Anda di halaman 1dari 52

Tim Pengajar

MPL Fapet UNPAD


 Keterangan :
menggambarkan suatu siklus
nutrisi, yang menempatkan manur
sebagai dalam suatu siklus nutrient
dalam sebuah sistem pertanian.
 Penggunaan manur sebagai
stabilisator tanah pertanian melalui
suatu proses degradasi yaitu
PENGOMPOSAN.
 Setiap bahan organik/bahan-bahan
hayati yang telah mati akan
mengalami proses dekomposisi atau
pelapukan.
 Melalui proses dekomposisi terjadi
proses daur ulang unsur hara secara
alamiah.
 Hara yang terkandung dalam bahan
atau benda-benda organik yang telah
mati, dengan bantuan mikroba (jasad
renik), seperti bakteri dan jamur,
akan terurai menjadi hara yang lebih
sederhana dengan bantuan manusia
maka produk akhirnya adalah
KOMPOS (compost).
 Pengomposan didefinisikan
sebagai proses biokimiawi yang
melibatkan jasad renik sebagai
agensia (perantara) yang
merombak bahan organik menjadi
bahan yang mirip dengan humus.
 Hasil perombakan tersebut
disebut KOMPOS.
 Kompos dan pengomposan (composting) sudah
dikenal sejak berabad-abad yang lalu.
 Penggunaan kompos sebagai pupuk telah dimulai
sejak 1000 tahun sebelum Nabi Musa. Tercatat juga
bahwa pada zaman Kerajaan Babylonia dan
kekaisaran China, kompos dan teknologi
pengomposan sudah berkembang cukup pesat,
namun demikian sampai tahun 1925 tidak terjadi
perbaikan proses.
 Pada tahun 1925, Sir Albert Howad seorang
agronomis berkebangsaan Inggris yang bekerja di
India mengembangkan sistem pembuatan kompos
yang lebih baik, yang dikenal dengan sebutan
“Indore method”.
 Kompos dibuat dengan cara menumpukkan bahan
organik seperti sampah, kotoran ternak, sludge
limbah rumah tangga, jerami, dan dedaunan yang
disusun selapis demi selapis setinggi 1,5 meter.
 Pada mulanya pembuatan kompos
dilakukan selama 6 bulan melalui
proses anaerob. Setelah
ditemukannya metode ini waktu
pengomposan dapat diperpendek
menjadi 3 bulan.
 Aspek Ekonomis :
1. Menghemat biaya untuk
transportasi dan penimbunan limbah
2. Mengurangi volume/ukuran limbah
3. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi
dari pada bahan asalnya
1. Mengurangi polusi udara
karena pembakaran limbah
2. Mengurangi kebutuhan lahan
untuk penimbunan
1. Mengurangi kepekatan dan kepadatan tanah
sehingga memudahkan perkembangan akar dan
kemampuannya dalam penyerapan hara.
2. Meningkatkan kemampuan tanah dalam
mengikat
air sehingga tanah dapat menyimpan air lebih
lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada
tanah.
3. Menahan erosi tanah sehingga mengurangi
pencucian hara.
4. Menciptakan kondisi yang sesuai untuk
pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti
cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna
bagi kesuburan tanah.
5. Menahan tanaman dari serangan hama penyakit
 Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi
menjadi 2 tahap, yaitu tahap aktif dan tahap
pengomposan
 Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa
yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan
oleh mikroba mesofilik.
 Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan
cepat. Demikian pula akan diikuti dengan
peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat
hingga di atas 50o 70oC. Suhu akan tetap tinggi
selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada
kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba
yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi
dekmposisi/penguraian bahan organik yang sangat
aktif.
 Suhu akan meningkat hingga di atas
50o 70oC.
 Suhu akan tetap tinggi selama waktu
tertentu.
 Mikroba yang aktif pada kondisi ini
adalah mikroba termofilik, yaitu
mikroba yang aktif pada suhu tinggi.
 Pada saat ini terjadi dekomposisi/
penguraian bahan organik yang
sangat aktif.
 Setelah sebagian besar bahan
telah terurai, maka suhu akan
berangsur angsur mengalami
penurunan.
 Pada saat ini terjadi pematangan
kompos tingkat lanjut, yaitu
pembentukan komplek liat humus
 Selama proses pengomposan akan terjadi
penyusutan volume maupun biomassa
bahan. Pengurangan ini dapat mencapai
30 – 40% dari volume
 Pada dasarnya semua bahan organik
padat dapat dikomposkan, misalnya:
limbah organik rumah tangga, sampah
organik pasar/kota, kertas,
kotoran/limbah peternakan, limbah
pertanian, limbah agroindustri, limbah
pabrik kertas, limbah pabrik gula,
limbah pabrik kelapa sawit, dll.
1. Ketersediaan dan Keseimbangan Nutrisi
(Rasio C/N)
 Nisbah karbon dan nitrogen dianggap sebagai
faktor terpenting yang memengaruhi proses
pengomposan.
 Pada awal proses pengomposan, mikroba
membutuhkan karbon sebagai sumber energi
untuk pertumbuhan dan nitrogen untuk
sintesis protein.
 Rasio C/N yang efektif untuk proses
pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga
40:1.
 Nisbah C/N terlalu tinggi akan memperlambat
proses pengomposan karena mikroba
kekurangan N untuk sintesis
 Bila karbon terdapat dalam bentuk yang sulit
didekomposisi oleh bakteri (misalnya kertas,
serat kayu/serbuk gergaji, dan jerami), maka
akan meningkatkan nilai nisbah C/N.
 Nisbah C/N dapat dikurangi melalui
penambahan sumber nitrogen, misalnya
limbah ternak.
 Aktivitas mikroba berada diantara
permukaan area dan udara. Permukaan
area yang lebih luas akan meningkatkan
kontak antara mikroba dengan bahan
dan proses dekomposisi akan berjalan
lebih cepat.
 Ukuran partikel juga menentukan
besarnya ruang antar bahan (porositas).
 Pengomposan yang cepat dapat terjadi
dalam kondisi yang cukup oksigen(aerob).
 Aerasi secara alami akan terjadi pada saat
terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan udara hangat keluar dan
udara yang lebih dingin masuk ke dalam
tumpukan kompos.
 Aerasi ditentukan oleh porositas dan
kandungan air bahan (kelembaban).
 Apabila aerasi terhambat, maka akan
terjadi proses anaerob yang akan
menghasilkan bau yang tidak sedap.
 Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau
mengalirkan udara di dalam
tumpukan kompos.
 Porositas adalah ruang diantara partikel di
dalam tumpukan kompos. Porositas
dihitung dengan mengukur volume rongga
dibagi dengan volume total. Rongga ini
akan diisi oleh air dan udara.
 Udara akan mensuplai oksigen untuk
proses pengomposan. Apabila rongga
dipenuhi oleh air, maka pasokan oksigen
akan berkurang dan proses pengomposan
juga akan terganggu.
 Kelembaban memegang peranan yang
sangat penting dalam proses metabolism
mikroba dan secara tidak langsung
berpengaruh pada suplai oksigen.
 Mikrooranisme dapat memanfaatkan
bahan organik apabila bahan organik
tersebut larut di dalam air. Kelembaban
40- 60 % adalah kisaran optimum untuk
metabolisme mikroba.
 Apabila kelembaban di bawah 40%,
aktivitas mikroba akan mengalami
penurunan dan akan lebih rendah lagi
pada kelembaban 15%.
 Apabila kelembaban lebih besar dari
60%, hara akan tercuci, volume udara
berkurang, akibatnya aktivitas
mikroba akan menurun dan akan
terjadi fermentasi anaerobik yang
menimbulkan bau tidak sedap
 Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba.
Ada hubungan langsung antara
peningkatan suhu dengan konsumsi
oksigen.
 Semakin tinggi temperatur akan semakin
banyak konsumsi oksigen dan akan
semakin cepat pula proses dekomposisi.
 Peningkatan suhu dapat terjadi dengan
cepat pada tumpukan kompos.
 Temperatur yang berkisar antara 30-
60oC menunjukkan aktivitas
pengomposan yang cepat.
 Suhu yang lebih tinggi dari 60 oC akan
membunuh sebagian mikroba dan
hanya mikroba thermofilik saja yang
akan tetap bertahan hidup.
 Suhu yang tinggi juga akan membunuh
mikroba patogen tanaman dan benih
gulma.
 Proses pengomposan dapat terjadi
pada kisaran pH yang lebar.
 pH yang optimum untuk proses
pengomposan berkisar antara 6,5
sampai 7,5
 pH kotoran ternak umumnya
berkisar antara 6,8 hingga 7,4
 Proses pengomposan sendiri akan
menyebabkan perubahan pada bahan
organik dan pH bahan itu sendiri.
 Sebagai contoh, proses pelepasan asam,
secara temporer atau lokal, akan
menyebabkan penurunan pH (pengasaman),
sedangkan produksi amonia dari senyawa
yang mengandung nitrogen akan
meningkatkan pH pada fase awal
pengomposan.
 pH kompos yang sudah matang biasanya
mendekati netral.
 Kandungan P dan K juga penting
dalam proses pengomposan dan
bisanya terdapat didalam kompos
dari peternakan.
 Hara ini akan dimanfaatkan oleh
mikroba selama proses
pengomposan.
 Beberapa bahan organik mungkin
mengandung bahan yang berbahaya
bagi kehidupan mikroba.
 Logam berat seperti Mg, Cu, Zn,
Nickel, Cr adalah beberapa bahan
yang termasuk kategori ini.
 Logam berat akan mengalami
imobilisasi selama proses
pengomposan.
 Kompos dapat diperkaya dengan menambahkan
mikroba yang bermanfaat bagi tanaman.
 Mikroba tanah banyak yang berperan di dalam
penyediaan maupaun penyerapan unsur hara
bagi tanaman.
 Mikroba yang dapat ditambahkan antara lain:
Rhizobium sp (hidup di dalam bintil akar
tanaman kacangkacangan), Mikroba penambat
N nonsimbiotik misalnya: Azospirillum sp dan
Azotobacter sp
 Kelompok mikroba lain yang juga
berperan dalam penyerapan unsur P
adalah Mikoriza (ektomikoriza dan
Endomikoriza)
 Ektomikoriza seringkali ditemukan
pada tanaman
keras/berkayu,sedangkan
endomikoriza ditemukan pada
banyak tanaman, baik tanaman
berkayu atau bukan.
 Beberapa mikroba tanah juga mampu
menyediakan P bagi tanaman dan
menghasilkan hormon tanaman yang
dapat merangsang pertumbuhan
tanaman.
 Hormon yang dihasilkan oleh mikroba
akan diserap oleh tanaman sehingga
tanaman akan tumbuh lebih cepat atau
lebih besar. Kelompok mikroba yang
mampu melarutkan P yang terikat dalam
tanah dan menghasilkan hormon tumbuh
bagi tanaman, antara lain: Pseudomonas
sp, dan Bacillus sp. dll.
 Mikroba yang terlibat dalam
pengomposan adalah bakteri,
jamur, dan actinomycetes
 Selama proses pengomposan
berlangsung secara aerob,
terjadi perubahan populasi
mikroba baik secara kuantitatif
maupun secara kualitatif.
 Pada tahap awal pengomposan, jamur dan
bakteri mesofilik berperan dalam proses
dekomposisi dan mengakibatkan kenaikan suhu.
 Ketika suhu mencapai di atas 40oC, mikroba
tersebut digantikan oleh bakteri, jamur, dan
actinomycetes termofilik.
 Pada suhu di atas 65oC muncul bakteri
pembentuk spora yang mengurangi aktivitas
mikrobia dan menurunkan suhu. Bila suhu turun
lagi menjadi di bawah 40oC, bakteri dan jamur
mesofilik muncul kembali.
Kelompok Organisme Jumlah/gr kompos
Organisme

