Anda di halaman 1dari 33

Snake Bite

Vulnus Morsum Serpentis


2

Identitas Pasien
03 Maret 2019

• Nama : Ny.Mastiah • No. RM: 058643

• Jenis Kelamin: • Status perkawinan: Belum

Perempuan menikah

• Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga


• Kebangsaan :
• Tanggal masuk : 03 Maret 2019
Indonesia
• Suku :Jawa

• Alamat: Rambatan • Agama : Islam


Kulon
• Umur :54 tahun

Forest Company
3

Anamnesis
Instalasi Gawat Darurat RSUD Indramayu
03 Maret 2019 pukul 19.00 WIB

Pasien datang karena digigit ular pada punggung kaki


sebelah kiri sekitar 30 menit SMRS saat sedang solat. Pasien
tidak mengetahui jenis ular (berwarna hitam diseluruh
tubuh, berahang lebar seperti kobra). Pasien lalu
kesakitan dan melihat dua tanda bekas gigitan ular.
kemudikan pasien merasakan nyeri yang semakin hebat,
panas, bengkak, kebas dan berwarna biru pada luka.
Pasien lalu mengikat betis bagian bawah menggunakan tali
sampai di IGD RSUD Indramayu.

Forest Company
4

1 Riwayat Penyakit Dahulu • Hipertensi (+).


• Diabetes militus (-)
• penyakit jantung dan paru (-),
• belum pernah digigit ular sebelumnya

2 Riwayat Penyakit Keluarga • Riwayat hipertensi


• jantung, paru, ginjal, diabetes melitus
disangkal
3 Riwayat Kebiasaan • Pasien tidak memiliki
kibasaan berinteraksi
dengan ular

4 Riwayat Sosial Ekonomi • Pendidikan terakhir: SMA


• Pekerjaan: Ibu Rumah
Tangga
• Pembiayaan dengan
menggunakan BPJS

Forest Company
Pemeriksaan Fisik
Dilakukan tanggal 03 Maret 2019

Status Generalis Antropometri


Kedaan umum: Tampak sakit sedang Tinggi Badan : 160cm
Kesadaran : Compos mentis Berat Badan : 55 kg
Kesan gizi : Gizi cukup  BMI : 22,9 kg/m2 (normoweight)

Tanda Vital Kepala


Tekanan Darah: 180/90 mmHg Ekspresi wajah: Tenang
Nadi : 132x/menit, regular Simetri muka : Simetris
isi cukup Bentuk : Normocephali
Pernapasan : 24x /menit Rambut : Hitam dan terdapat rambut putih, distribusi
Suhu : 36,5ºC merata, tidak mudah dicabut.
Nyeri : VAS 4

Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis di ICS VI teraba 1 cm medial di garis midklavikularis
Paru kiri
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Perkusi : ICS III-IV garis sternalis kanan dengan suara redup (batas
Palpasi : Vocal fremitus dextra sama dengan sinistra
kanan)
Perkusi : Sonor dikedua hemi thoraks
ICS VI, 1 cm medial garis midklavikularis kiri dgn suara redup
Auskultasi : Vesikuler, Wheezing -/-, Rhonki -/-
(batas kiri)
ICS III linea parasternal kiri dengan suara redup (batas atas)
Auskultasi:Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-)
Mata
Exophthalmos : -/- Telinga
Enopthalmos : -/- Bentuk : Normotia Serumen : +/+
Kelopak : Oedem -/- Membran timpani : Tidak dinilai Perdarahan : -/-
Lensa : Jernih Liang telinga : Lapang Cairan/sekret : -/-
Sklera : Ikterik -/- Penyumbatan : -/- Tuli : -/-
Gerakan bola mata : Hambatan (-)
Visus : Tidak dievaluasi
Konjungtiva : Anemis -/-

Mulut
Bibir : Sianosis (-)

