Anda di halaman 1dari 78

TUMOR GANAS ORGAN

REPRODUKSI WANITA
Dr. ASWAR ABOET SpOG,K
Dept. OBGYN FK USU
NEOPLASIA INTRAEPITELIAL
SERVIKS
DAN PENANGANANNYA
Pendahuluan
Kanker serviks  terbanyak ke dua pada wanita di
seluruh dunia  15% dari seluruh kanker pada wanita.

Di negara maju  4 – 6% dari seluruh kanker pada


wanita  metode skrining yang sudah sangat baik.

Metode skrining  papsmear, liquid based cytology


(LBC), kolposkopi, kuretase endoserviks dan biopsi.
Pendahuluan
Lesi prakanker  neoplasia intraepitelial serviks (cervical
intraepithelial neoplasia)  gangguan pertumbuhan dan
perkembangan epitel serviks yang berpotensi
berkembang menjadi kanker serviks invasif.
Pembuktian NIS  biopsi.

Semua displasia harus ditangani jika diagnosa sudah


ditegakkan.
Penanganan NIS  destruktif  pembekuan, vaporisasi
atau eksisi.
Definisi dan Terminologi
 First International Conference on Exfoliative Cytology (1961) 
karsinoma insitu  lesi pada epitel tanpa adanya invasi,
menunjukkan suatu lapisan epitel permukaan dimana pada
keseluruhan lapisannya tidak dijumpai adanya diferensiasi.

 WHO  displasia  lesi yang ditandai dengan terjadinya perubahan


atipik pada permukaan epitel  displasia ringan, sedang dan berat.

 Richart (1973)  neoplasia intraepitelial serviks (NIS)  lesi


prekursor kanker serviks, termasuk displasia dan karsinoma insitu.
Definisi dan Terminologi
 Neoplasia Intraepitelial Serviks (NIS)  gangguan pertumbuhan dan
perkembangan epitel serviks yang berpotensi berkembang menjadi
kanker serviks invasif.

3 tingkatan  NIS 1 (displasia ringan), NIS 2 sama dengan (displasia


sedang), NIS 3 (displasia berat/karsinoma insitu).

 US National Cancer Institute (1988)  klasifikasi Bethesda  lesi


derajat rendah (low-grade squamous intraepithelial lesions/LSIL) dan
lesi derajat tinggi (high-grade squamous intraepithelial lesions/HSIL).
LSIL setara dengan NIS 1 sedangkan HSIL setara dengan NIS 2 dan
3.
Epidemiologi
 Prevalensi displasia  1,2 – 3,8% pada pasien yang tidak hamil 
timbul pada wanita berusia 15 tahun ke atas, insidensi puncak  25
sampai 35 tahun.

 Faktor resiko utama  tingkah laku seksual  jumlah pasangan


seksual, usia muda saat kehamilan pertama dan hubungan seksual
pertama kali, penyakit menular seksual, dan paritas.

 Faktor tambahan  kelas sosioekonomi rendah, merokok, infeksi


Chlamydia trachomatis, defisiensi mikronutrien, defisiensi diet sayuran
dan buahan, dan imunosupresi akibat penyebab apapun dihubungkan
dengan kanker serviks dan prekursornya.
Epidemiologi
Infeksi Human papillomavirus (HPV)  penyebab lebih
dari 99% kasus kanker serviks.

HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan
68 mempunyai hubungan yang kuat dengan NIS dan
kanker invasif.

HPV tipe 16 dan 18  genotip virus utama  paling


sering dijumpai pada kanker serviks di seluruh dunia.
Patologi
3 sel asal NIS  sel basal dari epitel skuamosa matur di portio, sel
basal dari sel skuamosa metaplastik, dan sel kolumnar endoserviks
 mayoritas  sel basal dari skuamosa metaplasia.
 Kriteria
histologi  temuan aneuploidi nukleus, gambaran mitosis
abnormal, dan hilangnya maturasi epitel yang normal.
 NIS 1  sel 1/3 bawah tidak menunjukkan adanya diferensiasi
sitoplasma atau pertumbuhan normal (kehilangan polaritas sel).
Gambaran mitosis sedikit  biasanya normal.
 NIS 2  perubahan abnormal NIS 1 melibatkan 2/3 bawah dari
epitel.
Patologi
 NIS 3  lesi pada seluruh lapisan  sel yang tidak bertingkat dan
tidak dapat dibedakan. Pleomorfisme nukleus umum dijumpai, dan
gambaran mitosis abnormal.

