INJURY
EPIDEMILOGI INJURY
FRAKTUR DISLOKASI
• Menurut data Kepolisian tahun 2017, di Indonesia,
rata-rata 3 orang meninggal setiap jam akibat
kecelakaan jalan. Data tersebut juga menyatakan
bahwa besarnya jumlah kecelakaan tersebut
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 61 % kecelakaan
disebabkan oleh faktor manusia yaitu yang terkait
dengan kemampuan serta karakter pengemudi, 9 %
disebabkan karena faktor kendaraan (terkait dengan
pemenuhan persyaratan teknik laik jalan) dan 30 %
disebabkan oleh faktor prasarana dan lingkungan.
• Global Status Report on Road Safety (WHO, 2015)
disebutkan bahwa setiap tahun, di seluruh dunia,
lebih dari 1,25 juta korban meninggal akibat
kecelakaan lalu lintas dan 50 juta orang luka berat.
Dari jumlah ini, 90% terjadi di negara berkembang
dimana jumlah kendaraannya hanya 54% dari
jumlah kendaraan yang terdaftar di dunia. Bila kita
semua tidak melakukan apapun, 25 juta korban jiwa
akan berjatuhan dalam kurun waktu 20 tahun ke
depan.
FRAKTUR
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang
menyebabkan fraktur radius dan ulna, dan dapat berupa
trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada
tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius
distal patah. Akibat trauma pada tulang bergantung pada
jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.
Etiologi
Peristiwa Trauma (kekerasan)
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang
patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya
tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang
akan patah tepat di tempat terjadinya benturan.
Patah tulang demikian sering bersifat terbuka,
dengan garis patah melintang atau miring.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di
tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang
karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang
jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu.
Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang
pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha
dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan
telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan
patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan
bawah.
Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi.
Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella
dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
Peristiwa Patologis
Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas
berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat
aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami
perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang
sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang.
Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya
suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang
misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada
daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
Klasifikasi
A. Berdasarkan Hubungan Tulang Dengan Jaringan Sekitar
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
• Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
• Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
• Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
• Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartemen
2. Fraktur terbuka (open/compound fracture)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah. Derajat patah tulang terbuka:
• Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
• Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
• Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
• Patah tulang lengkap (complete fracture)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah
satu dengan yang lainya, atau garis fraktur
melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang
dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
• Patah tulang tidak lengkap (incomplete fracture)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan
sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya
hanya bengkok yang sering disebut green stick.
Fraktur Terbuka Fraktur Tertutup
B. Berdasarkan bentuk patahan tulang
• Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur
semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
• Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul
akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini
hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
• Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana
garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
• Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen
tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
• Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen
tulang.
• Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak
lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga
periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak – anak.
• Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk
tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra
dengan dua vertebra lainnya.
• Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang
berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan
reduksi
C. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan
lempeng pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga
strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada
anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau
cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena
kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga.
Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera
atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur menurut Salter
– Harris :
• Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi
tertutup.
• Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga
reduksi tertutup.
• Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan
epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari
lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya
dengan reduksi anatomi.
• Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng
pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi
terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan
pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
• Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna.
• Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai
fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
• Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan
dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti
normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas,
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
• Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang
yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
• Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba
adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang
teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya. Pembengkakan dan perubahan warna
lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2001).
Diagnosis Fraktur
Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas
empat langkah: tanyakan (anamnesis, adakah cedera khas), lihat (inspeksi,
bandingkan kiri dan kanan), raba (analisis nyeri), dan gerakan (akif dan/atau pasif).
1. Riwayat pasien
• Sering kali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena
jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga mungkin,
fraktur tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan keluhan
keseleo, terutama patah yang disertai dislokasi fragmen yang minimal. Dalam
persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat meskipun sebenarnya
ringan, sebaliknya bisa dirasakan ringan meskipun sebenarnya berat.
• Diagnosis fraktur juga dimulai dengan anamnesis adanya trauma tertentu,
seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut.
