Anda di halaman 1dari 31

Manajemen Kolaborasi

TB - HIV
PENDAHULUAN
❑ Epidemi HIV ini merupakan tantangan terbesar
dalam pengendalian TB,↑ epidemi HIV → ↑ epidemi
TB
❑ Pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik
tanpa keberhasilan pengendalian HIV
❑ Sebaliknya TB merupakan infeksi oportunistik
terbanyak → penyebab kematian pada orang dengan
HIV/ AIDS (ODHA)
❑ Kolaborasi TB HIV → keharusan → menanggulangi
kedua penyakit tersebut secara efektif dan efiisien
Faktor HIV pada Resiko Kejadian TB
transmisi
Jml kasus TB BTA+
Faktor lingkungan Resiko mjd TB bila dg HIV:
▪Ventilasi • 5-10% setiap tahun
▪Crowded • >30% lifetime
▪indoor
Faktor Perilaku SEMB
HIV(+) UH

EXPOSURE INFE
T MA
KSI 10%
B TI
Konsentrasi Kuman ▪ Keterlambatan diagnosis
Lama kontak &pengobatan
▪ Malnutrisi ▪ Tatalaksana tak memadai
▪ Penyakit DM, ▪ Kondisi kesehatan
immunosupresan
Tujuan kolaborasi TB HIV
TUJUAN UMUM
untuk mengurangi beban TB dan HIV pada
masyarakat akibat kedua penyakit ini
TUJUAN KHUSUS
1. Membentuk mekanisme kolaborasi antara
program TB dan HIV/AIDS.
2. Menurunkan beban TB pada ODHA.
3. Menurunkan beban HIV pada pasien TB.
Pelaksanaan kolaborasi
❑ Dalam melakukan kolaborasi TB HIV diperlukan
dibentuk kelompok kerja (Pokja)
❑ Diperlukan dibentuk tim terpadu di tingkat Fasyankes
yang terdiri atas Tim DOTS, Tim HIV dan unsur
manajemen :
a. Wadir Pelayanan/Komite Medik (RS), Kepala
Puskesmas
b. Dokter
c. Perawat
d. Petugas laboratorium
e. Petugas farmasi
f. Konselor
g. Manajer kasus
h. Kelompok dukungan
i. Petugas pencatatan dan pelaporan
KOLABORASI TB HIV DI FASYANKES
❑Bertujuan untuk menjamin kesinambungan
perawatan pasien yang berkualitas → ↓angka
kesakitan dan kematian akibat infeksi ganda &
masalah resistensi obat.
❑Ada 2 pilihan model:
a. Model layanan paralel
b. Model Layanan Terintegrasi
KOLABORASI TB HIV DI FASYANKES
a. Model layanan paralel
Layanan TB dan layanan HIV yang berdiri
sendiri-sendiri di Fasyankes yang sama atau
berbeda. Masing-masing layanan
melaksanakan kolaborasi melalui sistem
rujukan yang disepakati
b. Model Layanan Terintegrasi
Yaitu layanan TB dan layanan HIV terpadu
dalam satu unit di satu Fasyankes.
KEGIATAN KOLABORASI TB HIV DI
MASYARAKAT & FASYANKES
KEGIATAN KOLABORASI TB HIV DI
MASYARAKAT & FASYANKES
KEGIATAN KOLABORASI TB HIV DI
MASYARAKAT & FASYANKES
MENURUNKAN BEBAN TB PADA ODHA
1. MENGINTENSIFKAN PENEMUAN KASUS TB &
PENGOBATANNYA
a. SKRINING TB PADA ODHA
gejala TB :
2. batuk lebih dari 2 minggu
3. demam
4. kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas
5. pembesaran kelenjar getah bening > 2 cm
6. berkeringat malam tanpa aktifitas
➢ Skrining dilakukan oleh Konselor, Manajer kasus atau
Perawat pada semua ODHA setelah KT HIV (konseling
post tes) secara berkala selama pelayanan HIV
(sebelum memulai ARV atau selama pemberian ARV
➢ Skrining TB juga harus dilakukan pada kontak serumah,
pada klien/kelompok dengan risiko HIV dan pada
kondisi khusus seperti di rutan/lapas., penasun
(Injecting drug users/IDU)
➢ Sebelum memulai ARV, semua ODHA harus dipastikan
status TB-nya, bila ternyata juga menderita TB maka
penatalaksanaannya sesuai tatalaksana klinis TB-HIV.
b. Diagnosis TB pada ODHA
➢Pemeriksaan mikroskopis dahak
➢Pemeriksaan foto thoraks pada suspek TB BTA
(-)

