Anda di halaman 1dari 25

Konsep dan Askep

Cedera Spinalis
Pengertian

Trauma Medulla Spinalis adalah Trauma yang terjadi pada jaringan


medulla spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran
satu atau lebih tulang vertebrata atau kerusakan jaringan medulla
spinalis lainnya termasuk akar-akar saraf yang berada sepanjang
medulla spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi.
 Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai
servikalis, vertebra, dan lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari
ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan
sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98) Trauma medula
spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner
& Suddarth, 2001)
Etiologi

 Cedera medula spinalis traumatik


 Cedera medula spinalis non traumatik (kondisi
kesehatan, seperti penyakit infeksi atau tumor)
Faktor penyebab dari cedera medula spinalis
mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori,
penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi
toksik dan metabolik dan gangguan kongenital
dan perkembangan.
Manifestasi Klinis

1. Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf


yang terkena
2. Paraplegia
3. Paralisis sensorik motorik total
4. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi
kandung kemih)
5. Penurunan keringat dan tonus vasomotor
6. Penurunan fungsi pernapasan
7. Gagal nafas
(PERDOSSI, 2006)
Patofisiologi

Patofisiologi  menjelaskan dua


mekanisme cedera yaitu cedera primer,
kerusakan awal akibat cedera mekanis.
Serta cedera sekunder, cedera yang terjadi
akibat cedera primer yang ditandai
dengan perdarahan, edema, dan iskemia
Cedera primer

Pembuangan cadangan
glutamat & disfungsi Meningkatnya kadar
Cedera mekanik
transporter astrosit sitotoksik glutamat
glutamat

Periode ini dikenal


dengan immediate
Kerusakan pada akson Peningkatan sitokin phase, yang dapat
bertahan hingga 2 jam
pasca cedera

Regenerasi/edema akut Iskemia


Cedera sekunder

Fase sub Fase


Fase akut
akut kronis
Klasifikasi Trauma Spinal

Spinal cord injury menurut Advance Trauma Life Support (2008)


dapat diklasifikasikan sesuai dengan level,beratnya defisit
neurologik, spinal cord syndrome, dan morfologi.
1. Level
Level neurologist
Level motoris
2. Beratnya Defisit Neurologis
Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai
a. Paraplegia inkomplit ( torakal inkomplit)
b. Paraplegia komplit( torakal komplit)
c. Tetraplegia inkomplit( servikal inkomplit)
d. Tetraplegia komplit (cidera servikal komplit
Sindrom medulla spinalis
Terdapat sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplet menurut
American Spinal Cord Injury Association yaitu :
a. Central Cord Syndrom
b. Anterior Cord Syndrome
c. Brown Sequard Syndrome
Pelaksanaan

 Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,


memaksimalkan pemulihan neurologis,tindakan atas cedera lain yang
menyertai,mencegah,serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih
lanjut.
 Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal atau
debridement luka terbuka
 Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang
belakang, cedera ligament tanpa fraktur, deformitas tulang belakang
progresif , cedera yang tak dapat direabduksi,dan fraktur non-union.
 Terapi steroid,nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah koral
spiral.Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4
mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.Bila diberikan dalam 8 jam sejak
cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga
akan memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
 Penilaian keadaaan neurologis setiap jam,termasuk pengamatan fungsi
sensorik,motorik, dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau asenden.
 Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat,fungsi ventilasi, dan melacak
keadaan dekompensasi.
 Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari
badan ruas tulang belakang,fraktur proses transverses ,spinosus,dan
lainnya.Tindakannya
 simptomatis (istirahat baring hingga nyeri berkurang),imobilisasi dengan fisioterapi
untuk pemulihan kekuatan otot secara bertahap
 Cedera tak stabil disertai defisit neurologis.Bila terjadi pergeseran ,fraktur
memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
 Metode reabduksi antara lain :
 Traksi memakai sepit (tang) yang dipasang pada tengkorak.Beban 20 kg
tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2,5 kg pada fraktur C1
Manipulasi dengan anestesi umum
Reabduksi terbuka melalui operasi
 Metode imobilisasi antara lain :
 Ranjang khusus, rangka,atau selubung plester
 Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera yang sudah
direabduksi
 Plester paris dan splin eksternal lain
 Operasi
 Cedera stabil disertai defisit neurologis. Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis
disebabkan oleh :
 Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma langsung
terhadap koral spiral atau kerusakan vascular
 Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya seperti
spondiliosis servikal
 Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral
Pemeriksaan penunjang

 Magnetic Resonance Imaging merupakan


alat diagnostik yang paling baik untuk
mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat
cedera/trauma
 Pungsi Lumbal
 Mielografi
Asuhan Keperawatan

 Pengkajian Primer
 Airway
 Breathing
 Sirkulasi
 Disability
Nilai pasien menggunakan AVPU :
A berarti siaga dan berorientasi
V adalah singkatan dari menanggapi suara
P berarti respons terhadap rasa sakit
U berarti tidak responsif.
Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder
 Identitas.
 Keluhan utama
 Riwayat penyakit sekarang
 Adanya riwayat trauma yang mengenai tulang belakang akibat dari kecelakaan lalu
lintas,olah raga,jatuh dari pohon atau bangunan,luka tusuk,luka tembak dan kejatuhan benda
keras.
 Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien atau bila klien tidak sadar
tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada
beberapa klien yang suka kebut-kebutan.
 Riwayat penyakit dahulu
 Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit degeneratif pada tulang
belakang, seperti osteporesis osteoporosis, osteoartritis, spondilitis, spondilolistesis, spinal
stenosis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada tulang belakang.
 Riwayat penyakit keluarga
 Kaji apakah dalam keluarga px ada yang menderita hipertensi,DM,penyakit jantung untuk
menambah komprehensifnya pengkajian.
   Riwayat psiko-sosio
Diagnosa Keperawatan

 Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan tulang punggung


,disfungsi neurovascular, kerusakan system muskuloskletal
 Resiko penurunan curah jantung b.d kerusakan jaringan otak
 Nyeri b.d kompresi akar saraf servikalis
 Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neurovascular
 Resiko aspirasi yang b.d kehilangan kemampuan untuk menelan
Diagnosa Tujuan Intervensi
keperawatan

1. Buka jalan nafas,


Ketidakefektifan pola nafas b.d Setelah dilakukan intervensi
guanakan jaw thrust bila
kerusakan tulang punggung selama 1×24 jam, dengan perlu
2. Pasang neck colar
,disfungsi neurovascular, kriteria:
3. Memelihara kepatenan
kerusakan system muskuloskletal 1.Klien akan merasa nyaman. jalan nafas:menjaga
2.Klien mengatakan sesak kepala dalam posisi
yangtepat yaitu
berkurang dan dapat mempertahankan
membandingkan dengan posisinormal vertebra
(‖Spinal Alignment )
keadaan sesak pada saat 4 Memeriksa serangan tiba-
serangan yang berbeda waktu. tiba daridispnea, sianosis
dan/atau tandalain yang
3.TD dalam batas normal mengarah pada
4. Nadi dalam batas normal: distress pernafasan
5. Auskultasi suara nafas,
5. AGD dalam batas normal catat adanya suara
tambahan
6.Latih otot pernafasan pasiend
engan cara pengaturan
dari fungsiventilator yang
dipasang ataumetode
weaninguntuk pasien
yangdipasang ventilator
1. Catat adanya
Resiko penurunan Setelah dilakukan intervensi
disritmia jantung
curah jantung b.d keperawatan, klien tidak 2. - Catat adanya tanda
dan gejala
kerusakan menunjukkan adanya
penurunan cardiac
jaringan otak. peningkatan TIK, dengan kriteria: putput
3. - Monitor status
1.Klien akan mengatakan tidak
pernafasan
sakit kepala dan merasa nyaman. 4. - Monitor balance
cairan
3. GCS dalam batas normal (E4,
5. - Monitor adanya
V5,M6). dyspneu, fatigue,
tekipneu dan
4. Peningkatan pengetahuan pupil
ortopneu
membaik. 6. - Monitor TD, nadi,
suhu, dan RR
5.Tanda vital dalam batas normal.
.
Manajemen di unit gawat darurat meliputi
tindakan darurat

1. A (airway) : menjaga jalan nafas tetap lapang


2. B (Breathing) : mengatasi gangguan pernafasan, bila perlu intubasi
endotrakeal (pada cedera servikal) dan pemasangan alat bantu nafas
untuk oksigenasi adekuat.
3. C (Circulation) : memperhatikan tanda tanda hipotens yang dapat
terjadi karena pengaruh pada sistem saraf ortosimpatis. Harus
dibedakan antara:
 Syok hipovolemik (hipotensi, takikardi, akral dingin), dapat diberikan
cairan kristaloid atau bila perlu dengan koloid.
 Syok neurogenik (hipotensi, bradikardi, akral hangat), dimana pemberian
cairan saja tidak akan menaikan tensi (awasi edema paru) maka harus
diberi obat vasopresor misal dopamin untuk menjaga MAP > 70, bila
perlu adrenalin 0.2 mg subkutan dapat diulang 1 jam kemudian.
4. Lakukan fiksasi jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis. Pada
kecurigaan fraktur servikal pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan
disamping kiri dan kanan diberikan bantal pasir.
5. Selanjutnya pasang dower kateter untuk monitor hasil urine dan mencegah retensio
urine, pemasangan pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung pada yang distensi,
untuk nutrisi enteral.
7. Pemeriksaan umum dan neurologis
 Pemeriksaan penunjang
 Laboratorium: darah perifer lengkap, urine lengkap, gula darah sewaktu, ureum dan
kreatinin, analisa gas darah.
 Radiologi: foto vertebra posisi AP/Lat sesuai dengan letak lesi, CT Scan/ MRI jika
dengan foto konvensional masih meragukan atau bila akan dilakukan operasi.
 Pemeriksaan lain seperti EKG bila ada kelaianan jantung (aritmia).
8. Pemberian kortikosteroid
 Bila diagnosis ditegakan < 3 jam pasca trauma berikan methyl
prednisolon 30 mg per kilogram BB IV bolus selama 15 menit,
ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan methyl prednisolon
dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infuse terus
menerus methyl prednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4
mg/kg BB/jam.
 Bila 3-8 jam sama seperti di atas, hanya infuse dilanjutkan untuk
47 jam.
 Bila lebih 8 jam tidak dianjurkan pemberian methyl prednisolon.

Anda mungkin juga menyukai