Anda di halaman 1dari 39

LBM 4

ADA APA DENGAN HIDUNGKU


SKENARIO

Noval laki-laki 35 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan sering pilek


dengan ingus berbau busuk. Pasien juga mengeluh gangguan menghidu
disertai nyeri kepala separuh. Sejak lama ia mengeluh sakit gigi, tetapi malas
untuk berobat kedokter gigi.
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapat mukosa kavum nasi kanan
hiperemis, konkha hipertrofi, massa bening dengan permukaan licin, sekret
kental, kuning kecoklatan. Pada pemeriksaan orofaring didapat post nasal
drip, dan gigi gangren pada M1, M2 kanan atas.
Dokter menyarankan untuk di lakukan pemeriksaan laboratorium dan
radiologi untuk membantu diagnosis. Dokter memberikan obat berupa
antibiotic dan analgetik, serta merujukan ke poli gigi.
Terminologi
 Rhinoskopi; rhinoskopi anterior :menggunakan spekulum hidung yang dimasukkan ke
dalam cavum nasi untuk mengamati meatus, concha, dan sinus, dan rhinoskopi posterior:
pemeriksaan melalui nasofaring menggunakan cermin untuk melihat dinding nasopharynx
dan bagian posterior lidah
 Konkha hipertrofi: Pembesaran konkha
 Post nasal drip: Menetesnya sekret dari bagian belakang hidung ke dalam faring akibat
hipersekresi lendir pada mukosa hidung atau nasofaringeal atau juga bisa disebabkan
karena sinusitis kronik.
 Gangren : Luka yang memakan yang berakhir dengan kematian jaringan / nekrosis,
biasanya dalam jumlah besar dan umumnya disebabkan oleh kehilangan suplai vaskular /
nutrisi dan diikuti invasi bakteri serta pembusukkan.
 M1, M2 (molar 1, 2): geraham belakang yang berfungsi menghancurkan dan
menggilingkan makanan
Identifikasi Masalah
 Anatomi, Fisiologi dan Histologi hidung ?
 Anatomi sinus faranasal ?
 Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus berbau busuk?
 Mengapa pasien mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri kepala
separuh dan apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama?
 Apakah hubungan sakit gigi dengan keluhan pasien?
 Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan rhinoskopi anterior dan
oropharynx?
 Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada kasus ini?
Pembahasan
Brainstorming
Anatomi
NASUS

Fungsi hidung dan cavum nasi


berhubungan dengan:
 Fungsi penghidung
 Pernapasan
 Penyaringan debu
 Pelembaban udara pernapasan
 Penampungan secret dari sinus
paranasales dan ductus
nasolacrimalis
Anatomi, Fisiologi dan Histologi hidung
 Cavum Nasi:
 Bagian depan: os nasale dan spina nasalis
os frontalis (frontonasal).
 Bagian tengah: lamina cribrosa os
ethmoidale di bagian tengah.
 Bagian belakang: dibatasi oleh corpus os
sphenoidale.
 penonjolan tulang yang memperluas
cavum nasi (Chonca )
 Meatus nasi:
Meatus nasi superior
Meatus nasi media
SINUS PARANASALIS
 Sinus frontalis : Terletak antara tabula
externa dan tabula interna ossis frontalis.
 Sinus ethmoidales: Terdiri dari beberapa
rongga kecil cellulae ethmoidales. Cellulae
ethmoidales anteriores berhubungan
dengan meatus nasi media.
 Sinus sphenoidalis: Sinus ini membuka ke
dalam recessus sphenoethmoidalis yang
terletak di atas concha nasalis superior.
 Sinus maxillaries (anthrum of highmore):
Merupakan sinus terbesar, berbentuk
pyramid. Puncak sinus menjulang kea rah
os zygomaticum.
Histologi Sinus Paranasal
 Sinus Paranasalis merupakan rongga bilateral
di tulang frontal, maksila, ethmoid, dan
sfenoid tengkorak.
 Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel respiratorik
yang lebih tipis dan sedikit sel goblet.
 Lamina proprianya mengandung sedikit
kelenjar kecil dan menyatu dengan
periosteum di bawahnya.
 Sinus paranasalis berhubungan langsung
dengan rongga hidung melalui lubang-
lubang kecil dan mukus yang dihasilkan
dalam sinus akan terdorong ke dalam hidung
akibat aktivitas sel-sel bersilia.
Mengapa pasien mengeluh sering pilek dengan ingus
berbau busuk?
 Ingus berbasu busuk dikarenakan adanya infeksi oleh bakteri anaerob
yang memfermentasi lemak dan memiliki bau yang khas yaitu bau
busuk, hal ini dikarenakan mukus yang berlebihan pada cavum nasi
yang merupakan lingkungan yang cocok untuk perkembangan bakteri
anaerob.
Mengapa pasien mengeluh gangguan menghidu disertai nyeri kepala separuh
dan apakah terdapat hubungan dengan keluhan utama?

 Gangguan penghidu akan terjadi bila ada  Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah
yang menghalangi sampainya partikel sinus yang terkena merupakan cirikhas
bau ke reseptor saraf atau ada kelainan sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri
pada n.olfaktorius, mulai dari reseptor juga terasa di tempat lain (referred pain).
sampai pusat olfaktorius.Macam-macam  Nyeri pipi  menandakan sinusitis maksila
kelainan penghidu :  nyeri di antara atau di belakang kedua bola
- Hiposmia : daya penghidu berkurang mata menandakan sinusitis etmoid
- Anosmia : daya penghidu hilang
 nyeri di dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontal
- Parosmia : sensasi penghidu  Pada sinusitis sfenoid nyeri dirasakan di
berubah
verteks, oksipital, belakang bola mata dan
- Kakosmia : halusinasi bau daerah mastoid
 Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada
nyeri alih ke gigi dan telinga.
Apakah hubungan sakit gigi dengan keluhan pasien?
 Hubungan karies gigi dengan terjadinya sinusitis maksilaris odontogen
Penyebab sinusitis maksilaris akut ialah rhinitis akut, infeksi faring seperti
faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta Ml,
M2, M3 (dentogen), berenang dan menyelam, trauma dapat menyebabkan
pendarahan mukosa sinus paranasal, barotrauma dapat menyebabkan nekrosis
mukosa. Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar
gigi premolar, molar atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral
dan fasial. Hubungan ini dapat menimbulkan masalah klinis, seperti infeksi yang
berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan
infeksi sinus.Sinusitis maksilaris diawali dengan kuman pada karies masuk ke
sinus. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan drainase sinus.
Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan rhinoskopi
anterior dan oropharynx?
 Konca hipertropi: terjadi pembasaran konka karna adanya peradangan
 Masa bening dan licin: has dari pholip hidung dan rhinitis jamur
 Secret kental: adanya infeksi bakteri anaerob
 Phos nasal drip: sekresi cairan berlebihan pada hidung disebabkan oleh
peradangan
 Molar gangrene: kematian jaringan karna tidak adanya vaskularisasi
dan nutrisi pada gigi karna infeksi yang lama
Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan
pada kasus ini?
transiluminasi Endoskopi nasal Radiologi Pemeriksaan penunjang
lainnya:
•Pemeriksaan sederhana •Dapat menilai kondisi rongga Merupakan pemeriksaan 1. Sitologi nasal, biopsi,
terutama untuk menilai hidung, adanya sekret, patensi tambahan yang umum pungsi aspirasi dan
kondisi sinus maksila. kompleks ostiomeatal, ukuran dilakukan, meliputi X-foto bakteriologi.
•Pemeriksaan dianggap konka nasi, udem disekitar posisi Water, CT-scan, MRI dan 2. Tes alergi
bermakna bila terdapat orifisium tuba, hipertrofi USG. CT-scan merupakan 3. Tes fungsi mukosiliar :
perbedaan transiluminasi adenoid dan penampakan modalitas pilihan dalam kliren mukosiliar, frekuensi
antara sinus kanan dan kiri. mukosa sinus. menilai proses patologi dan getar siliar, mikroskop
•Indikasi endoskopi nasal yaitu anatomi sinus, serta untuk elektron dan nitrit oksida.
evaluasi bila pengobatan evaluasi rinosinusitis lanjut 4. Penilaian aliran udara
konservatif mengalami bila pengobatan nasal (nasal airflow)
kegagalan. Untuk rinosinusitis medikamentosa tidak 5. Tes fungsi olfaktori:
kronik, endoskopi nasal memberikan respon. Ini threshold testing
mempunyai tingkat sensitivitas mutlak diperlukan pada 6. Laboratorium :
sebesar 46 % dan spesifisitas rinosinusitis kronik yang akan pemeriksaan CRP ( C-
86 %. dilakukan pembedahan. reactive protein)
Rangkuman Permasalahan

