Anda di halaman 1dari 40

TUGAS KMB II

SCLEROSOS MULTIPLE
DAN
HIPERSENTIVITAS

Nama : Yuliana Oropka


Nim : 201702091 A
A) DEFINISI SCLEROSIS MULTIPEL (MS)
Sklerosis multipel adalah suatu penyakit otoimun
yang ditandai oleh pembentukan antibody terhadap
mielin susunan saraf pusat. Sistem saraf perifer
tidak terkena. Dengan rusaknya mielin, maka
hantaran saraf melamba. Respons peradangan
berperan menimbulkan penyakit dengan
menyebabkan pembengkakan dan edema yang
merusak neuron-neuron dan menyebabkan
pembentukan plak jaringan parut pada mielin.
Sklerosis multipel merupakan penyakit berat yang
secara medis obatnya sampai detik ini belum
ditemukan dan sampai sekarang belum ada orang
yang sembuh 100%.
B) KLASIFIKASI
Menurut basic Neurologi (Mc. Graw Hill 2000) ada
beberapa kategori Multiple sclerosis yaitu :
1. Rellapsing remitting Multiple slerosis
Adalah jenis MS yang klasik yang sering kzli timbul pada
akhir usia belasan atau puluhan tahun diawali dengan
suatu serangan hebat yang kemudian diikuti dengan
kesembuhan semu. Yang dimaksud dengan kesembuhan
semu adalah setelah serangan hebat penderita terlihat
pulih. Namun sebenarnya, tingkat kepulihan itu tidak lagi
sama dengan tingkat sebelumnya terkena serangan.
Sebenarnya kondisinya adalah sedikit demi sedikit
semakin memburuk.jika sebelumnya terkena serangan
hebat pertama penderita memiliiki kemampuan motorik
dan sensorik 100% , maka setelah serangan tersebut
mungkin hanya akan pulih 70-95% saja.
2. Primary progressive multiple slerocis
Pada jenis ini kondisi penderita semakin
memburuk. Ada saat-saat dimana penderita tidak
mengalami penurunan kondisi, namun jenis MS ini
tidak mengenal istilah kesembuhan semu. Tingkat
progresivitasnya beragam pada tingkatan yang
paling parah penderita MS jenis ini bisa berakhir
dengan kematian.
3. Secondary progresive MS
Ini adalah kondisi lanjut dari relapsing remitting
MS. Pada jenis ini kondisi penderita menjadi
serupa pada kondisi penderita primary progressive
MS.
4. Benign multiple sclerosis.
Sekitar 20% penderita MS jinak ini. Pada jenis MS
ini penderita mampu menjalani kehidupan seperti
orang sehat tanpa bergantung pada siapapun.
Serangan-serangan yang diderita pun umumnya
tidak pernah berat, sehingga para penderita sering
tidak menyadari bahwa dirinya menderita MS.
C). ETIOLOGI
Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun
ada dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme
autoimun (clark 1991). Ada juga yang mengaitkan
dengan faktor genetik
ada beberapa faktor pencetus, antara lain :
 Kehamilan
 Infeksi yang disertai demam
 Sters emosional
 Cedera
Faktor presifitasi yang mungkin termasuk infeksi,
cedera fisik dan stres emosional, kelelahan
berlebihan kehamilan ataupun seperti faktor ini:
 Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsang

/infeksi virus)
 Kelainan pada unsur pokok lipid mielin.
 Racun yang beredar dalam CCS
 Infeksi virus pada SSP (morbili, destemper anjing)
D. MANIFESTASI KLINIK
Tergantung pada area sistem saraf pusat mana yang terjadi
demielinasi :
 Gejala sensorik : paralise ekstremitas dan wajah, parestesia,

hilang sensasi sendi dan proprioseptif, hilang rasa posisi,


bentuk, tekstur dan rasa getar.
 Gejala motorik: kelemahan ekstremitas bawah, hilang

koordinasi, tremor intensional ekstremitas atas, ataxsia


ekstremitas bawah, gaya jalan goyah dan spatis, kelemahan
otot bicara dan facial palsy.
 Deficit cerebal. Emosi labil, fungsi intelektual memburuk,

mudah tersinggung , kurang perhatian, depresi , sulit


membuat kepetusan bingung dan disorientasi.
 Gejala pada medulla oblongata : kemampuan bicara