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun fraktur yang
fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak
fraktur mempunyai cedera yang khas.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi / look
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan
inspeksi dan terlihat adanya asimetris pada kontur
atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna
local. Pasien merasa kesakitan, mencoba melindungi
anggota badannya yang patah, terdapat
pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok,
terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan
yang tidak normal. Adanya luka kulit, laserasi atau
abrasi, dan perubahan warna di bagian distal luka
meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka.
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian
distal lesi, bandingkan dengan sisi yang sehat.
b. Palpasi / feel
Nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis,
didapat juga secara objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa
nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada
waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota
badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat
nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama.
Palpasi harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah
ada nyeri tekan, gerakan abnormal, kontinuitas tulang, dan
krepitasi. Juga untuk mengetahui status vaskuler di bagian
distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan
memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur. Pada tes
gerakan, yang digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan,
mungkin sudah terjadi perluasan fraktur.
c. Gerakan / moving
Gerakan antar fragmen harus dihindari pada
pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan
mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak
persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan
rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri,
akibat fungsi terganggu (Loss of function).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan
kerusakan tulang dan jaringan lunak yang berhubungan dengan derajat
energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak
merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi
dalam melakukan debridemen. Bila bayangan udara tersebut tidak
berhubungan dengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa
fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat
bayangan benda asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat
keparahan kontaminasi disamping melihat kondisi fraktur atau tipe
fraktur itu sendir Diagnosis fraktur dengan tanda-tanda klasik dapat
ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap diperlukan
untuk konfirmasi dalam melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal,
rencana terapi dandasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk
fraktur-fraktur yang tidak memberikan gejala klasik dalam menentukan
diagnosis harus dibantu pemeriksaan radiologis sebagai gold standard.
Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu:
· Two views : (proyeksi AP/Anteroposterior dan Lateral, karena proyeksi
yang salah akan dapat memberikan informasi yang salah maka
pemeriksaan radiologis harus benar-benar AP dan lateral),
· Two joints : (terlihat dua sendi, pada bagian proksimal dan distal fraktur)
· Two limbs : ( dua anggota gerak sisi kanan dan kiri)
· Two injuries : ( biasanya pada multipel trauma yang bisa melibatkan
trauma di tempat lain dalam tubuh).
Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-fragmen tulang.
Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang
terjadi, gaya berat maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran
fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa :
• Aposisi (pergeseran kesamping / sideways, tumpang tindih dan
berhimpitan / overlapping, bertubrukan sehingga saling tancap/ impacted);
• Angulasi (penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur);
• Panjang / length (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau
overlapping antar fragmen fraktur) atau terjadi
• Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang).
Komplikasi
• Sindrom Emboli Lemak
• Sindrom Kompartemen
• Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik)
• Osteomyelitis
• Gangren Gas
• Perdarahan
• Neglected
• Delayed union, nonunion, mal union
• Dislokasi
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting
untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway),
proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah
terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah
lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara
terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan
untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden
period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin
besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat,
singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan
lunak selain memudahkan proses pembuatan foto rontgen.
Prinsip Penanganan Fraktur
Reduksi
• Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
• Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen
fraktur pada posisi anatomic normalnya.
• Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi,
dan reduksi terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung
sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila
cedera sudah mengalami penyembuhan.
b. Imobilisasi
· Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
· Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di
tempatnya sampai terjadi penyembuhan.
· Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah
dengan alat-alat “eksternal” bebat, brace, case, pen
dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan
alatalat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat,
batang, dll).
c. Rehabilitasi
Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan
kekuatan normal pada bagian yang sakit. Untuk
mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan
mempertahankan reduksi dan imobilisasi adalah
peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau
status neurovaskuler (misalnya; pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan), mengontrol ansietas
dan nyeri (mis; meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaran nyeri, termasuk analgetika), latihan isometrik
dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup
sehari-hari, dan melakukan aktifitas kembali secara
bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas
semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.
Imobilisasi Gips ( Plaster of Paris)