangat bahwa apa yang sedang dihadapinya
sekarang bukanlah   akhir dari kehidupannya.
3. Teknik debriefing = Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan/
kesedihan yang dialaminya sehubungan dengan bencana yang terjadi, kalau bisa
kesedihan tersebut dialamui secara penuh dan utuh, tidak tertunda.
4. Teknik motivasi dan support = Mengajak penyintas untuk meningkatkan kembali
motivasi hidupnya kearah ke depan bersama keluarganya.
5. Play therapy (untuk anak-anak), dengan berbagai bentuk kegiatan, Seperti bernyanyi
bersama, menggambar,mendengarkan dongeng, permainan   (games), dan lain-lain
dengan tujuan utama agar anak-anak memiliki keceriaan.
Dampak Bencana Pada Aspek Spritual.

Kejadian bencana dapat merubah pola spritualitas seseorang. Ada


yang bertambah meningkat aspek spritualitas seseorang, ada pula
yang sebaliknya.

Bagi yang meningkatkan aspek spritualitasnya is


on that berarti
tati
mereka meyakini bahwa apa yang P resen
terjadi merupakan
o in t
rP
kehendak dan kuasa sang n pencipta
Powe . yang tidak mampu
o de r gn e d
am
ditandingi oleh siapapun. esi
Get tifully d Mereka mendekat dengan cara
u
b ea
meningkatkan spritualitasnya supaya mendapatkan
02
kekuatan dan pertolongan dalam menghadapi bencana
atau musibah yang dialaminya.

Sedangkan bagi yang menjauh umumnya


karena dasar keimanan atau keyakinan
terhadap sang pencipta rendah, atau karena
putus asa.
Perawatan atau tindakan yang dapat di berikan
pada penderita spiritual korban bencana.
Proactive coping
Nayat Khan dalam bukunya Dimensi 02 Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap
Spritual Psikologi menyebutkan bahwa 01 yang proaktif. Sikap tersebut merupakan
kekuatan psikis yang dimiliki oleh kepercayaan yang relative terus menerus ada
seseorang dapat dikembangkan melalui pada setiap individu. Dimana apabila terjadi
oleh spiritual yang dilakukan melalui perubahan-perubahan yang berpotensi
beberapa tahapan. mengganggu keseimbangan emosional
1. Berlatih melakukan konsentrasi individu. Dimana apabila terjadi perubahan-
2. Kedua, berlatih mengungkaplan hasil perubahan yang berpotensi mengganggu
konsentrasi melalui pikiran. keseimbangan emosional individu, maka sikap
3. Agar dapat mengekspresikan tersebut mampu memperbaiki diri dan
kekuatan psikis, lingkungannya.
4. Berlatih menjaga kestabilan dan
ketenangan dalam berfikir. 03 Terapi psiko-spritual
5. Berlatih mengumpulkan kekuatan ini terdiri dari 3 tahapan,
psikis yang selanjutnya digunakan 1. tahapan penyadaran diri (self awareness),
untuk bertindak. 2. Pengenalan jati diri dan citra diri (self identification),
dan
3. Tahapan pengembangan (self development).
PERAWATAN KELOMPOK RENTAN
PERAWATAN
USIA DENGANKELOMPOK RENTAN
PENYAKIT KRONIS,
USIA DENGANDAN
DISABILITAS, PENYAKIT KRONIS,
SAKIT MENTAL.
DISABILITAS, DAN SAKIT MENTAL.
Pengertian
Kelompok Rentan
Menurut UU nomor 24 /2007,pasal 55 ayat 2 kelompok
rentan dalam situasi bencana adalah individu tau
kelompok yang terdampak lebih berat di akibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya
yang pada saat bencana menjadi berisiko lebih besar
meliputi: bayi, balita, dan anak anak, ibu yang sedang
mengandung/ menyusui, dan orang lanjut usia.

KBBI merumuskan pengertian rentang


sebagai: Mudah terkena penyakit dan,
Peka, mudah merasa. Kelompok yang
lemah ini lazimnya tidak sangup
menolong diri sendiri,sehingga
memerlukan bantuan orang lain.
Tindakan yang Sesuai untuk Kelompok Rentan.
Dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca
bencana. Kelompok ini diantaranya: anak-anak,perempuan, terutama ibu hamil dan menyesui, lansia, individu-individu yang
menderita penyakit kronis dan kecacatan.

Bayi & Anak-anak


Tindakan yang sesuai untuk kelompok yang beresiko pada bayi & anak :
Pasca bencana :
1. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera
mungkin contohnya waktu makan dan personal hygieni teratur,
tidur, bermain dan sekolah.
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami
2. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran andtropometri. masalah-masalah kesehatan jangka pendek dan
3. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua. jangka Panjang baik fisik dan psikologis karena
malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skil
4. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan bertahan hidup dan komunikasi, ketidak mampuan
emosional. melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan
5. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada dilokasi fisik,imunitas dan kemampuan koping kondisi
evakuasi sebgai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
mengurangi resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana. didentifikasi dan ditangani dengan segera oleh
petugas kesehatan (Powers & Daily,
6. Indentifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga 2010,veenema,2007).
yang terpercaya serta lingkungan yang aman untuk mereka.
Pada ibu Menyusui. Pada Lansia.
Saat Bencana : Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana
Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang adalah :
tidak meningkatkan resiko kerentanan bumil dan 1. Memberikan Tempat yang aman
busui misalnya : 2. Rasa setia
1. Meminimalkan bencana pada saat melakukan 3. Penyelamatan darurat
mobilisasi dan transportasi karena dapat
merangsang kontraksi pada ibu hamil. Pasca Bencana
2. Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat 4. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas
proses evakuasi. dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, di antaranya:
3. Petugas bencana harus memiliki kapasitas a. Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-
untuk menolong korban bumil dan busui. kegiatan sosial Bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan
Pasca Bencana : interaksi orang muda dan lansia (community awareness).
4. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan b. Libatkan lansia sebagai storytellers dan animator dalam
nutrisi adekuat, cairan emosional. kegiatan Bersama anak-anak yang di organisir oleh agency
5. Melibatkan petugas-petugas kesehatan perlindungan anak di posko perlindungan korban bencana.
reproduktif dirumah penampungan bencana 5. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan
untuk menyediakan jasa konseling dan sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana.
pemeriksaan kesehatan untuk bumil dan 6. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
busui. skill lansia.
6. Melibatkan petugas-petugas konseling untuk 7. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mencegah, mengidentifikasi, mengurangi mandiri.
resiko kejadian depresi pasca bencana. 8. Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan
Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan /
disabilitas dan penyakit kronik.
Saat Bencana
Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat
dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai dan
lain-lain.
Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution ) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada penyandang
cacat yakni :
1. Bantuan evakuasi. Saat terjadi bencana, penyandang cacat
membutuhkan waktu yang lama untuk mengevakuasi diri sehingga
supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan untuk melakukan
evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu di
beritahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi.
2. Informasi. Dalam penyampaian informasi di gunakan bermacam-
macam alat di sesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat, misalnya
internet (email, sms, dan lain-lain ) dan siaran televisi untuk Tuna
rungu, handphone yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna
netra, HP yang di lenkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan
sebagainya.
1. Pertolongan pada penyandang cacat
1. Tuna daksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh serta
orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak
dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki
tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara
mendorongnya harus mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga.
2. Tuna netra dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu di beritahukan tentang kondisi sekitar rumah dan
tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada
waktu menolong mereka untuk pindah, peganglah siku dan Pundak atau genggamlah
secara lembut pergelangannya karena berkaitan dengan tinggi badan mereka serta
berjalanlah setengah langkah di depannya.
3. Tuna rungu. Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada Bahasa tulis, Bahasa isyarat,
Bahasa membaca Gerakan mulut lawan bicara dan lain-lain tetapi belum tentu semuanya
dapat menggunakan Bahasa isyarat.
4. Gangguan intelektual / perkembangannya sulit di pahami oleh orang pada umumnya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan
hg
yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum mengerti
sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah di mengerti (Farida, Ida, 2013).
2. keperawatan pada penyakit kronis
Menurut Ida Farida (2013) Saat bencana adalah :
1. Pada fase akut bencana ini, bisa di katakana bahwa suatu hal yang paling penting adalah berkeliling
antara orang-orang untuk menemukan masalah kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah
penyakit mereka memburuk. Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari
orang-orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan memahami penyakit
mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan pernapasan.
Pada fase akut yang di mulai sejak sesaat terjadinya bencana, di perkirakan munculnya gejala khas,
seperti gejala gangguan jantung, ginjal dan psikologis yang memburuk karena kurang control
kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa
membawa keluar peralatan tabung oksigen dari rumah.
2. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan apakah mereka di
periksa dokter dan minum obat dengan teratur. Karena banyak obat-obatan komersial akan di
distribusikan ke tempat pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang
mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat
tersebut dan obat yang di berikan di rumah sakit.
Pasca bencana.
3. Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian individu dengan
keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya : kursi roda, tongkat dan lain-lain.
4. Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan keterbatasan fisik
hg
dan penyakit kronis.
Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis di sebabkan oleh
perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang memiliki resiko penyakit kronis,
perubahan kehidupan yang di sebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu meningkatnya
penyakit kronis seperti diabetes melitus dan gangguan pernapasan.

Keperawatan bagi pasien diabetes : Keperawatan bagi pasien gangguan


1. Mengkonfirmasi apakah pasien yang bersangkutan harus pernapasan kronis :
minum obat untuk menurunkan kandungan gula darah 1. Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan
( contoh : insulin dan lain-lain ) atau tidak, dan identifikasi obat mendukung untuk pemakaian tabung oksigen untuk
apa yang di miliki pasien tersebut. berjalan yang di milikinya dengan aman.
2. Mengkonfirmasi apakah pasien memiliki penyakit luka fisik 2. Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan
atau infeksi, dan jika ada, perlu pengamatan dan perawatan konsentrasi oksigen karena takut peningkatan
pada gejala infeksi (untuk mencegah komplikasi kedua dari dysphemia.
penyakit diabetes). 3. Mengatur pemasokan tabung oksigen (ventilator)
3. Memahami situasi manajemen diri (self-management) melalui dan transportasi jika pasien tersebut tidak bisa
kartu penyakit diabetes (catatan pribadi). membawa sendiri.
4. Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, 4. Membantu untuk manajemen obat dan olahraga
makanan yang tepat dan memberikan pedoman mengenai yang tepat.
manajemen makanan. 5. Mencocokkan lingkungan yang tepat (contoh : suhu
5. Mengatur olahraga dan relaksasi yang tepat. udara panas / dingin dan debu).
Thank You

Anda mungkin juga menyukai