Hidung Tonsil
Trismus
: T1-T1, tenang
: Tidak ada
Bentuk : Faring : Tidak hiperemis
Normal Lidah : Normoglosia, atrofi papil (-)
Septum deviasi : -/- Mukosa : Tidak hiperemis
Deformitas : (-)
Cavum nasi :
Lapang
Pernafasan cuping hidung : (-)
Sekret : -/-
Concha Inferior : Eutrofi Leher
Epistaxis :-
Inspeksi : Oedem (-), hematom (-), benjolan (-)
Palpasi : Deviasi trakea (-), pembesaran
KGB (-), nyeri tekan (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, warna sawo matang, tidak ikterik, tidak
ada spider navy, tidak ada efloresensi yang bermakna,
tidak ada dilatasi vena.
Auskultasi : Bising usus 2x/menit
Palpasi : Dinding perut = Supel, nyeri tekan (-) pada Inguinal
perut bagian bawah, nyeri lepas (-), defense Inspeksi : Terdapat benjolan pada inguinal kanan
muscular (-), Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba benjolan pada inguinal kanan,
massa (-), undulasi (-), turgor kulit baik konsistensi kenyal dan dapat digerakan
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani di empat kuadran abdomen, pekak sisi (-),
shifting dullness (-)
Anggota Gerak

Otot Kanan Kiri Lain-lain Kanan Kiri


Tonus normotonus normotonus edema (-) edema (+)
Massa eutrofi eutrofi nyeri tekan (-) nyeri tekan (+)
Sendi normal normal akral dingin (-) akral dingin (-)
Gerakan aktif aktif deformitas (-) deformitas (-)
Kekuatan 5 5 krepitasi (-) krepitasi (-)
CRT Kanan Kiri
CRT <2” <2”

Status Lokalis

Regio : Dorsum Pedis Sinistra


Inspeksi : Tampak udema pada pedis sinistra, kulit tampak kemerahan, dan terdapat luka gigitan pada
dorsum pedis sinistra,
tampak jejas bekas ikatan tali pada cruris 1/3 distal sinistra
Palpasi : Udema +/-, teraba hangat, terasa nyeri saat ditekan
8

Diagnosis
• Vulnus Morsum Serpentis dorsum pedis
sinistra Envenomasi ringan
• Hipertensi Urgensi

Diagnosis Banding
• Vulnus Morsum Serpentis dorsum
pedis sinistra Envenomasi sedang

Lab Anjuran
• 20 WBCT
• ELISA
• Biokimiawi
• Urinalisa
• PT APTT
Forest Company
9

Tatalaksana Prognosis

Advice dr. Wahyu W Sp.B 1 ad vitam : dubia ad bonam

• ABU 2 ampul dalam D5%


• Ceftriaxon 2x1gr
• Ranitidin 2X50mg
• Ketorolak 2x30mg 2 ad functionam: dubia ad bonam
• Captopril 3x25mg
• Amlodipin1x10mg

D5 % kosong, sehingga diganti dengan RL


3 ad sanationam: dubia ad bonam
ad kosmetikum: dubia ad bonam

Forest Company
PEMBAHASAN
11

Epidemiologi
Bangladesh: medically important species include B. caeruleus, B. niger, B. walli; N. kaouthia, N. naja; D. russelii and T. (T.) erythrurus.

Terdapat 589.919 kasus gigitan ular/tahun


6.041 meninggal dunia (fatality rate 1%)

2009
Di Indonesia terdapat 5 juta / tahun, dengan
beberapa spesies kematian 125.000 kasus
penting B candidus , N

Di D
es
Sputatrix, N Sumatrana,
i
C Rhodostoma, Spes

u
nia
n
ra W
>> Papua Barat, Maluku, WHO memasukkan gigitan ular
b a HO
ye dalam daftar neglected tropical
Kalimantan, Sumatra, Pe
n
Sulawesi, Jawa disease

Forest Company
Beberapa Jenis ular 12

Berdasarkan WHO
Yang Berada di Indonesia
Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda tetapi terletak di barat garis Wallace

Kategori 1
-Elapidae : Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja sputatrix (Jawa dan sebagian pulau-pulau Sunda), Naja sumatrana
(Sumatera dan Borneo).
-Viperidae : Calloselasma rhodostoma (Jawa), Cryptelytrops albolabris, Daboia siamensis.

Kategori 2
-Elapidae : Bungarus fasciatus, Bungarus flaviceps (Sumatera dan Borneo), Calliophis bivirgatus, Ophiophagus Hannah (Sumatera,
Borneo dan Jawa).
-Viperidae : Cryptelytrops insularis, Cryptelytrops purpureomaculatus (Sumatera).

Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku:

Kategori 1 -Elapidae: Acanthophis laevis


Kategori 2 -Elapidae: Acanthophis rugosus, Micropechis ikaheka, Oxyuranus scutellatus, Pseudechis papuanus, Pseudechis
rossignolii, Psudonaja textilis.

Forest Company
13

Perbandingan ular berbisa dan ular tidak berbisa

• Taring memungkinkan ular untuk memasukkan


racun jauh ke dalam jaringan kulit
• Jika manusia digigit, bisanya disuntikkan
Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika
Serikat (Gold, Dart & Barish 2002). subkutan atau intramuskuler.
Klasifikasi ular berbisa di wilayah
14

Asia Tenggara menurut WHO


Elapidae Viperidae Colubridae

• Gigi taring pendek di depan • Gigi taring yang cukup panjang • Dua spesies penting yang
(proteroglyph). Famili ini (solenogyph) yang secara telah diidentifikasi pada
meliputi kobra, raja kobra, normal terlipat rata terhadap regional Asia Tenggara adalah
kraits, ular koral, ular Australia rahang atas, tetapi saat Rhabdophis subminiatus
dan ular laut. Elapidae secara menyerang akan menjadi berleher merah dan
relatif tegang Rhabdophis triginus

• Cukup panjang, kurus, • relatif pendek, bertubuh tebal


• Piton besar (Boidae),
memiliki warna seragam dengan banyak sisik kasar pada
merupakan Python reticularis
dengan sisik simetrikal besar puncak kepala dan pola warna
di Indonesia
halus pada puncak kepala. yang khas pada permukaan
dorsal tubuh.
Elapidae

Viperidae

Colubridae
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari ratusan protein berbeda: enzim
(meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapida)
17

Gejala Klinis

Korban cemas syok vasovagal setelah


1 4
dapat gigitan
hiperventilasi

sensasi kebas dan


ditusuk-tusuk pada 2
ekstremitas 5 kolaps disertai
penurunan denyut
jantung yang berat

spasme tangan dan 3


kaki, dan pusing.

Forest Company
18
Faktor-faktor yang mempengaruhi
keparahan dan hasil akhir gigitan ular

1 Ukuran tubuh korban 4 Spesies ular


Semakin besar ukuran, hasil akhir semakin baik karena Spesies yang berbeda memiliki dosis, periode mematikan
jumlah toksin yang lebih sedikit per kg berat badan. dan agresifitas berbeda

2 Lokasi gigitan 5 Infeksi sekunder


Gigitan pada tubuh, wajah, dan secara langsung ke aliran Ada atau tidaknya organisme patogenik pada mulut ular.
darah memiliki prognosis buruk.

3 Karakteristik gigitan 6 Pengobatan


Jumlah; kedalaman; “gigitan kering”; gigitan melalui Adanya bantuan dasar diberikan dan waktu yang berlalu
pakaian, sepatu, atau perlindungan lain; jumlah bisa yang sebelum dosis pertama antivenom.
diinjeksi; kondisi gigi taring; dan durasi ular melekat pada
korban mempengaruhi hasil akhir.

Forest Company
19
20
21

Klasifikasi “pendekatan sindrom”


gigitan ular oleh WHO
22

Pemeriksaan Penunjang

20 WBCT Darah Rutin Abnormalitas


ELISA Urinalisa
PT,APTT biokimiawi
Dapat terjadi Aminotransferase
merupakan pemeriksaan Warna urine (merah
mengidentifikasi
hemokonsentrasi, jambu, merah, dan coklat dan enzim otot
koagulopati sederhana untuk spesies ular,
leukositosis. gelap) harus diperhatikan, (kreatin kinase,
mendiagnosa envenomasi viper berdasarkan antigen
PT dan APTT dapat dan urine diperiksa dengan aldolase) dapat
dan menyingkirkan venom
memanjang pada gigitan dipstik untuk darah atau meningkat bila
kemungkinan gigitan elapidae
viper hemoglobin atau mioglobin. dijumpai kerusakan
otot lokal yang
Pemeriksaan mikroskopis
berat, atau terutama
dapat mengkonfirmasi
adanya eritrosit di urine kerusakan otot
menyeluruh
Forest Company
23
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh
WHO adalah sebagai berikut

Penanganan bantuan • memantau simptom awal bisa yang


dasar
membahayakan
Transportasi ke rumah
sakit • mengatur transportasi pasien ke penyedia
kesehatan, tidak membahayakan/ melukai korban.
Penilaian klinis dan
resusitasi segera • Pergerakan terutama pada daerah gigitan
Penilaian klinis dikurangi hingga seminimal mungkin untuk
mendetail dan diagnosis
spesies mencegah peningkatan absorpsi sistemik bisa.
• Kontraksi otot dapat meningkatkan penyebaran
Pemeriksaan laboratoiun
bisa dari daerah gigitan.
• Bila mungkin, pasien ditempatkan pada posisi
Pemberian antivenom
terlentang, kecuali kalau muntah
24
Penilaian klinis dan resusitasi segera
• Resusitasi kardiopulmonari dapat
dilakukan, termasuk penggunaan oksigen Pemeriksaan laboratorium
dan pemasangan akses intravena. Pemeriksaan 20 WBCT, dan
• Penanganan klinis dan resusitasi segera pemeriksaan lainnya dapat membantu
mengikuti pendekatan ABCDE: Airway, pada kasus gigitan ular berbisa
Breathing, Circulation, Disabilitas sistem
saraf,
• Exposure dan kontrol lingkungan.

Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya
pengobatan antidotum spesifik
terhadap bisa ular. Keputusan paling
Penilaian klinis mendetail dan diagnosis penting dalam penanganan gigitan
spesies ular adalah perlu atau tidaknya
Diagnosis terhadap spesies dapat memberikan antivenom
dilakukan apabila ular dibawa untuk
diidentifikasi, misalnya ular yant
telah mati; namun pada kondisi tanpa
bukti ular, identifikasi secara tidak
langsung dari deskripsi pasien,
bentuk luka gigitan, dan sindrom
klinis gejala dan ta

Forest Company
• Envenomasi sistemik 25
• Envenomasi lokal
a) Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik
a) Pembengkakan lokal meliputi lebih dari
spontaneous (klinis); koagulopati (20 WBCT atau tes
setengah tungkai yang tergigit (tanpa
lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000)
tourniquet) dalam 48 jam pertama.
(laboratorium).
Pembengkakan setelah gigitan pada jari-jari.
b) Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal,
b) Ekstensi cepat pembengkakan (seperti
paralisis (klinis).
dibawah pergelangan tangan atau kaki dalam
c) Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia
beberapa jam setelah gigitan pada tangan
(klinis); abnormal EKG.
atau kaki).
d) Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis);
c) Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening
peningkatan kreatinin/ urea darah (laboratorium).
yang mendrainase tungkai yang tergigit.
e) Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap
(klinis), dipstick urine, tanda lain hemolisis
intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri
otot, hiperkalemia) (klinis, laboratorium).
f) Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya
envenomasi sistemik.
metode pembrian antivenom 26

• Injeksi “push” intravena: • Infus intravena: Antivenom dilarutkan


sekitar 5-10 mL cairan isotonik per kg
Antivenom diberikan secara
berat badan (seperti 250-500 mL saline
injeksi intravena lambat (tidak
isotonik atau dekstrosa 5% pada orang
lebih dari 2 mL/menit
dewasa) dan diinfus dengan kecepatan
konstan diatas sekitar 1 jam.