Sinusitis

Sinusitis akut Sinusitis kronik


Sinusitis sub akut
1 hari - > 12minggu – waktu yang tidak
3 minggu 4 minggu sampai 12 minggu terbatas.
L.I
(Learning Issue)
1. Diagnosis banding di scenario
2. Diagnosis Kerja di scenario
Sinusitis
DEFINISI
Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput
lendir sinus parsial.
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus
yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid,
sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid.
Etiologi

 Infeksi virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah
adanya infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas (misalnya  Infeksi Jamur: menyebabkan
Rhinovirus, Influenza virus, dan sinusitis akut pada penderita
Parainfluenza virus). gangguan sistem kekebalan,
 Bakteri contohnya jamur Aspergillus.
Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau
drainase dari sinus tersumbat akibat pilek
atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang
 Peradangan menahun pada saluran
sebelumnya tidak berbahaya akan hidung
berkembang biak dan menyusup ke dalam
sinus, sehingga terjadi infeksi sinus akut.
Penyebab pada Sinusitis Kronik
 Sinusitis akut yang sering kambuh atau tidak sembuh
 Alergi
 Karies dentis ( gigi geraham atas )
 Septum nasi yang bengkok sehingga menggagu aliran mucosa.
 Benda asing di hidung dan sinus paranasal
 Tumor di hidung dan sinus paranasal.
Tanda dan Gejala
Sinusitis secara Sinusitis maksila Sinusitis etmoid Sinusitis frontal Sinusitis Sinusitis Kronis
umum akut akut akut sphenoid akut

Hidung Demam, pusing Sekret kental di Demam  Nyeri di bola Flu yang sering
tersumbat ingus kental di hidung dan  sakit kepala mata kambuh
Nyeri di daerah hidung nasofaring yang hebat pada sakit kepala ingus kental
sinus hidung nyeri di antara siang hari, tetapi terdapat sekret dan kadang-
Sakit Kepala tersumbat dua mata berkurang di nasofaring kadang berbau
Hiposmia / nyeri tekan pusing. setelah sore hari selalu terdapat
anosmia ingus mengalir sekret kental ingus di
Hoalitosis ke nasofaring penciuman tenggorok
Post nasal drip kental kadang- berkurang. terdapat gejala
yang kadang berbau di organ lain:
menyebabkan dan bercampur misalnya rematik,
batuk dan sesak darah. nefritis,
pada anak bronchitis,
bronkiektasis,
batuk kering, dan
sering demam.
Patofisiologi
 Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar
(mucociliary clearance) di dalam KOM.
 Mukus juga mengandung substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan
saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak ostium tersumbat terjadi tekanan
negative di dalam ronga sinus  mula-mula serous-> transudasi. Kondisi ini biasa dianggap
sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
 Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
tumbuhnya dan multiplikasi bakteri Secret menjadi purulen rinosinusitis akut
bacterialmemerlukan terapi antibiotic.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada factor predisposisi), inflamasi berlanjut
hipoksia bacteri anaerob berkembang Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai
siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista Keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
Diagnosa
1. Urinalisis
 Leukosuria atau piuria: Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5

leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih


 Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air

kemih.
2. Bakteriologis
 Mikroskopis : satu bakteri lapangan pandang minyak emersi. 102 -103

organisme koliform / mL urin plus piuria


 Biakan bakteri

 Tes kimiawi : tes reduksi griess nitrate berupa perubahan warna pada uji carik.

3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik, dll.


Pemeriksaan Penunjang

 Rinoskopi anterior
 Rinoskopi posterior
 Transiluminasi
 X Foto sinus paranasalais : Kesuraman, Gambaran “airfluidlevel”,
Penebalan mukosa
Penatalaksanaan
 Istirahat yang cukup dan udara disekitarnya harus bersihdengan kelembaban
yang ideal 45-55%
 Antibiotika ayang adekuat palingsedikit selama 2 minggu
 Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri
 Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih dari
pada 5hari, karena dapat terjadi Rebound congestion dan Rhinitis
redikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat
timbul rasa nyeri, rasa terbakar,dan kering karena arthofi mukosa dan
kerusakan silia
 Antihistamin jikaada factor alergi
 Kortikosteoid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang cukup parah.
RHINITIS ALERGI
DEFINISI
 Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika
terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut
ETIOLOGI
 Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan:
 Lingkungan
 Genetik:
- 20 – 30% semua populasi
- 10 – 15% anak semuanya atopi
- Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau
mencapai 50%.
 Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan:
- debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan
lain-lain.
Epidemiologi
 Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua
penyakit atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.
 Rhinitis alergi telah menjadi problem kesehatan global, mempengaruhi
10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia.
Patofisiologi
 Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase:
- immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC)
 berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya
- late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) 
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
 Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel
penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
 Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.
 IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien
D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5,
IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Klasifikasi
INTERMITEN (KADANG-KADANG)
BERDASARKAN DERAJATNYA
Ringan Sedang-berat
 Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu. Bila tidak ditemukan Bila terdapat satu atau
gangguan tidur, gangguan lebih dari gangguan
aktivitas harian,bersantai, tersebut pada derajat
berolahraga, belajar, ringan.
Persisten/menetap bekerja, dan hal-hal lain
yang mengganggu.

 Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu


dan atau lebih dari 4 minggu.
Polip Hidung
 Massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.
Bentuk menyerupai buah anggur, lunak dan dapat digerakkan. Polip
timbul dari dinding lateral hidung. Polip yang diakibatkan proses
inflamasi biasanya bilateral
Tanda & Gejala
 1. Hidung berair
 2. Rasa penuh pada hidung
 3. Mendengkur
 4. Nyeri pada gigi bagian atas
 5. Postnasal drip
 6. Hilangnya indera penciuman
 7. Hilangnya indera pengecap
 8. Gatal di sekitar mata
 9. Rasa tekanan pada kening dan wajah
 10. Nyeri pada wajah atau sakit kepala
KESIMPULAN
Dapat di simpulkan dari hasil SGD kami bahwa pasien disekenario lebih
mendekati sinusitis dentogen, dimana gejala yang timbul iyalah ingus
yang berbau busuk dan terdapat nasal drip dan ada riwayat sakit gigi
pada M1, M2 yang tidak di obati.
Referensi
 Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta :
EGC
 Brooks, Geo F.; Butel, Janet S.; Morse, Stephen A. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
 Busquets et al, 2006. Non Polypoid Rhinosinusitis : Classification, Diagnosis and Treatment. In : Bailey BJ,
Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4 th
 Fokkens W et al, 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology 2012;
suppl 23:1-298
 Hutchinson, Susan MD. 2006. Sinus Headache or Migraine ? Keys to Correct Diagnosis. Women’s Health to
Primary Care
 http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a0104. Diakses pada : September 2014
 Hwang PH, Abdalkhani A, 2009. Embriology, Anatomy, and Phisiology of The Nose and Paranasal Sinuses. In
:Ballenger’s Otorhiolaryngology Head And Neck Surgery. Centennial Edition. BC Becker Inc. USA. p: 456-63.
 Kamel R, 2002. Endoscopic anatomy of the lateral nasal wall, ostiomeatal complex and anterior skull base.
Struck Druck GmBH, Germany. p : 7-32
 Kennedy DW, Bolger WE, 2003, The Paranasal Sinuses : Embriology, Anatomy, Endoscopic Diagnosis, and
Treatment. In: Essential Otolaryngology. Eight Edition. Head and Neck Surgery, McGraw Hill Companies. USA.
p: 388-409
 Kennedy, et al, 1995. Medical management of sinusitis : educational goals and management guideline. Ann Otol Rhinol
Laryngol Supll. 167:22-30
 Kirtsreesakul V. 2005. Update on nasal polyps: etiopatogenesis. J Med Assoc Thai. 88 (12):1966-72
 Mangunkusumo E, 2000. Persiapan Operasi BSEF: Nasoendoskopi dan Pemeriksaan Tomografi Komputer dalam Kursus
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional. Makasar. hal: 13-25.
 Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira. Jakarta : EGC
 Nizar, 2000, Anatomi Endoskopik Hidung Sinus Paranasal dan Patofisiologi Sinusitis dalam Kursus Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional. Makasar. hal: 1-12.
 Pinheiro et al, 2001. Rhinosinusitis : Current concept management. In : Bailey BJ, Johnson JT, Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy
ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. Third Edition. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. pp: 345-57
 Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta: Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas
Kedokteran UNS.
 Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia Edisi 2. Jakarta: EGC
 Silberstein, D. Stephen. 2004. Headache Due to Nasal and Paranasal Sinus Disease. Philadelphia : Elsevier Saunders
 Soepardi EA, Iskandar N, Bashruddin J, Restuti RD (eds) (2012). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
dan Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
 Stammberger et al, 1993. Endoscopic Anatomy of Lateral Nasal Wall and Ethmoidal Sinuses. In : Essentials of Functional
Endoscopic Sinus Surgery. Mosby. USA. p. 13-42.

Anda mungkin juga menyukai