EKSIBISIONISME DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA BERKAITAN DENGAN PASAL 44 KUHP Eksibisionisme merupakan salah satu gangguan seksual yang masuk dalam klasifikasi gangguan prefensi seksual atau Prafilia, seperti yang telah dijelaskan diatas pengidap eksibisionisme mengalami gangguan kebiasaan seksual dan gairah seksual yang abnormal dari manusia normal lainnya. Eksibisionisme seksual atau eksibisionisme diambil dari bahasa Inggris exhibition yang artinya tontonan atau pertunjukan atau to exhibit yang artinya mempertontonkan atau mempertunjukan. Eksibisionisme juga dikenal sebagai sindrom Lady Godiva, Apodysophilia, dan di Amerika Serikat dan Kanada istilah dalam bahasa slangnya disebut flasher, yang didefinisikan sebagai kebutuhan psikologis dan pola perilaku untuk menunjukkan bagian telanjang tubuh untuk orang lain. Tindak Pidana kesusilaan ini diatur dalam pasal 281-299 KUHP. dalam pasal tersebut dapat pasal-pasal yang berkaitan dan memenuhi eksibisionisme sebagai suatu perbuatan tindak pidana,seperti yang dituliskan dalam pasal 281 KUHP : diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :
1. Barangsiapa dengan sengaja dan terbuka melanggar
kesusilaan ;
2. Barangsiapa dengan sengaja dan didepan orang lainyang ada
disitu bertentagan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan ; Agar sesorang dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang itu harus:
1. Sengaja merusak kesopanan dimuka umum, artinya
perbuatan merusak kesopanan itu harus sengaja dilakukan ditempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya dipinggir jalan, digedung bioskop, dipasar dsb.
2. Sengaja merusak kesopanan dimuka orang lain
(seseorang yang sudah cukup umur) yang hadir disitu tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu dimuka umum, dimuka seseorang lain sudah cukup, asal orang yang melihat tersebut tidak menghendakinya. Secara lex specialis kejahatan Eksibisionisme dapat dijerat juga dengan pasal 10 Undang- Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi. “Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau yang bermuatan pornografi lainnya.” Ketentuan sanksi pidana nya dapat dilihat pada pasal 36 UU nomor 44 tahun 2008. Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaan itu pelaku dapat dicela karena perbuatannya. Berkaitan dengan hal tersebut, di dalam Pasal 44 KUHP mengatur mengenai bentuk negatif dari kemampuan bertanggungjawab seseorang. Ilmu kedokteran jiwa memberi pengertian bahwa “eksibisionisme” merupakan penyakit kejiwaan yaitu penderitanya mengalami gangguan preferensi seksual sehingga jika dikaitkan dengan alasan pemaaf terkait dengan Pasal 44 KUHP yang menyebutkan bahwa orang yang jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatan pidana yang dilakukannya. Gangguan jiwa termasuk ke dalam alasan pemaaf yang terdapat pada Pasal 44 KUHP, namun tidak terdapat pembatasan mengenai jenis-jenis gangguan jiwa yang dapat dimintai pertanggungjawaban ataupun yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban pidana selalu dikaitkan dengan keadaan mental si pelaku, dengan kata lain hanya pelaku yang mentalnya sehat saja pertanggungjawaban itu dapat dijatuhkan. Tidak terdapat penjelasan pasti tentang keadaan- keadaan seperti apa yang dapat dikualifikasiikan dalam Pasal 44 KUHP, sehingga diperlukan penafsiran lebih lanjut yaitu tata bahasa dan penafsiran ekstensif mengenai konsep yang terkandung dalam Pasal 44 KUHP.