Forest Company
27
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada Schwartz
dan Way (Djunaedi 2009):
• Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, bila derajat
meningkat maka diberikan antivenom.
• Derajat II: 3-4 vial antivenom
• Derajat III: 5-15 vial antivenom
• Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom
28
29
Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah: 30

Reaksi anafilaksis awal Reaksi pirogenik (endotoksin) (1-2 Reaksi terlambat


(10-180 menit ) jam setelah pengobatan) (tipe serum sickness)
( 1-12 hari )

• Pasien mulai gatal dan urtikaria • Kekakuan • Meliputi demam


• Batuk kering • Demam • Nausea, muntah, diare,
• Demam, nausea, muntah, kolik • Vasodilatasi, dan penurunan • Gatal, urtikaria
abdomen, diare, dan takikardi. tekanan darah • Atralgia, myalgia, limfadenopati,
• Minoritas pasien mengalami • Reaksi ini diakibatkan oleh pembengkakan periartikular,
anafilaksis berat (hipotensi, kontaminasi pirogen selama multipleks mononeuritis
bronkospasme, angioedema). proses produksi antivenom. • Proteinuria dengan nefritis imun
kompleks, dan jarang,
ensefalopati.

“Pasien dengan reaksi awal dan diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi
terlambat”

“penggunaan 0,25 mL dari 1:1.000 adrenalin yang diberikan secara subkutan segera sebelum pemberian
mengurangi kejadian reaksi efek samping akut pada serum”
31

Pemantauan respons antivenom

a) Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri menyeluruh berkurang secara cepat.

b) Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15-30 menit.

c) Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3-9 jam. ]

d) Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30-60 menit pertama dan aritmia mengalami perbaikan.

e) Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai perbaikan dalam 30 menit setelah

antivenom, tetapi biasanya membutuhkan beberapa jam. Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular

laut) tidak berespons

f) Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine kembali menjadi warna

normal.

Forest Company
32

Menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan


Kriteria pemberian antivenom dosis lanjutan adalah:
• Inkoagulabilitas darah menetap atau timbul setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam.
• Perburukan tanda-tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1-2 jam.
• Apabila darah tetap inkoagulasi (diukur dengan 20 WBCT) 6 jam setelah dosis awal antivenom, dosis yang
sama diulangi. Pasien dengan perdarahan yang berkelanjutan dan tanda-tanda perburukan neurotoksik dan
kardiovaskular dapat diberikan dosis antivenom ulangan dalam 1-2 jam.
33
Penanganan daerah gigitan

1 Antibiotik

Antibiotik berupa antibiotik spektrum luas (amoksisilin atau sefalosporin + dosis tunggal
gentamisin + metronidazol) dan profilaksis tetanus

2 Daerah gigitan yang membengkak dan nyeri

Ditempatkan dengan posisi nyaman, tetapi tidak dalam kondisi elevasi berlebihan
karena dapat mengurangi tekanan perfusi arteri pada daerah bengkak yang tegang dan
meningkatkan resiko iskemia intrakompartemen

3 Jika terjadi peningkatan tekanan intrakompartemen


fasiotomi yang diindikasikan apabila:
a) Abnormalitas hemostatik telah dikoreksi (antivenom dengan atau tanpa faktor
pembekuan).
b) Bukti klinis adanya sindroma intrakompartemen.
c) Tekanan intrakompartemen >40 mmHg (pada dewasa).

4 Rehabilitasi dan penanganan komplikasi kronis

Anda mungkin juga menyukai