Dra Siti Nuraini M.Si sitinurainiwahyu@gmail.com Dr. Siti Aisyah.,M.Si Beberapa pengertian tentang desa
Desa berasal dari bahasa India yakni Swadesi artinya tempat
asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dgn satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas. Desa merupakan suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yg berkuasa dan mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi bukan hanya dari satu tempat kediaman masyarakat saja, namun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman. Sebagian dari mana hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan tempat tinggal sendiri, kesatuan mana pedukuhan, ampean, kampung, cantilan, beserta tanah pertanian, tanah perikanan darat, tanah hutan dan tanah belukar (Inayatullah,1977). Menurut Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang dimaksud dengan Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan desa di masa penjajahan Belanda
Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten (IGOB) yang berlaku untuk
luar Jawa dan Madura (Staatsblad 1938 No.490 juncto Staatsblad 1938 No.81). Indische Staatsregeling (IS) Pasal 128 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga masyarakat desa untuk memilih sendiri kepala desa yang disukai sesuai masing-masing adat kebiasaan setempat. Herzien Indonesisch Reglement (HIR) dan reglemen Indonesia Baru (RIB) isinya mengenai Peraturan tentang hukum Acara Perdata dan Pidana pada Pengadilan-pengadilan Negeri di Jawa dan Madura. Inlandsche Gemeente Ordonantie tanggal 1 Mei 1906 (Staatblad tahun 1906 No.83) yang diberlakukan untuk desa-desa di Jawa dan Madura. Dalam Ordonansi ini salah satu ketentuan yang sangat menonjol adalah mengenai kuatnya kedudukan hukum adat dan kolektifitas pemerintahan Desa. pengangkatan dan pemberhentian anggota-anggota pemerintah desa kecuali Kepala Desa, diserahkan kepada adat kebiasaan setempat, Pasal 2 ayat (2). Untuk pemilihan dan pengesahan Kepala Desa dilakukan oleh residen melalui suatu peraturan yang berdasarkan pada Pasal 71 IS (Pasal 2 ayat (1) ). Pasal 71 I.S. juga memberikan perhatian yang besar kepada adat dan kebiasaan masyarakat yang berlaku; Segala sesuatu yang perlu dimusyawarahkan bersama, harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kebiasaan setempat (Pasal 6 ayat (2); Penggunaan tenaga rodi desa harus memperhatikan kebiasaan setempat (Pasal 16 ayat 1); Dalam menjalankan pekerjaannya maka sedapat-dapatnya Kepala Desa meminta pertimbangan-pertimbangan anggota-anggota pemerintah Desa lainnya. (Pasal 6 ayat 1); Dalam hal yang penting, Kepala Desa tidak boleh memutuskan sebelum bermufakat dalamsuatu musyawarah Desa yang dihadiri oleh semua penduiduk desa yang berhak memilih (Pasal 6 ayat 2). Pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai desa bumi putra lainnya yang diberlakukan untuk daerah-daerah tertentu juga dikeluarkan seperti : Ordonansi Desa Bumiputra di Sumatera Barat (Ordonansi tanggal 27 September 1918 Stb. No.677). Ordonansi Desa Bumiputra di Bangka dan daerah-daerah taklukkannya (Ordonansi tanggal 26 Juli 1919 Stb. No.453). Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Palembang (Ordonansi tanggal 12 Desember 1919 Stb. No. 814). Ordonansi Desa Bumiputra di Wilayah Lampung (Ordonansi tanggal 26 Agustus 1922). Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Tapanuli (Ordonansi tanggal 21 September 1923 Stb. NO. 469). Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Ambon (Ordonansi tanggal 21 September 1923 Stb. No. 471). Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Belitung (Ordonansi tanggal 21 Pebruari 1924 Stb. No. 75). Ordonansi Desa Bumiputra di Kalimantan Selatan dan Timur (Ordonansi tanggal 1 Juni 1924 Stb. No. 275). Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah Bengkulu (Ordonansi tanggal 12 januari 1931 Stb. No.6). Ordonansi Desa Bumiputra di wilayah manado/Minahasa (Ordonansi 30 Maret 1931 tanggal Stb. No. 138). Dari berbagai macam Ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk desa bumiputra dapat dilihat 3 sifat yang penting dari kebijakannya mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa sebagai berikut :
Bersifat legalistik dan sekedar memberikan legitimasi.
Peraturan yang dibuat tersebut, sifatnya hanya memberikan pengesahan (legitimasi) terhadap hal-hal yang sudah ada dan berlaku di dalam penyelenggaraan pemerintahan desa bumiputra. Peraturan-peraturan tersebut, hamper-hampir tidak memberikan suatu yang baru yang bermanfaat bagi masyarakat desa; Bersifat statis yaitu memelihara status Quo. Peraturan-peraturan yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda, dengan dalih menghormati hukum adat dan kebiasaan adat istiadat setempat sama sekali tidak memberikan sentuhan kemajuan sehingga masyarakat desa tetap dalam keadaan terbelakang; Bersifat statis yaitu memelihara status Quo. Peraturan-peraturan yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda, dengan dalih menghormati hukum adat dan kebiasaan adat istiadat setempat sama sekali tidak memberikan sentuhan kemajuan sehingga masyarakat desa tetap dalam keadaan terbelakang; Bersifat parsial Peraturan-peraturan perundangan yang dibuat, ditetapkan secara khusus untuk daerah-daerah tertentu yang berbeda- beda satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya keanekaragaman dan perbedaan tersebut tetap terpelihara dan masing-masing kelompok masyarakat daerah, terdorong untuk membanggakan daerahnya dan berorientasi kepada kepentingan kelompok masyarakatnya sendiri. Model peraturan yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda ini sangat merugikan penduduk pribumi dan sebaliknya menguntungkan pemerintah Hindia Belanda karena hal ini didasarkan pada tujuanj agar : Dengan hanya memberikan legitimasi saja yang diwujudkan dengan memberikan pengakuan kepada kedudukan pemerintah Desa maka pemerintah desa secara resmi diangkat sebagai bagian dari pemerintahan kolonial. Dengan demikian pemerintah Hindia Belanda telah memperoleh tenaga kerja bagi penyelenggaraan pemerintahannya dengan biaya yang sangat murah. Pemerintah Hindia Belanda dengan mudah memperoleh ribuan tenaga pegawai pemerintahan, tanpa memberikan upah karena yang memberikan gaji untuk pemerintah desa adalah Desa (penduduk desa) itu sendiri. Pemerintahan desa pada masa pendudukan Jepang di bawah Jepang
Desa ditempatkan sebagai institusi diatas aza (kampung,dusun) yang merupakan
institusi terbawah. Setiap Desa yang disebut dengan Ku dan Kepala Desanya disebut Kutyo(kuco) dibagi dalam beberapa kampong. Rakyat desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi,seperti Heiho, Kaibodan,Seinendan dan lain-lain. Kepala Desa dipaksa mengawasi penduduknya untuk menanam nila, jarak,tebu,padi,jagung dan apa saja agar memberikan hasil yang baik dan kemudian hasilnya hamper semuanya diambil oleh tentara Jepang sehingga yang tersisa tidak cukup untuk kebutuhan penduduknya. Pemerintah Desa merupakan bagian dari kekuasaan nasional dan menjadi pelaksana-pelaksana paling depan dari keputusan-keputusan yang dibuat atau ditetapkan, tetapi desa sama sekali tidak mempunyai akses apapun dalam proses pembuatan keputusan tersebut. Pemerintah Desa terdiri dari 9 (sembilan) pejabat : Lurah, carik, 5 (lima) orang mandor, polisi Desa dan amir (mengerjakan urusan agama).Dapat disimpulkan pemerintah Desa hanya menjalankan fungsi pengawasan dan tidak mengandung unsur “pembangunan” untuk memperbaiki nasib rakyat. TERIMAKASIH