Anda di halaman 1dari 70

Peyakit Tidak Menular

INJURY
EPIDEMILOGI INJURY

FRAKTUR DISLOKASI
• Menurut data Kepolisian tahun 2017, di Indonesia,
rata-rata 3 orang meninggal setiap jam akibat
kecelakaan jalan. Data tersebut juga menyatakan
bahwa besarnya jumlah kecelakaan tersebut
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 61 % kecelakaan
disebabkan oleh faktor manusia yaitu yang terkait
dengan kemampuan serta karakter pengemudi, 9 %
disebabkan karena faktor kendaraan (terkait dengan
pemenuhan persyaratan teknik laik jalan) dan 30 %
disebabkan oleh faktor prasarana dan lingkungan.
• Global Status Report on Road Safety (WHO, 2015)
disebutkan bahwa setiap tahun, di seluruh dunia,
lebih dari 1,25 juta korban meninggal akibat
kecelakaan lalu lintas dan 50 juta orang luka berat.
Dari jumlah ini, 90% terjadi di negara berkembang
dimana jumlah kendaraannya hanya 54% dari
jumlah kendaraan yang terdaftar di dunia. Bila kita
semua tidak melakukan apapun, 25 juta korban jiwa
akan berjatuhan dalam kurun waktu 20 tahun ke
depan.
FRAKTUR
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang
menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang
menyebabkan fraktur radius dan ulna, dan dapat berupa
trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada
tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius
distal patah. Akibat trauma pada tulang bergantung pada
jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.
Etiologi
Peristiwa Trauma (kekerasan)
 Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang
patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya
tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang
akan patah tepat di tempat terjadinya benturan.
Patah tulang demikian sering bersifat terbuka,
dengan garis patah melintang atau miring.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di
tempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan.
Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah
dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang
karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang
jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu.
Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang
pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha
dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan
telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan
patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan
bawah.
 Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi.
Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella
dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi.
Peristiwa Patologis
 Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas
berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat
aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami
perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang
sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang.
 Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya
suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang
misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada
daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
Klasifikasi
A. Berdasarkan Hubungan Tulang Dengan Jaringan Sekitar
1. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
• Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
• Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
• Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
• Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartemen
2. Fraktur terbuka (open/compound fracture)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit
yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana
kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang
patah. Derajat patah tulang terbuka:
• Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
• Derajat II
Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen
jelas.
• Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
Derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
• Patah tulang lengkap (complete fracture)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah
satu dengan yang lainya, atau garis fraktur
melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang
dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
• Patah tulang tidak lengkap (incomplete fracture)
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan
sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya
hanya bengkok yang sering disebut green stick.
 
Fraktur Terbuka Fraktur Tertutup
B. Berdasarkan bentuk patahan tulang
• Transversal
Adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur
semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
• Spiral
Adalah fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul
akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini
hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
• Oblik
Adalah fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana
garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
• Segmental
Adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen
tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darah.
• Kominuta
Adalah fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen
tulang.
• Greenstick
Adalah fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak
lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga
periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak – anak.
• Fraktur Impaksi
Adalah fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk
tulang ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra
dengan dua vertebra lainnya.
• Fraktur Fissura
Adalah fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang
berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan
reduksi
C. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan
lempeng pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga
strain pada sendi dapat berakibat pemisahan fisis pada
anak – anak. Fraktur fisis dapat terjadi akibat jatuh atau
cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi karena
kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga.
Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera
atau fraktur fisis adalah klasifikasi fraktur menurut Salter
– Harris :
• Tipe I : fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi
tertutup.
• Tipe II : fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul
melalui tulang metafisis , prognosis juga sangat baik denga
reduksi tertutup.
• Tipe III : fraktur longitudinal melalui permukaan artikularis dan
epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi metafisis dari
lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik meskipun hanya
dengan reduksi anatomi.