Mikroflora Bakteri;
109 - 109; 105 108;
Actinomicetes;
104 - 106
Kapang
Mikrofanuna Protozoa 104 - 105
Makroflora Jamur tingkat tinggi
Cacing tanah,
Makrofauna rayap, semut, kutu,
dll
1. Metode Indore
2. Metode Heap
3. Metode Bangalore
4. Metode Berkeley
5. Vermikompos
 Sebidang tempat beralas tanah, ternaungi agar
kompos tidak terkena sinar matahari dan air hujan
secara langsung.
 Pengomposan sebaiknya dilakukan di dekat kebun
yang akan diaplikasi kompos atau di dekat sumber
bahan baku yang akan dibuat kompos.
 Pemilihan lokasi ini akan menghemat biaya
transportasi dan biaya tenaga kerja. Lokasi juga
dipilih dekat dengan sumber air. Karena apabila
jauh dengan sumber air akan menyulitkan proses
pengomposan.
 
 Untuk mengetahui tingkat
kematangan kompos terdapat
beberapa parameter yang dapat
dilakukan dengan cara mengamati
dan melalui pengujian di
Laboratorium.
 Kompos yang sudah matang berbau
seperti tanah dan harum, meskipun
kompos berasal dari sampah kota.
 Apabila kompos tercium bau yang tidak
sedap berarti terjadi fermentasi anaerob
dan menghasilkan senyawa-senyawa
berbau yang mungkin berbahaya bagi
tanaman.
 Apabila kompos masih berbau seperti
bahan mentahnya berarti kompos belum
matang
 Warna kompos yang sudah matang
adalah cokelat kehitam-hitaman.
 Apabila kompos masih berwarna hijau
atau warnanya mirip dengan bahan
mentahnya berarti kompos tersebut
belum matang.
 Terjadi penyusutan volume/bobot kompos
seiring dengan kematangan kompos.
 Besarnya penyusutan tergantung pada
karakteristik bahan mentah dan tingkat
kematangan kompos.
 Penyusutan berkisar antara 20-40%.
 Apabila penyusutannya masih
kecil/sedikit, kemungkinan proses
pengomposan belum selesai dan kompos
belum matang.
 Contoh kompos diambil dari bagian
dalam tumpukan. Kompos kemudian
dimasukkan ke dalam kantong plastik,
ditutup rapat, dan disimpan di dalam
suhu ruang selama kurang lebih satu
minggu.
 Apabila setelah satu minggu kompos
tidak berubah bentuk (tidak
meggumpal), tidak berbau atau berbau
seperti tanah berarti kompos sudah
matang.
 Contoh kompos diletakkan di dalam bak kecil atau
beberapa pot kecil. Letakkan beberapa benih (3-4
biji). Jumlah benih harus sama.
 Pada saat yang bersamaan kecambahkan juga
beberapa benih di atas kapas basah yang diletakkan
di dalam baki dan ditutup dengan kaca/plastik
bening.
 Benih akan berkecambah dalam beberapa hari.
Pada hari ke-5 atau ke-7 benih yang berkecambah
dihitung. Bandingkan jumlah kecambah yang
tumbuh di dalam kompos dan di atas kapas basah.
 Kompos yang matang dan stabil ditunjukkan oleh
banyaknya benih yang berkecambah.
 Suhu kompos yang matang
mendekati suhu awal pengomposan
atau suhu kamar.
 Suhu kompos yang masih tinggi
atau di atas 50oC menandakan
bahwa proses degradasi masih
berlangsung aktif.
 Kompos yang sudah matang memiliki kandungan air
kurang lebih 55-65%. Cara mengukur kandungan air
kompos adalah sebagai berikut :
 Ambil sampel kompos dan ditimbang
 Kompos dikeringkan di dalam oven hingga beratnya
konstan, kemudian kompos ditimbang kembali.
 Kandungan air kompos dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
 Kandungan air = Berat basah-berat kering x 100%
 Berat basah
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar Air % - 50
2 Temperatur o
C suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau berbau tanah
5 Ukuran partikel Mm 0,55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 -
7 pH - 6,8 7,49
8 Bahan asing % * 1,5
Unsur makro
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40 -
11 Karbon % 9,80 32
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
14 Kalium (K2O) % 0 *

Unsur mikro
15 Arsen mg/kg * 13
16 Kadmium (Cd) mg/kg * 3
17 Kobal (Co ) mg/kg * 34
18 Kromium (Cr) mg/kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8
21 Nikel (Ni) mg/kg * 62
22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
23 Selenium (Se) mg/kg * 2
24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur lain
No Parameter Satuan Minimum Maksimum

25 Kalsium % * 25,5
26 Magnesium % * 0,6
27 Besi % * 2
28 Alumunium % * 2,2
29 Mangan % * 0.1
Bakteri
30 Fecal Coli MPN/gr 1000
31 Salmonella sp. MPN/4 gr 3

Keterangan : * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari
maksimum

Anda mungkin juga menyukai