melemah pusing, disphagia, hilang pendengaran dan gagal


napas.
E. PATOFISIOLOGI
Multiple sclerosis ditandai dengan inflamasi
kronis, deminilation dan gliokis( Bekas luka).
Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi
inflamatori, mediasi imune, demyelinating proses.
Yang beberapa percaya bahwa inilah yang
mungkin mendorng virus secara genetik mudah di
terima individu. Diaktifkan sel T merespons pada
lingkungan, (misalkan infeksi). Sel T ini dalam
hubungannya dengan astrosit, merusak barier
darah otak, karena itu memudahkan masuknya
mediator imun.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik meliputi :
1. Lumbal punction
2. DCT
3. MRI
4. URODINAMIK
5. NEUROPSIKOLOGIK
PENATALAKSANAAN
1. Bersifat simtomatik: sesuai dengan gejala yang
muncul
2. Farmakoterapi
 Kortikosteroid, ACTH, prednison sebagai

antiinflamasi dan dapat meningkatkan konduksi


saraf.
 Imonosupreson:siklofosmaid (cytoxan),

imuran,interferon azatioprin, betaseron.


 Baklofen sebagai antispasmodic.
3.Blok saraf dan pembedahan dilakukan jika
terjadi spastisitas berat dan kontraktur untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut
4. Terapi fisik untuk mempertahankan tonus
dan kekuatan otot.

• Terapi
Obat
Seraca medis tidak ada yang menyembuhkan
multiple sclerosis 100 %. Obat-obatan yang ada
hanyalah menghambat interval serangan,
sedikit mengurangi tingkat keparahan
serangan, memperlambat progresivtas atau
perburukan MS.
Bed Rest
Penderita MS membutuhkan banyak istirahat
terutama setelah mengalami serangan baik
serangan kecil maupun serangan hebat. Lamanya
istirhat tergantung kondisi penderita
Asuhan keperawtan Pengkajian
 Identitas
Pada umumnya terjadi pada orang-orang yang hidup
di daerah utara dengan temperatur tinggi, terutama
pada dewasa muda (20-40thn)
 Keluhan utama

Muncul keluhan lemah pada anggota badan bahkan


mengalami spastisitas/kekejangan dan kaku otot,
kerusakan penglihatan
 Riwayat penyakit dahulu

Biasanya klien pernah mengalami penyakit autoimun


 Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya terjadi demilinasi ireguler pada
susunan saraf pusat perier yang mengakibatkan
berbagai derajat penurunan motorik sensorik dan
juga kognitif.
 Riwayat penyakit keluarga

Penyakit ini seirng lebih banyak di temukan di


antara kelurga dekat yang pernah menderita
penyakit tersebut.
Pemeriksaan fisik
 Keadaan umun
 B1(Breathing)

Pemeriksaan fisik yang didapat mencakup hal-hal


sbb:
 inspeksi
 Palpasi
 Perkusi
 Auskultasi
 B2 (boold )
 B3(brain)
 B4(Bladder)
 B5(bowel)
 B6(Bone)
 Dix 1: hambatan mobilitas fisik yang b/d
kelemahan, paresis, dan spastisitas.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan kep. Selama
2x24 jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik
sesuai dengan kemampuannya.
Dengan KH: -klien dapat ikut serta dalam program
latihan
-tidak terjadi kontraksi sendi
-bertambahnya kekuatan otot.
-klien menunjukka tindakan untuk
meningkatkan mobilitas
Intervensi:
-kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap
peningkatan kerusakan, kaji secara teratur fungsi
motorik
 Ubah posisi klien tiap 2 jam
 Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak

pada ekstremitas yang tidak sakit


 Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan

diri sesuai toleransi


Dix 2: resiko cedera yang b/d kerusakan sensori dan
penglihatan, dampak tirah baring lama dan
kelemahan spastis.
Tujuan:dalam 2x 24 jam resiko trauma tidak terjadi.
Dgn KH: -klien mau beradaptasi terhadap
pencegahan trauma.
-decubitus tidak terjadi
-kontraktur sendi tidak terjadi.
Intervensi: -meminimalkan efek imobilitas
- meminimalkan resiko decubitus
-meminimalkan spastisitas dan kontraktor.
Dix 3: perubahan pola eliminasi urune b/d
kelumpuhan saraf perkemihan.
Tujuan: dalam 2x24 jam eliminasi urine terpenuhi
Dengan KH:-pemenuhan eliminasi urune dapat
dilaksanakan dengan atau tidak
menggunakan kateter.
- keluhan eliminasi urine tidak ada
-dapat memproduksi urine
50cc/jam
Inervensi:
 Kaji pola berkemih dan catat urine setiap 6 jam.
 Tingkatkan kontrol berkemih dengan cara

berikam dukungan pada klien tentang


pemenuhan eliminasi urine,lakukan jadwal
berkemih ukur jumlah urine tiap 2 jam.
 Palpasi kemungkinan adanya distensi
kandung kemih.
 Anjurknan klien untuk minum 2000 cc/hari
sumber
Buku : patofisiologi
Buku : Asuhan keperawatan
DEFINISI HIPERSENSITIVITAS
Adalah reaksi imun yang berlebihan sehingga
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Pada keadaan
normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral
maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T.
Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Reaksi hipersensitivitas tipe 1
Merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi
IgE. Pada reaksi tipe 1, antigen (di mana penjamu telah
peka terhadapnya) terikat ke antibodi IgE. Kompleks IgE-
antigen menyebabkan degranulasi sel mast dan pelepasan
histamin serta mediator peradangan lainnya. Mediator-
mediator ini menyebabkan vasodilatasi perifer dan
pembengkakan ruang interstisium. Gejala bersifat
spesifik bergantung pada dimana respons alergi tersebut
berlansung. Pengikatan antigen disaluran hidung
menyebabkan ritinitis alergi disertai kongesti hidung
peradangan jaringan, sementara pengikatan antigen
disaluran cerna mungkin menimbulkan diare atau muntah.
Reaksi-reaksi berbahaya dalam reaksi
tipe 1
 1. Reaksi anafilaktik individu sudah peka
terhadap antigen.
 Gejala : gatal, keram abdomen, kemerahan

kulit, gangguan saluran cerna, dan kesulitan


bernapas.
 2. Anafilaksis sebagai respons terhadap

beberapa obat.
Urutan kejadian reaksi tipe 1
 A. Fase sensitasi
 B. Fase aktivasi
 C. Fase Efektor
Reaksi tipe II
Terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang
antigen-antigen jaringan. Reaksi tipe II terjadi
akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suati
reaksi otoimun. Pada reaksi tipe II , pengikatan
antibodi-antigen menyebabkan pengaktifan
komplemen, degranulasi sel mast, edema,
kerusakan jaringan, dan lisis sel. Reaksi tipe II
menyebabkan fagositosis sel-sel penjamu oleh
makrofag. Cth penyakit akibat reaksi tipe II ini
yaitu, penyakit Grave, anemia otoimun, reaksi
transfusi, & purpura trombositopenik otoimun.
Reaksi tipe III
Hal ini terjadi sewaktu kompleks antigen –antibodi
yang bersirkulasi dalam darah atau jaringan hilir.
Reaksi tipe II mengaktifkan komplemen dan
degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi
tersebut. Neutrofil menuju ke kerusakan tersebut
kemudian memfagositosi sel-sel yang rusak sehingga
terjadi pelepesan enzim-enzim serta penimbunan
sisa sel yang menyebabkan siklus peradangan
berlanjut. Cth penyakit reaksi tipe III yaitu, penyakit
serum, Glomerulonefritis, Lupus eritematosus
sistemik.
Reaksi hipersensitivitas tipe IV
Pada reaksi yang diperantarai oleh sel T ini,
terjadi pengaktivan sel T penghasil limfokinatau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga
terjadipenghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel
ini bersifat lambat (delayed), memerlukan waktu
24 -72 jam untuk terbentuknya. Cth penyakit
pada reaksi ini yaitu, tiroiditis outoimun
(Hashimoto).
ASKEP
 1. Data Demografi
 a. Data Dasar (identitas pasien, identitas
penanggung jawab).
 b. Riwayat Keperawatan
 1. Riwayat kesehatan (mengkaji data subjektif
yaitu data yang di dapatkan dari klien meliputi :
 Alasan masuk rumah sakit
 Keluhan Utama.
 2. Riwayat kesehatan masa lalu
 3. Riwayat kesehatan keluarga
 4. Riwayat Psikososial dan spritual

ANALISA DATA
 Data Subjektif
 Sesak nafas
 Mual, muntah
 Meringis, gelisah
 Terdapat nyeri pada bagian perut
 Gatal – gatal
 Batuk
 Data objektif
 Penggunaan O2
 Adanya kemerahan pada kulit
 Terlihat pucat
 Pembengkakan pada bibir
 Demam ( suhu tubuh diatas 37,50C)
Diagnosa keperawatan
  
◦ Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan
 terpajan allergen
◦ Hipertermi berhubungan dengan  proses
inflamasi
◦ Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
infalamasi dermal, intrademal sekunder
◦ Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
biologi (allergen, ex: makanan)
Intervensi keperawatan
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan 
terpajan allergen
 Tujuan : Setelah diberikan askep selama 1.x15

menit. diharapkan pasien menunjukkan pola


nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman
rentang normal.
 Kriteria hasil:
 Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
 Pasien tidak merasa sesak lagi
 Pasien tidak tampak memakai alat bantu pernapasan
 Tidak terdapat tanda-tanda sianosis
 Intervensi :
 Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi
paru. Catat upaya  pernapasan, termasuk pengguanaan
otot bantu/ pelebaran masal.
 Rasional  : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan
terjadi peningakatan kerja napas. Kedalaman
pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas.
Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan
atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
 Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas
adventisius seperti krekels, mengi, gesekan pleura.
 Rasional :  Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan
napas obstruksi sekunder terhadap pendarahan,
bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan
mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan
pernapasan.
 Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien
turun dari tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
 Rasional : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan

memudahkan pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi


meningkatkan pengisian  udara segmen paru berbeda sehingga
memperbaiki difusi gas.
 Observasi pola batuk dan karakter secret.
 Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau

iritasi. Sputum berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan


jaringan atau antikoagulan berlebihan.
 Berikan oksigen tambahan
 Rasional  : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja

napas
 Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
 Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan

membantu pengenceran secret untuk memudahkan


pembersihan.
Hipertermi berhubungan dengan proses  inflamasi
 Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam

diharapkan suhu tubuh pasien menurun.


 Kriteria hasil :
 Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC)
 Bibir pasien tidak bengkak lagi
 Intervensi :
 Pantau suhu pasien ( derajat dan pola )
 Rasional  : Suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses penyakit
infeksius akut.
 Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat
tidur sesuai indikasi
 Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk
mempertahankan mendekati normal
 Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alcohol
 Rasional : Dapat membantu mengurangi demam
 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi
dermal, intrademal sekunder
 Tujuan : Setelah diberikan askep selama  2 x24 jam diharapkan

pasien tidak akan mengalami kerusakan integritas kulit lebih


parah.
 Kriteria hasil :
 Tidak terdapat kemerahan, bentol-bentol dan odema
 Tidak terdapat tanda-tanda urtikaria, pruritus dan angioderma
 Kerusakan integritas kulit berkurang
 Intervensi :
 Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau

pigmentasi
 Rasional : Kulit berisiko karena gangguan sirkulasi perifer
 Hindari obat intramaskular
 Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi

memperlambat absorpsi obat dan predisposisi untuk kerusakan


kulit
  
 Nyeri akut berhubungan dengan  agen cedera
biologi ( alergen,ex: makanan).
 Tujuan : Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan


nyeri pasien teratasi
 Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan dan menunjukkan

nyerinya hilang
 Wajah tidak meringis
 Skala nyeri 0
 Intervensi :
 Ukur TTV
 Rasional  : untuk mengetahui kondisi umum pasien
 Kaji tingkat nyeri (PQRST)
 Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
 Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
 Rasional  : memberikan rasa nyaman kepada pasien
 Ciptakan suasana yang tenang
 Rasional : membantu pasien lebih relaks
 Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
 Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon
nyeri.
 Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea,
mual muntah, palpitasi, keinginan berkemih.
 Rasional  : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri
yang dialami pasien.
 Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic
 Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan
oleh pasien.
SUMBER

 BUKU : PATOFIOLOGI
 BUKU ASUHAN KEPERAWATAN

Anda mungkin juga menyukai