Anda di halaman 1dari 6

Pendapat Para Ahli Tentang Zakat

di Beberapa Negara
• Menurut perkiraan Kahf (1989), Pengumpulan zakat dapat dilakukan
antara 1,6% - 4,4% dari PDB. Penyaluran dana zakat kepada fakir,
miskin, yatim piatu, dan janda, telah memainkan peran yang signifikan
dalam pengentasan kemiskinan di Pakistan.
• Sadeq (1996), sekitar 73% dari perkiraan potensi pengumpulan zakat
akan dibutuhkan setiap tahun untuk mengubah status rumah tangga
miskin menjadi status rumah tangga tidak miskin di Malaysia.
• Hassan dan Jauanyed (2007) memperkirakan bahwa dana zakat yang
dapat menggantikan pengeluaran anggaran pemerintah Bangladesh
berkisar dari 21% dari Annual Development Plan (ADP) 1983-1984
hingga 43% dari ADP pada tahun 2004-2005.
• Firdaus dkk (2012) dengan mensurvey 345 rumah tangga,
menunjukkan potensi pengumpulan zakat di Indonesia dapat
mencapai 3,4% PDB.
Dampak Distribusi Zakat
Debnath dkk (2013) mengungkapkan bahwa dampak distribusi
zakat lebih besar dari pada program kredit mikro. Selain itu, secara
signifikan meningkatkan pendapatan dan pengeluaran si penerima
dibandingkan dengan program kredit mikro.
Hassan (2010) berpendapat bahwa peminjam miskin akan
memiliki beban hutang yang lebih sedikit karena investasi modalnya
sebagian akan dipenuhi oleh dana dari zakat yang tidak
memerlukan pembayaran kembali.
Program yang dapat didanai oleh zakat, diantaranya
pendidikan, pelatihan skill, pertanian dan industri rumahan,
penyediaan aset tetap dan peralatan untuk proyek usaha kecil,
penyediaan modal kerja, pembangunan perumahan, penyediaan
perawatan medis dan kesehatan.
Zakat Dahulu dan Sekarang
Pada masa pemerintahan Umar dan Abu Bakar, pengumpulan
zakat dilakukan oleh pemerintah. Namun pada masa Usman,
masyarakat diperbolehkan membayar zakat secara pribadi.
Kuda dibebaskan dari zakat pada masa nabi, tetapi Umar
memasukkannya pada zakat pada masanya. Pada saat Arab
dilanda kekeringan dan kelaparan, Umar membebaskan orang
miskin dari zakat dan ditangguhkan zakat dari orang kaya.
Karenanya, pembuat kebijakan dalam ekonomi modern dapat
menggunakan lembaga zakat secara fleksibel untuk
memaksimalkan manfaat kesejahteraan dari sistem zakat. Namun
demikian, saat ini di banyak negara, zakat tidak dikumpulkan oleh
pemerintah dan tidak dianggap sebagai pembayaran wajib kepada
pemerintah (Powell, 2009).
Faktor-faktor Ketidakpuasan Terhadap
Lembaga Zakat Formal
Ahmad dkk (2006) berdasarkan sampel 753 responden
yang membayar zakat ke enam lembaga swasta. Hasilnya
menunjukkan bahwa kepuasan atas distribusi dan pengelolaan
zakat yang efisien adalah faktor utama yang mempengaruhi
pembayaran zakat. Sekitar 57% responden tidak puas dengan
distribusi dana zakat yang secara signifikan mempengaruhi
pembayaran ke lembaga zakat.
Wahid dkk (2008) mengungkapkan dua faktor utama yang
berkontribusi terhadap ketidakpuasan, yaitu :
• Tidak efektifnya distribusi zakat
• Kurangnya transparansi informasi tentang distribusi zakat.
Upaya Pengelolaan Zakat
Abdullah dan Suhaib (2011) berpendapat bahwa jika zakat didirikan
sebagai sebuah lembaga, maka akan tercipta skema jaminan sosial kolektif
untuk saling membantu dan sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan
lebih lanjut untuk pembangunan sosial. Azam dkk (2014) menyarankan
bahwa ada kebutuhan untuk melembagakan system pengumpulan untuk
meningkatkan pengumpulan zakat secara keseluruhan.
Rahman (2003) pengenalan dua ukuran tata kelola zakat, yaitu :
•Pemberlakuan standar akuntansi islam
•Reformasi struktural dan kebijakan menuju distribusi zakat yang lebih
efektif.
Secara teoritis, lembaga zakat adalah instrumen ekonomi yang
penting. Jika pemerintah meningkatkan tata kelola, administrasi, dan
penggunaan dana zakat secara efektif dan transparan, maka keuntungan
luar biasa dapat dicapai dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Zakat Investasi
Zakat Investasi dikenakan terhadap harta yang diperoleh dari hasil
investasi. Diantara bentuk usaha yang termasuk investasi adalah
bangunan atau kantor yang disewakan, saham, rental mobil, rumah
kontrakan, dll.
Analogi Zakat Investasi :
• Sebagian ulama Maliki dan salaf seperti Ibnu Masud, Ibnu Abbas,
dll menganalogikannya ke dalam zakat uang tapi diambil dari
hasilnya saja, tanpa mensyaratkan haul dikeluarkan ketika
menerimanya.
• Para ulama kontemporer, seperti Abu Zahrah, Abdul wahab Kholaf,
dan Yusuf Qordhowi, menganalogikannya ke dalam zakat pertanian
yaitu dikeluarkan saat menghasilkan dari hasilnya, tanpa
memasukkan unsur modal dengan tarif 5% untuk penghasilan
kotor dan 10% untuk penghasilan bersih.

Anda mungkin juga menyukai