 NIS1  efek perubahan sel pada HPV  pembentukan suatu


daerah dengan kejernihan perinukleus atau vakuolisasi.

 Koss dan Durfee  kombinasi atipia nukleus dan kejernihan


perinukleus koilocytes.

 Kebanyakankarsinoma sel skuamosa serviks  abnormalitas


kromosom  aneuploidi  gambaran mitosis abnormal.
CIN I accompanied by koilocytotic atypia
Typical appearance of cervical intraepithelial
neoplasia (CIN) III (carcinoma in situ)
Diagnosis
Diagnosis  temuan sitologi yang diperoleh dari
pemeriksaan Papsmear serviks rutin.

Displasia fase transisional dalam patogenesis kanker


serviks  deteksi dini!

Metode skrining NIS  papsmear, liquid-based cytology


(LBC), inspeksi visual dengan asam asetat (IVA),
kolposkopi, kuretase endoserviks dan biopsi.
PAPSMEAR
Dr. George Papanicolaou  evaluasi sitologi sel yang
diperoleh dari serviks dan vagina  paling efisien dan
murah untuk skrining kanker serviks.
Fahey dkk  sensitivitas rata-rata dari sitologi serviks
konvensional adalah 58% dan spesifisitasnya adalah 69%,
jika digunakan sebagai metode skrining.
PAPSMEAR
 American College of Obstetricians and Gynecologists dan American
Cancer Society (1988)  wanita yang mempunyai aktivitas seksual
yang aktif, atau telah mencapai usia 18 tahun, sebaiknya menjalani tes
Pap dan pemeriksaan pelvis setiap tahun. Pada seorang wanita
dengan pemeriksaan tahunan yang normal selama tiga tahun berturut-
turut atau lebih, Papsmear dapat dilakukan lebih jarang sesuai
kebijakan dari dokternya.
 US Public Health Service dan Infectious Disease Society of America 
tes papsmear kedua dilakukan dalam 6 bulan setelah hasil tes
papsmear awal yang normal; skrining diulangi setiap tahun setelah dua
hasil tes papsmear yang normal.
Various types of cervical
Various types of cervical lesions
lesions as seen on Pap
as seen on Pap smears: CIN I.
smears: CIN II.
Various types of cervical lesions as seen on Pap smears: CIN III.
Liquid-based cytology (LBC)
 LBC  metode papsmear yang dimodifikasi  pengumpulan sel
usapan serviks di dalam cairan.

 Tujuan  menghilangkan kotoran, darah, lendir serta memperbanyak


sel serviks yang dikumpulkan  meningkatkan sensitivitas.

 Keuntungan  penyebaran sel yang merata pada sediaan dengan


minimal tumpang tindih sel pada sediaan, terhindar dari darah, lendir
ataupun sel-sel radang.

 Suspensi sel di larutan preservatif yang tidak terpakai dapat dipakai


untuk pemeriksaan HPV, klamidia dan lain-lain sesuai dengan
keperluan.
Inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA)
 Hinselman (1925)  IVA  pemeriksa mengamati serviks yang
telah diberi asam asetat/asam cuka 3 – 5% secara inspekulo 
penglihatan mata langsung setelah 1–2 menit pemberian asam
asetat.
 Asam asetat 5%  koagulasi dan presipitasi protein sel yang
reversibel, pembengkakan jaringan epitel kolumnar dan berbagai sel
skuamosa abnormal, dan dehidrasi sel.
 Asam asetat  meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler 
menarik cairan dari intraseluler  membran kolaps dan jarak
antarsel semakin dekat  jika permukaan epitel mendapat sinar 
dipantulkan keluar.
Inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA)
Area NIS dan kanker invasif  koagulasi maksimal 
pola pembuluh darah subepitel terganggu dan epitel
terlihat putih.
Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat
kelainan histologinya. Demikian pula, makin tajam
batasnya, makin tinggi derajat kelainan jaringannya.
Kolposkopi
 Hinselman (1925)  kolposkopi  alat untuk mendapatkan
pembesaran gambaran suatu objek, dalam hal ini serviks, vagina dan
vulva.
 Kunciutama  observasi epitel serviks setelah aplikasi larutan NaCl,
asam asetat dan atau larutan lugol.
 Aplikasi NaCl  mempelajari pola vaskular subepitel secara lebih
rinci.
 Asam asetat  tampilnya perubahan epitel acetowhite pada serviks.
 Larutan lugol  NIS dan kanker invasif tidak menunjukkan
perubahan warna.
Kolposkopi
Perubahan epitel menuntun dilakukannya biopsi.

Evaluasi kolposkopi dinyatakan ”adekuat” atau ”memuaskan”


jika zona transformasi komplit dan gambaran lesi secara
menyeluruh dapat divisualisasi.
Sensitivitasberkisar 87 – 99% untuk mendiagnosa neoplasia
serviks, dengan spesifisitas 23 – 87%.
Keterbatasan  ketidakmampuan mendeteksi lesi yang
letaknya dalam pada kanalis endoserviks pada kasus-kasus
dimana sambungan skuamokolumnar tidak terlihat.
Kolposkopi
Indikasi:
[

Gambaran serviks yang mencurigakan


Karsinoma invasif pada sitologi
NIS 2 atau NIS 3 pada sitologi
Abnormalitas derajat rendah (NIS 1) yang persisten (lebih
dari 12 – 18 bulan) pada sitologi
Kualitas sitologi yang tidak memuaskan secara persisten
Infeksi HPV tipe onkogenik
Pemeriksaan IVA positif
Kuretase endoserviks
Kecuali pada wanita hamil, evaluasi kanalis endoserviks
dengan kuretase endoserviks sebaiknya dilakukan pada
setiap pasien yang menjalani pemeriksaan kolposkopi,
bahkan jika keseluruhan lesi dapat terlihat.
Kuretase endoserviks dilakukan dari ostium internal sampai
ke ostium eksternal  mengkuret keseluruhan
sirkumferensia kanalis tanpa memindahkan kuret.
Lebih disukai bila dapat diperoleh stroma endoserviks pada
spesimen.
Biopsi

Semua lesi serviks yang terlihat secara klinis


membutuhkan identifikasi biopsi walaupun hasil
papsmear normal.

Indikasi  papsmear HSIL termasuk di dalamnya


displasia sedang, berat, dan karsinoma insitu, dan LSIL
yang persisten.
Pemeriksaan HPV DNA
  tambahan skrining untuk kanker serviks pada wanita berumur lebih

dari 30 tahun.
 Kombinasi pemeriksaan HPV DNA dan LBC memiliki sensitivitas 90%
sampai 100% untuk NIS 3 dan kanker invasif.
 PCR  gold standard untuk deteksi HPV DNA  dapat mendeteksi
dan mengenali semua tipe HPV anogenital yang telah diketahui.
 Metodelain  Southern blot, dan metode dot blot, dan juga uji HPV
DNA Hybrid Capture 2.
Penanganan NIS I
 Penanganan ekspektatif terhadap wanita dengan dokumentasi NIS 1
biasanya termasuk kolposkopi berkala dan evaluasi sitologi berulang,
sementara wanita dengan temuan negatif pada kolposkopi dan biopsi
seringkali dijajaki hanya dengan sitologi.

 Dua pilihan terapi  terapi ablatif dan eksisional  untuk


penanganan NIS 1 dengan pemeriksaan kolposkopi memuaskan.

 NIS 1 dari hasil biopsi dengan pemeriksaan kolposkopi yang tidak


memuaskan  prosedur eksisional diagnostik (seperti LEEP, konisasi
laser, atau konisasi cold-knife).
Penanganan NIS I
2001 Consensus Guidelines  penjajakan menggunakan
program sitologi berulang pada bulan ke 6 dan 12 atau tes
HPV DNA pada bulan ke 12 merupakan bentuk
penanganan pilihan.
Penanganan NIS II,III
 NIS 2,3 konfirmasi biopsi dan kolposkopi yang memuaskan  terapi
ablatif atau eksisi pada zona transformasi.

 NIS 2,3 berulang  prosedur eksisional.

 NIS 2,3 konfirmasi biopsi dan kolposkopi yang tidak memuaskan 


prosedur eksisional diagnostik.

 Observasi NIS 2,3 dengan sitologi dan kolposkopi berkala  pada


remaja dengan NIS 2 konfirmasi biopsi  syarat: kolposkopi
memuaskan, hasil sampel endoserviks negatif, dan pasien menerima
resiko adanya penyakit yang tersembunyi.
Penanganan NIS II,III
Penjajakan setelah terapi NIS 2,3  sitologi serviks atau
kombinasi sitologi serviks dan kolposkopi pada interval 4 –
6 bulan sampai diperoleh sekurangnya 3 hasil sitologi
negatif. Sitologi tahunan direkomendasikan setelahnya.

Jika NIS diidentifikasi pada tepi endoserviks, atau pada


prosedur eksisional diagnostik  kunjungan penjajakan
setiap 4 – 6 bulan termasuk pemeriksaan kolposkopi dan
pengambilan sampel endoserviks.
Krioterapi
 Prinsip
kerja  membekukan jaringan dengan menyemprotkan cairan
N2O atau CO2 melalui probe  pembentukan kristal intraseluler 
bertambahnya volume intraseluler dan pecahnya sel.

 Tujuan  menciptakan bola es sampai 4-5 mm di luar batas lateral


probe.

 Keuntungan  dapat dilakukan dengan perawatan rawat jalan, tanpa


anestesi, dan ketidaknyamanan minimal.

 Kekurangan menghancurkan jaringan  tidak dapat konfirmasi


bahwa semua lesi telah dibuang.
Krioterapi

 Indikasi  pasien dengan LSIL (NIS 1,2) dengan syarat serviks


berbentuk dan berukuran normal.
 Saat yang paling baik untuk krioterapi  minggu ke 2 siklus haid
untuk meyakinkan pasien tidak hamil dan luka telah menyembuh saat
haid berikutnya.
 Efek samping  nyeri uterus ringan yang disebabkan prostaglandin,
kemerahan pada wajah, dan keputihan yang encer selama 2–3
minggu sesudah prosedur.
Krioterapi
Komplikasi  episode vasovagal, stenosis serviks dengan
kemungkinan peningkatan dismenorea, dan yang jarang
dijumpai pyometria, mukometria, infeksi dan perdarahan.
Penjajakan lanjutan  4 bulan kemudian  papsmear 
dapat diulang 4 sampai 6 minggu kemudian.
Tingkat kesembuhan primer untuk penanganan krioterapi
pada lesi NIS dilaporkan lebih dari 90%.
Krioterapi
Diatermi Elektrokoagulasi
Dilakukan dengan elektroda jarum kemudian dilanjutkan
dengan elektroda bola  memungkinkan untuk memusnahkan
jaringan serviks sampai seluas 1–1,5 cm.
Kekurangan harus dilakukan dengan anestesi umum, dapat
mempengaruhi fungsi reproduksi terutama bila lesi NIS sangat
luas.
Penggunaannya dibatasi pada kasus NIS 1,2 dengan batas lesi
yang jelas.
Angka keberhasilan  mencapai 97% dengan sekali tindakan.
Laser CO2
Sangat efektif untuk vaporisasi displasia epitel serviks 
untuk ablasi zona transformasi atau sebagai alat untuk
biopsi kerucut.

Sinar inframerah  diabsorbsi oleh jaringan epitel 


dikonversi menjadi panas  pemanasan air dalam sel 
membentuk uap air dengan vaporisasi ledakan dalam sel
 defek jaringan.
Laser CO2
Kelebihan  absorbsi sinar laser oleh jaringan sangat
efisien, kesempatan mengarahkan sinar secara tepat,
kemampuan untuk mengendalikan kedalaman destruksi,
dasar destruksi biasanya bersih, dengan sedikit jaringan
nekrotik dan penyembuhan yang cepat.
Laser CO2

Kekurangan laser jika dibandingkan dengan krioterapi 


(1) prosesnya lebih menyakitkan, dan (2) destruksi
keseluruhan zona transformasi membutuhkan waktu yang
lebih lama.
Komplikasi  nyeri, perdarahan pada 1% pasien.
Loop Electrosurgical Excision
Procedure (LEEP)
LEEP  kawat loop kecil yang dihubungkan dengan
generator elektrosurgeri. Prosedur LEEP dilakukan dengan
anestesi lokal menggunakan lidokain dan vasokonstriktor
seperti epinefrin.
Indikasi  pengangkatan lesi neoplasia intraepitelial
serviks dari hasil biopsi dengan kolposkopi tidak
memuaskan.
Kontraindikasi  kehamilan dan pada karsinoma serviks
invasif.
Loop Electrosurgical Excision
Procedure (LEEP)
Keuntungan  dapat dilakukan di poliklinik, jaringan yang
tersedia dapat dipelajari, diagnosis dan terapi dilakukan
pada satu waktu dan pada kunjungan yang sama.
Komplikasi  perdarahan sekunder (berkisar 1% sampai
2% kasus), stenosis serviks (1% kasus), infeksi, kesulitan
penilaian zona transformasi di kemudian hari, infertilitas
dan penyulit pada kehamilan berikutnya.
Loop Electrosurgical Excision Procedure
(LEEP)
Konisasi
Konisasi eksisi berbentuk kerucut pada serviks
dengan zona transformasi sebagai alas kerucut dan
mengangkat seluruh kanalis servikalis.
Konisasi
Indikasi konisasi yaitu:

Untuk diagnostik
◦ Kuretase endoserviks positif
◦ Temuan kolposkopi tidak memuaskan
◦ Ada perbedaan antara hasil sitologi dan histologi serviks
◦ Menginginkan keturunan
Konisasi
 Untuk terapi
◦ NIS 2,3 yang multifokal
◦ Penjajakan pasien yang tidak pasti

Kontraindikasi konisasi yaitu:


 Kecurigaan kanker serviks invasif
 Jika pasien dalam kondisi hamil
Konisasi
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk melaksanakan tindakan konisasi:
 Konisasi cold knife
 Konisasi laser
 LEEP
 Konisasi diatermi
KARSINOMA SERVIKS
KARSINOMA SERVIKS

DINEGARA MAJU MENEMPATI URUTAN


KELIMA SETELAH KANKER:
- PAYUDARA
- PARU
- KULIT
- KOLOREKTAL
MENGAPA DI INDONESIA INSIDENS
KS TINGGI ?
MULTI PARITAS
JARAK PERSALINAN PENDEK
KAWIN USIA MUDA ( < 20 TAHUN)
SOSIAL EKONOMI RENDAH.
HYGIENE KURANG
PEMERIKSAAN RUTIN UNTUK DE-TEKSI
DINI TIDAK DILAKSANAKAN
KS MERUPAKAN KANKER
YANG TERKONTROL

ADANYA LESI PRA-KANKER YANG


PROGRESIFITASNYA LAMBAT.
ADANYA METODE SKRINING YANG
MURAH, SEDERHANA DAN EFEKTIF
PENGOBATAN LESI PRA-KANKER
MURAH DAN TINGKAT KESEMBUHAN
TINGGI (100%)
FAKTOR-FAKTOR RISIKO
MENDERITA KS

MULTI PARITAS
KAWIN / MELAHIRKAN PADA USIA MUDA
(< 20 TAHUN)
SOSEK & HYGIENE KURANG
GANTI-GANTI PASANGAN SEKSUAL
WANITA PEROKOK
INFEKSI VIRUS PAPILOMA HUMANUS
SUAMI RISIKO TINGGI
HUMAN PAPILOMA VIRUS (HPV) &
KARSINOMA SERVIKS
HPV
 HPV adalah virus DNA yg kecil
 Family dari Virus Papovaviridae
 Mempunyai Genom DNA untai ganda yang sirkuler
 Berat molekul (5x106) dalton dengan (8x103) rantai basa.
 Tertutup capsid berbentuk icosahedral
 Diameter 45-55 nm
 Epiteliotropik
Untaian nukleotidenya :
early region ( E1,2,4,5,6,7)
Late region ( L1,2)
Gambar 1. Genome HPV 16.
HPV YANG BERHUBUNGAN DGN TRAKTUS
ANOGENITAL PRIA/WANITA

Kelompok Risiko Rendah:


(Type: 6, 11, 42, 43 dan 44)
Kelompok Risiko Menengah:
(Type: 31, 33, 35, 51 dan 52)
Kelompok Risiko Tinggi:
(Type: 16, 18, 45 dan 56)
Patogenesis infeksi HPV
TINGKAT PEJAMU:
Pejamu adalah manusia, dapat latent,
subklinik atau klinik.
Merupakan virus keratinosite
Masuk tubuh melalui epitel skuamosa
yang luka lecet / luka mikro.
Melalui epitel skuamosa yang immatur.
Pada servik didaerah T-zone.
Patogenesis infeksi HPV.2

TINGKAT SELULER:
Menempel pd permukaan sel
Penetrasi melalui membran plasma
Uncoating dari virus
Transkripsi
Translasi mRNA HPV menjadi protein virus
Replikasi, assembly partikel HPV
Maturasi partikel HPV
Partikel HPV dilepaskan dari sel target.
Patogenesis infeksi HPV.3
Produk protein onkogen E6 dan E7 dari
HPV risiko tinggi (16, 18) mengganggu
aktifitas pengaturan siklus sel.
Terjadi pengikatan/mutasi dari gen
supresor tumor (P53 dan Rb) sehingga
menjadi tidak aktif.
Terjadi perkembangan sel yang sudah
mengalami mutasi -> karsinoma
Natural History Dari Karsinoma
Serviks

Usia rata-rata KIS 10-15 tahun lebih


muda dari usia rata-rata KS invasif.
Peterson: Dalam waktu 9 tahun 127 kasus
KS didahului oleh KIS.
Masterson: 28% dari 25 pasien KIS yg
tidak diobati berkembang menjadi KS
invasif dlm waktu 5 tahun.
GEJALA KLINIS

 STADIUM AWAL  TANPA GEJALA  KEPUTIHAN 


PERDARAHAN PASCA SENGGAMA  METRORHAGIA 
PENGELUARAN CAIRAN KEKUNINGAN KADANG BERCAMPUR
DARAH DAN BEBAU.

 STADIUM LANJUT  PERDARAHAN TERUS MENERUS 


MUKA PUCAT KARENA KURANG DARAH BADAN KURUS 
CAIRAN BERBAU BUSUK  NYERI DI PANGGUL MENJALAR
KE PAHA  KAKI BENGKAK  KEGAGALAN FUNGSI GINJAL.
STADIUM KLINIK
(FIGO 2000)
STADIUM. 0
= LESI PRIMER BELUM TERLIHAT
= PRE INVASIF KARSINOMA
= KARSINOMA INSITU
= LESI TERBATAS DIDALAM
EPITEL
STADIUM KLINIK
(FIGO 2000)
STADIUM. I
LESI TERBATAS PADA SERVIKS, PENYEBARAN KE CORPUS
TIDAK DIPERHITUNGKAN

STADIUM. I.a. - SECARA MIKROSKOPIS


- DALAM LESI MAX. 5mm, LEBAR MAX. 7 mm

STADIUM. I.a.1 : - DALAM LESI </= 3 mm


- LEBAR LESI </= 7 mm
STADIUM. I.a.2 : - DALAM LESI >3 mm - </= 5 mm
- LEBAR LESI </= 7mm
STADIUM KLINIK
(FIGO 2000)
STADIUM. I
LESI TERBATAS PADA SERVIKS, PENYEBARAN KE
CORPUS TIDAK DIPERHITUNGKAN

STADIUM. I.b
PROSES TERBATAS PADA SERVIKS, TAMPAK SECARA
KLINIS ATAU SECARA MIKROSKOPIS > STAD. I.a.

STADIUM. I.b.1 : - DIAMETER TERBESAR </= 4 cm.

STADIUM. I.b.2 : - DIAMETER TERBESAR > 4 cm.


STADIUM KLINIK
(FIGO 2000)
STADIUM. II
LESI TELAH KELUAR UTERUS TAPI BELUM MENGENAI
DINDING PANGGUL DAN 1/3 DISTAL VAGINA

STADIUM. II.a
= TANPA INVASI KE PARA METRIUM

STADIUM. II.b
= TERDAPAT INVASI KE PARAMETRIUM
STADIUM KLINIK
(FIGO 2000)
STADIUM. III
LESI TELAH MELIBATKAN DINDING PELVIS DAN 1/3
DISTAL VAGINA.

STADIUM. III.a.
= INVASI KE 1/3 DISTAL VAGINA , BELUM
MELIBATKAN DINDING PELVIS.
STADIUM. III.b.
= MELIBATKAN DINDING PELVIS ATAU
MENYEBABKAN HIDRONEFROSIS ATAU
GANGGUAN FUNGSI GINJAL
STADIUM KLINIK
(FIGO 2000)
STADIUM. IV.a
. LESI TELAH MENGINVASI MUKOSA KANDUNG
KEMIH ATAU REKTUM DAN/ATAU MENYEBAR
KELUAR PELVIS MINOR.

STADIUM. IV.b.
=METASTASIS JAUH
CARA MENDIAGNOSA

= PEMERIKSAAN GINEKOLOGI SECARA RUTIN

SEKALI SETAHUN  TES PAP  65 TAHUN

= BILA PERLU  PEMERIKSAAN KOLPOSKOPI

= KLR STADIUM LANJUT  TIDAK SULIT

= PEMERIKSAAN JARINGAN KE LAB. PA


PENCEGAHAN

 DAPAT SEMBUH SEMPURNA JIKA DIKETAHUI SECARA DINI

 MENGHINDARI FAKTOR RESIKO :


- JANGAN KAWIN PADA USIA MUDA (< 20 TAHUN)

- JANGAN BANYAK MELAHIRKAN ANAK

- JANGAN KAWIN CERAI / BERGANTI-GANTI PASANGAN

- MENJAGA HYGIENE

 MELAKUKAN PEMERIKSAAN PAP SMIR SECARA BERKALA


PENGOBATAN

TERGANTUNG DARI :
LETAK DAN LUAS PENYAKIT, UMUR, JUMLAH ANAK, ADANYA
KELAINAN LAIN PADA RAHIM, KEADAAN SOSIAL EKONOMI
DAN FASILITAS PENGOBATAN YANG TERSEDIA

PRAKANKER  TANPA PENGANGKATAN RAHIM


DISPLASIA BERAT  PENGANGKATAN RAHIM

PADA PENYAKIT YANG INVASIF :


- STAD Ib - IIa  PEMBEDAHAN RADIKAL ATAU RADIASI
- STAD IIb - IVb  RADIASI, KEMOTERAPI ATAU KOMBINASI
RAMALAN PENYAKIT (PROGNOSA)

1. MAKIN TINGGI STAD. PENYAKIT MAKIN JELEK PROGNOSANYA


2. PADA UMUMNYA USIA MUDA PROGNOSANYA LEBIH BAIK
3. KEADAAN UMUM PENDERITA
4. JENIS / CIRI HISTOPATOLOGI DARI SEL KANKERNYA
5. SDM YANG MENANGANI SERTA FASILITAS YANG TERSEDIA.

ANGKA KETAHANAN HIDUP 5 TAHUN :


STADIUM I 85 %
STADIUM II. 42 - 70 %
STADIUM III. 26 - 42 %
STADIUM IV. 0 - 12 %
KESIMPULAN

KLR DIDAHULUI OLEH LESI PRAKANKER.

PERKEMBANGAN DARI LESI PRAKANKER  KANKER, TERJADI


SECARA PERLAHAN-LAHAN DALAM WAKTU YANG CUKUP LAMA.

TELAH DITEMUKAN METODE DETEKSI DINI YANG SEDERHANA,


MURAH, DAN EFEKTIF.

DENGAN MELAKUKAN PEMERIKSAAN PAP SMIR SECARA RUTIN


DIHARAPKAN ANGKA KEJADIAN KLR DIMASA MENDATANG AKAN
MENURUN.

Anda mungkin juga menyukai