c. Pengobatan TB pada ODHA


2. MENJAMIN PENGENDALIAN INFEKSI TB PADA
LAYANAN KESEHATAN & TEMPAT KHUSUS
(lapas/rutan, panti rehabilitasi NAPZA)
• Pengendalian infeksi → meminimalisir risiko
penularan
• Memisahkan pasien TB BTA (+) dg ps yg lain →
pemisahan ruang tunggu atau waktu kontrol
MENURUNKAN BEBAN HIV PADA
PASIEN TB
Adapun kegiatan-kegiatan tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Menyediakan layanan konseling dan tes HIV
untuk pasien TB.
2. Pencegahan HIV dan IMS.
3. Pengobatan pencegahan dengan
kotrimoksasol (PPK) dan IO lainnya.
4. Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV.
PENERAPAN KOLABORASI MENURUNKAN BEBAN HIV
PADA PASIEN TB
Ps TB yang berisiko HIV
a. Faktor risiko HIV (pasien atau pasangan)
– Penasun,
– Pekerja Seks (Wanita, Pria termasuk Waria dan Lelaki
Seks Lelaki),
– Berganti-ganti pasangan,
– Riwayat Infeksi Menular Seksual,
– Jenis pekerjaan yang berisiko tinggi, misalnya: orang
yang karena pekerjaannya berpindah-pindah tempat
(supir, pelaut), migran, tuna wisma, pekerja bar/salon,
– Riwayat transfusi darah dan produk darah.
Ps TB yang berisiko HIV
b. Penilaian klinis HIV
– Kematian pasangan akibat penyakit kronik,
– Kandidiasis oral, diare kronik dan penurunan
berat badan secara drastis (>10%).
Ps TB yang berisiko HIV
c. Penilaian klinis TB
– Kasus sulit (komplikasi) atau tidak adanya respons terhadap
pengobatan,
– Pasien TB yang dirawat inap,
– Pasien TB ekstra paru,
– Bila hasil pemeriksaan dahak BTA negatif dan ada keraguan
dalam penilaian faktor risiko HIV maka menjadi alasan kuat
untuk menawarkan KT HIV karena sebagian besar kasus TB-HIV
ditemukan dengan hasil pemeriksaan dahak BTA negatif
Layanan konseling dan tes HIV
❑Konseling dan tes HIV dapat menggunakan 2 pendekatan →
VCT/KTS (konseling dan tes HIV sukarela) atau PITC/TIPK
(tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan dan konseling)
❑Prinsip “5C” :
1.confidentiality (kerahasiaan)
2.informed consent (persetujuan)
3.counselling
4.correct test result (hasil tes yang benar)
5.connection to CST services (terhubung dengan
layanan PDP)
Materi KIE HIV/AIDS pada ps TB
✓ Pesan harus terfokus pada kemungkinan ko-infeksi TB-HIV
✓ Pencegahan HIV menggunakan strategi ABCD (A:
abstinence/puasa seks, B: Be faithfull/bersikap saling setia,
C: Condom/Kondom dan D: Drug/tidak menggunakan
NAPZA suntik).
✓ Promosi kondom sebagai upaya untuk pencegahan IMS
harus ditekankan di pelayanan DOTS.
✓ Pasien TB harus diskrining untuk gejala IMS. Mereka
dengan gejala IMS harus ditangani dan dirujuk ke layanan
IMS.
✓ Pasien penasun harus dirujuk ke unit pengurangan dampak
buruk NAPZA suntik dan layanan terapi rumatan metadon
Alur Pemeriksaan
Tes HIV
Usia > 18 bln
Interpretasi Hasil Tes HIV
Hasil Tes Kriteria Tindak Lanjut
Positif Bila hasil A1, A2 dan A3 reaktif Rujuk ke Pengobatan HIV
Negatif • Bila hasil A1 non-reaktif • Bila tidak berisiko, dianjurkan perilaku hidup
• Bila hasil A1 reaktif ttp pd sehat
pengulangan A1 dan A2 • Bila berisiko, dianjurkan pemeriksaan ulang
non-reaktif minimum 3, 6 dan 12 bulan dari pemeriksaan
• Bila salah satu reaktif ttp pertama
tidak berisiko
Indeterminate • Bila 2 hasil tes reaktif • Tes perlu diulang dgn spesimen baru
• Bila hanya 1 tes reaktif ttp minimal setelah 2 minggu dari pemeriksaan
mempunyai risiko atau pertama
pasangan berisiko • Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan
dgn pemeriksaan PCR
• Bila sarana pem PCR tidak ada, rapid tes
diulang 3, 6 dan 12 bulan dari pemeriksaan
pertama. Bila sampai 1 tahun hasil tetap
“indeterminate” dan faktor risiko rendah,
hasil dapat dinyatakan sebagai negatif
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksazol (dewasa)
Kriteria Inisiasi Kriteria Pemberhentiana
Jumlah CD4 < 200 sel/mm3 dan Jumlah CD4 > 200 sel/mm3
berapapun stadium klinis setelah 6 bulan ARTc
atau Jika tidak ada CD4: PPK dpt
Stadium klinis 3 atau 4 dihentikan setelah 2 tahun ART
atau
Semuanyab

TB aktif, berapapun jumlah CD4 Sampai pengobatan TB selesai


jika jumlah CD4 > 200 sel/mm3

a
kotrimoksasol diberhentikan juga bila ODHA dengan sindrom Stevens-Johnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia berat, atau
HIV negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD.
b
pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi.
c
pada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria, batasan CD4 yang digunakan adalah <350 sel/mm3.

Dosis dewasa: 1 x 960 mg/hari


TERIMA KASIH....
barriers to women’s access to and use of services.

Anda mungkin juga menyukai