A. Pengertian Pancasiala dan Dasar Negara; B. Alasan Pancasila: Dasar Negara; C. Proses Pembentukan Pancasila: Dasar Negara; D. Kedudukan dan Fungsi Pancasila Dasar Negara; E. Bagaimana Pelaksanaan Pancasila Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia?. A. Pengertian Pancasila Dasar Negara. Istilah Pancasila berasal dari bahasa sansekerta, terdiri dari dua suku kata: ‘Panca’ artinya 5 (lima); ‘sila’ berarti azas atau dasar. Pancasila berarti “azas atau dasar yang terdiri dari 5 (lima) hal”. Kelima azas itu: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima azas itu merupakan kesatuan “sistem nilai” yang bersifat “mutlak”, sehingga tidak dapat pisah-pisah antara satu dengan yang lain. Dasar Negara: azas atau landasan untuk meyelenggarakan seluruh kegiatan dalam suatu negara, baik di pusat maupun di daerah. (Drs. H. Kaelan, MS.) Maka seluruh aktivitas yang berlangsung di dalam negara Republik Indonesia, harus sesuai dengan azas/dasarnya, yaitu Pancasila. Pancasila Dasar Negara alias falsafah negara (Philosofische gronslag) , memuat “nilai-nilai” bersifat “abstrak” dan ‘umum’. Pancasila, menjadi dasar ‘nilai’ dan ‘norma’ untuk mengatur penyelenggaraan negara; sehingga merupakan ‘azas kerokhanian’ dan “sumber dari segala hukum dan tertib hukum” negara. Azas kerokhanian: Pancasila merupakan “suasana kebatinan” atau ‘cita-cita’ hukum negara. Pancasila menjadi sumber nilai, jadi norma dan kaidah moral bagi hukum di negara Republik Indonesia. Sumber segala hukum: Pancasila (Pembukaan UUD’45) yang dijilmakan/dijabarkan menjadi “pokok-pokok pikiran” atau ‘roh’ (suasana kebatinan) dari UUD’45, dan dikonkritkan dalam pasal- pasalnya; harus menjadi “jiwa” dan “spirit” bagi seluruh produk hukum di bawahnya. (Drs. H. Kaelan, MS.) Sumber tertib hukum: semua produk hukum di bawahnya (UUD’45) dan seterusnya “tidak boleh bertentangan” dengan UUD’45 (batang tubuh). Bila terjadi tolak belakang (dikotomi) antara produk hukum, maka produk hukum yang berada di bawahnya harus “gugur demi hukum” guna menjamin “kepastian hukum”. Negara: organisasi, yang di dalamnya terdapat unsur ‘lembaga atau institusi negara’ dan “warga negara”. Lembaga/institusi negara: meliputi lembaga-lembaga negara (UUD’45 dan UU), institusi pemerintah, institusiswasta (non pemerintah); Organisasi masyarakat, organisasi politik, organisasi profesi, dan organisasi lainnya lagi. Warga negara: mencakup para penyelenggara negara (Aparatur negara), penyelenggara pemerintahan (aparatur pemerintah) pengelola swasta dan pegawai swasta, pengurus organisasi masyarakat, organisasi politik, organisasi profesi, berikut anggota- anggotanya. Pancasila sebagai dasar negara: pancasila menjadi landasan untuk seluruh aktivitas atau kegiatan penyelenggaraan negara yang dilakukan lembaga negara dan warga negara. B. Alasan/Landasan Pancasila: Dasar Negara. Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, mempunyai beberapa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. 1. Alasan yuridis: ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945; ‘secara hukum formal’ Pancasila menjadi dasar negara. Tertulis secara jelas dalam Pembukaan UUD’45 alinea ke empat bahwa: “.....susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradap, Persatuan Indonesia.....” (UUD NKRI 1945, 2006) 2. Alasan histori: jauh hari sebelum negara Indonesia terbentuk (belum merdeka), para Faunding Father (pendiri negara) telah memikirkan secara cermat dan mendalam, mendiskusikan dan memperdebatkan dengan matang mengenai ‘apa dasar negara kelak’ jika negara Indonesia merdeka (terbentuk). Curah pikiran, diskursus, dan perdebatan berlangsung dalam forum, sidang BPUPKI, Panitia sembilan, dan sidang PPKI. Di forum sidang BPUPKI pertama, secara kusus membahas tentang “Rancangan Dasar Negara”, dan di usulkan “Pancasila” sebagai ‘nama dasar negara’. Artinya secara formal, Pancasila dibuat hanya untuk menjadi dasar negara; bukan yang lain-lain (Idiologi, Pandangan hidup dst). 3. Alasan filosofis: pancasila hakekatnya merupakan “sistem nilai” bersifat ‘universal’ dan ‘umum’. Value yang terkandung didalamnya diyakini mempunyai makna kebaikan dan kebenaran sangat tinggi (luhur) bagi harkat dan martabat manusia. Bersifat universal, karena nilai pancasila (sila 1 dan 2) kebaikan dan kebenarannya “tidak terbatas ruang dan waktu”. Bersifat umum, nilai-nilai pancasila (sila 3, 4, dan 5) kebaikan dan kebenarannya sudah ‘tidak terbantahkan’ oleh siapapun juga terutama manusia atau ‘masyarakat Indonesia’. 4. Alasan kultural: nilai-nilai yang ada di dalam pancasila sudah beabad-abad lamanya menjadi “kebudayaan” dan “sistem religi” (keyakinan) masyarakat indonesia (nusantara kala itu). Value tersebut telah ‘mengkristal’ dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjilma menjadi pandangan hidup. Nilai-nilai itu berfungsi sebagai “wawasan, pemahaman, orientasi dan petunjuk arah” bagi masyarakat dalam menghadapi segala persoalan nyata dalam kehidupan yang dilalui. Empat alasan di atas sekurang-kurang dapat disebut sebagai landasan, mengapa pancasila harus pahami, dihayati, dan diaplikasikan secara nyata sebagai “Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia”. C.Proses Pembentukan Pancasila: Dasar Negara.
o Pancasila dasar negara tidak muncul tiba-tiba. Melalui proses
perdebatan panjang dalam forum sidang BPUPKI dan PPKI seperti berikut. Sidang BPUPKI Pertema (29 Mei-1 Juni 45). Dalam sidang ini membahas “Rancangan Dasar Negara”. Ada 3 (tiga) tokoh yang menyampaikan pandangannya mengenai dasar negara, yaitu: Mr. Muh. Yamin (29 Mei 45); Prof. Soepomo (31 Mei 45); dan Ir. Soekarno (1 Juni 34). A. Mr. Muh. Yamin (29 Mei 1945). Usulan calon dasar negara Indonesia: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan. 3. Peri Ketuhana, 4. Peri Kerakyatan (A. Permusyawaratan, B. Perwakilan, C. Kebijaksanaan). 5. Kesejahteraan Rakyat (Keadilan sosial). B. Prof. Dr. Soepomo (31 Mei 1945). Mengusulkan tentang “teori negara” sebagai berikut. 1) Teori negara perseorangan (Individualis) yang diajarkan Thomas Hobbes, JJ Rousseau, Herbert Spencer, dan HJ. Laski (A. 17 M). Negara: masyarakat hukum (legal society) yang disusun atas kontrak antara seluruh individu (contract social). Paham ini banyak dianut di Eropa dan Amerika. 2) Paham negara kelas (Class theory) atau teori “golongan”, diajarkan Marx, Engels dan Lenin (A. 18 M). Negara: alat suatu golongan (klasse) untuk menindas klasse (golongan) lain. Negara kapitalis: alat kaum borjuis untuk menindas kaum buruh. Marxis menganjarkan kaum buruh untuk meraih kekuasaan agar dapat ganti menindas kaum borju. 3) Paham negara Integralistik, diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel (A. 19). Negara bukan untuk menjamin perseorangan atau golongan, tapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Negara: susunan masyarakat yang integral, semua golongan, semua bagian, anggotanya saling berhubungan erat satu sama lainnya sebagai kesatuan organis. Menurut paham ini yang terpenting dalam negara: “penghidupan bangsa seluruhnya”. (Paham ini yang disepakati). C. Ir. Soekarno (1 Juni 1945). Dalam pidatonya tanpa teks, Ir. Soekarno mengusulkan calon dasar negara terdiri dari ‘lima prinsip’ seperti berikut. 1. Nasionalisme (kebangsaan Indonesia); 2. Internasionalisme (Peri Kemanusiaan); 3. Mufakat (demokrasi); 4. Kesejahteraan sosial; 5. Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan). Kelima prinsip tersebut diusulkan agar diberi nama “Pancasila”. Sidang BPUPKI kedua (10-16 Juli 1945). Diumumkan penambahan 6 anggota BPUPKI: Abdul Fatah Hasan, Asikin Natanegara, Soeja Hamidjojo, Muhammad Noor, Besar, Abdul Kaffar. Dilaporkan telah dibentuk panitia kecil terdiri dari 9 orang diketuai Ir. Soekarno. Panitia sembilan melakukan pertemuan-pertemuan dengan anggota BPUPKI, yang menghasilkan “rancangan Preambul/Pembukaan Hukum Dasar” yang terkenal sebagai “Piagam Jakarta” atau ‘Jakarta Carter’ (22 Juni 1945). Yang harus disusun BPUPKI: Undang-Undang Dasar, bukan hukum dasar (Prof. Dr. Soepomo). Memutuskan bentuk negara: Republik melaui cara Pemungutan suara (10 Juli 1945). Menentukan luas wilayah negara (11 Juli 1945): a. Hindia Belanda dulu (19 suara); b. Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara (Borneo Inggris); Irian Timur; Timor Portugis, dan pulau-pulau sekitar (39 suara); c. Hindia Belanda, Malaya (6 suara). Membentu panitia: 1. Panitia perancang Undang-Undang Dasar (Ir. Soekarno); 2. Panitia ekonomi dan keuangan (Drs. Moh. Hatta); 3. Panitia pembelaan tanah air (Abikusno Tjokrosoejoso). 14 Juli, panitia perancang Undang-Undang Dasar melaporkan bahwa UUD terdiri 3 bagian: a. Pernyataan Indonesia merdeka yang berupa dakwaan di muka duani atas penjajahan Belanda; b. Pembukaan yang di dalamnya terkandung dasar negara Pancasila; dan c. Pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Sidang PPKI. Sidang pertama (18 Agustus 1945) memutuskan: 1. Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. 2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden pertama. 3. Menetapkan berdirinya Komite Indonesia Pusat sebagai badan musyawarah darurat. D. Kedudukan dan Fungsi Pancasila Dasar Negara. Dalam perspektif bangsa Indonesia, Pancasila sebagai objek kajian ilmiah memiliki “kedudukan dan fungsi” bermacam-macam. Implikasinya ‘arti dan fungsi’ Pancasilapun seringkali dipahami berberda-beda pula oleh masyarakat Indonesia. Kedudukan dan fungsi pancasila yang paling utama (sentral) adalah sebagai “Dasar Negara”. Namun secara yuridis formal, kedudukan dan fungsi Pancasila: 1. Dasar Negara. o Artinya sebagai landasan penyelenggaraan negara di pusat dan daerah; landasan setiap instansi pemerintah maupun suwasta, landasan segenap produk hukum di Indonesia dan landasan bagi warga negara. o “Kedudukan” Pancasila sebagai ‘Dasar Negara’ dan “fungsi”- nya sebagai ‘landasan operasional negara’ ini tertuang secara jelas dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. o Dalam kedudukannya sebagai Dasar Negara, secara yuridis Pancasila berfungsi sebagai “Fundamental Norm”. Artinya bahwa, Pancasila yang esensinya adalah “sistem nilai” (kesatuan nilai) merupakan “norma hukum” yang bersifat fundamental bagi negara Republik Indonesia. Sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi “roh” atau ‘jiwa dan spirit” setiap produk hukum yang berlaku di Indonesia. o Dengan demikian di Indonesia tidak boleh terjadi, jika suatu produk hukum dibuat dengan semangat, jiwa, dan roh yang berbeda apalagi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. 2. Pandangan Hidup Bangsa dan Negara Indonesia. Sebagai pandangan hidup, artinya nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi, “orientasi, petunjuk arah, dan cita- cita” bangsa dan negara republik Indonesia yang akan direalisasikan dalam kehidupan yang konkrit. Kedudukan Pancasila sebagai Pandangan hidup, berada pada posisi yang sangat tinggi bagi bangsa dan negara Repiblik Indonesia, yaitu sebagai “Cita-cita” hidup yang ideal. (Tap. MPRS No. XX/1966) Fungsinya: sebagai orientasi atau petunjuk arah kemana dan bagaimana cara bertindak, berperilaku ketika berinteraksi dengan sesama masyarakat, sesama bangsa, antar bangsa dan antar negara; agar tetap fokus dalam mewujukan cita-cita idealnya. Dengan orientasi/petunjuk arah itu maka bangsa Indonesia tidak mudah tergelincir dari line, dan tidak mudah terombang ambing oleh keadaan yang menerpa perjalanan hidupnya. 3. Idiologi Bangsa dan Negara. • Artinya merupakan kumpulan ide-ide, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran mendasar, yang menyeluruh dan sistematis sebagai pedoman untuk mengatur tingkah laku sekelompok orang/manusia dalam berbagai bidang kehidupan. (Drs. H. Kaelan, MS.) • Kedudukan Idiologi sangat tinggi, yaitu sebagai ‘azas’ bagi masyarakat/bangsa yang meyakini idiologi tersebut. Baik dalam berfikir, dalam gagasan, ide-ide; bahkan dalam bersikap dan bertindak disegenap sektor kehidupan. Bahkan tidak jarang idiologi berfungsi sebagai “dogtrin”. • Fungsinya sebagai pedoman hidup di berbagai bidang kehidupan bagi masyarakat atau bangsa penganutnya. (Tap MPRS/XX/1966) • Pancasila sebagai kumpulan ide, gagasan, pemikiran mendasar, bukanlah hasil dari perseorangan. Melainkan “karya kolektiv” bangsa Indonesia, yang disebut sebagai para “Faunding Father”. E. Bagaimana Pelaksanaan Pancasila Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia?.
Sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga sekarang,
Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dikatakan sudah cukup tua usia, yaitu 75 tahun. Akan tetapi jika dilihat historinya dalam melaksanakan “Pancasila sebagai dasar negara”, dapat dikatakan masih jauh dari garis yang oleh masyarakat umum disebut benar. Pancasila telah di “reduksi” untuk kepentingan tertentu penguasa, sehingga tidak diterjemahkan atau diartikan sebagaimana seharusnya. (Drs. H. Kaelan, MS dalam Pendidikan Pancasila). Pancasila sebagai dasar negara yang telah ditetapkan dalam Pembukaan UUD’45 alinea 4 sejak tanggal 18 Agustus 1945, Pelaksanaannya hingga sekarang dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Masa Awal Kemerdekaan. Pada masa ini kondisi sosial politik bangsa Indonesia masih labil dan terus bergejolak. pengaruh politik internasional juga belum sepenuhnya mendukung kemerdekaan Indonesia. Implikasinya pada “pengabaian/penyimpangan” terhadap dasar negara Pancasila. Bahkan pernah mempraktikan azas “liberalisme” dalam pemerintahan Indonesia, dan menjadi negara federal dengan konstitusi RIS di tahun 1949-1950. Paham “liberalisme” masih terus mendominasi pada ketatanegaraan Indonesia, hingga kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950, di bulan Agustus, tanggal 17; dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara. Ketidak jelasan arah ini di akhiri dengan “Dekrit Presiden” 5 Juli 1959; yang inti ketetapannya: 1. Membubarkan konstituante; 2. Memberlakukan lagi Undan-Undang Dasar 1945, sebagai konstitusi negara; 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara. 2. Masa Orde Lama. Meskipun memberlakukan UUD’45 sebagai konstitusi dan Pancasila sebagai dasar negara, namun dalam praktik ketatanegaraan banyak dipengaruhi oleh “idiologi komunis” (Drs. H. Kaelan, MS). Dikukuhkan idiologi “nasakom” dan dogtrin negara dalam kondisi “revolusi permanen”. Presiden (Soekarno) sebagai kepala negara dan pemimpin besar revolusi, sehingga masa jabatannya “seumur hidup”. Demokrasi Indonesia tidak didasarkan pada Pancasila (sila ke empat), melainkan ke arah “demokrasi terpimpin”. Wewenang Presiden melebihi batas konstitusi, dan membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955, karena DPR tidak menjetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara. Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara di jadikan menteri negara (anggota kabinet). Puncak dari penyimpangan dasar negara, terjadi gejolak “Tritura” (tiga tuntutan rakyat): Bubarkan PKI, bersihkan kabinet dari unsur PKI, Turunkan harga/perbaikan ekonomi. Gerakan itu dimotori dan dipelopori kaum Pemuda, pelajar dan mahasiswa yang didukung rakyat Indonesia. 3. Masa Orde Baru. Setelah pemberontakan PKI tahun 1965 berhasil diredam oleh Soeharto, pemimpin orde baru ini bertekat untuk mempelopori pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 secara “murni dan konsekuwen”. Inilah slogan orde baru kala itu. Kondisi bangsa Indonesia kala itu sedang bergejolak. DPRGR mengeluarkan ‘resolusi’ agar MPRS mengadakan sidang istimewa, meminta pertanggungjawaban Presiden. Pada Maret 1967 MPRS melakukan sidang istimewa, memutuskan: 1. Memberhentika Ir. Soekarno sebagai Presiden. 2. Mengangkat Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Pada awal kepemimpinan Soeharto, bangsa Indonesia merasakan benar adanya perubahan dan peningkatan di berbagai bidang kehidupan. Terutama dengan program- program pembangunan yang di susun dalam GBHN dan jabarkan dengan REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). (Drs. H. Kaelan, MS). Lambat laun program itu bergeser arah. Bukan lagi untuk kepentingan rakyat melainkan untuk “kekuasaan”. Ambisi kekuasan orde baru menjalar ke keluruh sendi kehidupan, sehingga menjadi “otoriter”. Pancasila dan UUD’45 ditafsirkan secara manipulatif demi “legitimasi kekuasaan”. Manipulasi tafsir Pancasila dan UUD’45 guna mendapatkan legitimasi kekuasaan Orde Baru, dikemas secara formal dan dituangkan dalam ketetapan MPR dan Undang-Undang. Contoh: Tap. MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4; UU No 5/1975 dan UU No 2/1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD; UU No 3/1975 jo UU No 3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. (Drs. H. Kaelan, MS). Kekuasan politik orde baru di bawah Soeharta makin tidak terkontrol. Korupsi, Kolusi, Nepotisme semakin nyata dalam praktik kenegaraan. Ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia (di Asia Tenggara) lalu berkembang menjadi krisis kepercayaan dan krisis politik, yang berujung lengsernya Presiden Soeharto di tahun 1998 bulan Mei tanggal 21. Prof. Dr. Bj. Habibie kala itu sebagai Wakil Presiden, menggantikan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Masa pemerintahan Bj. Habibie sangat singkat, maka disebut masa transisi. 4. Era Reformasi. Ketika kehidupan masyarakat semakin sulit akibat krisis ekonomi dunia dan prakti kenegaraan semakin terasa aroma KKN-nya. Munculah gerakan masyarakat yang dipelopori oleh “generasi muda” terutama “mahasiswa” di tahun 1998. Sebagai suatu “gerakan moral” yang memiliki kekuatan luar biasa, menuntut adanya “Reformasi” di segala bidang terutama di bidang “politik, ekonomi, dan hukum”. Secara harafiah “reformasi” merupakan akronim dari kata “Re: kembali”, dan “Formasi: susunan atau tatanan”. Jadi reformasi: tuntutan untuk kembali kepada susunan/tatanan yang sebenarnya. Yang dimaksut “tatanan sebenarnya” ialah yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hasil awal “reformasi”: Soeharto turun dari jabatannya sebagai Presiden, pada tanggal 21 Mei 1998. Digantikan oleh Prof. Dr. Bj. Habibie yang waktu itu sebagai Wakil Presiden. Pelaksanaan reformasi politik dengan menggunakan mekanisme peraturan perundang-undangan. Maka dari itu diidentifikasi pula bahwa, salah satu faktor pendorong penyimpangan orde baru juga disebabkan oleh adanya beberapa pasal dalam UUD’45 dapat diinterpretasikan secara ganda (multi interpretable). Sehingga muncul dorongan untuk melakukan “amandemen” terhadap pasal-pasal dalam UUD’45. Berbagai produk hukum hasil reformasi diantaranya: UU No 2/1999 tentang Partai Politik; UU No 3/1999 tentang Pemilu; UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD; UU No 25/1999 tentang Pemerintahan Daerah; UU No 26/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah; UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari KKN; dan menyelenggarakan Pemilu tahun 1999 menghasilkan MPR, DPR, dan DPRD; dan melakukan “amandemen UUD’45” yang pertama tahun 1999, kedua tahun 2000, ketiga 2001, dan keempat tahun 2002. Hingga sekarang, keberhasilan reformasi masih dalam pendapat yang terbelah dua; pro dan kontra. Bagi yang pro penguasa, dengan berbagai dalih dan argumentasi akan mengklim sudah dalam jalur yang tepat. Sedang yang kontra, ada yang menyebut “reformasi kebablasan”, kehilangan arah, bahkan “reformasi penguasaan”. Di bidang pendidikan saja pernah mata pelajaran Pendidikan Pancasila terpinggirkan dalam kurikulum, terutama di perguruan tinggi. Mengenai Pancasila dasar negara, tetap direduksi untuk kepentingan penguasa. Pembentukan BPIP (Badan Penyangga Idiologi Pancasila) boleh ditafsirkan sebagai pertanda reduksi terhadap Pancasila Dasar Negara. Jika tidak, mestinya yang dibentuk adalah “Badan Penguatan Dasar Negara” alias BPDN.