• Tipe IV : fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng
pertumbuhan dan terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi
terbuka biasanya penting dan mempunyai resiko gangguan
pertumbuhan lanjut yang lebih besar.
• Tipe V : cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari
gangguan pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan
lokal, dan perubahan warna.
• Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai
fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
• Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan
dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti
normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas,
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
• Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang
yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
• Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba
adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang
teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya. Pembengkakan dan perubahan warna
lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau
hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2001).
Diagnosis Fraktur
Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas
empat langkah: tanyakan (anamnesis, adakah cedera khas), lihat (inspeksi,
bandingkan kiri dan kanan), raba (analisis nyeri), dan gerakan (akif dan/atau pasif).
1. Riwayat pasien
• Sering kali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena
jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga mungkin,
fraktur tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan keluhan
keseleo, terutama patah yang disertai dislokasi fragmen yang minimal. Dalam
persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat meskipun sebenarnya
ringan, sebaliknya bisa dirasakan ringan meskipun sebenarnya berat.
• Diagnosis fraktur juga dimulai dengan anamnesis adanya trauma tertentu,
seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut.
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun fraktur yang
fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak
fraktur mempunyai cedera yang khas.
2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi / look
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan
inspeksi dan terlihat adanya asimetris pada kontur
atau postur, pembengkakan, dan perubahan warna
local. Pasien merasa kesakitan, mencoba melindungi
anggota badannya yang patah, terdapat
pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok,
terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan
yang tidak normal. Adanya luka kulit, laserasi atau
abrasi, dan perubahan warna di bagian distal luka
meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka.
Pasien diinstruksikan untuk menggerakkan bagian
distal lesi, bandingkan dengan sisi yang sehat.
b. Palpasi / feel
Nyeri yang secara subyektif dinyatakan dalam anamnesis,
didapat juga secara objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa
nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada
waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota
badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat
nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama.
Palpasi harus dilakukan di sekitar lesi untuk melihat apakah
ada nyeri tekan, gerakan abnormal, kontinuitas tulang, dan
krepitasi. Juga untuk mengetahui status vaskuler di bagian
distal lesi. Keadaan vaskuler ini dapat diperoleh dengan
memeriksa warna kulit dan suhu di distal fraktur. Pada tes
gerakan, yang digerakkan adalah sendinya. Jika ada keluhan,
mungkin sudah terjadi perluasan fraktur.
c. Gerakan / moving
Gerakan antar fragmen harus dihindari pada
pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan
mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak
persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan
rutin fraktur. Gerakan sendi terbatas karena nyeri,
akibat fungsi terganggu (Loss of function).
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan
kerusakan tulang dan jaringan lunak yang berhubungan dengan derajat
energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak
merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi
dalam melakukan debridemen. Bila bayangan udara tersebut tidak
berhubungan dengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa
fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat
bayangan benda asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat
keparahan kontaminasi disamping melihat kondisi fraktur atau tipe
fraktur itu sendir Diagnosis fraktur dengan tanda-tanda klasik dapat
ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap diperlukan
untuk konfirmasi dalam melengkapi deskripsi fraktur, kritik medikolegal,
rencana terapi dandasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk
fraktur-fraktur yang tidak memberikan gejala klasik dalam menentukan
diagnosis harus dibantu pemeriksaan radiologis sebagai gold standard.
Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu:
· Two views : (proyeksi AP/Anteroposterior dan Lateral, karena proyeksi
yang salah akan dapat memberikan informasi yang salah maka
pemeriksaan radiologis harus benar-benar AP dan lateral),
· Two joints : (terlihat dua sendi, pada bagian proksimal dan distal fraktur)
· Two limbs : ( dua anggota gerak sisi kanan dan kiri)
· Two injuries : ( biasanya pada multipel trauma yang bisa melibatkan
trauma di tempat lain dalam tubuh).
Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-fragmen tulang.
Pergeseran fragmen bisa diakibatkan adanya keparahan cedera yang
terjadi, gaya berat maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran
fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa :
• Aposisi (pergeseran kesamping / sideways, tumpang tindih dan
berhimpitan / overlapping, bertubrukan sehingga saling tancap/ impacted);
• Angulasi (penyilangan antara kedua aksis fragmen fraktur);
• Panjang / length (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau
overlapping antar fragmen fraktur) atau terjadi
• Rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang).
Komplikasi
• Sindrom Emboli Lemak
• Sindrom Kompartemen
• Nekrosis Avaskular (Nekrosis Aseptik)
• Osteomyelitis
• Gangren Gas
• Perdarahan
• Neglected
• Delayed union, nonunion, mal union
• Dislokasi
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting
untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway),
proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah
terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah
lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara
terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan
untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden
period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin
besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat,
singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan
lunak selain memudahkan proses pembuatan foto rontgen.
Prinsip Penanganan Fraktur

Reduksi
• Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
• Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen
fraktur pada posisi anatomic normalnya.
• Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi,
dan reduksi terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung
sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya
akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila
cedera sudah mengalami penyembuhan.
b. Imobilisasi
· Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
· Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di
tempatnya sampai terjadi penyembuhan.
· Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah
dengan alat-alat “eksternal” bebat, brace, case, pen
dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan
alatalat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat,
batang, dll).
c. Rehabilitasi
Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan
kekuatan normal pada bagian yang sakit. Untuk
mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan
mempertahankan reduksi dan imobilisasi adalah
peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau
status neurovaskuler (misalnya; pengkajian peredaran
darah, nyeri, perabaan, gerakan), mengontrol ansietas
dan nyeri (mis; meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaran nyeri, termasuk analgetika), latihan isometrik
dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup
sehari-hari, dan melakukan aktifitas kembali secara
bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas
semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.
Imobilisasi Gips ( Plaster of Paris)

Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur


tidak bergeser setelah dilakukan manipulasi / reposisi atau sebagai
pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai imobilisasi dan
mencegah fragmen fraktur tidak merusak jaringan lunak
disekitarnya.
Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan mudah
digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat
dicetak sesuai bentuk anggota gerak, bersifat radiolusen dan
menjadi terapi konservatif pilihan Pada fraktur terbuka derajat III
dimana terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka
terkontaminasi penggunaan gips untuk stabilisasi fraktur cukup
beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik
dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat
dilanjutkan untuk menunjang secundary bone healing dengan
pembentukan kalus.
Pencegahan
• Pencegahan Primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan upaya
menghindari terjadinya trauma benturan, terjatuh atau
kecelakaan lainnya. Dalam melakukan aktifitas yang
berat atau mobilisasi yang cepat dilakukan dengan cara
hati – hati, memperhatikan pedoman keselamatan
dengan memakai alat pelindung diri.
Pencegahan
• Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan untuk mengurangi akibat –
akibat yang lebih serius dari terjadinya fraktur dengan
memberikan pertolongan pertama yang tepat dan terampil pada
penderita. Mengangkat penderita dengan posisi yang benar agar
tidak memperparah bagian tubuh yang terkena fraktur untuk
selanjutnya dilakukan pengobatan. Pemeriksaan klinis dilakukan
untuk melihat bentuk dan keparahan tulang yang patah.
Pemeriksaan dengan foto radiologis sangat membantu untuk
mengetahui bagian tulang yang patah yang tidak terlihat dari luar.
Pengobatan yang dilakukan dapat berupa traksi, pembidaian
dengan gips atau dengan fiksasi internal maupun eksternal.
Pada tingkat individu,
• wajib helm bagi pengendara sepeda motor
harus terus ditegakkan  pencegahan cidera
kepala
• Pada pengemudi mobil, kewajiban
penggunaan sabuk pengaman (seat belt) 
pencegahan kecelakaan seperti pada fraktur,
rupture lien dan bentuk cidera tubuh lainnya
Pada tingkat peraturan lalu lintas
• Diperlukan pengawasan kendaraan bermotor secara rutin
melalui pengujian
• Aturan tentang pengendalian batas kecepatan juga perlu
dilakukan pada jalan tertentu, bukan hanya di jalan bebas
hambatan (jalan tol)
• Selain itu, pemberian surat izin mengemudi perlu diperketat
dengan menjalankan proses melalui prosedur standar agar ada
proses pendidikan dan transfer pengetahuan berlalu-lintas.
• Faktor pendukung pencegahan kecelakaan adalah pembuatan
pedestrian bagi pejalan kaki agar menghindari para pejalan
kaki menggunakan jalur kendaraan ketika berjalan di pinggir
jalan.
• Penerangan jalan sangat membantu pengguna jalan
• Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier pada penderita fraktur yang bertujuan
untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat dan
memberikan tindakan pemulihan yang tepat untuk menghindari
atau mengurangi kecacatan. Pengobatan yang dilakukan
disesuaikan dengan jenis dan beratnya fraktur dengan tindakan
operatif dan rehabilitasi. Rehabilitasi medis diupayakan untuk
mengembalikan fungsi tubuh untuk dapat kembali melakukan
mobilisasi seperti biasanya. Penderita fraktur yang telah
mendapat pengobatan atau tindakan operatif, memerlukan
latihan fungsional perlahan untuk mengembalikan fungsi gerakan
dari tulang yang patah. Upaya rehabilitasi dengan
mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan
mempertahankan reduksi dan imobilisasi antara lain
meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler,
mengontrol ansietas dan nyeri, latihan dan pengaturan otot,
partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan melakukan
aktivitas ringan secara bertahap.
DISLOKASI
Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan
sendi tulang yang membentuk sendi tidak lagi dalam posisi
anatomis. Secara kasar adalah tulang terlepas dari persendian.
Subluksasi adalah dislokasi parsial permukaan persendian. Kadang
luksasi disertai dengan fraktur luksasi / dislokasi, misalnya fraktur
panggul dengan fraktur pinggir acetabulum. Dislokasi disertai
dengan kerusakan simpai sendi atau ligament sendi. Bila
kerusakan tersebut tidak sembuh dengan baik, luksasi muda
terulang kembali seperti sendi bahu. Pada sendi panggul
perdarahan dicaput femur mungkin terganggu karena kerusakan
pada trauma luksasi sehingga
terjadi nekrosis avasculer
Penyebab Dislokasi

• Trauma: jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur


dislokasi.
• Cedera olahraga Olah raga yang biasanya menyebabkan
dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang
beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski,
senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling
sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena
secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
• Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga.Benturan
keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya
menyebabkan dislokasi.
• Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai
yang licin
• Kongenital
Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi
pangkal paha. Pada keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi
sendi pangkal paha secara klinik tungkai yang satu lebih pendek
dibanding tungkai yang lainnya dan pantat bagian kiri serta
kanan tidak simetris. Dislokasi congenital ini dapat bilateral (dua
sisi). Adanya kecurigaan yang paling kecil pun terhadap kelainan
congenital ini mengeluarkan pemeriksaan klinik yang cermat dan
sianak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan dini
memberikan hasil yang sangat baik. Tindakan dengan reposisi
dan pemasangan bidai selama beberapa bulan, jika kelainan ini
tidak ditemukan secara dini, tindakannya akan jauh sulit dan
diperlukan pembedahan.
• Patologis
Akibatnya destruksi tulang, misalnya tuberkolosis tulang
belakang. Dimana patologis: terjadinya ‘tear ligament dan kapsul
articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang.
Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan karena faktor fisik yang
memaksa sendi untuk bergerak lebih dari jangkauan normalnya,
yang menyebabkan kegagalan tekanan, baik pada komponen
tulang sendi, ligamen dan kapsula fibrous, atau pada tulang
maupun jaringan lunak. Struktur-struktur tersebut lebih mudah
terkena bila yang mengontrol sendi tersebut kurang kuat.
Klasifikasi Dislokasi
1. Dislokasi congenital.
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan yang paling
sering terjadi pada panggul. Dislokasi panggul cogenital
merupakan suatu keadaan dimana caput femoris posisisnya
dalam acetabulum tidak normal sejak lahir. Caput femoris
biasanya kecil dan sering kali terletak diluar superior dan
lateral acetabulum. Perkembangan panggul normal yang
harmonis membutuhkan hubungan antara caput femoris dan
acetabulum. Disosiasi jangka panjang dapat menyebabkan
perkembangan yang tak memadai baik caput femoris
maupun acetabulum sehingga akhirnya menyebabkan cacat.
2. Dislokasi tarumatik
Dislokasi traumatik adalah suatu kedaruratan ortopedi,
yang memerlukan pertolongan segera, karena struktur
sendi yang terlibat pasokan darah dan saraf rusak
susunannya dan mengalami stres. Bila tidak ditangani
segera dapat terjadinekrosis avasculer ( kematian jaringan
akibat anoksia dan hilangnya pasokan darah ) dan
paralylisis saraf.
• Trauma sendi dapat berupa :
– Kontusio sendi biasa terjadi oleh benturan.
– Joint srain oleh trauma kecil yang berulang ( otot
tertarik akibat penggunaan yang berlebihan,
peregangan berlebihan dan atau stres yang
berlebihan ).
– Joint sprain / keseleo ada robekan mikroskopis
dari ligament atau kapsul sendi yang tidak
mengganggu stabilitas akibat gerakan memutar.
– Ruptur ligament
– Dislokasi.
– Dislokasi spontan atau patologik
– Terjadi akibat penyakit struktur sendi dan jaringan
sekitar sendi.
Gejala Dislokasi
Gejala utama dislokasi biasanya akan terlihat melalui
kejanggalan yang muncul pada bentuk sendi. Misalnya,
muncul benjolan aneh di dekat tempurung atau soket sendi.
Sendi tersebut juga akan mengalami pembengkakan, lebam,
terasa sangat sakit, serta tidak bisa digerakkan. Sensasi geli
atau kebas juga terkadang muncul di sekitar atau di bawah
sendi yang mengalami dislokasi.
Cedera ini termasuk kondisi darurat yang membutuhkan
penanganan medis untuk mengembalikan tulang pada posisi
yang seharusnya. Karena itu, segera ke rumah sakit jika Anda
atau anak Anda mengalami gejala-gejala tersebut.
Diagnosis
Anamnesis
• Ada trauma
• Mekanisme trauma yang sesuai, misalnya trauma
ekstensi dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi
bahu.
• Ada rasa sendi keluar.
• Bila trauma minimal hal ini dapat terjadi pada
dislokasi rekuren atau habitual.
Pemeriksaan klinis.
• Deformitas.
– hilangnya tonjolan tulang normal, misalnaya
deltoid yang rata pada dislokasi bahi.
– Perubahan panjang ekstremitas
– Kedudukan yang khas pada dislokasi tertentu,
misalnya dislokasi posterior sendi panggul
kedudukan sendi panggul endorotasi, fleksi dan
abduksi.
• Nyeri
• Funtio laesa gerak terbatas.
Pemeriksaan Fisik
Dislokasi traumatic
Semua lingkup gerak dicatat, mulai dari posisi nol atau
netral. Posisi netral bukan merupakan posisi faali atau posisi
istirahat yang penting bila dilakukan immobilisasi. Posisi netral
disebut juga posisi Zero atau posisi 0 , adalah posisi yang
menjadi dasar nol atau mencatat gerakan fleksi, ekstensi,
abduksi, adduksi dan rotasi. Posisi netral untuk sendi bahu dan
paha adalah posisi bahu atau paha searah dengan sumbu
tubuh dan untuk sendi siku, lutut dan pergelangan tangan
adalah sendi lurus. Untuk sendi pergelangan kaki posisi netral
adalah kaki tegak lurus atas tungkai bawah.
Dislokasi congenital panggul
Semua ana yang baru lahir sebaiknya diperiksa kemungkinan ada
dislokasi panggul congenital beberapa hari setelah kelahiran. Bayi
ditidurkan dengan kedua kaki dipleksikan dengan menekan secara
lembut pada lutut kearah meja periksa, sedangkan lutut dan pahanya
diabduksikan secara manual pada saat yang bersamaan bagian
proksimal paha ditekan keatas dan medial. Tekanan pada lutut pada
lutut yang arahnya kebawah pada pada awal tindakan ini, dapat
menyebabkan dislokasi total pada panggul yang mengalami
gangguan. Pada waktu paha diabduksikan seperti tersebut diatas
panggul tersa tereduksi secara spontan disertai bunyi “ KLIK “
kemudian dengan adduksi panggul dapat dirasakan dislokasinya.
Ketidak stabilan panggul yang dapat diperagakan dengan tes
provokasi ini disebut “ tanda ortolani positif
Pemeriksaan radiologis.
• Untuk memastikan arah dislokasi dan apakah
disertai fraktur, pada dislokasi lama pemeriksaan
radiologis lebih penting oleh karena nyeri dan
spasme otot telah menghilang.
Penatalaksanaan
Tindakan reposisi :
• Reposisi segera.
•Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian tanpa
anasthesi, misalnya dislokasi siku, dislokasi bahu dan dislokasi jari.
•Dislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anasthesi
local dan obat – obat penenang misalnya Valium. Jangan dipilih
cara reposisi yang traumatis yang bila dilakukan tanpa relaksasi
maksimal dapat menimbulkan fraktur.
•Dislokasi sendi dasar misalnya dislokasi sendi panggul
memerlukan anasthesi umum. Dislokasi setelah reposisi, sendi
diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips ata traksi dan dijaga agar
tetap dalamposisi stabil, beberapa hari beberapa minggu setelah
reduksi gerakan aktif lembut tiga sampai empat kali sehari dapat
mengembalikan kisaran sendi, sendi tetap disangga saat latihan.
Macam Dislokasi
• Dislokasi Sendi Jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan
segera sendi tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat
mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau punggung tangan
Penatalaksanaan :
Jari yang cedera dengan tarikan yang cukup kuat tapi tidak
disentakkan. Sambil menarik, sendi yang terpeleset ditekan dengan
ibu jari dan telunjuk. Akan terasa bahwa sendi itu kembali ke tempat
asalnya. Setelah diperbaiki sebaiknya untuk sementara waktu ibu
jari yang sakit itu dibidai. Untuk membidai dalam kedudukan
setengah melingkar seolah – olah membentuk huruf O dengan ibu
jari.
Dislokasi Sendi Siku
Jatuh pada tangan dapat menimbulkan dislokasi sendi siku ke
arah posterior. Reposisi dilanjutkan dengan membatasi gerakan
dalam sling atau gips selama tiga minggu untuk memberikan
kesembuhan pada sumpai sendi.
Dislokasi Pergelangan tangan (Dislocation of the Lunate)
Dislokasi pergelangan tangan adalah suatu kondisi dimana permukaan
sendi dari tulang pembentuk sendi pergelangan tangan mengalami
pergeseran atau penguluran baik secara langsung maupun tidak langsung.
• Dislokasi tulang lunatum
Dislokasi ini jarang ditemukan, berupa dislokasi ke anterior. Dislokasi
tulang lunatum terjadi bila jatuh dengan pergelangan tangan dalam
keadaan dorsoflexy, dan tulang lunatum terdorong ke arah palmar dan
mengalami rotasi 900 pada carpar tunnel. Terdapat pembengkakan pada
daerah pergelangan tangan, nyeri apabila jari-jari diekstensikan. Bisa
didapatkan gejala lesi nervus medianus.
Pada dislokasi yang baru, dilakukan reposisi di bawah pembiusan umum
dengan melakukan penekanan pada tulang lunatum. Pada dislokasi yang
lama, reposisi tidak bisa dilakukan dan perlu dilakukan eksisi.
• Dislokasi perilunatum
Seluruh korpus mengalami dislokasi ke arah dorsal kecuali tulang lunatum
masih tetap bersama-sama tulang radius.
Pengobatan dilakukan reduksi tertutup. Bila gagal, dilakukan reduksi
terbuka.
Dislokasi Regio Bahu (Shoulder Dislocation)
Pada regio bahu terdapat beberapa sendi yang saling berhubungan dan
saling mempengaruhi, yaitu sendi sternoklavikular, sendi akromioklavikular, dan
sendi glenohumoral. Hubungan skapulothorakal bukan merupakan sendi
melainkan suatu hubungan muskuler antara dinding thoraks dan skapula. Melalui
keempat hubungan ini yang terdiri atas tiga persendian dan satu hubungan
muskular ini terjadi gerakan ke segala arah di gelang bahu. Dislokasi regio bahu
(sendi glenohumoral) merupakan 50 % kasus dari semua dislokasi.
Tanda-tanda korban yang mengalami Dislokasi sendi bahu yaitu:
• Sendi bahu tidak dapat digerakakkan
• Korban mengendong tangan yang sakit dengan yang lain
• Korban tidak bisa memegang bahu yang berlawanan
• Kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya
Dislokasi Acromioclavicularis
Kekuatan sendi akromioklavikular
disebabkan oleh simpai sendi dan ligament
korakoklavikular. Dislokasi sendi
akromioklavikular tanpa disertai rupturnya
ligament korakoklavikuar, biasanya tidak
menyebabkan dislokasi fragmen distal ke
cranial dan dapat diterapi secara
konservatif dengan mitela yang disertai
latihan dan gerakan otot bahu. Bila tidak
berhasil atau adanya robekan ligament
korakoklavikula kadang dilakukan operasi
reposisi terbuka dan pemasangan fiksasi
interna.
Dislokasi Sternoclavicular
Dislokasi sternoklavikular ini jarang terjadi dan bisa terjadi akibat
trauma langsung klavikula kearah dorsal yang menyebabkan dislokasi
posterior atau retrosternal. Atau bisa terjadi akibat tumbukan pada
bagian depan bahu sehingga bagian medial dari klavikula tertarik kearah
depan dan menyebabkan lepasnya sendi sternoklavikular kearah
anterior. Pengobatan konserfatif dengan reposisi dan imobilisasi bisa
berhasil dan bila gagal perlu dilakukan operasi. Yang terpenting ialah
latihan otot supaya tidak terjadi hipotrofik pada otot bahu.
Dislokasi bahu anterior
Sering terjadi pada usia dewasa muda, kecelakaan lalu lintas ataupun
cedera olah raga. Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan gerakan
rotasi ekstern (puntiran keluar) dan ekstensi sendi bahu. Posisi lengan atas
dalam posisi abduksi. Kaput humerus didorong ke depan dan menimbulkan
avulsi simpai sendi bagian bawah dan kartilago beserta periosteum labrum
glenoidalis bagian anterior. Lesi ini disebut bankart lesion. Karena terjadi
robekan kapsul, kepala humerus akan keluar dari cekungan glenoid ke arah
depan dan medial, kebanyakan tertahan di bawah coracoideus. Mekanisme lain
terjadinya disloksi adalah trauma langsung. Pederita jatuh, pundak bagian
belakang terbentur lantai atau tanah. Gaya akan mendorong permukaan
belakang humerus bagian proksimal ke depan.
Dislokasi bahu posterior
Dislokasi ini jarang terjadi, mekanisme biasanya penderita
jatuh dimana posisi lengan atas dalamkedudukan adduksi atau
internal rotasi
Dislokasi bahu inferior (Luxatio Erecta)
Kaput humerus terperangkap dibawah kavitas glenoidale
sehingga terkunci dalam posisi abduksi. Karena robekan kapsul
sendi lebih kecil dibanding kepala humerus, maka sangat susah
kepala humerus ditarik keluar, hal ini disebut sebagai “efek lubang
kancing (Button hole effect)”
Dislokasi Regio Panggul (Hip Dislocation)
 
Dislokasi panggul lebih jarang dijumpai daripada dislokasi bahu atau siku.
Mekanisme terjadinya dislokasi yaitu saat kaput yang terletak di belakang
asetabulum, kemudian segera berpindah ke dorsum illium. Biasanya juga
mengalami cedera serius misalnya trauma benturan depan mobil akibat tabrakan
mobil frontal. Penderita mungkin mengalami syok berat dan tidak dapat berdiri.
Tungkainya terletak dalam posisi tinggi yang sesuai dengan paha difleksikan, dan
dirotasikan ke interna. Tungkai pada sisi yang cedera lebih pendek daripada sisi
yang normal. Lututnya bersandar pada paha yang berlawanan dan trokantor
mayor dan pantat menonjol secara abnormal.
Dislokasi Hip bawaan
Beberapa anak lahir dengan masalah yang disebut dislokasi pinggul
bawaan pinggul (displasia). Kondisi ini biasanya didiagnosis segera setelah
bayi lahir. Sebagian besar waktu, hal itu mempengaruhi hip kiri dalam
kelahiran anak pertama, perempuan, dan bayi yang lahir dalam posisi
sungsang.
Dislokasi Sendi Lutut
Dislokasi pada sendi lutut biasanya terjadi pada trauma yang berat ,yang
langsung mengenai sendi lutut. Subluksasio dapat terjadi secara sekunder pada
penyakit degeneratif ataupun pada penyakit infeksi yang sudah berlangsung
cukup lama. Tulang tibia dapat menjadi dislokasi ke ventral , dorsal ataupun ke
setiap sisi . Dapat juga terjadi rotasi yang abnormal pada femur. Mekanisme
terjadinya dislokasi pada sendi lutut biasanya melalui hiperekstensi dan torsi pada
sendi lutut. Dislokasi akut pada sendi lutut sering disertai dengan kerusakan pada
pembuluh darah ataupun persarafan pada popliteal space. Gambaran klinis
dijumpai adanya trauma pada daerah lutut disertai pembengkakan, nyeri dan
hamartrosis serta deformitas.
Komplikasi
Jika dibiarkan begitu saja tanpa penanganan medis, dislokasi
akan semakin parah dan bisa menyebabkan beberapa
komplikasi. Di antaranya meliputi:
• Kerusakan saraf atau pembuluh darah pada atau di sekitar
sendi.
• Sobeknya otot, ligamen, dan tendon pada sendi yang cedera.
• Munculnya arthritis pada sendi yang cedera seiring
bertambahnya usia pengidap.
• Meningkatnya kemungkinan cedera untuk kembali terjadi.
Komplikasi ini biasanya terjadi pada pengidap dislokasi yang
parah atau terjadi berulang kali.
Pencegahan
Waspada dan berhati-hati dalam setiap aktivitas merupakan cara utama
untuk menghindari dislokasi. Langkah ini bisa dilakukan dengan cara:
• Menghindari aktivitas atau gerakan yang menjadi penyebab dislokasi.
• Menggunakan pelindung saat berolahraga, misalnya helm saat
bersepeda.
• Memastikan rumah Anda merupakan lingkungan yang ramah anak,
misalnya tidak membiarkan barang-barang berserakan di lantai agar
tidak ada yang tersandung.
• Senantiasa memperhatikan dan mengawasi anak Anda.
• Mengajarkan sikap hati-hati dan kewaspadaan pada anak Anda, misalnya
untuk berpegangan pada pagar tangga saat naik atau turun tangga.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai