Anda di halaman 1dari 31

KERATITIS

Pricella Mutiari H. S.
K1A115106

PEMBIMBING:
dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M

TELAAH JURNAL
LAPORAN KASUS
SEPTEMBER 2020
Identifikasi Kasus
ANAMNESIS Telaah jurnal case report

Seorang pasien pria dating ke ruang gawat darurat dengan rasa sakit,
memerah dan penurunan ketajaman visual sejak satu minggu yang lalu.
Riwayat sebelumnya mengunjungi Dokter Umum dengan diagnosis
konjungtivitis akut. Riwayat pengobatan tobramycin dan
dexamethasone. Tidak ada riwayat penyakit sistemik atau alergi
terhadap obat-obatan. Riwayat menjalani operasi katarak di kedua mata
4 tahun sebelumnya.
Identifikasi Kasus
PEMERIKSAAN Telaah jurnal case report

Dalam pemeriksaan yang dilakukan di ruang gawat darurat ia


menunjukkan ketajaman visual di mata kanan 0,16, yang meningkat
dengan lubang jarum sebesar 0,2, dan 0,9 di mata kiri. Bio-mikroskop
dari segmen sebelumnya menunjukkan hyperaemia silia sedang, lebih
intens di kuadran temporal superior, lesi kornea putih, disusupi
dengan edema perilesional berukuran 4x4.5mm, sisa-sisa nilon
penjahitan dan penipisan kornea 70%. Itu menunjukkan ruang anterior
yang baik dan mencetak efek Tyndall 4+.
Identifikasi Kasus
PEMERIKSAAN 1 Telaah jurnal case report

Sampel diambil dengan cara mengikis


abses kornea untuk biakan mereka dalam agar,
darah, agar coklat, agar Sabouraud dan
tioglikolat. Jahitan tetap dikeluarkan dari abses
dan eksudat konjungtiva juga tumbuh dalam
kultur tioglikolat. Sambil menunggu hasil kultur,
diagnosis pasien sementara menghasilkan abses
kornea sekunder dari jahitan kornea tanpa
klasifikasi.

Abses Dengan Penipisan Kornea 70%


Identifikasi Kasus
TERAPI 2 Telaah jurnal case report

Pasien terus mengalami rasa sakit yang hebat,


tanpa tanda-tanda perbaikan dan hipopion terjadi
dalam 48 jam berikutnya. Mengingat perburukan
kondisi, sehingga diberikan Vorikonazol oral dan
penggunaan eksternal pada pengobatan dengan
dugaan menghadapi onset mikotik

Hipopion selama 48 jam memulai pengobatan


Identifikasi Kasus
FOLLOW UP 3 Telaah jurnal case report

Hari-hari berikutnya kondisinya membaik secara


perlahan, infiltrat dan efek Tyndall turun,
hypopyon menghilang dan ketebalan kornea
meningkat.

Aspek abses setelah seminggu dirawat.


Identifikasi Kasus
FOLLOW UP 4 Telaah jurnal case report

Hasil kultur tersedia pada hari kelima, yang


menghasilkan Streptococcus pneumoniae sensitif
terhadap vankomisin, levofloxacin, penisilin, dan
sefotaksim. Setelah hasilnya tercapai, pengobatan
antijamur ditarik serta ceftazidime, dan obat tetes
mata komersial ditambahkan ke vankomisin
sampai tanda-tanda inflamasi menghilang.
Kornea tereksploitasi kembali, meninggalkan
leukoma kornea perifer sebagian menipis. Visual
terakhir ketajaman sebesar 0,5 di mata kanan
dengan lubang jarum
Leucoma kornea, setelah diterapi
PEMBAHASAN
Pendahulaun
Kornea merupakan jaringan transparan yang berfungsi sebagai
membran pelindung dan bagian mata dilalui berkas cahaya

Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari kelima lapisan


kornea akibat terjadinya infiltrasi sel

Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal

Pengobatan dapat diberikan antibiotika, air mata buatan dan


sikloplegik
Anatomi

Permukaan kornea yang melengkung, struktur pertama yang dilewati oleh


sinar sewaktu sinar tersebut masuk mata, berperan paling besar dalam
kemampuan refraktif total mata
Pengertian

Keratitis adalah peradangan pada salah satu dari


kelima lapisan kornea yang mememiliki bentuk
infeksi dan non-infeksius.
Epidemiologi
keratitis umumnya berupa keratitis infeksi Sekitar 71.000 kasus keratitis mikroba terjadi
dengan penyebab utama Staphylococcus dan setiap tahun di Amerika Serikat
Streptococcus atau 11 kasus per 100.000 orang.

Insidensi keratitis mikrobial secara global


indonesia Sampai sekarang belum terdapat sekitar 0,4 sampai 5,2 per 10.000 orang setiap
studi yang melaporkan insiden keratitis di tahunnya
Indonesia secara umum

Insidensi keratitis ulseratif perifer terjadi pada 3 kasus


per 1.000.000 orang per tahunnya di negara Inggris
Faktor Resiko
Trauma Kelainan kelopak Malnutrisi & Defisiensi vit A

1. Ackuaku, Edith. Hagan, Maria. Newman, Mercy. 2005. Suppurative Keratitis : A Guide To The Management Of Microbial Keratitis. International Centre for Eye Health (ICEH). London.
Etiologi
1. Infeksi
2. Dry eye
3. Defisiensi vitamin A
4. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea
5. Distrofi kornea
6. Trauma komea
7. Reaksi Obat dan Benda Asing
Klasifikasi
Klasifikasi topografis (morfologis)
 Keratitis ulserativa (ulkus kornea)
 Keratitis non-ulseratif

Klasifikasi etiologi
 Bakteri
 Viral
 Jamur
 Klamidia
 Protozoa
Klasifikasi

Acantamoeba
Fungi

Virus Bakteri
Patogenesis
Keratitis infeksi merupakan hasil dari interaksi antara pathogen dengan jaringan host, (ii) respon inflamasi innate host, dan (iii) terapi yang
dilakukan untuk mengobati infeksi

Neutrofil masuk ke kornea melepaskan


enzim proteolitik & kolagenolitik,
metabolit o2 dan zat Pro inflamasi
(PAF, Leukotrin, Prostaglandin)

DEGRADASI STROMA KORNE


DAN DISOLUSI
Gejala

Epifora & mata merah Fotofobi penglihatan kabur blefarospasme


injeksi perikorneal.
TRIAS KERARTITIS
Kadang disertai nyeri
1. FOR
Diagnosis

Anamnesis Pemeriksaan
Pemeriksaan
Fisis
Penunjang

 Anamnesis pasien penting pada


penyakit kornea. Hasil pemeriksaan fisik :
 Sering dapat diungkapkan adanya  Penurunan tajam penglihatan Kultur adalah cara untuk
riwayat trauma, benda asing dan Snellen dan injeksi sirkumkornea mengidentifikasi organisme kausatif
abrasi merupakan dua lesi yang  Mata meradang, merah dan satu-satunya cara untuk
umum pada kornea.  Silau menentukan kepekaan terhadap
 Adanya riwayat penyakit kornea  Timbul warna saat ditetesi antibiotik. Kultur sangat membantu
juga bermanfaat. Keratitis akibat fluoresensi sebagai panduan modifikasi terapi
infeksi herpes simpleks sering  Infiltrat kornea yang dapat dilihat pada pasien dengan respon klinis
kambuh, namun karena erosi dengan atau tanpa hipopion yang tidak bagus dan untuk
kambuh sangat sakit dan keratitis dikamera okuli anterior mengurangi toksisitas dengan
herpetik tidak  Blefarospasme mengelakkan obat-obatan yang tidak
perlu
Keratitis bakteri
 Etiologi:
 S.aureus, S.pneumonia, P. aeruginosa, Enterobacteriaceae
(membutuhkan adanya kerusakan epitel kornea terlebih dahulu)
 N. gonorrhea, N. meningitidis, C. dyphteriae (dapat menginvasi
kornea intak)
 Tanda dan Gejala:
 S. aureus dan S. pneumonia : ulkus berbentuk oval, warna putih
kelabu, batas tegas, menyebear tdk teratur
 Pseudomonas : ulkus bentuk ireguler, infiltrat keabuan atau
kuning (awal) biru-kehijauan (berat), batas tidak tegas oleh
karena terjadi nekrosis liquefaksi dari kornea
Keratitis bakteri
Tata Laksana
 Non farmakologi: Hentikan penggunaan lensa kontak dan kenakan
pelindung mata terutama bila terdapat penipisan atau perforasi kornea.

 Farmakologi
1) Antibiotik: Antibiotik topikal tetap menjadi pengobatan lini pertama untuk
keratitis bakteri. Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang
tinggi dan merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak
kasus. Salep pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat
dan juga berguna sebagai terapi tambahan.
2) Antikolegenase: Selama infeksi akut fibroblas, keratosit, dan sel inflamasi
lainnya mengeluarkan enzim, seperti kolagenase dan matriks
metalloproteinase, yang terlibat dalam degradasi protein dan keratolisis.
3) Midriatikum: Mydriatics (cyclopentolate 1%, homatropine 2% atau atropine
1%) digunakan untuk mencegah pembentukan sinechia posterior dan untuk
mengurangi rasa sakit.
4) Steroid : Steroid mengurangi peradangan oleh karna patogen, meningkatkan
kenyamanan, dan meminimalkan jaringan parut kornea
Keratitis bakteri
 Komplikasi: penipisan kornea, perforasi kornea
endophthalmitis dan hilangnya penglihatan
 Prognosis :
 Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas
keratitis,
 Luas dan lokasi ulkus kornea, Hasil vaskularisasi dan /
atau deposisi kolagen.
Pembahasan Kasus
 Dalam kasus diputuskan untuk mengambil sampel kultur kornea eksudat konjungtiva, dan
bersama dengan nilon yang dihilangkan, merujuk semuanya ke layanan mikrobiologi karena
pasien memiliki abses selama beberapa hari, lesi cukup besar dan telah dirawat dengan
kortikosteroid (menyembunyikan gambaran klinis)
 Mikroorganisme yang paling sering bertanggung jawab untuk diagnosis klinis adalah
pseudomones dan staphylococcus. Di negara berkembang streptococcus lebih sering; di
dunia Barat itu terkait dengan infeksi kantung lachrymal atau lepuh konjungtiva
 Setelah pengambilan sampel dilakukan, pengobatan empiris dengan antibiotik spektrum luas
diperkuat dimulai. Beberapa penulis mempertahankan kegunaan pemberian antibiotik secara
subkonjungtif, tetapi Baum dkk. menyatakan bahwa antibiotik topikal yang diperkuat
memiliki efisiensi yang sama atau lebih besar daripada yang subconjunctival dan risiko efek
samping lebih rendah.
 
Pembahasan Kasus
 
Tidak adanya perbaikan dan munculnya reaksi inflamasi serius di ruang anterior
disarankanmemulai perawatan antijamur oral dan topikal karena, ketika pasien
tinggal di lingkungan pedesaan, ada kemungkinan bahwa faktor pemicu
mungkin bukan titik kornea melainkan trauma dengan beberapa jenis sayuran.
Hasil kultur, streptococcus, mengkonfirmasi hipotesis pertama bahwa itu adalah
infeksi sisi bakteri terhadap kerusakan epitel kronis sebagai akibat robeknya
jahitan jahitan dan pemberian kortikoid.

Namun demikian, tidak selalu mungkin untuk menunjukkan apa penyebabnya.


Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Dahlgren[4] dan kolaborator
menyimpulkan bahwa dokter mata dapat mengidentifikasi dalam sebagian besar
kasus pseudomone sebagai agen penyebab keratitis bakteri, karena mereka
biasanya abses yang cukup besar berkembang dengan cepat, tetapi lebih sulit
untuk mengelola identifikasi sisa bakteri tanpa bantuan kultur
 
Kesimpulan
 Eksplorasi klinis tidak bisa hanya menjadi satu-satunya
dasar untuk memutuskan pengobatan ulkus menular.
 Memulai pengobatan empiris tanpa mengambil sampel
dapat menunda diagnosis yang benar.
 Identifikasi mikroorganisme dengan kultur
memungkinkan perawatan yang disesuaikan.
 Meskipun teknik diagnosis modern cepat seperti PCR
(Reaksi Polymerase Chain), dalam kasus infeksi bakteri
kultur bakteri tetap menjadi teknik standar emas.
Thank You
Referat Buta Warna, 2020
Ruescas, VB, dkk. 2009. Streptococcus pneumoniae keratitis, a
case report. iMedPub JOURNALS. (1)1:3
 
1. Syuhada, Rahmat. Rafie, Rakhmi. 2015. The Relationship Of Age And Occupation On The Incidence Of Keratitis And Corneal Ulcers In Patients Visiting At Hospital Dr.H.Abdoel
Moeloek Lampung Province In 2013-2014. Jurnal Ilmu Kedokteran Kesehatan.vol.3 no 3 (2015)
2. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Penerbit FK UI. Jakarta
3. Moore, Keith L. Dalley, Arthur F, Agur, Anne MR. Clinically Oriented Anatomy 6th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia.
4. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem Ed 6. EGC. Jakarta.
5. Surjani, Lylys. 2016. Keratitis Mikrobial Pada Pengguna Lensa Kontak. Jurnal Methoda. Vol.6 no 2 (2016).
6. Srigyan, Deepankar. Gupta, Mandakini. Behera, Himansu S. 2017. Keratitis: An Inflammation of Cornea. Journal EC Ophthalmology 6.6 (2017): 171-177.
7. American Academy of Ophthalmology. 2018. Bacterial Keratitis Preferred Practice Pattern. Elsevier. San Francisco.
8. Ackuaku, Edith. Hagan, Maria. Newman, Mercy. 2005. Suppurative Keratitis : A Guide To The Management Of Microbial Keratitis. International Centre for Eye Health (ICEH).
London.
9. Amalia, Rizki. 2014. Karakteristik Penderita Keratitis Di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Tahun 2011-2012. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah
Palembang. Palembang.
10. Khurana, AK. 2017. Comprehensive Opthalmology 4th edition. New Age International. New Delhi.
11. Simanjuntak, Agnes AH. 2020. Durasi penggunaan lensa kontak dengan resiko terjadinya keratitis: tinjauan pustaka. Jurnal Inti Sari Medis.Volume 11, Number 1: 66-74 (2020).
12. Pambudy, Indra M. Irawati, Yunita. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1 : Keratitis Akut. Media Aesculapius. Jakarta.
13. Suhardjo dan Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
14. Vaughan, Daniel. 2014. General Opthalmology. 18 th edition. McGraw Hill.
15. Novitasari., A. 2015. Keratitis dalam Buku Ajar Sistem Indra Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang
16. Yanoff M., Duker J.S. 2014. Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. China.
17. Kanski. 2016. Clinical Opthalmology: A Systemic Approach. 8th edition. Elsevier. China.
18. Bourcier, T. Thomas, F. Borderie, V. Chaumeil, Laroche, L. 2003. Bacterial keratitis: predisposing factors, clinical and microbiological review of 300 cases.
19. Journal Br J Ophthalmol 2003;87:834-838.
20. Khurana, AK. 2017. Comprehensive Opthalmology 7th edition. Jaypee Brothers Medical. New Delhi.
21. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Penerbit FK UI. Jakarta
22. Basak, Samar K. 2011. Jaypee Gold Standard Mini Atlas Series Diseases Of The Cornea. Jaypee Brothers Medical. New Delhi.
23. Austin, Ariana. Lietman, Tom. Nussbaumer, Rose. 2017. Update on the Management of Infectious Keratitis. Journal America Academy of Opthalmology. 2017;124:1678-1689.
J. KERATITIS FUNGI

• Etiologi: Filamentous fungi (Aspergillus, Fusarium), Yeasts


(Candida)

• Tanda dan Gejala: Ulkus putih keabu-abuan dengan tepi


meninggi, lesi satelit kecil multiple di sekitar lesi utama, dapat
ditemui cincin kekuningan steril,Infiltrat stroma berbulu
J. KERATITIS FUNGI

• Tatalaksana :
Non farmako : Hentikan penggunaan lensa kontak dan kenakan
pelindung mata
Farmako : Suspensi mata natamycin 5% 1 tetes per 2 jam
(fusarium, aspergillus), Tetes mata amphotericin B 1.5% 1 tetes
per jam (candida)
• Prognosis
Kegagalan medis terjadi pada sekitar 15-20% kasus.
Dapat terjadi perluasan infeksi yang parah ke ruang anterior
dan sklera, terutama dalam kasus penggunaan kortikosteroid
topikal pra operasi, perforasi, atau keterlibatan limbal.

1. Simanjuntak, Agnes AH. 2020. Durasi penggunaan lensa kontak dengan resiko terjadinya keratitis: tinjauan pustaka. Jurnal Inti Sari Medis.Volume 11, Number
1: 66-74 (2020).
2. Pambudy, Indra M. Irawati, Yunita. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1 : Keratitis Akut. Media Aesculapius. Jakarta
3. Yanoff M., Duker J.S. 2014. Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. China.
4. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Penerbit FK UI. Jakarta
K. KERATITIS VIRAL

Etiologi: Herpes Simplex Virus, Varicella-Zoster Virus


•Tanda dan Gejala:
•Herpes Simplex : tampak lesi vesicular di region periorbital,
limfadenitis, punctate epithelial keratitis, dendritic ulcer (ulkus
berbentuk ireguler, zigzag, bercabang), geographical ulcer (hasil fusi
dari beberapa ulkus dendritic membentuk suatu konfigurasi
amoeboid
•Herpes Zoster : lesi awal vesicular terdistrubusi dermatomal,
punctate epithelial keratitis, microdendritic epithelial ulcer,
nummular keratitis, disciform keratitis

1. Vaughan, Daniel. 2014. General Opthalmology. 18 th edition. McGraw Hill.

2. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Penerbit FK UI. Jakarta
K. KERATITIS VIRAL

• Tatalaksana :
Non farmako : Debridement, keratoplasti
Farmako : antiviral (Acyclovir), Kortikosteroid
• Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena tidak terjadi parut atau
vaskularisasi pada kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini
berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.

1. Vaughan, Daniel. 2014. General Opthalmology. 18 th edition. McGraw Hill.

2. Ilyas, S., Yulianti, SR. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Penerbit FK UI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai