Anda di halaman 1dari 108

M O D UL

P S I K O S OS I A L D A N BUDAYA D A L A M
KEPERAWATAN
WAT DIII. 09 B O B O T 2 S K S ( T = 2 )
KU R I KUL U M 2013

O le h :

Oleh
.............................................

Disajikan Pada
Proses Belajar Mengajar Semester I (SATU)
DIPLOMA III Jurusan Keperawatan

POLITEKNIK KESEHATAN GORONTALO


KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2017/2018
A. Kata Pengantar

Puji dan syukur patut kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas petunjuk,
rahmat dan karunia-Nya, sehingga Modul Psikososial dan Budaya dalam Keperawatan dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang
menyebabkan arus komunikasi dan transportasi semakin meningkat dan hal tersebut sangat
berpotensi mempengaruhi kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Dampak dari
meningkatnya arus transportasi, dapat meningkatkan tingginya perpindahan penduduk dari desa
ke kota, dari kota ke kota yang lain bahkan dari satu negara ke negara yang lain. Selain itu
tingginya kunjungan turis asing dari satu negara ke negara yang lain, dapat berpotensi
membawa bibit penyakit seingga terjadinya penularan penyakit. Karena itu tidak jarang kita
melihat klien yang dirawat disetiap Rumah Sakit khususnya didaerah-daerah wisata tidak hanya
penduduk lokal/masyarakat Indonesia tetapi juga mereka yang berasal dari manca negara yang
notebene kebudayaan mereka sangat berbeda dengan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Untuk itulah diperlukan materi psikososial dan budaya dalam keperawatan dimasukan
kedalam kurikulum pendidikan profesi Ners, agar mahasiswa dapat dibekali dengan ilmu dan
keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien berdasarkan pendekatan
psikososial dan budaya.
Modul ini berisi materi tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang
mencakup konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan,
kematian dan berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan,
masyarakat rumah sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan
perilaku pasien, respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif transkultural,
diversity dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya, aplikasi
transkultural nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan transkultural
dalam berbagai masalaha kesehatan pasien.
Semoga Modul ini dapat membantu mahasiswa dan memberi inspirasi dalam
menerapkan penyusunan asuhan keperawatan dengan pendekatan konsep psikososial dan
budaya dari setiap klien yang dirawat di Rumah Sakit maupun di Puskesmas dan semoga dapat
bermanfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa.
Penulis,
B. Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar.................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................... ii
Standar kompetensi ..............................................................................................
Deskripsi Umum
Peta kedudukan modul ..........................................................................................
Petunjuk penggunaan modul .................................................................................
Glosarium ...........................................................................................................
BAB I : Psikososial dan budaya dalam keperawatan ………………………………. 1

C. Capaian Pembelajaran
Setelah mengikuti mata kulian ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
psikososial dalam praktik keperawatan, konsep antropologi kesehatan dan dapat
menerapkan keperawatan transkultural dalam membuat asuhan keperawatan pada klien
dengan baik dan benar.
D. Deskripsi Umum
Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep psikososial dalam praktik keperawatan yang
mencakup konsep diri, kesehatan spiritual, seksualitas, stress adaptasi, konsep kehilangan,
kematian dan berduka, konsep teoritis Antropologi kesehatan mencakup kebudayaan,
masyarakat rumah sakit dan kebudayaan, etiologi penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan
perilaku pasien, respoon sakit/nyeri pasien serta konsep globalisasi dan perspektif
transkultural, diversity dalam masyarakat, teori culture care leininger,pengkajian budaya,
aplikasi transkultural nursing sepanjang daurkehidupan manusia, aplikasi keprawatan
transkultural dalam berbagai masalaha kesehatan pasien.
Proses belajar memberikan pangalaman pemahaman tentang psikososial dan budaya dalam
keperawatan melalui kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah, tanya
jawab, diskusi, penugasan, jigsaw, round club, student facilitator.

E. Peta Kedudukan Modul


.................................................................................................................
F. Petunjuk Penggunaan Modul
Untuk lebih cepat memahami materi yang terdapat dalam modul ini, setiap mahasiswa
perlu mencermati beberapa petunjuk penggunaan sebagai berikut :
1. Siapkan hati dan pikiran kita untuk memulai dan mempelajari setiap pokok bahasan
yang terdapat modul ini
2. Jangan tergesa-gesa membaca materi yang ada dalam modul ini, sebaliknya bacalah
setiap item yang terdapat dalam modul ini dengan cermat, sehingga apa makna
yangterkandung dalam setiap pokok dan sub pokok bahasan dapat dimengerti dengan
baik dan benar
3. Pada saat saudara membaca modul ini, siapkan terlebih dahulu alat tulis dan buku
catatan, sehingga ketika saudara membaca dan menemukan ada hal-hal penting, maka
saudara segera mencatat dalam buku catatan yang sudah disiapkan
4. Jika menemukan istilah yang tidak dimengerti, silahkan cari di kamus dan atau
diinternet sehingga saudara dapat mengerti maksud dari istilah tersebut
5. Sebaiknya ketika saudara membaca modul ini, ajaklah teman saudara sebagai teman
untuk berdiskusi sehingga materi yang dibaca dapat dipahami dan dapat dijelaskan
kepada teman atau kepada dosen pada saat dilakukan quis
6. Jika ada materi yang tidak dapat dipahami setelah berdiskusi dengan teman-teman,
catatlah materi tersebut untuk selanjutnya dapat ditanyakan kepada dosen pengampu
mata kuliah pada saat dikelas.
7. Buatlah rangkuman materi untuk setiap pokok dan sub pokok bahasan untuk membantu
memudahkan saudara mendalami materi.
8. Khuusus untuk pokok bahasan tentang asuhan keperawatan berbasis transkultural
hendaknya saudara melatih diri dengan membuat kasus-kasus semu dan atau kasus nyata
hasil pangkajian saudara dilahan praktik.

G. Glosarium
...................................................................................................................
BAB I : PSIKOSOSIAL DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
KEGIATAN PEMBELAJARAN 1
Konsep Diri Dan Kesehatan Spiritual

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep diri dan kesehatan spiritual mencakup
pengertian konsep diri, macam konsep diri, komponen konsep diri, pengertian
spiritual, dimensi spiritual, keterkaitan antara spiritual-kesehatan-sakit, factor yang
mempengaruhi spiritualitas, pasien yang membutuhkan dukungan spiritual, masalah
kebutuhan spiritual, macam-macam distress spiritual dan askep spiritual.

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian konsep diri dan komponen konsep diri
b. Mampu menjelaskan pengertian spiritual
c. Mampu menjelaskan keterkiatan antara spiritual-kesehatan-sakit
d. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi spiritual
e. Mampu menjelaskan pasien yang membutuhkandukungan spiritual
f. Mampu menjelaskan masalah kebuthan spiritualdan macam-macam distres
g. Mampu menyusun askep spiritual
B. Penyajian
1. Uraian materi konsep diri
a. Pengertian konsep diri
Konsep Diri didefenisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang
merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungan
dengan orang lain (Stuart & Sundeen 2005).
Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, fisikal, emosional,
intelektual, sosial dan spiritual (Keliat, 2005).
Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan pencampuran yang kompleks dari
perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar. Konsep diri memberi kita
kerangka acuan yang mempengaruhi manejemen kita terhadap situasi dan hubungan
kita dengan orang lain (Potter & Perry, 2005)
b. Macam-macam konsep diri
Dua macam konsep diri adalah sebagai berikut :

1) konsep diri negatif : peka pada kritik, responsif sekali pada pujian, hiperkritis,
cenderung merasa tidak disenangi orang lain, bersikap pesimitis pada
kompetensi.

2) konsep diri positif : yakin akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara
dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, sadar akan keinginan dan
perilaku tidak selalu disetujui oleh orang lain, mampu memperbaiki diri.

c. Hal-hal yang perlu dipahami tentang konsep diri adalah :

1) Dipelajari melalui pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain.


2) Ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan(positif).

3) Negatif ditandai dengan hubungan individu dan sosial yang mal adaptif.

4) Merupakan aspek kritikal yang mendasar dan pembentukan perilaku individu.

d. Hal-hal yang penting dalam konsep diri adalah :

5) Nama dan panggilan anak.

6) Pandangan individu terhadap orang lain.

7) Suasana keluarga yang harmonis.

Penerimaan keluarga
e. Komponen konsep diri
Konsep diri terdiri dari Citra Tubuh (Body Image), Ideal Diri (Self ideal), Harga
Diri (Self esteem), Peran (Self Rool) dan Identitas(self idencity).

8) Citra Tubuh (Body Image)

Body Image (citra tubuh) adalah sikap individu terhadap dirinya baik disadari
maupun tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai
ukuran dan dinamis karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi dan
pengalaman-pengalaman baru.
Body image berkembang secara bertahap selama beberapa tahun dimulai sejak
anak belajar mengenal tubuh dan struktur, fungsi, kemampuan dan keterbatasan
mereka. Body image (citra tubuh) dapat berubah dalam beberapa jam, hari,
minggu ataupun bulan tergantung pada stimuli eksterna dalam tubuh dan
perubahan aktual dalam penampilan, stuktur dan fungsi (Potter & Perry, 2005).

2) Ideal Diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah


laku berdasarkan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan tipe orang
yang diinginkan/disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan, nilai yang diraih.
Ideal diri akan mewujudkan cita-cita ataupun penghargaan diri berdasarkan
norma-norma sosial di masyarakat tempat individu tersebut melahirkan
penyesuaian diri. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu
individu mempertahankan kemampuan menghadapi konflik atau kondisi yang
membuat bingung. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan
keseimbangan mental.
Pembentukan ideal diri dimulai pada masa anak-anak dipengaruhi oleh orang
yang dekat dengan dirinya yang memberikan harapan atau tuntunan tertentu.
Seiring dengan berjalannya waktu individu menginternalisasikan harapan
tersebut dan akan membentuk dari dasar ideal diri. Pada usia remaja, ideal diri
akan terbentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman. Pada
usia yang lebih tua dilakukan penyesuaian yang merefleksikan berkurangnya
kekuatan fisik dan perubahan peran serta tanggung jawab.
2) Harga Diri

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya.
Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain yaitu : dicintai, dihormati
dan dihargai. Mereka yang menilai dirinya positif cenderung bahagia, sehat,
berhasil dan dapat menyesuaikan diri, sebaliknya individu akan merasa dirinya
negative, relatif tidak sehat, cemas, tertekan, pesimis, merasa tidak dicintai atau
tidak diterima di lingkungannya (Keliat BA, 2005).
Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri
akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Harga diri akan sangat
mengancam pada saat pubertas, karena pada saat ini harga diri mengalami
perubahan, karena banyak keputusan yang harus dibuat menyangkut dirinya
sendiri.

3) Peran

Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan
oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi individu di dalam kelompok sosial.
Setiap orang disibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisi
pada tiap waktu sepanjang daur kehidupannya. Harga diri yang tinggi merupakan
hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri.

4) Identitas Diri

Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu
dari observasi dan penilaian dirinya, menyadari bahwa individu dirinya berbeda
dengan orang lain. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat
akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, dan tidak ada duanya.
Identitas berkembang sejak masa kanak-kanak, bersamaan dengan berkembangnya
konsep diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri,
respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri

Daftar Pustaka

Keliat, Budi Anna, Dkk. 2005 . Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi 2.
Jakarta: EGC

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC

Stuart, Gail & Sundeen, Sandra. 2005. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
EGC
2. Uraian Materi konsep spiritual
a. Pengertian spiritual

Spiritualitas merupakan sesuatu yg di percayai oleh seseorang dlm hubunganya dgn


kekuatan yg lebih tinggi (tuhan), yg menimbulkan suatu kebutuhan serta kecintaan
thdp adanya Tuhan dan permohonan maaf atas segala kesalahan yg pernah
diperbuat.

Tdk selamanya dgn tuhan à animisme dinamisme .

Menurut Burkhardt (1993) Spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut:

a) Berhubungan dgn sesuatu yg tdk diketahui atau ketidakpastian dlm kehidupan.

b) Menemukan arti dan tujuan hidup.

c) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dlm diri


sendiri.

d) Mpy perasaan keterikatan dgn diri sendiri dan dengan Yg Maha Tinggi.

e) Stoll (1989)

b. Dimensi spiritual

Spiritualitas sbg konsep dua dimensi: dimensi VERTIKAL adalah hubungan dgn
Tuhan atau Yang Maha Tinggi yg menuntun kehidupan seseorang, sedangkan
dimensi HORIZONTAL adalah hubungan seseorang dgn diri sendiri, orang lain
dan dgn lingkungan.

(Carson, 1989). Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau


mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk
mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa
percaya dgn Tuhan
c. Keterkaitan antara spiritual-kesehatan-sakit

Keterkaitan spiritualitas- kesehatan –sakit, keyakinan spiritual sngat penting krn


dpt mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku selfcare klien.

Pengaruh dari keyakinan spiritual yg perlu dipahami adalah sebagai berikut:


1) Menuntun kebiasaan hidup

Praktik tertentu pd umumnya yg berhubungan dgn pelayanan keseh mungkin


mpyai makna keagamaan bagi pasien.

Sebagai contoh, ada agama yg menetapkan makanan diit yg boleh dan tidak
boleh dimakan. Begitu pula metode keluarga berencana ada agama yg melarang
cara tertentu untuk mencegah kehamilan termasuk terapi medik atau
pengobatan.
2) Sumber dukungan

Pada saat mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari keyakinan
agamanya.

Dukungan ini sangat diperlukan untuk dpt menerima keadaan sakit yg dialami,
khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yg lama dgn
hasil yg blm pasti.

Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci, dan praktik keagamaan lainnya
sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual yg juga merupakan suatu
perlindungan terhadap tubuh.

3) Sumber kekuatan dan penyembuhan

individu cenderung dpt menahan stress baik fisik maupun psikis yg luar biasa
karena mempunyai keyakinan yg kuat. Keluarga klien akan mengikuti semua
proses penyembuhan yg memerlukan upaya ekstra, karena keyakinan bahwa
semua upaya tersebut akan berhasil.

4) Sumber konflik

Pada suatu situasi tertentu, bisa terjadi konflik antara keyakinan agama dgn
praktik kesehatan.

Misalnya ada orang yg memandang penyakit sebagai suatu bentuk hukuman


karena pernah berdosa.

Ada agama tertentu yg menganggap manusia sebagai makhluk yg tidak berdaya


dlm mengendalikan lingkungannya, oleh karena itu penyakit diterima sbg nasib
bukan sebagai sesuatu yg harus disembuhkan

d. Faktor yg mempengaruhi spiritualitas

5) Perkembangan; semakin dewasa idealnya semakin matang tingkat spiritualitas


seseorang

6) Keluarga; memiliki peran yg sangat penting dalam memenuhi kebutuhan


spiritual, individu yg di besarkan dalam keluarga agama islam cenderung 90%
islam.

7) Ras/suku; di indonesia timur à irian jaya mayoritas beragama kristen aceh


mayoritas islam

8) Agama yg di anut; keyakinan pd agama ttt dpt menentukan arti pentingnya


kebutuhan spiritual

9) Kegiatan keagamaan; kegiatan agama dpt mengingatkan keberadaan dirinya dgn


tuhan, dan sll mndekatkan diri kpd penciptanya
e. Pasien yg membutuhkan dukungan spiritual

1) Pasien kesepian; Pasien dalam keadaan sepi dan tdk ada yg menemani akan
membutuhkan bantuan krn mereka merasakan tdk ada kekuatan selain kekuatan
tuhan, tdk ada yg menyertainya kecuali Tuhan.

2) pasien ketakutan dan cemas; adanya ketakutan dan kecemasan dpt menimbulkan
perasaan kacau, yg dpt membuat pasien membuutuhkan ketenangan pd dirinya,
dan ketenangan yg plg bsar adlh bersama tuhan.

3) pasien yg harus mengubah gaya hidup; pola gaya hidup dpt mengacaukan
keyakinan individu bila ke arah yg lbh buruk dan sebaliknya

f. Masalah kebutuhan spiritual

Distress spiritual à suatu keadaan ketika individu atau kelompok mengalami atau
beresiko mengalami gangguan dalam kepercyaan atau sistem nilai yg
memberikannya kekuatan, harapan dan arti kehidupan.

g. Macam – macam distres Spiritual

1) Spiritual yang sakit, yaitu kesulitan menerima kehilangan dari orang yang
dicintai atau dari penderitaan yang berat

2) Spiritual yang khawatir yaitu terjadinya pertentangan kepercayaan dan sistem


nilai seperti adanya aborsi

3) Spiritual yang hilang yaitu adanya kesulitan menemukan ketenangan dalam


kegiatan keagamaan.

h. Asuhan keperawatan spiritual

Pengkajian :

1) Sumber kekuatan : Tuhan


atau yg lain

2) Data umum : agama yg di


anut pasien / keyakinan

3) Bagaimana pasien
melaksanakan keyakinanya,
ada masalah?

4) Apakah sakit atau terluka


mempengaruhi keyakinan
anda?

5) Apakah anda mempunyai


pemimpin spiritual?

6) Apakah anda butuh


pemimpin spiritual?
9) Kaji tanda distres di atas

Diagnosa Keperawatan :

1. Distress spiritual b.d anxietas

Definisi : gangguan pada prinsip hidup yang meliputi semua aspek dari
seseorang yang menggabungkan aspek psikososial dan biologis

— 2. Koping inefektif b.d krisis situasi

Definisi : ketidakmampuan membuat penilaian yang tepat terhadap stressor,


pilihan respon untuk bertindak secara tidak adekuat dan atau ketidakmampuan
menggunakan sumber yang tersedia

Batasan karakteristik

Mayor (harus terdapat)

a. mengalami gangguan dlm sistem kepercayaan

Minor (mungkin terdapat)

a. menunjukkan kekecewaan atau putus asa

b. memilih tdk melakukan kebiasaan upacara


keagamaan

c. bertanya ttg arti kehidupan, kematian dan


penderitaan

d. mengungkapkan bahwa ia tdk memiliki alasan untuk hdp

Faktor yg berhubungan

e. kehilangan bagian atau fungsi tubuh

f. sakit terminal

g. penyakit2

h. nyeri

i. trauma/terluka

j. keguguran

k. amputasi

l. pembedahan/operasi

m. hambatan untuk melakukan ritual spiritual


INTERVENSI Diagnosa 1

a. kaji adanya indikasi ketaatan dalam beragama

b. tentukan konsep ketuhanan klien

c. kaji sumber-sumber harapan dan kekuatan pasisien

d. dengarkan pandangan pasien tentang hubungan spiritiual dan kesehatan

e. nilai dampak situasi kehidupan terhadap peran

f. evaluasi kemampuan pasien dalam membuat keputusan

g. anjurkan klien menggunakan tehnik relakssi

h. berikan pelatihan ketrampilan sosial yang sesuai

i. libatkan sumber – sumber yang ada untuk mendukung pemberian pelayanan


kesehatan

EVALUASI

Evaluasi thdp masalah spiritual dpt di nilai dari

Mampu beristirahat dengan tenang

Menyatakan penerimaan keputusan moral

Mengekspresikan rasa damai

Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka

Menunjukkan sikap efektif tanpa rasa marah, rasa bersalah dan ansietas

Menunjukkan prilaku lebih positif

Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya

Daftar Pustaka
i. Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi
Kesehatan, Cetakan Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
j. Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan
Transkultural,
Cetakan Pertama, Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
c. Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi
Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I,
Pustaka Rihama, Yogyakarta.
d. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan
Pendekatan Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta
e. Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
f. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli
kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
g. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing :
Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill
Companies

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi konsep diri dan kesehatan spiritual
melalui buku-buku maupun jurnal.
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi konsep diri dan
kesehatan spiritual untuk di presentasikan

C. Penutup
1. Evaluasi dan Kunci Jawaban
a. Jelaskan pengertian konsep diri
b. Jelaskan macam-macam konsep diri, komponen konsep diri
c. Jelaskan pengertian konsep kesehatan spiritual
d. Jelaskan dimensi spiritual, keterkaitan spiritual-kesehatan dan sakit
e. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas

2. Lembar Kejra Mahasiswa .


Mata Kuliah ......................
Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%
KEGIATAN PEMEBELAJARAN 2 & 3
Konsep Seksual, Konsep Stres Adaptasi, Konsep Kehilangan, Kematian Dan Berduka

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep seksualitas mencakup : pengertian, sikap
terhadap seksualitas, respon seksual, kehamilan dan seksualitas, masalah yang
berhubungan dengan seksualitas, seksualitas dalam keperawatan, konsep stres adaptasi
mencakup : pengertian, manifestasi stress, factor yang mempengaruhi, adaptasi, proses
keperawatan stress management untuk perawat.

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian seksualitas
b. Mampu menjelaskan respon seksual
c. Mampu menjelaskan kehamilan dan seksualitas
e. Mampu menjelaskan masalah yang berhubungan seksualitas
f. Mampu menjelaskan seksualitas dalam keperawatan
g. Mampu menjelaskan pengertian stres adaptasi
h. Mampu menjelaskan manifestasi stres
i. Mampu menjelaskan faktor penyebab stres
j. Mampu menjelaskan faktor yang mempengaruhi stres
k. Mampu menyusun proses keperawatan stres mamagement.

B. Penyajian
1. Uraian Materi Seksualitas
a. Pengertian seksualitas
Seksualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang
berhubungan dengan alat reproduksi. (Stevens: 1999). Sedangkan menurut WHO
dalam Mardiana (2012) seksualitas adalah suatu aspek inti manusia sepanjang
kehidupannya dan meliputi seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual,
erotisme, kenikmatan, kemesraan dan reproduksi.
Seksualitas adalah komponen identitas personal individu yang tidak terpisahkan dan
berkembang dan semakin matang sepanjang kehidupan individu. Seksualitas tidak
sama dengan seks. Seksualitas ialah interaksi faktor-faktor biologis, psikologi
personal, dan lingkungan. Fungsi biologis mengacu pada kemampuan individu
untuk memberi dan menerima kenikmatan dan untuk bereproduksi. Identitas dan
konsep diri seksual psikologis mengacu pada pemahaman dalam diri individu
tentang seksualitas seperti citra diri, identifikasi sebagai pria atau wanita, dan
pembelajaran peran-peran maskulin atau feminin. Nilai atau aturan sosio budaya
membantu dalam membentuk individu berhubungan dengan dunia dan bagaimana
mereka memilih berhubungan seksual dengan orang lain. (Bobak: 2004)
2 aspek seksualitas:
1. Seksualitas dalam arti sempit
Dalam arti sempit seks berarti kelamin. Yang termasuk dalam kelamin adalah
sebagai berikut:
a. Alat kelamin itu sendiri
b. Kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya
alat kelamin
c. Anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan
perempuan
d. Hubungan kelamin
2. Seksualitas dalam arti luas
Segala hal yang terjadi akibat dari adanya perbedaan jenis kelamin antara lain:
a) Perbedaan tingkah laku: lembut, kasar, genit, dll
b) Perbedaan atribut: pakaian, nama, dll
c) Perbedaan peran. (Mardiana: 2012)
b. Fungsi Seksualitas
1) Kesuburan
Pada beberapa kebudayaan, seorang wanita muda mungkin merasakan adanya
keinginan yang kuat untuk membuktikan kesuburannya bahkan walaupun ia
sebenarnya belum menginginkan anak pada tahap kehidupannya saat itu. Ini
adalah macam masyarakat yang secara tradisional wanita hanya dianggap layak
dinikahi apabila ia sanggup membuktikan kesuburannya.
2) Kenikmatan
Mungkin pendorong primer atau mendasar perilaku seksual adalah kenikmatan
atau kesenangan yang dirasakan yaitu suatu kombinasi kenikmatan sensual dan
kenikmatan khas seksual yang berkaitan dengan orgasme.
3) Mempererat ikatan dan meningkatkan keintiman pasangan
Dalam suatu pertalian seksual yang ekslusif, pasangan melakukan secara
bersama-sama hal-hal yang tidak ingin mereka lakukan dengan orang lain. Ini
adalah esensi dari keintiman seksual. Efektivitas seks dalam memperkuat
keintiman tersebut berakar dari risiko psikologis yang terlibat; secara khusus,
resiko ditolak, ditertawakan, mendapati bahwa dirinya tidak menarik, atau
kehilangan kendali dapat memadamkan gairah pasangan.
4) Menegaskan maskulinitas atau feminitas
Sepanjang hidup kita, terutama pada saat-saat identitas gender terancam karena
sebab lain (mis., saat menghadapi perasaan tidak diperlukan atau efek penuaan),
kita mungkin menggunakan seksualitas untuk tujuan ini.
5) Meningkatkan harga diri
Merasa secara seksual bagi orang lain, atau berhasil dalam upaya seksual, secara
umum dapat meningkatkan harga diri.
6) Mencapai kekuasaan atau dominasi dalam hubungan
Kekuasaan (power) seksualitas cenderung dianggap sebagai salah satu aspek
maskulinitas, dengan pria, baik karena alasan sosial maupun fisik, biasanya
berada dalam posisi dominan. Namun, seks dapat digunakan untuk
mengendalikan hubungan baik oleh pria dan wanita dan karenanya sering
merupakan aspek penting dalam dinamika hubungan. Kekuasaan tersebut
mungkin dilakukan dengan mengendalikan akses ke interaksi seksual,
menentukan bentuk pertalian seksual yang dilakukan, dan apakah proses
menimbulkan efek positif pada harga diri pasangan. Sementara dapat terus
menjadi faktor dalam suatu hubungan yang sudh berjalan, hal ini juga
merupakan aspek yang penting dan menarik dalam perilaku awal masa
“berpacaran”.
7) Mengungkapkan permusuhan
Aspek penting dalam masalah “dominasi” pada interaksi seksual pria-wanita
adalah pemakaian seksualitas untuk mengungkapkan permusuhan. Hal ini
paling relevan dalam masalah perkosaan dan penyerangan seksual. Banyak kasus
penyerangan atau pemaksaan seksual dapat dipandang sebagai perluasan dari
dominasi atau kekuasaan, biasanya oleh pria terhadap wanita. Juga terdapat
keadaan-keadaan dengan penyerangan seksual dapat dipahami sebagai suatu
ungkapan kemarahan, baik terhadap wanita itu sendiriatau terhadap wanita itu
sebagai pengganti wanita lain.
8) Mengurangi ansietas atau ketegangan
Menurunnya gairah yang biasanya terjadi setelah orgasme dapat digunakan
sebagai cara untuk mengurangi ansietas atau ketegangan.
9) Pengambilan resiko
Interaksi seksual menimbulkan berbagai risiko, berkisar dari yang relatif ringan,
misalnya ketahuan, sampai serius misalnya hamil atau infeksi menular seksual.
Adanya resiko tersebut menjadi semakin bermakna dan mengganggu dengan
terjadinya epidemi HIV dan AIDS. Bagi sebagian besar orang, kesadaran adanya
resiko akan memadamkan respon seksual sehingga mereka mudah menghindari
resiko tersebut. Namun, bagi beberapa individu, gairah yang berkaitan dengan
persepsi resiko malah meningkatkan respons seksual. Untuk individu yang
seperti ini, resiko seksual menjadi salah satu bentuk kesenangan yang dicari.
10. Keuntungan materi
Prostitusi adalah bentuk yang jelas dari aktivitas seksual untuk memperoleh
keuntungan dan hal ini sering merupakan akibat dari kemiskinan. Pernikahan,
sampai masa ini masih sering dilandasi oleh keinginan untuk memperoleh satu
bentuk perlindungan dan bukan semata mata ikatan emosional komitmen untuk
hidup bersama. ( Glasier: 2005 )
c. Kesehatan Seksualitas
Kesehatan seksual adalah kemampuan seseorang mencapai kesejahteraan fisik,
mental dan sosial yang terkait dengan seksualitas, hal ini tercermin dari ekspresi
yang bebas namun bertanggung jawab dalam kehidupan pribadi dan sosialnya
misalnya dalam menjaga hubungan dengan teman atau pacar dalam batasan yang
diperbolehkan oleh norma dalam masyarakat atau agama. Bukan hanya tidak
adanya kecacatan, penyakit atau gangguan lainnya. Kondisi ini hanya bisa dicapai
bila hak seksual individu perempuan dan laki-laki diakui dan dihormati (BKKBN,
2006).
d. Pertumbuhan Dan Perkembangan Seks Manusia
Pertumbuhan dan perkembangan seks manusia disebut libido. Terdiri dari beberapa
tahap yaitu:
10) Tahap oral: Sampai mencapai umur sekitar 1-2 tahun, tingkat kepuasan
seks dengan menghisap puting susu ibu, dot botol, menghisap jari tangan,
Dengan bayi baru dapat tidur setelah disusui ibu, menghisap botol atau tidur
sambil menghisap jarinya. Oleh karena itu perilaku demikian tidak perlu
dilarang.
11) Tahap anal: Kepuasan seks anak didapat melalui rangsangan anus saat buang air
besar, antara umur 3-4 tahun sering duduk lama ditoilet, sehingga kepuasannya
tercapai.
12) Tahap falik: Terjadi sekitar umur 4-5 tahun, dengan jalan mempermainkan alat
kelaminnya.
13) Tahap laten: Terjadi sekitar umur 6-12 tahun. Tingkah laku seksual seolah-olah
terbenam, karena mungkin lebih banyak bermain, mulai masuk sekolah, dan
adanya pekerjaan rumah dari sekolah, Sehingga anak-anak cepat lelah dan lekas
tertidur, untuk siap bangun pagi dan pergi ke sekolah.
5) Tahap genital: Umur anak sekaitar 12-15 tahun. Tanda seks sekunder mulai
berkembang dan keinginan seks dalam bentuk libido mulia tampak dan terus
berlangsung sampai mencapai usia lanjut. Suara mulai berubah, keinginan dipuja
dan memuja mulai muncul, keingian dicumbu dan mencumbu pun mulai
tampak. Saat ini masa yang sangat berbahaya, sehingga memerlukan perhatian
orang tua. Pada wanita telah mulai dating bulan (menstruasi) dan pria mulai
mimpi basah sehingga dapat menyebabkan kehamilan atau hamil bila mereka
melakukan hubungan seksual. Karena kematangan jiwa dan jasmani belum
mencapai tingkat dewasa, sehingga bila terjadi kehamilan yang tidak dihendaki,
memberikan dampak kejiwaan yang sangat menyedihkan. (chandranita :2009)
Berkembangnya seksualitas dan pertalian seksual
a) Remaja
Pada awal masa remaja, sebagian besar seksualitas berkaitan dengan
penegasan identitas gender dan harga diri. Pada saat awitan pubertas terjadi
perubahan-perubahan di tubuh yang berlangsung tanpa dapat diduga
sementara perubahan-perubahan hormon menimbulkan dampak pada
reaktivitas emosi.
b) Pasangan dan awal perkawinan
Setelah perkawinan dimulai, tantangannya adalah membangun rasa aman
dalam pertalian seksual yang juga mulai kehilangan pengaruh “pengalaman
barunya”. Pada tahap inilah membangun komunikasi yang baik menjadi
sangat penting untuk kelanjutan perkembangan pertalian seksual. Apabila
pasangan tidak mengembangkan cara-cara yang memungkinkan pasangannya
mengetahui apa yang mereka nikmati dan apa yang tidak menyenangkan
maka akan muncul masalah yang seharusnya dapat dihadapi dan dipecahkan.
c) Awal menjadi orang tua
Kehamilan, dan beberapa bulan setelah kelahiran, menimbulkan kebutuhan
lebih lanjut akan penyesuaian seksual. Wanita besar kemungkinannya
mengalami penurunan keinginan seksual dan kapasitas untuk menikmati seks
menjelang akhir kehamilnya karena terjadinya perubahan-perubahan fisik dan
mekanis. Periode pascanatal, karena berbagai alasan merupakan salah satu
periode saat munculnya kesulitan-kesulitan seksual yang apabila pasangan
obesitas belum mengembangkan metode-metode yang sesuai untuk
mengatasinya, dapat menimbulkan kesulitan berkepanjangan. Masalah jangka
panjang yang paling sering dalam hali ini adalah hilangnya gairah seksual
pihak wanita.
4) Usia paruh baya
Seksualitas pada hubungan yang sudah terjalin lama biasanya menghadapi
hambatan yang berbeda-beda. Pada tahap ini sesuatu yang baru dalam
hubungan seksual telah lama hilang. Bagi banyakorang halini tidak
menimbulkan masalah. Mereka telah mengembangkan bentuk kenyamanan
intimasiseksual lain yang tetap menjadi bagian integral dari hubungan
mereka. Tetapi bagi yang lain, kualitas hubungan seksual yang rutin ini akan
memakan korban. Pada keadaan seperti ini stress di tempat kerja misalnya
akan mudah menyebabkan kelelahan dan memadamkan semua antusiasme
spontan untuk melakukan aktivitas seksual. Hubungan intim menjadi jarang
dilakukan dan sebagai konsekuensinya dapat timbul ketegangan dalam
hubungan pasangan tersebut.
Pada kelompok yang lebih tua lagi masalah seksual yang kita hadapi terutama
adalah masalah ereksi pada pria dan hilangnya minat seksual pada
wanita. Proses penuaan memang menimbulkan dampak pada seksualitas
tetapi tentu tidak selalu negatif. Pasangan pada usia ini lebih kecil
kemungkinannya meminta pertolongan dalam konteks keluarga berencana
atau kesehatan reproduksi (Glasier: 2005)
e. Respon Seksualitas
Siklus respon seksual normal terdiri dari empat tahap yang terjadi berturut-
turut. “Normal” pada umumnya mengacu pada panjang siklus masing-masing
fase, dan hasil bercinta yang memuaskan. Empat tahapan siklus respon seksual
:
1) Fase kegembiraan adalah tahap pertama, yang dapat berlangsung dari
beberapa menit sampai beberapa jam. Beberapa karakteristik dari fase
kegembiraan meliputi:
a) Peningkatan ketegangan otot
b) Peningkatan denyut jantung
c) Perubahan warna kulit
d) Aliran darah ke daerah genital
e) Mulainya pelumasan Vagina
f) Testis membengkak dan skrotum mengencang
2) Fase plateau adalah fase yang meluas ke ambang orgasme. Beberapa
perubahan yang terjadi dalam fase ini meliputi:
a) Fase kegembiraan meningkat
b) Peningkatan pembengkakan dan perubahan warna vagina
c) Klitoris menjadi sangat sensitive
d) Testis naik ke dalam skrotum
e) Adanya peningkatan dalam tingkat pernapasan, denyut jantung, dan
tekanan darah
f) Meningkatnya ketegangan otot dan terjadi kejang otot
3) Fase orgasme adalah puncak dari siklus respons seksual, dan merupakan
fase terpendek, hanya berlangsung beberapa detik. Fase ini memiliki
karakteristik seperti berikut:
a) Kontraksi otot tak sadar
b) Memuncaknya denyut jantung, tekanan darah, dan tingkat pernapasan
c) Pada wanita, kontraksi otot vagina menguat dan kontraksi rahim
berirama
d) Pada pria, kontraksi otot panggul berirama dengan bantuan kekuatan
ejakulasi
e) Perubahan warna kulit ekstrem dapat terjadi di seluruh tubuh
4) Tahap terakhir, yang disebut fase resolusi, adalah ketika tubuh secara
perlahan kembali ke tingkat fisiologis normal. Fase resolusi ditandai dengan
relaksasi, keintiman,dan seringkali kelelahan. Sering kali perempuan tidak
memerlukan fase resolusi sebelum kembali ke aktivitas seksual dan
kemudian orgasme, sedangkan laki-laki memerlukan waktu pemulihan
sebelum orgasme selanjutnya. Seiring pertambahan usia laki-laki, panjang
dari fase refraktori akan sering meningkat.
f. Dimensi seksualitas
Seksualitasmemiliki dimensi-dimensi.Dimensi-dimensi Seksualitasseperti
sosiokultural,dimensi agamadanetik,dimensi psikologisdandimensi biologis (Perry
& Potter, 2005). Masing-masing dimensi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Dimensi Sosiokultural
Seksualitas dipengaruhi oleh norma dan peraturan kultural yang menentukan
apakah perilaku yang diterima di dalam kultur. Keragaman kultural secara global
menciptakan variabilitas yang sangat luas dalam norma seksual dan menghadapi
spectrum tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya termasuk cara dan
perilaku yang diperbolehkan selama berpacaran, apa yang dianggap merangsang,
tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan dalam perilaku seksual, dengan siapa
seseorang menikah dan siapa yang diizinkan untuk menikah.
Setiap masyarakat memainkan peran yang sangat kuat dalam membentuk nilai
dan sikap seksual, juga dalam membentuk atau menghambat perkembangan dan
ekspresi seksual anggotanya. Setiap kelompok sosial mempunyai aturan dan
norma sendiri yang memandu perilaku anggotanya.
Peraturan ini menjadi bagian integral dari cara berpikir individu dan
menggarisbawahi perilaku seksual, termasuk, misalnya saja, bagaimana
seseorang menemukan pasangan hidupnya, seberapa sering mereka melakukan
hubungan seks, dan apa yang mereka lakukan ketika mereka melakukan
hubungan seks.
2) Dimensi Agama dan etik
Seksualitas juga berkaitan dengan standar pelaksanaan agama dan etik. Ide
tentang pelaksanaan seksual etik dan emosi yang berhubungan dengan
seksualitas membentuk dasar untuk pembuatan keputusan seksual. Spektrum
sikap yang ditunjukan pada seksualitas direntang dari pandangan tradisional
tentang hubungan seks yang hanya dalam perkawinan sampai sikap yang
memperbolehkan individu menentukan apa yang benar bagi dirinya. Keputusan
seksual yang melewati batas kode etik individu dapat mengakibatkan konflik
internal.
3) Dimensi Psikologis
Seksualitas bagaimana pun mengandung perilaku yang dipelajari. Apa yang
sesuai dan dihargai dipelajari sejak dini dalam kehidupan dengan mengamati
perilaku orangtua. Orangtua biasanya mempunyai pengaruh signifikan pertama
pada anak-anaknya.
Mereka sering mengajarkan tentang seksualitas melalui komunikasi yang halus
dan nonverbal. Seseorang memandang diri mereka sebagai makhluk seksual
berhubungan dengan apa yang telah orangtua mereka tunjukan kepada mereka
tentang tubuh dan tindakan mereka. Orangtua memperlakukan anak laki-laki dan
perempuan secara berbeda berdasarkan jender.
4) Dimensi Biologis
Seksualitas berkaitan dengan pebedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
yang ditentukan pada masa konsepsi. Material genetic dalam telur yang telah
dibuahi terorganisir dalam kromosom yang menjadikan perbedaan seksual.
Ketika hormone seks mulai mempengaruhi jaringan janin, genitalia membentuk
karakteristik laki-laki dan perempuan. Hormon mempengaruhi individu kembali
saat pubertas, dimana anak perempuan mengalami menstruasi dan
perkembangan karakteristik seks sekunder, dan anak laki-laki mengalami
pembentukan spermatozoa (sperma) yang relatif konstan dan perkembangan
karakteristik seks sekunder.
g. Permasalahan Seksualitas
Adapun penyebab dari masalah seksualitas adalah antara lain:
1) Ketidaktahuan mengenai seks
Lebih dari 70% wanita di Indonesia tidak mengetahui dimana letak klitorisnya
sendiri. Sebuah hal yang sebenarnya sangat penting tetapi tidak diketahui oleh
banyak orang. Masalah ketidaktahuan terhadap seks sudah betul-betul merakyat.
Ini berpangkal dari kurangnya pendidikan seks yang sebagian besar dari antara
masyarakat tidak memperolehnya pada waktu remaja. Tidak jarang, pengetahuan
seks itu hanyalah sebatas informasi, bukan pendidikan. Itu terjadi karena mereka
tidak mendapatkan pendidikan seks di sekolah atau lembaga formal lainnya.
Akibatnya, keingintahuan soal seks didapatkannya dari berbagai media. Untuk
itu orang tua hendaknya memberikan pendidikan soal seks kepada anak-anaknya
sejak dini. Salah satunya dengan memisahkan anak-anaknya tidur dalam satu
kamar setelah berusia sepuluh tahun, sekalipun sama-sama perempuan atau laki-
laki. Demikian halnya dengan menghindarkan anak- anaknya mandi bersama
keluarga atau juga teman-temannya.
Orang tua harus menjawab jujur ketika anaknya bertanya soal seks. Jawaban-
jawaban yang diberikan hendaknya mudah dimengerti dan sesuai dengan usia si
anak. Karena itulah, orang tua dituntut membekali dirinya dengan pengetahuan-
pengetahuan tentang seks. Terlebih lagi, perubahan fisik dan emosi anak akan
terjadi pada usia 13 – 15 tahun pada pria dan 12 – 14 tahun pada wanita. Saat
itulah yang dinamakan masa pubertas yaitu masa peralihan dari masa anak-anak
menjadi remaja. Pada saat itu pula, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya.
2) Kelelahan
Rasa lelah adalah momok yang paling menghantui pasangan pada jaman ini
dalam melakukan hubungan seks. Apalagi dengan meningkatnya tuntutan hidup,
sang wanita harus ikut bekerja di luar rumah demi mencukupi kebutuhan sehari-
hari. Pada waktu suami istri pulang dari kerja, mereka akan merasa lelah. Dan
pasangan yang sedang lelah jarang merasakan bahwa hubungan seks menarik
minat. Akhirnya mereka memilih untuk tidur. Kelelahan bisa menyebabkan
bertambahnya usaha yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan lawan jenis
dan merupakan beban yang membuat kesal yang akhirnya bisa memadamkan
gairah seks.
3) Konflik
Sebagian pasangan memainkan pola konflik merusak yang berwujud sebagai
perang terbuka atau tidak mau berbicara sama sekali satu sama lain. Konflik
menjadi kendala hubungan emosional mereka. Bahkan ini bisa menggeser proses
foreplay. Pasangan dapat mempertajam perselisihan mereka dengan menghindari
seks atau mengeluarkan ungkapan negatif atau membandingkan dengan orang
lain, yang sangat melukai perasaan pasangannya. Kemarahan dan kecemasan
yang tidak terpecahkan bisa menyebabkan sejumlah masalah seksual antara lain
masalah ereksi, hilang gairah atau sengaja menahan diri untuk tidak bercinta.
Perbedaan antara satu orang dan lainnya biasanya tidak baik dan tidak juga
buruk. Jadi haruslah dipandang hanya sebagai perbedaan. Kemarahan,
ketegangan atau perasaan kesal akan selalu menghambat gairah seks.
4) Kebosanan
Seperti halnya menggosok gigi atau menyetel alarm jam, seks bisa dianggap
seperti “kerja malam”. Hubungan seks yang rutin sebelum tidur sering menjadi
berlebihan sampai ke suatu titik yang membosankan. Yang mendasari rasa bosan
itu adalah kemarahan yang disadari atau tidak disadari karena harapan anda tidak
terpenuhi. Masalah ini diderita oleh kebanyakan pasangan yang sudah hidup
bersama bertahun-tahun. Sebagian pasangan yang sudah hidup bersama untuk
jangka waktu yang lama merasa kehilangan getaran kenikmatan yang datang
ketika melakukan hubungan seks dengan pasangan yang baru. Orang demikian
melihat rayuan penguat ego, dibandingkan bila bersenggama dengan mitra baru.
h. Membantu Kesulitan Seksual
Kemampuan yang dapat sangat membantu tidak hanya memfasilitasi pasien dalam
mengekspresikan kekhawatiran mereka mengenai kesulitan seksual, tetapi juga
dengan mendengarkan secara empati. Tidak jarang, ini merupakan pertama kali
pasien benar-benar mengutarakan masalah mereka dan mampu melakukannya,
makamasalah dan kemungkinan-kemungkinan penyebabnya lebih mudah dibawa ke
dalam perspektif. Pada banyak kasus, mungkin tidak tersedia informasi mengenai
respons seksual normal dan apa yang dapat diharapkan. Hal ini dapat dengan mudah
diperbaiki. Contoh-contoh umum adalah asumsi bahwa pasangan harus mencapai
orgasme bersama-sama atau bahwa pihak wanita harus mengalami orgasme hanya
melalui hubungan per vaginam.
Dengan cara berbicara dengan pasangan,kita dapat membantu mereka untuk lebih
memahami satu sama lain dan mengetahui arti pengalaman seksual bagi masing-
masing. Mendorong pasangan untuk berbicara secara lebih terbuka dan nyaman
mengenai perasaan-perasaan seksual mereka sering merupakan hal yang sangat
penting, karena cara tersebut dapat membuka jalan bagi pasangan untuk
menyelesaikan sendiri masalahnya. ( Glasier: 2005 )

2. Uraian materi Stres adaptasi


a. Pengertian stres
Stres adalah segala situasi di mana tuntunan non-spesifik mengharuskan seorang
individu untuk merespon atau melakukan tindakan ( Selye, 1976 ). Respon atau
tindakan ini termasuk respon fisiologis dan psikologis. Stresor adalah stimulus
yang mengawali atau mencetuskan perubahan.
1) Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang (demam, kondisi seperti
kehamilan, menopause atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah )
2) Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang (perubahan bermakna dalam
suhu lingkungan, perubahan peran dalam keluarga atau sosial, atau tekanan
dari pasangan ).
Berbagai pandangan manusia mengenai stres menghasilkan pengertian yang
berbeda-beda tentang stres itu sendiri. Stres hanyalah sekedar gangguan sistem
syaraf yang menyebabkan tubuh berkeringat, tangan menggenggam, jantung
berdetak kencang,dan wajah memerah. Paham realistik memandang stress
sebagai suatu fenomena jiwa yang terpisah dengan jasmani atau tubuh manusia
atau fenomena tubuh belaka tanpa ada hubungan dengan kejiwaan. Sedangkan
paham idealis menganggap stres adalah murni fenomena jiwa. Hal ini membuat
kita sulit untuk menjelaskan kenapa jika fenomena stres hanyalah fenomena
jiwa namun memberikan dampak pada fisik seseorang seperti dada yang
berdebar-debar, keringat, dan sebagainya.
Tak seorang pun dapat menghindari stres karena untuk menghilangkannya
berarti akan menghancurkan hidupnya sendiri ( Hans Selye, 1978 ). Stres
merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan. Pendekatan ini telah
dibatasi sebagai “model psikologi”. Model psikologi ini
menggambarkan stress sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan
ketegangan ( strain ). Interaksi antara individu dengan lingkungannya yang
saling mempengaruhi itu dinamakan dengan interaksi transaksional yang di
dalamnya terdapat proses penyesuaian. Stres bukan hanya stimulus atau respon
tetapi juga agen aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi
prilaku, kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi yang
berbeda terhadap stresor yang sama.
Definisi tentang stres yang sangat beragam menunjukan bahwa stres bukanlah
suatu hal yang sederhana. Salah satu definisinya adalah stres adalah gangguan
pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan
kehidupan ( Vincent Cornelli, dalamMustamir Pedak, 2007 ). Kesimpulan dari
para ahli tentang stres yaitu stres bisa terjadi karena manusia begitu kuat dalam
mengejar keinginannya serta kebutuhannya dengan mengandalkan segala
kemampuannya dan potensinya.
b. Manifestasi stress
Stres sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya,
tetapi cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan
karakteristik individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang.
Seseorang yang mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang
terjadi pada tubuhnya, antara lain :
1) Perubahan warna rambut kusam, ubanan, kerontokan
2) Wajah tegang, dahi berkerut, mimik nampak serius, tidak santai, bicara berat,
sulit tersenyum/tertawa dan kulit muka kedutan (ticfacialis)
3)Nafas terasa berat dan sesak, timbul asma
4) Jantung berdebar-debar, pembuluh darah melebar atau menyempit
(constriksi) sehingga mukanya nampak merah atau pucat. Pembuluh darah
tepi (perifer) terutama ujung-ujung jari juga menyempit sehingga terasa
dingin dan kesemutan.
5) Lambung mual, kembung, pedih, mules, sembelit atau diare.
6) Sering berkemih.
7) Otot sakit seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang pada tulang terasa linu atau
kaku bila digerakkan.
8) Kadar gula meningkat, pada wanita mens tidak teratur
dan sakit (dysmenorhea)
9) Libido menurun atau bisa juga meningkat.
10) Gangguan makan bisa nafsu makan meningkat atau tidak ada nafsu makan.
11) Tidak bisa tidur
12) Sakit mental-histeris
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi stress
Kondisi-kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressors. Meskipun
stress dapat diakibatkan oleh hanya satu stressors, biasanya karyawan mengalami
stress karena kombinasi stressors.
Menurut Robbins (2001:565-567) ada tiga sumber utama yang dapat
menyebabkan timbulnya stress yaitu:
13) Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh
pembentukan struktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam
faktor lingkungan terdapat tiga hal yang dapat menimbulkan stress bagi
karyawan yaitu ekonomi, politik dan teknologi. Perubahan yang sangat cepat
karena adanya penyesuaian terhadap ketiga hal tersebut membuat
seseorang mengalami ancaman terkena stress. Hal ini dapat terjadi, misalnya
perubahan teknologi yang begitu cepat. Perubahan yang baru terhadap
teknologi akan membuat keahlian seseorang dan pengalamannya tidak
terpakai karena hampir semua pekerjaan dapat terselesaikan dengan cepat dan
dalam waktu yang singkat dengan adanya teknologi yang digunakannya.
2) Faktor Organisasi
Didalam organisasi terdapat beberapa faktor yang dapat menimbulkan stress
yaitu role demands, interpersonal demands, organizational structure dan
organizational leadership.
Pengertian dari masing-masing faktor organisasi tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Role Demands
Peraturan dan tuntutan dalam pekerjaan yang tidak jelas dalam suatu
organisasi akan mempengaruhi peranan seorang karyawan untuk
memberikan hasil akhir yang ingin dicapai bersama dalam suatu organisasi
tersebut.
b) Interpersonal Demands
Mendefinisikan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lainnya dalam
organisasi. Hubungan komunikasi yang tidak jelas antara karyawan satu
dengan karyawan lainnya akan dapat menyebabkan komunikasi yang tidak
sehat. Sehingga pemenuhan kebutuhan dalam organisasi terutama yang
berkaitan dengan kehidupan sosial akan menghambat perkembangan sikap
dan pemikiran antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya.
c) Organizational Structure
Mendefinisikan tingkat perbedaan dalam organisasi dimana keputusan
tersebut dibuat dan jika terjadi ketidak jelasan dalam struktur pembuat
keputusan atau peraturan maka akan dapat mempengaruhi kinerja seorang
karyawan dalam organisasi.
d) Organizational Leadership
Berkaitan dengan peran yang akan dilakukan oleh seorang pimpinan dalam
suatu organisasi. Karakteristik pemimpin menurut The Michigan group
(Robbins, 2001:316) dibagi dua yaitu karakteristik pemimpin yang lebih
mengutamakan atau menekankan pada hubungan yang secara langsung
antara pemimpin dengan karyawannya serta karakteristik pemimpin yang
hanya mengutamakan atau menekankan pada hal pekerjaan saja.
Empat faktor organisasi di atas juga akan menjadi batasan dalam
mengukur tingginya tingkat stress. Pengertian dari tingkat stress itu sendiri
adalah muncul dari adanya kondisi-kondisi suatu pekerjaan atau masalah
yang timbul yang tidak diinginkan oleh individu dalam mencapai suatu
kesempatan, batasan-batasan, atau permintaan-permintaan dimana
semuanya itu berhubungan dengan keinginannya dan dimana hasilnya
diterima sebagai sesuatu yang tidak pasti tapi penting (Robbins,2001:563).
3) Faktor Individu
Pada dasarnya, faktor yang terkait dalam hal ini muncul dari dalam keluarga,
masalah ekonomi pribadi dan karakteristik pribadi dari keturunan. Hubungan
pribadi antara keluarga yang kurang baik akan menimbulkan akibat pada
pekerjaan yang akan dilakukan karena akibat tersebut dapat terbawa dalam
pekerjaan seseorang. Sedangkan masalah ekonomi tergantung dari bagaimana
seseorang tersebut dapat menghasilkan penghasilan yang cukup
bagi kebutuhan keluarga serta dapat menjalankan keuangan tersebut dengan
seperlunya. Karakteristik pribadi dari keturunan bagi tiap individu yang dapat
menimbulkan stress terletak pada watak dasar alami yang dimiliki oleh
seseorang tersebut. Sehingga untuk itu, gejala stress yang timbul pada tiap-
tiap pekerjaan harus diatur dengan benar dalam kepribadian seseorang.

d. ADAPTASI
Adaptasi adalah penyesuaian diri terhadap suatu penilaian. Dalam hal ini respon
individu terhadap suatu perubahan yang ada dilingkungan yang dapat
mempengaruhi keutuhan tubuh baik secara fisiologis maupun psikologis dalam
perilaku adaptip. Hasil dari perilaku ini dapat berupa usaha untuk
mempertahankan keseimbangan dari suatu keadaan agar dapat kembali pada
keadaan normal, namun setiap orang akan berbeda dalam perilaku adaptip ada
yang dapat berjalan dengan cepat namun ada pula yang memerlukan waktu lama
tergantung dari kematangan mental orang itu tersebut.
Adaptasi terhadap stress dapat berupa :
1) Adaptasi fisiologis
Adaptasi fisiologis adalah proses penyesuaian diri secara alamiah atau secara
fisiologis untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai faktor yang
menimbulkan keadaan menjadi tidak seimbang contoh: masuknya kuman
pennyakit ketubuh manusia.
2) Adaptasi psikologi
Adaptasi secara psikologis dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a) LAS ( general adaptation syndroma)
adalah apabila kejadiannya atau proses adaptasi bersifat lokal contoh:
seperti ketika kulit terinfeksi maka akan terjadi disekitar kulit tersebut
kemerahan, bengkak, nyeri, panas dll yang sifatnya lokal atau pada daerah
sekitar yang terkena.
b) GAS ( general adaptation syndroma)
adalah apabila reaksi lokal tidak dapat diaktifitasi maka dapat
menyebabkan gangguan dan secara sistemik tubuh akan melakukan proses
penyesuaian diri seperti panas di seluruh tubuh, berkeringat
e. Proses keperawatan stress managemen stress untuk perawat
Manajemen stress adalah kemungkinan melihat promosi kesehatan sebagai
aktivitas atau intervasi atau mengubah pertukaran respon terhadap penyakit.
Fokusnya tergantung pada tujuan dari intervensi keperawatan berdasarkan
keperluan pasien. Perawat bertanggung jawab pada implemenetasi pemikiran yang
dikeluarkan pada beberapa daerah perawatan.Untuk mencegah dan mengatasi stres
agar tidak sampai ke tahap yang paling berat, maka dapat dilakukan dengan cara :
3) Pengaturan Diet dan Nutrisi
Pengaturan diet dan nutrisi merupakan cara yang efektif dalam mengurangi
dan mengatasi stres melalui makan dan minum yang halal dan tidak
berlebihan, dengan mengatur jadwal makan secara teratur, menu bervariasi,
hindari makan dingin dan monoton karena dapat menurunkan kekebalan
tubuh.
2) Istirahat dan Tidur
Istirahat dan tidur merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena
dengan istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keadaan tubuh.
Tidur yang cukup akan memberikan kegairahan dalam hidup dan
memperbaiki sel-sel yang rusak.
3) Olah Raga atau Latihan Teratur
Olah raga dan latihan teratur adalah salah satu cara untuk meningkatkan daya
tahan dan kekebalan fisik maupun mental. Olah raga dapat dilakukan dengan
cara jalan pagi, lari pagi minimal dua kali seminggu dan tidak perlu lama-
lama yang penting menghasilkan keringat setelah itu mandi dengan air hangat
untuk memulihkan kebugaran.
4) Berhenti Merokok
Berhenti merokok adalah bagian dari cara menanggulangi stres karena dapat
meningkatkan ststus kesehatan dan mempertahankan ketahanan dan
kekebalan tubuh.
5) Tidak Mengkonsumsi Minuman Keras
Minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan
terjadinya stres. Dengan tidak mengkonsumsi minuman keras, kekebalan dan
ketahanan tubuh akan semakin baik, segala penyakit dapat dihindari karena
minuman keras banyak mengandung alkohol.
6) Pengaturan Berat Badan
Peningkatan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan
timbulnya stres karena mudah menurunkan daya tahan tubuh terhadap stres.
Keadaan tubuh yang seimbang akan meningkatkan ketahanan dan kekebalan
tubuh terhadap stres.
7) Pengaturan Waktu
Pengaturan waktu merupakan cara yang tepat dalam mengurangi dan
menanggulangi stres. Dengan pengaturan waktu segala pekerjaaan yang dapat
menimbulkan kelelahan fisik dapat dihindari. Pengaturan waktu dapat
dilakukan dengan cara menggunakan waktu secara efektif dan efisien serta
melihat aspek prokdutivitas waktu. Seperti menggunakan waktu untuk
menghasilkan sesuatu dan jangan biarkan waktu berlalu tanpa menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat.
8) Terapi Psikofarmaka
Terapi ini dengan menggunakan obat-obatan dalam mengalami stres yang
dialami dengan cara memutuskan jaringan antara psiko neuro dan imunologi
sehingga stresor psikososial yang dialami tidak mempengaruhi fungsi
kognitif afektif atau psikomotor yang dapat mengganggu organ tubuh yang
lain. Obat-obatan yang digunakan biasanya digunakan adalah anti cemas dan
anti depresi.
9) Terapi Somatik
Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat stres yang
dialami sehingga diharapkan tidak dapat mengganggu sistem tubuh yang lain.
10) Psikoterapi
Terapi ini dengan menggunakan teknik psikologis yang disesuaikan dengan
kebutuhan seseorang. Terapi ini dapat meliputi psikoterapi suportif dan
psikoterapi redukatif di mana psikoterapi suportif memberikan motivasi atau
dukungan agar pasien mengalami percaya diri, sedangkan psikoterapi
redukatif dilakukan dengan memberikan pendidikan secara berulang. Selain
itu ada psikoterapi rekonstruktif, psikoterapi kognitif dan lain-lain.
11) Terapi Psikoreligius
Terapi ini dengan menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi
permasalahan psikologis mengingat dalam mengatasi permasalahn psikologis
mengingat dalam mengatasi atau mempertahankan kehidupan seseorang harus
sehat secara fisik, psikis, sosial, dan sehat spiritual sehingga stres yang
dialami dapat diatasi.
12) Homeostatis
Merupakan suatu keadaan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dalam
menghadapi kondisi yang dialaminya. Proses homeostatis ini dapat terjadi
apabila tubuh mengalami stres yang ada sehingga tubuh secara alamiah akan
melakukan mekanisme pertahanan diri untuk menjaga kondisi yang
seimbang, atau juga dapat dikatakan bahwa homeostatis adalah suatu proses
perubahaan yang terus menerus untuk memelihara stabilitas dan beradaptasi
terhadap kondisi lingkungan sekitarnya.
Homeostatis yang terdapat dalam tubuh manusia dapat dikendalikan oleh
suatu sistem endokrin dan syaraf otonom. Secara alamiah proses homeostatis
dapat terjadi dalam tubuh manusia. Dalam mempelajari cara tubuh melakukan
proses homeostatis ini dapat melalui empat cara di antaranya:
a) Sself regulation di mana sistem ini terjadi secara otomatis pada orang yang
sehat seperti dalam pengaturan proses sistem fisiologis tubuh manusia.
b) Berkompensasi yaitu tubuh akan cenderung bereaksi terhadap ketidak
normalan dalam tubuh.
c) Dengan cara sistem umpan balik negatif, proses ini merupakan
penyimpangan dari keadaan normal segera dirasakan dan diperbaiki dalam
tubuh dimana apabila tubuh dalam keadaan tidak normal akan secara
sendiri mengadakan mekanisme umpan balik untuk menyeimbangkan dari
keadaan yang ada.
d) Cara umpan balik untuk mengkoreksi suatu ketidakseimbangan fisiologis.

e. Konsep kehilangan, kematian dan duka


1) P e n g er t i an K e h i l a n g a n
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari
kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus
atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti
sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara
bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau

traumatik, diantisispasi atau tidak diharapkan/diduga,


sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat
kembali.
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang
mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu
yang dulunya pernah ada atau pernah dimiliki. Kehilangan
merupakan suatu keadaan individu berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian
atau seluruhnya.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah
dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi
tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert
dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan merupakan pengalaman
yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami
kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali
walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan,
tergantung:
a) Arti dari kehilangan
b) Sosial budaya
c) Kepercayaan / spiritual
d) Peran seks
e) Status social ekonomi
f) Kondisi fisik dan psikologi individu
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung
pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan
untuk menerima bantuan menerima bantuan mempengaruh
apakah yang berduka akan m am pu mengatasi kehilangan.
Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang
diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat
sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu
yang dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium
fisik, pshikologis, dan social.
2) B en t u k - b en t u k k e hi l a n g a n
a) Kehilangan orang yang berarti
b) Kehilangan kesejahteraan
c) Kehilangan milik pribadi
3) S i f at k e h i l an g a n
a) Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara
tiba- tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada
pemulihan dukacita yang lambat. Kematian karena tindak
kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri
akan sulit diterima.
b) Berangsur – angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan
menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan
emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa
yang ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama
6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan yang lebih
besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai
peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka
bergantung pada makna kehilangan dan situasi sekitarnya.
Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan
mempengaruh apakah yang berduka akan m ampu
mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh
dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah
hal tersebut bersifat sementara atau permanen)
mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam
menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis, dan
social.
4) Tipe k eh i l an g a n
a) Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh
orang lain, sama dengan individu yang mengalami
kehilangan.
b) Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang
tidak dapat diraba atau dinyatakan secara jelas.

c) Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan
terjadi.Individu memperlihatkan perilaku kehilangan dan
berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung.
Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota)
m enderita sakit
terminal. Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres.
Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan
distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang
dekat dengan kita. Nanun demikian, setiap
individunberespon terhadap kehilangan secara
berbeda.kematian seorang anggota keluargamungkin
menyebabkan distress lebih besar dibandingkan
kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang
hidup sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan
disters emosional yang lebih besar dibanding
saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu
selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual
atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat
dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak
yang teman bermainya pindah rumah. Kehilangan yang
dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan
,seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise.
5) L i m a k at eg o r i k e h i l an g a n
a) Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala
kepemilikan yang telah menjadi usang berpinda tempat,
dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman
berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang
hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut
terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda
tersebut.
b) Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan
lingkungan yang telah dikenal mencakup dari lingkungan yang
telah dikenal Selma periode tertentu atau kepindahan
secara permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau
perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui perpisahan
dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui
situasi maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia
pindah kerumah perawatan, atau situasi situasional,
contohnya mengalami cidera atau penyakit dan
kehilangan rumah akibat bencana alam.
c) Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-
anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga, dan
rekan kerja.Artis atau atlet terkenal mumgkin menjadi
orang terdekat bagi orang muda. Riset membuktikan
bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan
sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat
perpisahan atau kematian.
d) Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian
tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis.Kehilangan
anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak , mata,
rambut, gigi, atau payu dara. Kehilangan fungsi fsiologis
mencakupo kehilangan control kandung kemih atau usus,
mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi
fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri,
percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat
terjadi akibat penyakit, cidera, atau perubahan
perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini dapat
menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak
hanya mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi
juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra
tubuh dan konsep diri.

e) Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-
detik dimana orang tersebut akan meninggal. Doka
(1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang
mengancam- hidup kedalam enpat fase. Fase
presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien
atau factor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis
diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan
penyakit dan pengobatanya ,yang sering melibatkan
serangkain krisis yang diakibatkan. Akhirnya terdapat
pemulihan atau fase terminal Klien yang mencapai fase
terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan,
tetapi pasti terjadi.Pada setiap hal dari penyakit klien dan
keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam
dan terus berubah Seseorsng dapat tumbuh dari
pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan
dari orang lain, dan dukungan adekuat.
6) Tahapan p r o s e s k eh i l a n ga n
a) Stressor internal atau eksternal – gangguan
dan kehilangan – individu berfikir positif –
kompensasi positif
terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – m am pu
beradaptasi dan merasa nyaman.
b) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan
kehilangan – individu berfikir negatif – tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri
( tidak diungkapkan)– muncul gejala sakit fisik.
c) Stressor internal atau eksternal – gangguan dan
kehilangan individuberfikir negatif– tidak berdaya –
marah dan berlaku agresif diekspresikan ke luar diri
individu –berperilaku konstruktif perbaikan mampu
beradaptasi dan merasa kenyamanan.
d) Stressor internal atau eksternal gangguan dan kehilangan
individuberfikir negative tidak berdaya marah dan
berlaku agresif diekspresikan ke luar diri individu
berperilaku destruktif perasaan
bersalah ketidakberdayaan.
Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan
terhadap kehilangan adalah pemberian makna (personal
meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon)
dan kompensasi yang positif (konstruktif).
7) K E M A T I A N
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh
manusia. Namun, bencana gempa di Bantul memaksa anak
untuk melihat dan atau mengalami kematian secara tiba-
tiba. Pemahaman akan kematian mempengaruhi sikap dan
tingkah laku seseorang terhadap kem atian.
pengalam an, pem aham an Selain kem atian
dipengaruhi
konsep oleh perkembangan kognitif dan lingkungan
juga
sosial budaya. Kebudayaan Jawa yang menjadi latar tumbuh
kembang anak menjadi penting untuk diperhatikan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak
usia sekolah dan praremaja tentang kematian dengan
mengacu pada tujuh subkonsep kematian, yakni
irreversibility, cessation, inevitability, universability,
causality, unpredictability, dan personal mortality dari
Slaughter (2003). Penelitian dilakukan melalui pendekatan
kualitatif dengan metode wawancara yang dilakukan pada
tiga anak usia (6-7 tahun) dan 4 praremaja (10-11 tahun).
Hasil penelitian menunjukkan pemahaman konsep kematian
yang berbeda-beda pada ketiga subjek yang berusia 6-7
tahun. Dua subjek belum m em ahami subkonsep
unpredictability dan causality, sedangkan kelima subkonsep
lainnya sudah dipahami oleh anak. Satu subjek lainnya
hanya memahami subkonsep inevitability, universality, dan
personal mortality, sedangkan empat subkonsep lainnya
belum dipahami sama sekali. Secara um um ketiga subjek
belum mem aham i kematian sebagai fenomena biologis.
Partisipan yang berusia 10-11 tahun sudah memiliki ketujuh
subkonsep kematian walaupun belum bisa
mendeskripsikannya secara utuh. Hasil penelitian ini disoroti
dari teori kematian, teori perkembangan dan budaya Jawa.
Hasil penelitian ini berimplikasi pada teori perkembangan
konsep kematian pada anak, dan juga pada seberapa jauh
budaya Jawa memberikan kesempatan pada anak untuk
memiliki pemahaman yang utuh tentang kematian.
Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari
perkembangan konsep tentang kematian. Usaha manusia
untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari
kematian dengan mempergunakan kemajuan iptek
kedokteran telah membawa masalah baru dalam
euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan
seseorang dinyatakan telah mati. Berikut ini beberapa
konsep tentang mati yaitu :
a) Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya
jantung. Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa
mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-paru.
Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman. Dalam
pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah
memungkinkan jatung dan paru-paru yang semula
terhenti dapat dipulihkan kembali.
b) Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada
tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian
menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik
kembali.
c) Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ
berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak
telah mati. Untuk kepentingan transplantasi, konsep ini
menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat
diterima karena kenyataannya organ-organ masih
berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
d) Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali
sadar dan melakukan interaksi social
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk
social, yaitu individu yang m em punyai kepribadian,
m enyadari kehidupannya, kem ampuan m engingat,
mengambil keputusan, dan sebagainya, maka penggerak
dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak
dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang
otak. Olah karena itu, jika batang otak telah mati, dapat
diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan social telah
mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan medis sering
menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do
not resuscitation).
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik
atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam
beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama
yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel,
karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan
mati kemudian.
7) B e r d u k a
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap
kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih,
gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian
kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka
yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang
aktual ataupun yang dirasakan seseorang,
hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan
fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih
dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan
saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial,
hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini
kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau
kesalahan/kekacauan.
a) Teori dari P r o s e s B e r d u k a
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk
menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka
hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk
mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk
membantu mereka memahami kesedihan mereka dan
mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan
dukungan dalam bentuk empati.
(1) Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai
beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada
seseorang yang sedang berduka maupun menjelang
ajal.
(aFase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi
tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan,
diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak
bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
(b)Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara
nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa.
Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi,
dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
(cFase III (restitusi)\
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan
perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan
masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang
baru dari seseorang yang bertujuan untuk
mengalihkan kehilangan seseorang.
(dFase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan
bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa
bersalah dan sangat menyesal tentang kurang
perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
(e)Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini
diharapkan seseorang sudah dapat m enerim a
kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
(2) Teori K u b l e r - R o s s
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross
(1969) adalah berorientasi pada perilaku dan
menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
aPenyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-
apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa
telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “Tidak,
tidak mungkin seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi
pada saya!” um um dilontarkan klien.
bKemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin
“bertindak lebih” pada setiap orang dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan.
Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga
mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa
kecewa dan merupakan menifestasi dari
kecemasannya menghadapi kehilangan.
cPenawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian
dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah
kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali
mencari pendapat orang lain.
(d) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul
dampak nyata dari makna kehilangan tersebut.
Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk
berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
(e) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial
berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap
penerimaan ada bila seseorang m am p u
menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah
pada pengunduran diri atau berputus asa.
(3) Teori M ar t o cc hi o
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan
yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan
tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi
dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi
respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus
menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12
bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut
sampai 3-5 tahun.
(4) Teori R a n d o
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi
3 katagori:
(a) Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak
percaya.
(b) Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat
tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan
kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling
dalam dan dirasakan paling akut.
(c) Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan
kedukaan akut dan mulai memasuki kembali
secara emosional dan sosial dunia sehari-hari
dimana klien belajar untuk menjalani hidup
dengan kehidupan mereka.

Daftar Pustaka
a. Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
b. Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
c. Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam
Perspektif Ilmu Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
d. Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Transkultural”, Edisi I, EGC, Jakarta
e. Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
f. Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli
kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
g. Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing :
Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi seksualitas, stres
adaptasi, kehilangan, kematian dan berduka melalui buku-buku maupun jurnal.
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi seksualitas, stres
adaptasi, kehilangan, kematian dan berduka dalam setiap kesempatan

C. Penutup
1. Evaluasi dan Kunci Jawaban
a. Jelaskan tentang respon seksual
b. Jelaskan masalah yang berhubungan denganseksualitas
c. Jelaskan manifestasi stres
d. Jelaskan faktor yang mempengaruhi stres
e. Jelaskan langkah-langkah proses keperawatan stres

2. Lembar Kejra Mahasiswa .


Mata Kuliah ......................
Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%
BAB II : ANTROPOLGI KESEHATAN
KEGIATAN PEMBELAJARAN 4 & 5
Kebudayaan, Masyarakat Rumah Sakit Dan Kebudayaan

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang konsep kebudayaan, masyarakat rumah sakit dan
kebudayaan meliputi pengertian kebudayaan, unsure-unsur kebudayaan, wujud dan
komponen budaya, hubungan antara unsure-unsur budaya, cara pandang terhadap
kebudayaan, .

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian kebudayaan
b. Mampu menjelaskan unsur-unsur kebudayaan
c. Mampu membedakan komponen budaya
d. Mampu merinci hubungan antara unsur-unsur budaya
e. Mampu mengabstrasikan cara pandang kebudayaan

B. Penyajian
1. Uraian Materi
a. Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa,
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia
sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.
Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda
budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya
itu dipelajari.[1]
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-
unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan
orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu
perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung
pandangan atas keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil
bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di
Amerika, "keselarasan individu dengan alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif"
di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan
demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.

b. Pengertian kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits
dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan Dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat
diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang
bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

c. Unsur-Unsur

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
1) Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok,
yaitu:
a) alat-alat teknologi
b) sistem ekonomi
c) keluarga
d) kekuasaan politik
2) Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
a) Sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
b) organisasi ekonomi
c) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk
pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
d) organisasi kekuatan (politik)

d. Wujud dan komponen

Wujud
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga:
GAGASAN, AKTIVITAS, DAN ARTEFAK.
1) Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya
abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam
kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat
tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para
penulis warga masyarakat tersebut.
2) Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi,
mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola
tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
3) Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling
konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan
bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari
wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur
dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen,
menurut ahli antropologi Cateora, yaitu :
Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. Kebudayaan
nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari
generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian
tradisional.
Lembaga social
Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek
berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk
dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social
masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita
tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan.
Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun system kepercayaan atau
keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada
dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan,
bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai
dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Estetika
Berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan
tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia
setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami
dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan
efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu
bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai
symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang
mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
Bahasa
Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah,
bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu
komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa
memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa
tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami
agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati
dari orang lain.

f. Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan

Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:


1) Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta
memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-
cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan
rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup
dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional
(disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
a) alat-alat produktif
b) senjata
c) wadah
d) alat-alat menyalakan api
e) makanan
f) pakaian
g) tempat berlindung dan perumahan
h) alat-alat transportasi

2) Sistem mata pencaharian


Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-
masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:
a) Berburu dan meramu
b) Beternak
c) Bercocok tanam di ladang
d) Menangkap ikan

3) Sistem kekerabatan dan organisasi sosial


Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.
Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat
dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang
bersangkutan.
Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang
memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri
atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan
seterusnya.
Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan
dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan,
fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok
kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan
keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,
yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa
dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia
membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak
dapat mereka capai sendiri.

4) Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan
(bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada
lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri
dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah
membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa
fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa
secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus
adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan
seni (sastra), mempelajari naskah- naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.

5) Kesenian
Karya seni dari peradaban Mesir kuno.
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi
hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga.
Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan
berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian
yang kompleks.

6) Sistem Kepercayaan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam
menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara
bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad
raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya.
Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat,
manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada
penguasa alam semesta.
Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan.
Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang
berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam
sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi
dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: sebuah institusi dengan
keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan
menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap
yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[3]
Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen
atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam
sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga
memengaruhi kesenian.

Agama Samawi
Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai
agama Samawi[4] atau agama Abrahamik.[5] Ketiga agama tersebut memiliki
sejumlah tradisi yang sama namun juga perbedaan-perbedaan yang mendasar
dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam
kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.
Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama,
adalah agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai
sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan
dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi
berjumlah lebih dari 13 juta jiwa.[6]
Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah
kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun
banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan
Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama
Kristen di seluruh dunia.[7]
Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak memengaruhi
kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara.
Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia.[8]
Agama dan filsafat dari Timur

Dewa api agama Hindu


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama dari timur dan Filosofi Timur
Agama dan filosofi seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia.
Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China, dan
menyebar di sepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi.
Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di
sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea
dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar
Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos,
Myanmar, dan Thailand.
Agama Hindu dari India, mengajarkan pentingnya elemen nonmateri sementara
sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan
di dunia.
Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina, memengaruhi
baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.
Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran
filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang
Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru
tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi
komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di
China.

Agama tradisional
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agama tradisional
Agama tradisional, atau kadang-kadang disebut sebagai "agama nenek
moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika.
Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam
kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto.
Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan
rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah,
tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan
manusia itu sendiri.
"American Dream"
American Dream, atau "mimpi orang Amerika" dalam bahasa Indonesia, adalah
sebuah kepercayaan, yang dipercayai oleh banyak orang di Amerika Serikat.
Mereka percaya, melalui kerja keras, pengorbanan, dan kebulatan tekad, tanpa
memedulikan status sosial, seseorang dapat mendapatkan kehidupan yang lebih
baik. [9]
Gagasan ini berakar dari sebuah keyakinan bahwa Amerika Serikat adalah
sebuah "kota di atas bukit" (atau city upon a hill"), "cahaya untuk negara-negara"
("a light unto the nations"),[10] yang memiliki nilai dan kekayaan yang telah ada
sejak kedatangan para penjelajah Eropa sampai generasi berikutnya.

Pernikahan
Agama sering kali mempengaruhi pernikahan dan perilaku seksual. Kebanyakan
gereja Kristen memberikan pemberkatan kepada pasangan yang menikah; gereja
biasanya memasukkan acara pengucapan janji pernikahan di hadapan tamu,
sebagai bukti bahwa komunitas tersebut menerima pernikahan mereka. Umat
Kristen juga melihat hubungan antara Yesus Kristus dengan gerejanya.
Gereja Katolik Roma mempercayai bahwa sebuah perceraian adalah salah, dan
orang yang bercerai tidak dapat dinikahkan kembali di gereja. Sementara Agama
Islam memandang pernikahan sebagai suatu kewajiban. Islam menganjurkan
untuk tidak melakukan perceraian, namun memperbolehkannya.

7) Sistem ilmu dan pengetahuan


Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia
tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh
semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-
percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
a. pengetahuan tentang alam
b. pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
c. pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah
laku sesama manusia
d. pengetahuan tentang ruang dan waktu

Perubahan sosial budaya


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perubahan sosial budaya

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak
dengan kebudayaan asing.
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola
budaya dalam suatu masyarakat.
Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa
dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat
dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan
bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada
tiga faktor yang dapat memengaruhi perubahan sosial:
a. Tekanan kerja dalam masyarakat
b. Keefektifan komunikasi
c. Perubahan lingkungan alam.[11]
Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan
masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh,
berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan
kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

Penetrasi kebudayaan

Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh


suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi
dengan dua cara:
Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya
pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia[rujukan?]. Penerimaan kedua
macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya
khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Penyebaran
kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis.
Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk
kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk
bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli
Indonesia dan kebudayaan India.
Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk
kebudayaan baru.
Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat
pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan
kebudayaan asli.
Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak.
Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan
disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang
merusak keseimbangan dalam masyarakat[rujukan?].
Wujud budaya dunia barat antara lain adalah budaya dari Belanda yang
menjajah selama 350 tahun lamanya. Budaya warisan Belanda masih melekat di
Indonesia antara lain pada sistem pemerintahan Indonesia.

f. Cara pandang terhadap kebudayaan

Kebudayaan sebagai peradaban


Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan
di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini
merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan
daerah-daerah yang dijajahnya.
Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai "peradaban" sebagai lawan kata
dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain
dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan
lainnya.

Artefak tentang "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture) oleh


Edgar Degas. Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan
aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau
mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk
menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-
aktivitas di atas.
Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah
musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional
dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul
anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan". Orang yang
menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan
lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi
tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang
ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang
"berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan
sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan"
dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen
dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "
manusia alami" (human nature)
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara
berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu
-berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan
dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak
alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal
ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap
mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik
klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyak ilmuwan
sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan
konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan
yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama -
masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat
diperbandingkan.
Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer
(popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang
diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum"

Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang


peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis
untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas
melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan
kebudayaan dalam "sudut pandang umum".
Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki
perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat
diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya
pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau
kebudayaan "primitif."
Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan
dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka
mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari
evolusi itulah tercipta kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit
berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para
ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan
perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat
bekerja.

Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi

Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah
sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju
kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut
dengan tribalisme.

g. Kebudayaan dan Rumah Sakit


1). Pengertian Rumah Sakit
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan
lainnya. Berikut ini ialah beberapa jenis-jenis rumah sakit yang akan
dijelaskan untuk memberikan gambaran mengenai Kebudayaan rumah sakit
a) Rumah sakit umum
Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di
suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan
intensif ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi
dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang bersalin, laboratorium, dan
sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai
kemampuan penyelenggaranya.
Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center (pusat
kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern. Sebagian
besar rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa
menginap (rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik). Biasanya
terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit.
b) Rumah sakit terspesialisasi
Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula,
atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric
(psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain. Rumah sakit
bisa terdiri atas gabungan atau pun hanya satu bangunan. Kebanyakan
mempunyai afiliasi dengan universitas atau pusat riset medis tertentu.
Kebanyakan rumah sakit di dunia didirikan dengan tujuan nirlaba.
c) Rumah sakit penelitian/pendidikan
Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang
terkait dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran
pada suatu universitas/lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit
ini dipakai untuk pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam
obat baru atau teknik pengobatan baru. Rumah sakit ini diselenggarakan
oleh pihak universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud
pengabdian masyararakat / Tri Dharma perguruan tinggi.
d) Rumah sakit lembaga/perusahaan
Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk
melayani pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga
tersebut/karyawan perusahaan tersebut. Alasan pendirian bisa karena
penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya
rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan sosial/pengobatan
gratis bagi karyawan, atau karena letak/lokasi perusahaan yang
terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit
lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum dan
menyediakan ruang gawat darurat untuk masyarakat umum.
• Klinik Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani keluhan
tertentu. Biasanya dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat atau
dokter-dokter yang ingin menjalankan praktek pribadi. Klinik biasanya
hanya menerima rawat jalan. Bentuknya bisa pula berupa kumpulan
klinik yang disebut poliklinik.
2) Kebudayaan Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks karena ia
merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri
serta fungsifungsi yang khusus dalam proses menghasilkan jasa medik dan
mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayanan penderita. Di
samping melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit
juga mempunyai fungsi pendidikan dan penelitian (Boekitwetan 1997).
Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun oleh dua institusi.
Pertama adalah pemerintah dengan maksud untuk menyediakan pelayanan
kesehatan bagi masyarakat umum terutama yang tidak mampu. Kedua
adalah institusi keagamaan yang membangun rumah sakit nirlaba untuk
melayani masyarakat miskin dalam rangka penyebaran agamanya. Hal yang
menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan orientasi pemerintah
tentang manajemen rumah sakit dimana kini rumah sakit pemerintah
digalakkan untuk mulai berorientasi ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep
Rumah Sakit Swadana dimana investasi dan gaji pegawai ditanggung
pemerintah namun biaya operasional rumah sakit harus ditutupi dari
kegiatan pelayanan kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan demikian, kini
rumah sakit mulai memainkan peran ganda, yaitu tetap melakukan
pelayanan publik sekaligus memperoleh penghasilan (laba ?) atas
operasionalisasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat.
Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan
eksternal yang semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya
penyesuaian diri untuk merespons dinamika eksternal dan integrasi potensi-
potensi internal dalam melaksanakan tugas yang semakin kompleks. Upaya
ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak mempertahankan kinerjanya
(pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus memperoleh dana yang
memadai bagi kelangsungan hidup organisasi). Untuk itu, ia tidak dapat
mengabaikan sumber daya manusia yang dimiliki termasuk perhatian atas
kepuasan kerjanya. Pengabaian atasnya dapat berdampak pada kinerja
organisasi juga dapat berdampak serius pada kualitas pelayanan kesehatan.
Dalam konteks tersebut, pemahaman atas budaya pada tingkat organisasi ini
merupakan sarana terbaik bagi penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi
orang luar yang terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan yang
berkepentingan (seperti investor atau instansi pemerintah terkait) maupun
bagi pembentukan dan pengembangan budaya organisasi itu sendiri dalam
mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan dihadapi. Namun
sayangnya penelitian atau kajian khusus tentang persoalan ini belum banyak
diketahui, atau mungkin perhatian terhadap hal ini belum memadai.
Mengingat kondisi demikian, maka tulisan ini bertujuan untuk
menggambarkan berbagai aspek dan karakteristik budaya organisasi rumah
sakit sebagai lembaga pelayanan publik.
Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya keadaan
sosial ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan dibidang transportasi
dan komunikasi, majunya IPTEK serta derasnya arus sistem informasi
mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah. Masyarakat
cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu termasuk
pelayanan kesehatan.
Pelayanan rumah sakit yang baik bergantung dari kompetensi dan
kemampuan para pengelola rumah sakit. Untuk meningkatkan kemampuan
para pengelola rumah sakit tersebut selain melalui program pendidikan dan
pelatihan, juga diperlukan pengaturan dan penegakan disiplin sendiri dari
para pengelola rumah sakit serta adanya yanggung jawab secara moral dan
hukum dari pimpinan rumah sakit untuk menjamin terselenggaranya
pelayanan yang baik.
Kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Institusi yang
spesifik untuk pengobatan pertama kali, ditemukan di India. Rumah sakit
Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM,
kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada
230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai
anggaran kerajaan.
Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekular di Eropa terjadi pada abad 16
hingga 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit modern pertama dibangun
dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris
pertama kali memperkenalkan konsep ini. Guy's Hospital didirikan di
London pada 1724 atas permintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy.
Rumah sakit yang dibiayai swasta seperti ini kemudian menjamur di seluruh
Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania
General Hospital di Philadelphia pada 1751. setelah terkumpul sumbangan
£2,000. Di Eropa Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik.
Namun secara umum pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di
Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit.
Selain itu dalam perkembangan teknologi dan berbagai bidang yang lainnya
tercipta sebuah istilah yang menandakan sebagai suatu Budaya dalam
lingkup kesehatan istilah tersebut ialah Komite Etik Rumah Sakit (KERS),
dapat dikatakan sebagai suatu badan yang secara resmi dibentuk dengan
anggota dari berbagai disiplin perawatan kesehatan dalam rumah sakit yang
bertugas untuk menangani berbagai masalah etik yang timbul dalam rumah
sakit. KERS dapat menjadi sarana efektif dalam mengusahakan saling
pengertian antara berbagai pihak yang terlibat seperti dokter, pasien,
keluarga pasien dan masyarakat tentang berbagai masalah etika hukum
kedokteran yang muncul dalam perawatan kesehatan di rumah sakit.
Ada tiga fungsi KERS ini yaitu pendidikan, penyusun kebijakan dan
pembahasan kasus. Jadi salah satu tugas KERS adalah menjalankan fungsi
pendidikan etika. Dalam rumah sakit ada kebutuhan akan kemampuan
memahami masalah etika, melakukan diskusi multidisiplin tentang kasus
mediko legal dan dilema etika biomedis dan proses pengambilan keputusan
yang terkait dengan permasalahan ini.

3) Karakteristik Kebudayaan Rumah Sakit (Organisasi)


Pertama, asumsi karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang
menunjukkan bahwa organisasi mereka didominasi dan sangat dipengaruhi
oleh beberapa pihak eksternal, yaitu pemilik saham, Departemen Kesehatan
sebagai pembina teknis, dan masyarakat pengguna jasa kesehatan sebagai
konsumen. Peran masyarakat kini begitu dirasakan sejak RS menjadi
institusi yang harus mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa mengandalkan
subsidi lagi dari PTPN XI. Pada situasi seperti ini, karyawan menyadari
betul fungsi yang harus dimainkan ketika berhadapan dengan konsumen,
yaitu mereka harus memberikan pelayanan terbaik kepada pasien dan
keluarganya, serta para pengunjung lainnya.
Nilai-nilai yang sudah ditanamkan kepada karyawan dalam memberikan
pelayanan kepada konsumennya tadi dapat terungkap dari pandangan
mereka bahwa justru konsumenlah orang terpenting dalam pekerjaan
mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan bergantung padanya
bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah pengganggu
pekerjaan karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan
bekerja bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang
menolong karyawan karena pasien tersebut telah memberikan peluang
kepada karyawan untuk memberikan pelayanan. Oleh karena itu jika
terdapat perselisihan antara karyawan dan pasien maka karyawan haruslah
mengalah karena tidak ada yang pernah menang dalam berselisih dengan
konsumen. Dengan melihat nilai yang ditanamkan pada setiap karyawan
tersebut maka dapat dijelaskan tentang berlakunya asumsi fungsi pelayanan
di RS.
Kedua, tentang pandangan karyawan mengenai bagaimana sesuatu itu
dipandang sebagai fakta atau tidak (kriteria realitas) dan bagaimana sesuatu
itu ditentukan sebagai benar atau tidak (kriteria kebenaran). Kriteria realitas
yang dominant berlaku di RS X adalah realitas sosial yang berarti bahwa
sesuatu itu dapat diterima sebagai fakta bila sesuai dengan kebiasaan yang
telah ada atau opini umum yang berkembang di lingkungan RS X.
Sementara itu, karyawan RS X juga berpandangan dominan bahwa
kebenaran lebih ditentukan oleh rasionalitas. Dengan kata lain, sesuatu itu
dapat dipandang sebagai benar bergantung pada rasioanalitas kolektif di
lingkungan RS X dan bila telah ditentukan melalui proses yang dapat
diterima dalam saluran organisasi.
Ketiga, tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat dasar
manusia. Sebagian besar karyawan rupanya berasumsi bahwa manusia atau
teman sekerja mereka itu memiliki sifat yang pada dasarnya baik, yaitu rajin
bekerja, sangat memperhatikan waktu kerja (masuk dan pulang kerja tepat
waktu), siap membantu pekerjaan rekan-rekan lainnya. Namun demikian
mereka juga berpandangan bahwa sifat ini tidak selamanya berlaku
konsisten. Akan ada selalu godaan atau kondisi yang dapat mengubah sifat
manusia. Mereka percaya betul bahwa tidak ada sifat yang kekal, sifat baik
dapat saja berubah menjadi buruk, begitu pula sifat buruk bisa berubah
menjadi baik.
Keempat, mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas manusia
yang menunjukkan bahwa aktivitas manusia itu harmoni atau selaras dengan
aktivitas organisasi. Tidak hanya aktivitas manusia saja yang mampu
menentukan keberhasilan organisasi. Namun mereka juga menolak bahwa
aktivitas organisasi semata yang menentukan keberhasilan organisasi karena
mereka memandang bahwa aktivitasnya juga memberikan kontribusi atas
keberhasilan organisasi. Pada intinya, mereka memandang bahwa
aktivitasnya yang meliputi curahan waktu, tenaga, dan pikiran harus selaras
dengan aktivitas organisasi secara keseluruhan yang berupa kinerja sumber
daya manusia, keuangan, aktiva tetap, infra dan supra struktur organisasi.
Kelima, berkenaan dengan asumsi hakikat hubungan manusia yang hasilnya
menunjukkan bahwa hubungan antar karyawan lebih bersifat kekeluargaan.
Kekeluargaan 10 tidak dipahami sebagai nepotisme atau usaha keluarga,
namun kekeluargaan dipahami sebagai hubungan antar inidividu dalam
suatu kelompok kerja sebagai suatu kerja sama kelompok yang lebih
berorientasi pada konsensus dan kesejahteraan kelompok. Dalam suatu
kelompok kerja seorang karyawan terkadang tidak hanya menjalankan tugas
hanya pada bidang tugas yang tertera secara formal karena ia harus siap
membantu bidang tugas yang lain yang dapat ditanganinya. Seorang perawat
di unit bedah dengan tugas khusus sterilisasi tidak hanya menangani
tugasnya saja. Ia harus siap membantu karyawan lainnya untuk juga
menangani instrumen dan pulih sadar. Semua pekerjaan itu dilakukan
sebagai suatu kerja sama kolektif dalam mencapai efektivitas organisasi.
Hubungan antar karyawan tidak sebatas hubungan kerja, kerapkali mereka
jauh lebih terikat secara pribadi dan saling mengerti tentang karakteristik
pribadi lainnya. Suasana guyub terlihat dalam suasana saling membantu
tidak hanya dalam konteks kerja tetapi juga di luar pekerjaan.

Daftar Pustaka
Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli
kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Rijadi, S. (1994) Tantangan industri rumah sakit Indonesia 2020. Jurnal Administrasi
Rumah Sakit. Volume 2, No.2, 11-18.
Silalahi, Bennett N.B. [dan] Silalahi,Rumondang.1991. Manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja.[s.l]:Pustaka Binaman Pressindo.

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi kebudayaan dan masyarakat Rumah
Sakit melalui buku-buku, internet maupun jurnal.
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi
kebudayaan, masyarakat Rumah Sakit disetiap kesempatan
C. Penutup
1. Evaluasi dan Kunci Jawaban
a. Jelaskan pengertian kebudayaan
b. Jelaskan unsur-unsur kebudayaan
c. Jelaskan kebudayaan Rumah Sakit
d. Jelaskan karakteristik kebudayaan Rumah Sakit

2. Lembar Kejra Mahasiswa .

Mata Kuliah ......................


Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................
1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%

KEGIATAN PEMEBELAJARAN 6 & 7


Etiologi Penyakit, Persepsi Sehat Sakit, Peran Dan Perilaku Pasien,
Respon Sakit/Nyeri Pasien

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang etiologi penyakit mencakup pengertian dan
konsep penyakit, konstruksi sosial mengenai penyakit, persepsi sehat sakit, peran dan
perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien.

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian dan etiologi penyakit, konstruksi sosial mengenai
penyakit
b. Mampu menjelaskan persepsi sehat sakit
c. Mampu peran dan perilaku pasien
d. Mampu menjelaskan respon sakit/nyeri pasien

B. Penyajian
1. Uraian Materi
a. Pandangan social/budaya tentang penyakit

Dalam sosiologi terdapat perbedaan pandangan antara desease dan illness. Menurut
Conread dan Kern, disease adalah merupakan gejala fiisiologi yang mempengaruhi
tubuh. Sedangkan illness adalah gejala sosial yang menyertai atau mengelilingi
disease. Masyarakat beranggapan bahwa penyakit merupakan produk dari budaya
(Geest)

b. Konstruksi social mengenai penyakit

Conread dan Kern menjelaskan bahwa penyakit merupakan konstruksi budaya.


Contohnya adalah perempuan sebagai mahluk lemah dan tidak rasional yang
terkungkung oleh factor khas keperempuanan sepertiorgan reproduksi dan keadaan
jiwa mereka, kecendrungan untuk mengkonstruksikan sindrom premenstruasi dan
menopause sebagai gangguan kesehatan yang memerlukan terapi khusus.

c. Persepsi sehat sakit

Persepsi masyarakat tentang kejadian penyakit berbeda antara daerah yang satu
dengan lainnya, karena tergantung dari kebudayaan yang ada di masyarakat
tersebut. Hal ini dapat turun dari satu generasi kegenerasi berikutnya. Contoh
persepsi masyarakat tentang penyakit Malaria. Masyarakat Papua; makanan
pokoknya adalah sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa dan tidak jauh dari situ
ada hutam lebat. Penduduk desa tersebut beranggapan bahwa hutan itu milik
penguasa gaib yang dapat menghukum setiap orang yang melanggar ketentuan.
Pelanggaran dapat berupa menebang, membabat hutan untuk tanah pertanian dan
lain-lain akan diganjar hukuman berupa penyakit dengan gejala demam tinggi,
menggigil dan muntah. Penyakit tersebut dapat sembuuh dengan cara meminta
ampun kepada penguasa hutan, kkemudian memetik daun daripohon tertentu yang
dapat dibuat ramuan untuk diminum dan dioleskan keseluruh tubuh penderita.
Pendapat lain bahwa penyakitadalah kutukan Allah, mahluk gaib, roh-roh jahat,
udara busuk, tanaman berbisa, binatang dan sebagainya.

Pandangan orang tentang criteria tubuh sehat atau sakit tidak selalu bersifat
obyektif, karena itu petugas kesehatan harus berusaha sedapat mungkin
menerappkan criteria medis secara obyektif berdasarkan gejala yang tampak guuna
mendiagnosa kondisi fisikk individu.

Perilaku sakit adalah segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu agar
memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang
dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk
ppencegahan penyakit, perawatankebersihan diri, penjagaan kebugaran dan
makanan bergizi. Perilaku sehat diperlihatkan oleh individu yangmerasa dirinya
sehat meskipun secara medis belum tentu mereka sehat.

d. Peran dan perilaku Pasien

Tinkahlaku dan peranan seseorang merupakan suatu hal yang selalu mengikuti
kemanapun dalam setiap kejadian kehidupan, bahkan tingkah laku dan peranan
biasanya terjadi karena merupakan suatu respons terhadap keadaan tertentu.
Demikian pula kejadian sakit dan penyakit telah memicu respons tingkah laku dan
peran yang berbeda pada diri seseorang.
Mecahanic dan Volkhart(1961)mendefinisikan tingkah laku sakit sebagai suatu cara-
cara dimana gejala-gejala ditanggapi, dievaluasi dan diperankan oleh seorang
individu yang mengalami sakit, kurang nyaman, atau tanda-tanda lain dari fungsi
tubuh yang kurang baik.
Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seorang
dewasa yang bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit, maka ia
harus memutuskan apakah ia akan minum aspirin dan mengharapkan kesembuhan
atau memanggil dokter.
Namun demikian ini bukanlah tingkah laku sakit, hanya apabila penyakit itu telah
didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan seseorang tersebut tidak
dapat melakukan sebagaian atau seluruh peranana normalnya yang berarti
mengurangi dan memberikan tuntutan tambahan atas tingkah laku peranan orang-
orang di sekelilinngnya, maka barulah dikatakn bahwa seseorang itu melakukan
peranan sakit.
Apabila kemudian dokter dihubungi dan si individu bertindak menurut instruksinya
maka peranan pasien itu menjadi kenyataan.
Tingkah laku sakit, peranana sakit dan peranana pasien sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor Seperti Kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku di suatu
tempat.
Dalam mempelajari tingkah laku sakit, penting bagi kita untuk mengingat pesan Von
Mering, bahwa”studi yang mengenai makhluk manusia yang sakit berperan bahwa
setiap individu hidup dengan gejala-gejala maupun konsekuensi penyakit, dalam
aspek-aspek fisik, mental, aspek budaya dan aspek sosialnya. Untuk meringankan
penyakitnya, si sakit terlibat dalam rangkaian proses pemecahan masalah yang
bersifat internal maupun eksternal baik yang spesifik maupun yang non
spesifik”(Von Mering 1970:1972-273).

Ciri-ciri orang yang bertingkah laku sakit:


1) Merasa kurang enak badan.
2) Fungsi tubuh yang kurang baik.
3) Kurangnya nafsu makan.
4) Suhu tubuh tidak normal,dll.
Tingkah laku sakit dapat terjadi tanpa peranan sakit dan peranan pasien. Seseorang
dewasa yang baru bangun tidur dengan leher sakit menjalankan peranan sakit, maka
ia harus memutuskan apakah ia akan minum obat dan mengharapkan kesembuhan
atau memanggil dokter. Namun demikian, ini bukanlah tingkah laku sakit hanya
apabila penyakit itu telah didefinisikan secara cukup serius sehingga menyebabkan
seseorang tersebut tidak dapat melakukan sebagian atau seluruh peranan normalnya
yang berarti mengurangi dan memberikan tuntutan atas tingkah laku peranan orang-
orang disekelilingnya, maka barulah dikatakan bahwa seseorang itu melakukan
peranan sakit.
Tingkah laku sakit, peranan sakit dan peranan pasien sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti kelas sosial, suku bangsa, dan budaya yang berlaku disuatu
tempat.
Contoh tingkah laku sakit, sebagai berikut:
1) Bangsa Jepang

Pada periode 1996-1998 di RS Medistra Jakarta pada beberapa pasien berwarga


Negara Jepang. Tampak pasien segera berespon dengan perubahan sakit yang
terjadi pada dirinya. Sesuai dengan disiplin waktu yang sudah menjadi
tradisinya, pasien sering meminta schedul tindakan keperawatan terhadap dirinya
dan membuat perjanjian apabila terjadi perubahan kondisi (kondisi perubahan
suhu yang sering naik, turun, pada pasien DHF ), pasien akan memanggil
perawat untuk memeriksa suhu tubuhnya. Perawat harus memberitahu hal-hal
atau tindakan yang mendadak misalnya, visite dokter tiba- tiba datang. Dalam
menghadapi perubahan-perubahan kesehatan ia ingin segera mendapatkan
tanggapan dari para dokter dan perawat. Apabila dia sudah di tanggapi oleh
dokter dan perawat pasien merasa tenang.
Dari observasi diatas, pasien Jepang merupakan tipe Public Pain dimana rasa
sakit yang mereka rasakan ingin segera ditangani dan memerlukan penjelasan
atau concern dari perawat maupun dokter yang menanganinya.
2) Masyarakat Manado

Pasien yang dirawat dengan keluhan sakit pada area perut kanan di IGD RS
PERSAHABATAN pada tanggal 8 Desember 1998. Pasien Manado ingin segera
ditangani secepatnya. Karena RS Persahabatan merupakan RS pemerintah yang
sarananya serba terbatas, maka sulit untuk memenuhi semua keinginan pasien.
Dari segi penampilan pasien dan keluarga nampak bagus dan rapi. Pasien juga
sering mengeluh dan mengerang-erang kesakitan serta memanggil-manggil
perawat untuk segera ditangani.
Penjelasan dari perawat sering diabaikan dan meminta penjelasan langsung dari
dokter. Setelah diberi penjelasan dari dokter, pasien malahan lebih sering
mengeluh dan menuntut penatalaksanaan secepatnya tanpa memperdulikan
proses penyakitnya dan prosedur penanganan karena keterbatasan alat dan
tenaga, tindakan tidak bisa dilakukan dengan segera. Keluarga pasien
menyatakan complain pada pelayanan yang diberikan dan pasien dengan suara
merintih meminta segera di pindahkan ke Rumah Sakit yang lebih memadai.
Perawat kemudian menyarankan rujukan ke RS swasta.
Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Manado merupakan tipe Public
Pain dimana mereka meminta perhatian yang berlebih dari perawat maupun
dokter serta menginginkan yang terbaik buat mereka.
3) Masyarakat Bali
Pasien di Rumah Sakit Sanglah Denpasar pada periode tahun 1995-1996 di
beberapa ruangan rawat inap.
Pasien Bali dalam menghadapi perawatan terhadap dirinya jarang meminta
perhatian lebih dari perawat atau dokter teteapi mereka akan sangat
berterimakasih bila diperhatikan secara sewajarnya. Kehidupan beragama yang
begitu kental membuat setiap pasien selalu meminta tempat untuk
menghanturkan sesajen di samping tempat tidurnya. Jika lupa atau terlambat,
mereka biasanya merasa tidak enak. Sesajen biasanya dihaturkan oleh keluarga
pasien untukm meminta keselamatan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.Kebersamaan adat yang kental membuat Rumah Sakit terkadang dipenuhi
oleh sanak saudara dan anggota banjar (sejenis RW dengan ikatan yang kuat)
dari pasien yang bersangkutan. Kehadiran sanak saudara bagi pasien merupakan
suatu kebahagiaan dan kebanggaan karena disanalah kualitas hubungan si pasien
dengan masyarakat komunitasnya. Bila sedikit yang datang mengunjungi
malahan pasien akan sangat bersedih. Dan itu tentui akan menghambat proses
kesembuhan si pasien.
Dari observasi diatas, nampak bahwa pasien Bali merupakan tipe Private Pain
dimana mereka mempunyai perasaan berterimakasih yang sangat besar. Bila
pasien merasa puas akan pelayanan yang diberikan kepadanya, tidak jarang
pasien memberikan oleh-oleh atau hadiah kepada perawat atau dokter yang
menanganinya. Bahkan setelah pasien sembuh banyak pasien menjalin hubungan
yang lebih akrab dengan perawat atau dokter yang merawatnya

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi nyeri
yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat
meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan
mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik
dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai jaras nyeri
yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri pada
intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor
yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional,
pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan
pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri,
sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat
menahan nyeri sebelum memperlihatkan reaksinya. Kemampuan untuk
mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan,
marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-
obatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone &
Burke).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:


1) Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut
individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh
nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri;
akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi
lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima
peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman
nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan
pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer & Bare).
Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari
seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang
sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya
nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone).

2) Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam diantara
individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan, ketakutan akan
kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan dalarn identitas
peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan masa lalu (Smeltzer & Bare).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara
langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman
dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan
kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah
mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil
yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk
nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi
tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika
kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone).
Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak
seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan atau
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri
(Smeltzer & Bare).
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien
menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan
neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan
saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone
& Burke).
Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh nucleus
rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik otak.
Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi
enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan . Jadi,dpresinaptik
dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A sistem analgetika ini
dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis
(Guyton).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari
stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya
faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu
dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya a
ktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin
dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bµ,re,).

3) Umur
Umur dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau ada sejak
dilahirkan (Poerwadarminta). Menurut Ramadhan (2001), umur adalah usia
individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.
Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses
penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain
pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai
keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan
neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus
serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih
umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau
diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone &
Burke).
Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda
dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia mempunyai
metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih
besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya analgesik dosis
kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia. Persepsi nyeri
pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan patologis
berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi pada
individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer &
Bare).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah
kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung
mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan
karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan
normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena
mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang
nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan
pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).
4. Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang telah
dikodratkan Tuhan, oleh sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara laki-laki
dan perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam aspek
sosial kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan perempuan
merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai karakter sifat
gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-
perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna pembentukan,
sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara sosial kultural,
melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari).
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan
tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu
ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu.
Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang
berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan
dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor).
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar dengan
cepat untuk mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk
rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak mungkin
belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil
menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk
berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin berpegang
pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri (Taylor & Le
Mone).
Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam budaya
yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota keluarga
lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana laki-laki
merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam
keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering
menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai
bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan
yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan
bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta
pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone).
Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita dan
mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak
menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan
nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih
suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik
opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone).

5. Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan nilai
keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu
terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin
ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor & Le Mane).
Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai
pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri
diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun,
budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare).
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami
mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu
kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan
dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan
mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih
akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif
dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).

6. Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara
untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi
nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini
mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan
mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane).

7. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat


Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri
seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan yang
asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang perawatan
intensif, dapat menambah nyeri yang dirasakan.
Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa
mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri
ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk
rnemperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le
Mone).

8. Daftar Pustaka
Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli
kasinya, Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi etiologi penyakit, persepsi sehat sakit,
peran dan perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan etiologi penyakit, persepsi
sehat sakit, peran dan perilaku pasien, respon sakit/nyeri pasien.

C. Penutup
1. Evaluasi danKunci Jawaban
a. Jelaskan pandangan masyarakat tentang etiologi penyakit
b. Jelaskan persepsi sehat sakit menurut menurut masyarakat
c. Jelaskan peran dan perilaku pasien ketika mereka sakit
d. Jelaskan bagaimana respon sakit/nyeri pasien

2. Lembar Kejra Mahasiswa .

Mata Kuliah ......................


Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%
BAB III : TRANSKULTURAL DALAM KEPERAWATAN
PEMBELAJARAN 9-10
Globalisasi Dan Perspektif Transkultural, Diversity Dalam Masyarakat

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang globalisasi dan perspektif transkultural, diversity
dalam masyarakat berserta pengaruhinya baik positif maupun negative, alternative
dalam pemecahan masalah yang timbul dalam masyarakat multikultur.

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan globalisasi dan perspektif transkultural
b. Mampu menjelaskan diversity dalam masyarakat
c. Mampu menjelaskan pengaruh diversity dalam masyarakat
d. Mampu menjelaskan alternative dalam pemecahan masalah yang timbul dalam
masyarakat multikultur

B. Penyajian
1. Uraian Materi Globalisasi dan perspektif transkultural
a. Keperawatan transkultural dan globalisasi dalam layanan kesehatan
Globalisasi menyebabkan masyarakat hidup dalam suasana multikultural yang
disebabkan karena migrasi antar daerah dan negara menjadi lebih mudah.
Keperawatan transkultural menjadi komponen utama dalam kesehatan dan menjadi
konstituen penting dari perawatan, yang mengharapkan para perawat kompeten
secara budaya dalam praktek sehari-hari. Perawat yang kompeten dalam budaya
memiliki pengetahuan tentang budaya lain dan terampil dalam mengidentifikasi
pola-pola budaya tertentu sehingga dirumuskan rencana perawatan yang akan
membantu memenuhi tujuan yang telah ditetapkan untuk kesehatan pasien
(Gustafson, 2005).
Kebudayaan merupakan fenomena yang universal, yang memiliki gambaran yang
khas tiap kelompok tertentu, mencakup pengetahuan, kepercayaan, adat dan
ketrampilan yang dimiliki anggota kelompok tersebut.
Pada era globalisasi kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi dan informasi
telah semakin menghubungan dunia dalam berbagai aspek kehidupan, dan dengan
sangat cepat dan kuat masuk ke seluruh bangsa-bangsa di dunia.
Dengan berbagai kemajuan tersebut, mobilitas penduduk dunia semakin meningkat,
dan informasi tentang berbagai hal di dunia dengan cepat mengglobal. Perubahan
tersebut membawa dampak terjadinya perubahan budaya pada penduduk dunia.
Penduduk dari kelompok sosiokultural yang berbeda akan mempunyai perbedaan
budaya, kepercayaan, tata nilai dan gaya hidup. Beberapa faktor tersebut secara
bermakna akan mempengaruhi cara individu berespon terhadap masalah
keperawatan, terhadap pemberi pelayanan keperawatan dan terhadap keperawatan
itu sendiri.
Perawat sebagai bagian dari tenaga kesehatan professional harus dapat mengetahui,
memahami dan bertindak dengan perspektif global bagaimana merawat pasien
dengan berbagai macam budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia saat
ini. Jika faktor tersebut tidak dipahami dan dihargai oleh pemberi pelayanan
kesehatan, maka pelayanan keperawatan yang diberikan mungkin menjadi tidak
efektif. Adanya keragaman budaya akan menjadi jelas, bahwa perbedaan budaya
harus dipertimbangkan, dipahami dan dihargai dan pelayanan keperawatan yang
diberikan harus sesuai dengan budaya yang dimiliki. Leininger (2002),
beranggapan bahwa sangat penting memperhatikan keragaman budaya,
kepercayaan, nilai-nilai dan gaya hidup dalam penerapan asuhan keperawatan
kepada pasien.
Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus mengetahui situasi tertentu
dari makna budaya dan sosial yang dimiliki pasien dan menghindari memaksakan
sistem nilai yang dianut dan diyakini perawat ketika mempunyai pandangan yang
berbeda dengan pasien. Asuhan keperawatan perlu disesuaikan dengan nilai-nilai,
kepercayaan, cara hidup, dan budaya.
Asuhan keperawatan yang komprehensif secara budaya mengacu pada tindakan dan
keputusan kognitif yang diatur agar sesuai dengan gaya hidup, kepercayaan
dan nilai budaya seseorang, keluarga, kelompok, komunitas atau institusi, untuk
memperoleh asuhan kesehatan yang berarti, menguntungkan dan memuaskan.
Tindakan dan keputusan yang diambil terdiri dari:
1) Mempertahankan asuhan budaya atau Culture Care Preservation/ Maintenance,
mengacu pada tindakan dan keputusan professional yang dapat membantu
pasien meningkatkan dan mempertahankan status kesehatannya.
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan.
2) Akomodasi dan negosiasi asuhan budaya atau Culture Care Accomodation
/Negotiation, mengacu pada tindakan dan keputusan professional yang akan
membantu seseorang dengan budaya tertentu beradaptasi untuk dapat
memperoleh hasil akhir kesehatan yang menguntungkan dan memuaskan
3) Restrukturisasi dan pemolaan kembali asuhan keperawatan atau Culture Care
Repatterning/ Restructuring, mengacu pada tindakan dan keputusan
professional yang dapat membantu pasien mengatur kembali, mengubah, atau
memodifikasi gaya hidup mereka ke arah pola asuhan kesehatan yang baru,
berbeda dan lebih menguntungkan. Selain itu kepercayaan dan nilai budaya
pasien tetap dihormati dan dapat diperoleh gaya hidup yang lebih baik atau
lebih sehat
Asuhan keperawatan yang komprehensif secara budaya mengacu kepada
integrasi kompleks sikap, pengetahuan dan ketrampilan termasuk pengkajian,
pengambilan keputusan, penilaian, berpikir kritis dan evaluasi yang
memungkinkan perawat memberikan asuhan dengan cara yang peka secara bu
daya
b. Konsep dan prinsip dalam teori keperawatan transkultural
Keperawatan transkultural adalah area keilmuan budaya pada proses belajar
dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan,sehat dan sakit didasarkan pada
nilai budaya manusia,keprcayaan dan tindakan ( Leininger,2002 )
Konsep dalam keperawatan transkultural

1) Budaya adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok


yang di pelajari dan di bagi serta memberi petujuk dalam berfikir-bertindak
dalam mengambil keputusan.
2) Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih di inginkan
atau sesuatu tindakan yang di pertahankan pada suatu waktu tertentu dan
melandasi tindakan dan keputusan.
3) Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang
optimal mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang
di butuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai
individu kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan
dari individu yang dating dan individu yang mungkin akan kembali lagi
( Leininger,1985 )

c. Diversity dalam masyarakat


Keragaman suku, agama, budaya, bahasa di Indonesia menjadi sesuatu hal
yang tidak dimiliki oleh Negara lain, karena itu keragaman ini dapat dijadikan
sebagai sesuatu yang positif dalam mendukung pembangunan nasional disegala
bidang. Walaupun menurut beberapa ahli bahwa keragaman itu dapat
memberikan pengaruh positif, namun ada juga yang melihat bawha keragaman
tersebut ada pengaruh negative.

1) Pengaruh positif

BIDANG POLITIK
Dapat menimbulkan integrasi nasional yang berdirikan Bhineka Tunggal Ika
BIDANG EKONOMI
Dapat menjadi asset nasional yang mendatangkan devisa Negara yang besar dan sekaligus
dapat meningkatkan kesejateraan rakyat
BIDANG SOSIAL
Dapat menjadi sarana untuk memajukan pergaulan antar kelompok sosialis dan suku bangsa
melalui pertukaran pelajar
BIDANG PARIWISATA
Menimbulkan daya tarik bagi wisatawan mancanegara
BIDANG BUDAYA
Dapat memperkaya khasanah kebudayaan bangsa
BIDANG INOVASI
Dapat menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi masing-masing daerah atau suku bangsa
untuk lebih memajukan daerahnya.

2) Pengaruh Negatif
a) Konflik Bersifat Ideologis, tipe konflik social yang berlatar belakang
pembagian system nilai yang dianut dan dijadikan ideology dari berbagai
kesatuan social.
b) Konflik Bersifat Politis, tipe konflik social yang berlatar belakang
pembagian status kekuasan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas
adanya dalam masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat, di dunia hanya 12 negara yang memiliki etnis
homogeny( moro etnis), yakni: Austria, Eslandia, Norwegia, Belanda,
Maroko, Swaziland, Portugal, Jerman, Denmark, Botswana, Somalia,
Jepang,
 Berdasarkan Negara multi etnik lebih cenderung mengalami konflik
yang tidak ada habisnya, seperti India, bekas Yugoslavia, bekas
Belgia, Nigeria, Malaysia, dan lain-lain.
 Indonesia sebagai Negara majemuk tidak lepas dari konflik yang
cenderung berhubungan dengan Suku, Agama, Ras, Adat Istiadat.
Seperti:
(a) Pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI) Madiun 1948 dan Gerakan 30 September/ Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI) 1965.
(b) Pemberontakan Darul Islam Indonesia (DII)/
TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan
Kalimantan Selatan.
(c) Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
(d) Konflik Sambas, konflik Sampit (Suku Dayak melawan
transmigran Suku Madura di Kalimantan), Konflik Ambon
(Konflik agama), Konflik Kupang, Konflik Poso, dan lain-lain.

d. Alternatif pemecahan masalah yang Timbul dalam Masyarakat


Multikultural
1) Integrasi Sosial dalam Masyarakat Multikultural
a) Pengertian Intergrasi Sosial, menurut Abdul Syabu, integrasi social
adalah menghubungkan individu dengan individu yang lainnya sehingga
terbentuk menjadi masyarakat; Menurut Festiger, integrasi social terjadi
apabila keseluruhan anggota dalam suatu kelompok berkemauan untuk
tetap dalam kelompoknya, seolah-olah satu sama lain saling terkait;
Menurut Soerjono Soekanto, integrasi (penggabungan) adalah
pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan dalam suatu system
social, membuat suatu keseluruhan dari unsure-unsur tertentu.
b) Teori integritas Sosial, Teori Konflik (Menurut Karl Mark) yakni setiap
masyarakat selalu berada dalam ketegangan dan konflik, oleh karena itu
agar terjadi integrasi maka perlu dilakukan tekanan oleh pihak satu kepada
pihak yang lainnya; Teori Fungsional (Menurut Kingley Davis dan Wilbert
More) yakni setiap masyarakat selalu stabil dan relative terintegrasi oleh
karena itu agar tetap terintegrasi maka diperlukan adanya consensus antar
anggota-anggotanya.
c) Tipe dan bentuk Integrasi Sosial, 1) Integrasi Fungsional:
proses penyesuaian antara anggota-anggota dalam suatu kelompok atau
antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain dalam suatu
masyarakat atas dasar fungsi aktivitas individu atau kelompok yang saling
melengkapi satu sama lain.2) Integrasi Normatif: proses penyesuaian
antara anggota- anggota dalam satu kelompok atau antara kelompok yang
satu dengan yang lain dalam suatu masyarakat atas dasar norma-norma
tertentu.

 Bentuk Integrasi dalam Kehidupan Masyarakat Multikultural

a) I ntegrasi internal, eksternal, vertikal, dan horizontal


Menurut Soerjono Soekanto menyebutkan:
(1)Integrasi Internal, yakni proses integrasi dengan cara menyatukan
anggota-anggota dalam satu kelompok.
(2)Integrasi Eksternal, yaitu proses integrasi dengan cara menyatukan
berbagai macam kelompok ke dalan suatu kelompok yang lebih besar
atau suatu masyarakat. Misalnya: Organisasi kecil ke organisasi Besar.
(3)Integrasi Vertikal, yaitu proses integrasi dengan cara melakukan
pengendalian tunggal terhadap beraneka ragam individu atau
kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan-perbedaan.
(4)Integrasi Horizontal, yaitu proses integrasi dengan cara melakukan
pengendalian tunggal terhadap beraneka ragam individu atau kelompok
yang memiliki persamaan- persamaan. Misalnya: Kelompok pelajar dan
kelompok seni.
e. Integrasi instrumental dan ideologis
1) Integrasi Instrumental, yaitu integrasi yang tampak secara visual (tampak)
dari adanya ikatan-ikatan social di antaranya individu-individu di dalam
masyarakat. Integrasi instrumental memiliki ciri- cirri sebagai berikut:
a) adanya norma atau kepentingan tertentu sebagai pengikat.
b) adanya keseragaman aktifitas keseharian.
c) adanya keseragaman pakaian
d) adanya tujuan tertentu yang disesuaikan dengan kepentingan kelompok
2) Integrasi Ideologis, yaitu integrasi yang terbentuk karena adanya ikatan
spiritual (Odeologis) yang kuat dan mendasar melalui proses alamiah tanpa
adanya suatu ikatan tertentu. Memiliki cirri-ciri:
a) adanya persamaan nilai-nilai yang mendasar yang terbentuk atas kehendak
sendiri.
b) adanya persamaan persepsi
c) adanya persamaan orientasi kerja diantara anggota-anggotanya
d) adanya tujuan yang sama

f. Integrasi aspek fisik, psikis, hubungan social dan proses


1) Aspek Fisik, dilihat dari aspek fisik atau wadahnya, integrasi social bisa
berbentuk organisasi atau paguyuban.
2) Aspek Psikis, ditandai dengan adanya kesadaran diri dari setiap orang
yang menyatukan diri dalam suatu wadah tertentu sehingga mereka menjadi
bagian yang utuh, merasa memiliki, dan mempunyai tanggung jawab dalam
kehidupan bersama.
3) Aspek Hubungan Sosial, integrasi social bukan hanya ditandai dari
intensitas (khusus) dalam berkomunikasi tetapi intensitas dalam bekerja sama
dan bergotong royong untuk memecahkan masalah-masalah guna memenuhi
kebutuhan bersama.
4) Aspek Proses, integrasi social tidak dapat terjadi seketika tetapi melalui
proses panjang dan rumut karean membutuhkan waktu dan prosedur tertentu.

g. Tahapan-tahapan Integrasi Sosial


1) Tahap Akomodasi, yakni cara penyesuaian untuk mengatasi konflik. Tujuan
akomodasi yakni
a) Mengurangi pertentangan yang terjadi antar individu atau kelompok.
b) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu,
misalnya: penundaan kenaikan Bahan Bakar Minyak.
c) Mencari kemungkinan kerjasama antar individu atau kelompok yang
bertikai
d) Mengusahakan peleburan antara kelompok yang terpisah
2) Tahap Kerjasama, yakni usaha dari dua orang atau lebih atau kelompok
dengan kelompok lainnya dalam rangka untuk mencapai tujuan bersama.
Kerjasama disebabkan oleh:
a) Adanya kepentingan minat dan perhatian sama
b) Adanya kewajiban situasional (mempunyai hak dan kewajiban yang sama
di antara anggota)
c) Adanya motif-motif untuk menolong orang lain.
d) Keinginan untuk mencapai nilai atau hasil yang lebih besar
e) Adanya musuh bersama.

3) Dilihat dari Sifatnya, kerjasama dibedakan menjadi:


a) Kerjasama primer, yakni kerjasama pokok, misalnya: koperasi, untuk
mensejahterakan anggotanya.
b) Kerjasama sekunder, yakni kerjasama luar pokok, misalnya: koperasi,
untuk kepentingan keuntungan.

4) Dilihat Jenisnya, kerjasama dibedakan menjadi:


a) Kerukunan
b) Tawar menawar (Bargaining), yakni saling memberikan usul terhadap
organisasi tersebut.
c) Kooptasi (Cooptation), yakni kerjasama dalam bentuk mau menerima
pendapat dan ide orang atau kelompok lain.
d) Koalisi (Coalition), yakni kerjasama
e) Patungan (joint venture), yakni cenderung ke modal.

g. Faktor yang Mempengaruhi integrasi antar Kelompok Sosial


1). Homogenitas kelompok, yakni semakin kecil tingkat
kemajemukan masyarakat akan semakin mudah tercapainya integrasi
5) Besar kecilnya kelompok, yakni semakin kecil suatu kelompok akan semakin
mudah untuk mencapai integrasi.
6) Perpindahan fisik, baik yang datang maupun yang keluar dari suatu kelompok
akan mempengaruhi terjadinya integrasi.
7) Efektivitas dan efisiensi komunikasi, adanya komunikasi yang efektif dan
efisien dalam masyarakat akan memudahkan terjadinya integrasi.

h. Faktor Pendorong Integrasi antar Kelompok Sosial


8) Faktor internal, yakni factor pendorong yang berasal dalam kelompok.
Faktornya:
a) Kesadaran diri sebagai makhluk social yaitu makhluk yang selalu hidup
bersama
b) Tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat
c) Jiwa dan semangat gotong royong
9) Faktor Eksternal, yakni factor pendorong yang berasal dari luar kelompok.
Faktornya:
a) Tuntutan perkembangan jaman
b) Persamaan kebudayaan
c) Terbukanya kesempatan
d) Persamaan visi, misi, dan tujuan
e) Sikap menghargai atau toleransi terhadap kelompok lain
f) Adanya consensus nilai-nilai antar kelompok social
g) Adanya tantangan dari luar

i. Faktor Pendukung Integrasi antar Kelompok Sosial, untuk bangsa Indonesia


factor pendukungnya yakni:
1) Penggunaan Bahasa Indonesia
2) Semangat persatuan dan kesatuan
3) Ideologi Pancasila
4) Jiwa dan semangat gotong royong, toleransi beragama, solidaritas
5) Senasib akibat penjajahan

j. Keberhasilan Integrasi antar Kelompok Sosial


1) Setiap anggota masyarakt dapat memenuhi kebutuhan pokoknya
2) Telah dicapai consensus (perjanjian) bersama mengenai nilai norma dasar
3) Nilai atau norma tersebut telah hidup dan berkembang dalam waktu
yang lama dan konsisten
4) Nilai atau norma tersebut diamalkan dan dijadikan pedoman
5) Individu atau kelompok saling menyesuaikan diri satu sama lain.
6) Selalu menempatkan persatuan dan kesatuan serta keselamatan kelompok di
atas kepentingan pribadi.

k. Berbagai Alternatif Pemecahan Masalah dalam Masyarakat Multikultural


1). Pendapat Myron Weiner, yakni:
a) Integrasi Bangsa
1) Pengembangan potensi nasional melalui penghapus sifat-sifat
cultural utama dari suku-suku bangsa yang berbeda menjadi
semacam penciptaan kebudayaan nasional; biasanya kebudayaan
dari kelompok budaya yang dominan melalui proses asimilasi.
2) Pengembangan potensi local melalui penciptaan kesetiaan nasional
tanpa menghapus kebudayaan-kebudayaan kecil (suku bangsa), yaitu
disebut “Kebijakan Bhineka Tunggal Ika”, yang secara politis
ditandai dengan penjumlahan etnis.
Dalam prakteknya kedua strategi jarang dilakukan namun lebih
cenderung mencampurkan beberapa unsure dari kedua strategi.
b) Integrasi Wilayah, lebih dahulu dilaksanakan adalah
pembangunan Negara (state building) dan baru kemudian
melaksanakan pembangunan bangsa (nation building), yakni:
1) Pemerintah pusat mampu melaksanan control terhadap penguasa
daerah yang lebih rendah.
2) Penciptaan Undang-undang yang seragam
3) Pengembangan transportasi dan komunikasi
c) Integrasi Nilai, berarti harus ada pengakuan akan adanya prosedur
yang dapat diterima oleh semua pihak guna memecahkan konflik yang
ada. Dua strategi tersebut antara lain:
1) Strategi yang menekankan pentingnya consensus (perjanjian) dan
memusatkan perhatian pada usaha pencitpaan keseragaman
semaksimal mungkin
2) Strategi yang menekankan interaksi antara kepentingan kelompok
dengan kepentingan pribadi.
d) Integrasi Elite- Massa (Elite= pemerintah; Massa= yang diperintah)
Demokrasi tidak ada permusyawarahan rakyat yang besar dan kuat sehingga
kekuasaan tidak dibutuhkan lagi. Daam Negara totaliter tidak ada
pemerintah yang kkuat dan kompak. Sehingga pemerintah harus
“consent” terhadap wewenang yang diberikan rakyat melalui DPR/
MPR, sedangkan rakyat harus berpatisipasi aktif.

2. Pendapat Spethen Moris, masyarakat multicultural harus dilakukan


melalui integrasi kegiatan ekonomi.
3. Pendapat Syamour Martin Lipset dan Lewis Coser, integrasi masyarakat
multicultural biasanya terjadi melalui proses penyilangan keanggotaan
warga masyarakat dalam berbagai kelompok yang berbeda-beda.
4. Pendapat Niniek Sri Wahyuning dan Yusniati
Pontensi local yang perlu dikembangkan, antara lain:
a) Melestarikan nilai budaya gotong royong dan
sifatnya kekeluargaan
b) Mengembangkan nilai budaya musyawarah
c) Memupuk sikap toleransi dan tenggang rasa
Potensi nasional yang perlu dikembangkan, antara
a) Memberi kesadaran akan adanya unsure kesamaan kebudayaan
lain:
b) Perlunya penghayatan dan pengalaman Pancasila
c) Membina persatuan dan kesatuan bangsa
d) Memupuk perasaan senasib dan sepenanggungan
e) Konsisten terhadap consensus (perjanjian) yang telah ditetapkan

l. Pengembangan Sikap Kritis, Sikap Toleransi, dan Empati Sosial dalam


Kehidupan Masyarakat Multikultural
1. Sikap Kritis, yakni perbuatan yang didasarkan pada pendirian (pendapat
atau keyakinan). Bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau
kekeliruan atau tajam dalam penganalisaan.
2. Sikap Toleransi, yakni sikap menghargai pendirian, pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan orang lain yang berbeda dengan diri sendiri.
3. Sikap Empati, yakni keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau
mengidentifikasikan dirinya dengan pihak lain atau kelompok lain.

3. Daftar Pustaka
Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”,
Edisi I, EGC, Jakarta
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories,
Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika
4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi globalisasi dan
perspektif transkultural
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi globalisasi dan
perspektif transkultural

C. Penutup
1. Evaluasi danKunci Jawaban
a. Jelaskan globalisasi dan perspektif transkultural
b. Jelaskan diversity dalam masyarakat
c. Jelaskan pengaruh-pengaruh diversity dalam masyarakat
d. Jelaskan alternatif pemecahan masalah yang Timbul dalam Masyarakat Multikultural
e. Jelaskan Pengembangan Sikap Kritis, Sikap Toleransi, dan Empati Sosial dalam
Kehidupan Masyarakat Multikultural

2. Lembar Kejra Mahasiswa .

Mata Kuliah ......................


Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%
PEMBELAJARAN 11-12
Teori Culture Care Leininger

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang sejarah teori cultura care Leininger, pengertian,
asumsi dasar, konsep teori dan paradigma keperawatan.

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian culture care
b. Mampu menjelaskan asumsi dasar
c. Mampu menjelaskan konsep teori culture care
d. Mampu menjelaskan paradigma keperawatan

B. Penyajian
1. Uraian Materi

a. Sejarah teori ‘cultur care’


Dr. Madeline Leininger, seorang perawat yang ahli antropologi, mempunyai andil
besar dalam meningkatkan riset dalam perawatan trans-kultural dan dalam
merangsang program-program studi yang erat kaitannya. Ia adalah pelopor
keperawatan transkultural dan seorang pemimpin dalam mengembangkan
keperawatan transkultural serta teori asuhan keperawatan yang berfokus pada
manusia. Leininger juga adalah seorang perawat professional pertama yang meraih
pendidikan doctor dalam ilmu antropologi social dan budaya.

Madeline Leininger lahir di Sutton, Nebraska, dan memulai karir keperawatannya


setelah tamat dari program diploma di “St. Anthony’s School of Nursing” di
Denver. Pada tahun 1950 ia meraih gelar sarjana dalam ilmu biologi dari
“Benedictine College, Atchison Kansas” dengan peminatan pada studi filosofi dan
humanistik. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut ia bekerja sebagai
instruktur, staf perawatan dan kepela perawatan pada unit medikal bedah sererta
membuka sebuah unit perawatan psikiatri yang baru dimana ia menjadi seorang
direktur pelayanan keperawatan pada St. Joseph’s Hospital di Omaha. Selama
waktu ini ia melanjutkan pendidikan keperawatannya di ”Creigthton University ” di
Omaha. Tahun 1954 Leininger meraih gelar M.S.N. dalam keperawatan
psikiatrik dari ” Chatolic University of America” di Washington, D. C. Ia kemudian
bekerja pada ”College of Health” di Univercity of Cincinnati, dimana ia menjadi
lulusan pertama (M. S. N ) pada program spesialis keperawatan psikiatrik anak . Ia
juga memimpin suatu program pendidikan keperawatan psikiatri di universitas
tersebut dan juga sebagai pimpinan dalam pusat terapi perawatan psikiatri di rumah
sakit milik universitas tersebut.
Leininger bersama C. Hofling pada tahun 1960 menulis sebuah buku yang diberi
judul ” Basic Psiciatric Nursing Consept” yang dipublikasikan ke dalam sebelas
bahasa dan digunakan secara luas di seluruh dunia. Selama bekerja pada unit
perawatan anak di Cincinnati, Leininger menemukan bahwa banyak staff yang
kurang memahami mengenai faktor-faktor budaya yang mempengaruhi perilaku
anak-anak. Dimana diantara anak-anak ini memiliki latar belakang kebudayaan
yang berbeda. Ia mengobservasi perbedaan- perbedaan yang terdapat dalam asuhan
dan penanganan psikiatri pada anak-anak tersebut. Terapi psikoanalisa dan terapi
strategi lainnya sepertinya tidak menyentuh anak-anak yang memiliki perbedaan
latar belakang budaya dan kebutuhan. Leininger melihat bahwa para perawat lain
juga tidak menampilkan suatu asuhan yang benar-benar adequat dalam menolong
anak tersebut, dan ia dihadapkan pada berbagai pertanyaan mengenai perbedaan
budaya diantara anak-anak tersebut dan hasil terapi yang didapatkan. Ia juga
menemukan hanya sedikit staff yang memiliki perhatian dan pengetahuan mengenai
faktor-faktor budaya dalam mendiagnosa dan manangani klien.

Suatu ketika, Prof. Margaret Mead berkunjung pada departemen psikiatri


University of Cincinnati dan Leiniger berdiskusi dengan Mead mengenai adanya
kemungkinan hubungan antara keperawatan dan antropologi. Meskipun ia tidak
mendapatkan bantuan langsung, dorongan, solusi dari Mead , Leininger
memutuskan untuk melanjutkan studinya ke program doktor (Ph.D) yang berfokus
pada kebudayaan, sosial, dan antropologi psikologi pada Universitas Washington.
Sebagai seorang mahasiswa program doktor, Leininger mempelajari berbagai
macam kebudayaan dan menemukan bahwa pelajaran antroplogi itu sangat menarik
dan merupakan area yang perlu diminati oleh seluruh perawat. Kemudia ia
menfokuskan diri pada masyarakat Gadsup di Eastern Highland of New Guinea,
dimana ia tinggal bersama masyarakat tersebut selama hampir dua tahun. Dia dapat
mengobservasi bukan hanya gambaran unik dari kebudayaan melainkan perbedaan
antara kebudayaan masyarakat barat dan non barat terkait dengan praktek dan
asuhan keperawatan untuk mempertahankan kesehatan.

Dari studinya yang dalam dan pengalaman pertama dengan masyarakat Gadsup,ia
terus mengembangkan teori perawatan kulturalnya dan metode ethno nursing. Teori
dan penelitiannya telah membantu mahasiswa keperawatan untuk memahami
perbedaan budaya dalam perawatan, manusia, kesehatan dan penyakit. Dia telah
menjadi pemimpin utama perawat yang mendorong banyak mahasiswa dan fakultas
untuk melanjutkan studi dalam bidang anthropologi dan menghubungkan
pengetahuan ini kedalam praktik dan pendidikan keperawatan transkultural.
Antusiasme dan perhatiannya yang mendalam terhadap pengembangan bidang
perawatan transkultural dengan fokus perawatan pada manusia telah menyokong
dirinya selama 4 dekade.

Tahun 1950-an sampai 1960-an, Leininger mengidentifikasi beberapa area umum


dari pengetahuan dan penelitian antara perawatan dan anthropologi: formulasi
konsep keperawatan transkultural, praktek dan prinsip teori. Bukunya yang berjudul
Nursing and anthropology : Two Words to Blend ; yang merupakan buku pertama
dalam keperawatan transkultural, menjadi dasar untuk pengembangan bidang
keperawatan transkultural, dan kebudayaan yang mendasari perawatan kesehatan.
Buku yang berikutnya, ”Transcultural Nursing : Concepts, theories, research, and
practise (1978 )” , mengidentifikasi konsep mayor, ide-ide teoritis, praktek dalam
keperawatan transkultural, bukti ini merupakan publikasi definitif pertama dalam
praktek perawatan treanskultural. Dalam tulisannya, dia menunjukkan bahwa
perawatan treanskultural dan anthropologi bersifat saling melengkapi satu sama
lain, menkipun berbeda. Teori dan kerangka konsepnya mengenai Cultural care
diversity and universalitydijelaskan dalam buku ini.

Sebagai perawat profesional pertama yang melanjutkan pendidikan ke jenjang


doktor dalam bidang antropologi dan untuk memprakarsai beberapa program
pendidikan magister dan doktor, Leininger memiliki banyak bidang keahlian dan
perhatian. Ia telah memepelajari 14 kebudayaan mayor secara lebih mendalam dan
telah memiliki pengalaman dengan berbagai kebudayaan. Disamping perawatan
transkultural dengan asuhan keperawatan sebagai fokus utama , bidang lain yang
menjadi perhatiannya adalah administrasi dan pendidikan komparatif, teori-teori
keperawatan, politik, dilema etik keperawatan dan perawatan kesehatan, metoda
riset kualitatif, masa depan keperawatan dan keperawatan kesehatan, serta
kepemimpinan keperawatan. Theory of Culture Care saat ini digunakan secara luas
dan tumbuh secara relevan serta penting untuk memperoleh data kebudayaan yang
mendasar dari kebudayaan yang berbeda.

b. Pengertian
“Transcultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada proses
belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai
budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk
memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budayakepada
manusia” (Leininger, 2002).

c. Asumsi dasar
Asumsi mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensi dari
keperawatan, membedakan, mendominasi serta mempersatukan
tindakankeperawatan. Tindakan Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan
dalam memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku Caring
semestinya diberikan kepada manusia sejak lahir, dalam perkembangan dan
pertumbuhan, masa pertahanan sampai dikala manusia itu meninggal.

Human caring secara umum dikatakan sebagai segala sesuatu yang berkaitan
dengan dukungan dan bimbingan pada manusia yang utuh. Human caring
merupakan fenomena yang universal dimana ekspresi, struktur dan polanya
bervariasi diantara kultur satu tempat dengan tempat lainnya.

d. Konsep dan definisi dalam teori leininger


Budaya (Kultur) adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang
dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan
mengambil keputusan.
Nilai budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau
sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi
tindakan dan keputusan.
Cultur care diversity (Perbedaan budaya dalam asuhan keperawatan)merupakan
bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada
kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan
asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan
termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu
yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
Cultural care universality (Kesatuan perawatan kultural) mengacu kepada suatu
pengertian umum yang memiliki kesamaan ataupun pemahaman yang paling
dominan, pola-pola, nilai-nilai, gaya hidup atau simbol-simbol yang
dimanifestasikan diantara banyak kebudayaan serta mereflesikan pemberian
bantuan, dukungan, fasilitas atau memperoleh suatu cara yang memungkinkan
untuk menolong orang lain (Terminlogy universality) tidak digunakan pada suatu
cara yang absolut atau suatu temuan statistik yang signifikan.
Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa
budayanya adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang
lain.
Etnis berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang
digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
Ras adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan
pada mendiskreditkan asal muasal manusia.
Etnografi adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada
penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran
yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi
untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal
balik diantara keduanya.
Care adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan
perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk
memenuhi kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi
dan kualitas kehidupan manusia.
Caring adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung
dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.
Cultural Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,
kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau
memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan
kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan
mencapai kematian dengan damai.
Culturtal imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk
memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lain karena
percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.

e. Paradigma keperawatan transkultural


Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagai cara
pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan
keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep
sentral keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan
(Andrewand Boyle, 1995).
1) Manusia
Manusia adalah individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan dan
melakukan pilihan. Menurut Leininger (1984) manusia memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan budayanya pada setiap saat dimanapun dia berada
(Geiger and Davidhizar, 1995).

2) Sehat
Kesehatan adalah keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisi
kehidupannya, terletak pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatu
keyakinan, nilai, pola kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untuk
menjaga dan memelihara keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasi dalam
aktivitas sehari-hari. Klien dan perawat mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin
mempertahankan keadaan sehat dalam rentang sehat-sakit yang adaptif (Andrew
and Boyle, 1995).
3) Lingkungan
Lingkungan didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhi
perkembangan, kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandang sebagai
suatu totalitas kehidupan dimana klien dengan budayanya saling berinteraksi.
Terdapat tiga bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik. Lingkungan
fisik adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia seperti daerah
katulistiwa, pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah di daerah
Eskimo yang hampir tertutup rapat karena tidak pernah ada matahari sepanjang
tahun. Lingkungan sosial adalah keseluruhan struktur sosial yang berhubungan
dengan sosialisasi individu, keluarga atau kelompok ke dalam masyarakat yang
lebih luas. Di dalam lingkungan sosial individu harus mengikuti struktur dan
aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Lingkungan simbolik adalah
keseluruhan bentuk dan simbol yang menyebabkan individu atau kelompok
merasa bersatu seperti musik, seni, riwayat hidup, bahasa dan atribut yang
digunakan.
4) Keperawatan
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakang
budayanya. Asuhan keperawatan ditujukan memandirikan individu sesuai
dengan budaya klien. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah
perlindungan/mempertahankan budaya, mengakomodasi/negoasiasi budaya dan
mengubah/mengganti budaya klien (Leininger, 1991).
a) Cara I : Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan
sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien
dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya
budaya berolahraga setiap pagi.
b) Cara II : Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk
membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih
menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan,
misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis,
maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani lain.
c) Cara III : Restrukturisasi budaya
Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan
status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang
biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih
biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang
dianut.

3. Daftar Pustaka
Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”,
Edisi I, EGC, Jakarta
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories,
Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi culture care Leininger
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan culture care
Leininger

C. Penutup
1. Evaluasi danKunci Jawaban
a. Jelaskan sejarah culture care Leininger
b. Jelaskan pengertian culture care
c. Jelaskan asumsi dasar teori culture care

2. Lembar Kejra Mahasiswa .


Mata Kuliah ......................
Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%

PEMBELAJARAN 13
Pengkajian Budaya

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang pengkajian keperawatan kepada pasien berbasis
budaya dengan menggunakan model matahari terbit, kelebihan dan kelemahan teori
model matahari terbit/Leininger theory Sun Rise Model
2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian pengkajian budaya
b. Mampu menjelaskan tujuh komponen pengkajian menurut model matahari terbit
c. Mampu menjelaskan kelebihan dan kelemahan konsep model matahari terbit

B. Penyajian
1. Uraian Materi Pengkajian Budaya
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan
keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit
(sunrise model) seperti yang terlihat pada gambar 1. Geisser (1991) menyatakan
bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan
memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995). Pengelolaan
asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Madeleine M. Leininger
Culture Care Diversity and Universality

Leininger’s Sunrise Model


a) The Sunrise Model ( Model matahari terbit)
Sunrise Model dari teori Leininger dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Matahari terbit sebagai lambang/ symbol perawatan. Suatu kekuatan untuk memulai
pada puncak dari model ini dengan pandangan dunia dan keistimewaan struktur
sosial untuk mempertimbangkan arah yang membuka pikiran yang mana ini dapat
mempengaruhi kesehatan dan perawatan atau menjadi dasar untuk menyelidiki
berfokus pada keperawatan profesional dan sistem perawatan kesehatan secara
umum. Anak panah berarti mempengaruhi tetapi tidak menjadi penyebab atau garis
hubungan. Garis putus-putus pada model ini mengindikasikan sistem terbuka.
Model ini menggambarkan bahwa tubuh manusia tidak terpisahkan/ tidak dapat
dipisahkan dari budaya mereka.

Suatu hal yang perlu diketahui bahwa masalah dan intervensi keperawatan tidak
tampak pada teori dan model ini. Tujuan yang hendak dikemukakan oleh Leininger
adalah agar seluruh terminologi tersebut dapat diasosiasikan oleh perawatan
profesional lainya. Intervensi keperawatan ini dipilih tanpa menilai cara hidup klien
atau nilai-nilai yang akan dipersepsikan sebagai suatu gangguan, demikian juga
masalah keperawatan tidak selalu sesuai dengan apa yang menjadi pandangan klien.
Model ini merupakan suatu alat yang produktif untuk memberikan panduan dalam
pengkajian dan perawatan yang sejalan dengan kebudayan serta penelitian ilmiah.
b) Proses Keperawatan

1) Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and
Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada
pada "Sunrise Model" yaitu :

a) Faktor teknologi (tecnological factors)


Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih
mendapat penawaran menyelesaikan atau masalah dalam
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsipelayanan
sehat sakit, kebiasaan
berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan,
alasan klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang
penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan
kesehatan saat ini.
b) Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors) Agama
adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi
para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk
menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya
sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang
dianut, status pernikahan, cara pandang klien terhadap penyebab penyakit,
cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap
kesehatan.
c) Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors) Perawat
pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : nama lengkap, nama panggilan,
umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga,
pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan klien dengan kepala
keluarga.
d) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai
budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya
yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya adalah suatu kaidah
yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang
perlu dikaji pada faktor ini adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh
kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang
dipantang dalam kondisi sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas
sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.
e) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya
(Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan
dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota
keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat.
e) Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material
yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi
yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber biaya
pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau
patungan antar anggota keluarga.
f) Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh
jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien
maka keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibukti ilmiah yang
rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang
sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini
adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya
untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga
tidak terulang kembali.

2) Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai belakang
budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui
latar
keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995). Terdapat tiga intervensi
keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural
diagnosa
yaitu : gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur,
gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural dan
ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang
diyakini.
3) Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu
proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu
proses memilih strategi yang tepat.
4) Pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar belakang
budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang ditawarkan
dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu :
mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien
kurang menguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang
dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
a) Cultural care preservation/maintenance
(1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses
melahirkan dan perawatan bayi.
(2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien
(3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat
b) Cultural care accomodation/negotiation
(1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien.
(2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
(3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana
kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan
standar etik
c) Cultual care repartening/reconstruction
(1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan
dan melaksanakannya.
(2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
(3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
(4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang
dapat dipahami oleh klien dan orang tua

(5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan


Perawat dan klien harus mencoba untuk
memahami budaya masing-masing melalui proses akulturasi,
yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang
akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak
memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga
hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu.
Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan
menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
5) Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien
tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi
budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan
budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki
klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan
latar belakang budaya klien.
Praktik keperawatan memberikan perawatan yang holistik. Pendekatan holistik
ini meliputi perawatan fisik, psikologi , emosional, dan kebutuhan rohani pasien.
Penting untuk menekankan bahwa perawat harus mengidentifikasi dan
memenuhi kebutuhan tersebut agar dapat memberikan perawatan individual,
yang telah ditetapkan sebagai hak pasien dan merupakan ciri praktek
keperawatan profesional (Locsin, 2001). Dalam rangka untuk memberikan
perawatan holistik, perawat juga harus harus mempertimbangkan perbedaan
budaya dalam membuat rencana keperawatan.
Dengan demikian, perawat harus mempunyai kompetensi budaya dalam praktek
sehari-hari mereka agar pasien merasa dikenal dan diperhatikan sebagai individu
dalam suatu sistem kesehatan yang sangat kompleks dan beragam secara budaya.
Pekerja sosial menggambarkan kompetensi budaya sebagai suatu proses terus-
menerus berusaha untuk menyadari, menghargai keragaman, dan meningkatkan
pengetahuan tentang pengaruh budaya (Bonecutter & Gleeson, 1997). Dan
perawat telah mengadopsi konsep ini. Perawat menggambarkan kompetensi
budaya adalah kemampuan untuk memahami perbedaan budaya dalam rangka
untuk memberikan layanan berkualitas kepada pasien dengan berbagai
keanekaragaman budaya (Leininger, 2002). Perawat yang mempunyai
kompetensi budaya mempunyai kepekaan terhadap isu-isu yang berkaitan
dengan
Dengan memiliki pengetahuan tentang perspektif budaya pasien memungkinkan
perawat untuk memberikan perawatan yang tepat dan efektif. Sebagai contoh,
pada kasus pasien yang menolak untuk diberikan tranfusi darah dengan alasan
agama, perawat yang mempunyai kompetensi budaya akan memahami dan
mengatasi masalah pasien tersebut dengan masalah keanekaragaman budaya.
Perawat mungkin menghadapi pasien dari berbagai budaya dalam praktek sehari-
hari dan tidak mungkin perawat dapat memahami seluruh keanekaragaman
budaya. Namun, perawat dapat memperoleh pengetahuan dan skill dalam
komunikasi transkultural untuk membantu memfasilitasi perawatan individual
yang didasarkan pada praktek-praktek budaya. Perawat yang terampil
dalam komunikasi transkultural akan lebih siap untuk memberikan perawatan
yang kompeten secara budaya untuk pasien mereka.
Hasil penelitian kualitatif menunjukkan bahwa masalah komunikasi adalah
alasan utama perawat tidak dapat memberikan perawatan yang kompeten dalam
budaya (Boi, 2000, Cioffi, 2003). Perawat menyampaikan bahwa mereka tidak
nyaman dengan pasien dari budaya lain selain mereka sendiri karena hambatan
bahasa. Lebih penting lagi, para perawat menjelaskan bahwa mereka tidak dapat
memahami isyarat-isyarat lain yang digunakan oleh para pasien untuk
berkomunikasi. Perawat menyampaikan memerlukan pendidikan dan pelatihan
untuk memahami arti isyarat-isyarat komunikasi nonverbal tertentu yang
digunakan oleh kebudayaan yang berbeda, misalnya kontak mata, sentuhan,
diam, ruang dan jarak serta keyakinan terhadap kesehatan.
Kontak mata adalah alat komunikasi yang penting, juga merupakan variabel
yang paling berbeda diantara banyak budaya (Canadian Nurses Association,
2000). Perawat Amerika diajarkan untuk mempertahankan kontak mata ketika
berbicara dengan pasien mereka. Berbeda dengan orang-orang Arab, yang
menganggap kontak mata langsung tidak sopan dan agresif. Demikian pula,
penduduk asli Amerika Utara juga menganggap kontak mata langsung hal yang
tidak benar dalam budaya mereka, menatap lantai selama percakapan
menunjukkan bahwa mereka mendengarkan dengan hati-hati dengan pembicara.
Hispanik menggunakan kontak mata hanya bila dianggap tepat. Hal ini
didasarkan pada usia, jenis kelamin, kedudukan sosial, status ekonomi, dan
posisi kekuasaan. Misalnya, tetua Hispanik berbicara dengan anak-anak
menggunakan kontak mata, tapi dianggap tidak pantas bagi anak-anak Hispanik
untuk melihat secara langsung pada tetua mereka ketika berbicara. Dalam
lingkungan perawatan kesehatan, pasien Hispanik berharap bahwa perawat dan
penyedia layanan kesehatan lainnya langsung memberikan kontak mata saat
berinteraksi dengan mereka, tetapi tidak diharapkan bahwa pasien Hispanik
membalas dengan kontak mata langsung ketika menerima perawatan medis dan
keperawatan. Ini hanya beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa orang-orang
dari berbagai budaya kontak mata memandang berbeda. Sangat penting bahwa
perawat harus sadar bahwa beberapa makna yang dapat disertakan pada kontak
mata langsung agar dapat berkomunikasi secara efektif dengan pasien.
Namun demikian berikut adalah kelebihan dan kekurangan Teori Transkultural
dari Leininger :
a) Kelebihan :
(1) Teori ini bersifat komprehensif dan holistik yang dapat memberikan
pengetahuan kepada perawat dalam pemberian asuhan dengan latar
belakang budaya yang berbeda.
(2) Teori ini sangat berguna pada setiap kondisi perawatan untuk
memaksimalkan pelaksanaan model-model teori lainnya (teori Orem,
King, Roy, dll).
(3) Penggunakan teori ini dapat mengatasi hambatan faktor budaya yang
akan berdampak terhadap pasien, staf keperawatan dan terhadap rumah
sakit.
(4) Penggunanan teori transcultural dapat membantu perawat untuk
membuat keputusan yang kompeten dalam memberikan asuhan
keperawatan.
(5) Teori ini banyak digunakan sebagai acuan dalam penelitian dan
pengembangan praktek keperawatan .

b) Kelemahan :
(1) Teori transcultural bersifat sangat luas sehingga tidak bisa berdiri sendiri
dan hanya digunakan sebagai pendamping dari berbagai macam
konseptual model lainnya.
(2) Teori transcultural ini tidak mempunyai intervensi spesifik dalam
mengatasi masalah keperawatan sehingga perlu dipadukan dengan model
teori lainnya.

Akhirnya, menurut Leininger, tujuan studi praktek pelayanan kesehatan


transkultural adalah meningkatkan pemahaman atas tingkah laku manusia
dalam kaitan dengan kesehatannya. Dengan mengidentifikasi praktek
kesehatan dalam berbagai budaya (kultur) baik dimasa lalu maupun zaman
sekarang, akan terkumpul persamaan-persamaan, sehingga kombinasi
pengetahuan tentang pola praktek transkultural dengan kemajuan teknologi
dapat menyebabkan makin sempurnanya pelayanan perawatan dan
kesehatan orang banyak dari berbagai kultur.

3. Daftar Pustaka
Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”,
Edisi I, EGC, Jakarta
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories,
Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi pengkajian kepada pasien berbasis
budaya dengan menggunakan pendekatan model matahari terbit
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi
pengkajian keperawatan kepada pasien berbasis budaya untuk dipresentasikan

C. Penutup
1. Evaluasi danKunci Jawaban
a. Jelaskan pengkajian budaya menggunakan model matahari terbit
b. Jelaskan tujuh pedoman pengkajian budaya menurut model matahari terbit
c. Jelaskan trategi tindakan keperawatan menurut Leininger
2. Lembar Kejra Mahasiswa .

Mata Kuliah ......................


Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%
PEMBELAJARAN 14
Aplikasi Transcultural Nursing Sepanjang Daur Kehidupan Manusia

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang perawatan kehamilan dan kelahiran, perawatan
dan pengasuhan anak, kebudayaan dan perawatan pada Lanjut usia, perawatan
sebelum dan sesudah meninggal, kepercayan dan pengobatan kuno .

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan perawatan kehamilan dan kelahiran menurut aspek budaya
b. Mampu menjelaskan perawatan dan pengasuhan anak
c. Mampu menjelaskan kebudayaan dan perawatan Lansia
d. Mampu menjelaskan perawatan sebelum dan sesudah meninggal
e. Mampu menjelaskan kepercayaan dan pengobatan kuno

B. Penyajian
1. Uraian Materi Konsep Penerapan Kultur Dalam Daur HidupManusia
. Konsep Penerapan Kultur Dalam Daur HidupManusia terdiri dari :
a. Perawatan Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam
suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara
universal sama. Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang
berbeda oleh aneka kelompok masyarakat (Jordan, 1993).
Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang
kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus
dijalani didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi
misalnya, wanita hamil dilarang makan rebung karena menurut masyarakat
setempat jika wanita hamil makan rebung maka bayinya akan berbulu seperti
rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut keyakinan mereka akan
membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil.
Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh
bulan diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat dalam
proses melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan
lagi ulos tondi kepada cucunya sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan
menggendong anaknya dengan ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat
besar. Ulos tersebut dinamakan ulos parompa.
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih
dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini,
pelayanan kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk
menghilangkan perbedaan dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda,
serta berupaya mencapai pelayanan yang optimal bagi klien dan keluarga
Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh masyarakat yang sering menitik
beratkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kelahiran dan
kehamilan adalah orang jawa yang didalam adat dan istiadat mereka terdapat
berbgai upacara adat yang rinci untuk untuk menyambut kelahiran bayi seperti
upaca mintonin procotan dan brokahan .
Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh
dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern
penanganan oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi
penangana dengan adat dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono
dukun bayi umumnya adalah perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan
tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti pada masyarakat Bali Hindu yang
disebut balian manak dengan usia di atas 50tahun dan profesi ini tidak dapat
digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan, sang dukun
harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki
karena sifat sakralnya
Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam.
Ada dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang
diwariskan dari nenek atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang
guru karena merasa terpanggil. Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya
merupakan suatu proses semata mata berkenaan dengan lahirnya sang bayi saja,
namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai kotoran tapi “kotor”
dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses
mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di
tempat yang sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun
bayi punya banyak ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan
itu diracik dari berbagai jenis tumbuhan, atau bahan bahan lainnya yang diyakini
berkhasiat sebagai penguat tubuh atau pelancar proses persalinan.
Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan
kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagai
proses yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan
budaya mengenai kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam
pertolongan persalinan, wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan
bahaya, penggunaan ramuan atau obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran,
pusat kekuatan dalam pengambilan keputusan mengenai pertolongan serta
perawatan bayi dan ibunya.
Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang
memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan
dalam pengkajian budaya yang akurat dan konprehensif sepanjang waktu
berdasarkan warisan etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural. Organisasi social,
agama, dan kepercayaan serta pola komunikasi . Semua Budaya mempunyai
deminsi lampau, sekarang, dan mendatang. Untuk itu penting bagi perawat
memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi kehidupan dan sensitive
terhadap warisan budaya keluarganya.

b. Perawatan dan Pengasuhan Anak


Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal
masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi
peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan
bias mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah
satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.
Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan,
yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur
yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara
sinergis. Menurut Urie Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,yaitu:
Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh
dan berkembang yang meliputi:keluarga,teman sebaya,sekolah dan lingkungan
sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro
sistem,misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam
keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya.
Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting
sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap
perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat, sistem
makro yang merupakan budaya di mana individu hidup
seperti:ideologi,budaya,sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem
chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-
historik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis
dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola
pengasuhan,pola pembelajaran,pola pergaula termasuk penggunaan media massa,
dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses
sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu:

1) Fase Laten (Laten Pattern),pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat
jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat
melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap
sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan
yang disebut “two persons system”.
2) Fase Adaptasi (Adaption),pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan
memberikan reaksi atas rangsangan-rangsang an dari lingkungannya. Orangtua
berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik
atas bantuan dan bimbingan orangtuanya.
4) Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment),pada fase ini dalam sosialisasinya
anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang
diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak
cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan
penghargaan dari lingkungannya.
4) Fase Integrasi (Integration),pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya
sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan,tapi
sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri.
Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan
dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan
dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak
terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai
perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak
pada perilaku perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan
kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk koping dengan
membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga
harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses perkembangan.
Karena preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat
sehingga dapat merencnakan aktifitas perkembngan.
Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif
dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam
proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik
(misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian
yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau
gangguan belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan
anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak
terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya
pegasuhan dan perawatan anak.
c. Pada Lansia
Kebudayaan dan Asuhan Keperawatan pada Lansia
Bila suatu bentuk pelayanan kesehatan baru diperkenalkan ke dalam suatu
masyarakat dimana faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera
mereka akan menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah
mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan
kepercayaan dan harapan pokok mereka lambat laun akan sadar apakah pengobatan
baru tersebut berfaedah , sama sekali tidak berguna, atau lambat memberi pegaruh.
Namun mereka lebih menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat
dengan dasar hidup mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat
terbatas, atau untuk kasus-kasus tertentu saja.
Pelayanan kesehatan yang modern oleh sebab itu harus disesuaikan dengan
kebudayaan setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara
modern dan menyapu semua cara-cara tradisional . Bila tenaga kesehatan berasal
dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengan penduduk setempat .
ini tidak akan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha mempelajari
kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara mereka. Dengan
sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar.
Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan
dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan
mereka akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya
tidak mereka terima.
Pemuka - pemuka di dalam masyarakat itu harus diyakinkan sehingga mereka dapat
memberikan dukungan dan yakin bahwa cara - cara baru tersebut bukan untuk
melunturkan kekuasaan mereka tetapi sebaliknya akan memberikan manfaat yang
lebih besar .Pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya , bila
pengobatan tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti
mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita , akan tidak puas hanya
dengan memberikan pil untuk diminum . Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu
penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya
waktu mereka akan berfikir dan menerima.
d. Asuhan Keperawatan Gangguan Sosialcultural pada Lansia
Proses asuhan keperawatan pada usia lanjut adalah kegiatan yang dimaksudkan
untuk memberikan bantuan, bimbingan, pengawasan, perlindungan dan pertolongan
kepada lanjut usia secara individu, seperti di rumah/lingkungan keluarga, panti
werda maupun puskesmas, yang diberikan oleh perawat untuk asuhan keperawatan
yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan
tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada
waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti
(Depkes, 1993 1b).
e. Pada saat sebelum meninggal dan setelah Meninggal
 Sebelum meninggal
Penerapan konsep kultur pada pasien yang menjelang ajal biannya mempunyai
cara yang berbeda-beda setiap agama misalngan membnya pada Agama Islam
bianya mendatangkan ustad untuk mendoakkan pasien agar bisa
menenangkankan perasaan pasien dibasanya dilakukan dengan mebacaka Ayat-
Ayat suci. Begitupun agama-agama lain biasan ketika ada anggota keluarga
mereka pada keadaan menjelang ajal mereka cenderum memanggil tukah
pemuka agama masing-masing untuk menenagkan anggota keluraga mereka
sehingga bisa meninggal dengan tenang ataupuun jika terdapat muzizat keluarga
mereka dpat bertahan hidup , Namun untuk agama hindu biasannya hal itu
jarang dilakukan karena ketika ada terdapat anggota keluraga yang berda dalam
keadaan menjelang ajal biasannya hanya dilakukan doa di pura / tempat suci dan
menhaturkan sesajen berupa canang, atau banten ke tempat suci . atau ketika jika
terdapat anggota kelurga yang berada dalam keadaan mencelang ajal biasannya
dipercikkan tirta.( airsuci yang di dapat di tempat suci )
 Ketika pasien sudah meninggal
Ketika pasien sudah meninggal maka akan dikakukan perawatan jenazah secara
umum prosedur perawatan jenazah di Rumah sakit untuk setiap pasien dengan
latar belakang budaya yang berbeda sama namun terdapat sedikit perbedaan
dalam mengikatkan tangan pasien . selain perawatan jenazah yang terdapat
sedikit perbeddan hal lain yang juga menjadi perbedaan adalah upacara
pemakaman jenazah . cotohnya pada Agama Hindu upacara pemakaman jenazah
cenderum dilakukan dengan cara pembakaran, namun tidak jarang masyarakat
Hindu yang melakukan upacara penguburan terlebih dalu sebelum dilaksanakan
upacara pengabenan hal ini dilakukan karena nimnimnya waktu untuk
mempersiapkan sesajen, karena adnya permitaan khusus dari almarhum ketika
sebelum meningga atau karena hal tersebut merupakan suatu tradisi di daerah
tertentu.
f. Kepercayaan Kuno dan Praktik Pengobatan
Sistem pengobatan tradisional merupakan sub unsur kebudayaan masyarakat
sederhana , pengetahuan tradisional . Dalam masyarakat tradisional , sistem
pengobatan tradisional ini adalah pranata sosial yang harus dipelajari dengan cara
yang sama seperti mempelajari pranata social umumnya dan bahwa praktek
pengobatan asli ( tradisional ) adalah rasional dilihat dari sudut kepercayaan yang
berlaku mengenai sebab akibat. Beberapa hal yang berhubungan dengan kesehatan
(sehat – sakit) menurut budaya-budaya yang ada di Indonesia diantaranya adalah :

a) Budaya Jawa

Menurut orang Jawa, “sehat “ adalah keadaan yang seimbang dunia fisik dan
batin . Bahkan , semua itu berakar pada batin . Jika “ batin karep ragu nututi
“artinya batin berkehendak, raga / badan akan mengikuti. Sehat dalam konteks
raga berarti “ waras “ . Apabila seseorang tetap mampu menjalankan peranan
sosialnya sehari-hari, misalnya bekerja di ladang, sawah, selalu gairah bekerja,
gairah hidup, kondisii inilah yang dikatakan sehat. Dan ukuran sehat untuk anak-
anak adalah apabila kemauannya untuk makan tetap banyak dan selalu bergairah
main.
Untuk menentukan sebab-sebab suatu penyakit ada dua konsep , yaitu konsep
personalistik dan konsep naluralistik. Dalam konsep personalistik, penyakit
disebabkan oleh makhluk supernatural ( makhluk gaib, dewa ), makhluk yang
bukan manusia ( hantu, roh leluhur, roh jahat ) dan manusia ( tukang sihir ,
tukang tenung ). Penyakit ini disebut “ora lumrah“ atau “ora sabaene“ ( tidak
wajar / tidak biasa ). Penyembuhannya adalah berdasarkan pengetahuan secara
gaib atau supernatural, misalnya melakukan upacara dan sesaji. Dilihat dari segi
personalistik jenis penyakit ini terdiri dari kesiku, kebendhu, kewalat, kebulisan,
keluban, keguna-guna, atau digawe wong, kampiran bangsa lelembut dan lain
sebagainya . Penyembuhan dapat melalui seorang dukun atau “wong tuo“.

Pengertian dukun bagi masyarakat Jawa adalah yang pandai atau ahli dalam
mengobati penyakit melalui “Japa Mantera “ , yakni doa yang diberikan oleh
dukun kepada pasien. Ada beberapa kategori dukun pada masyarakat Jawa yang
mempunyai nama dan fungsi masing-masing :

(1) Dukun bayi : khusus menangani penyembuhan terhadap penyakit yang


berhubungan dengan kesehatan bayi, dan orang yang hendak melahirkan.

(2) Dukun pijat / tulang (sangkal putung) : Khusus menangani orang yang sakit
terkilir, patah tulang, jatuh atau salah urat.

(3) Dukun klenik : khusus menangani orang yang terkena guna – guna atau “
digawa uwong “..

(4) Dukun mantra : khusus menangani orang yang terkena penyakit karena
kemasukan roh halus.

(5) Dukun hewan : khusus mengobati hewan.

Berdasarkan hari dimulainya sakit juga dapat ditentukan tentang jenis- jenis
penyakit sebagaimana diuraikan dalam Kitab Primbon Betal jemur Adam
makna, yang dibuat sebagai berikut :

Nama hari Sebab Penyakit


Senin : Mempunyai nadzar yang belum dilaksanakan
Selasa : Diguna -guna oleh oran lain
Rabu : Diganggu oleh makhluk halus / setan
Kamis : Terkena itulah dari orang lain
Jumat : Diganggu makhluk halus yang ada di kolong rumah
Sabtu : : Diganggu oleh setan yang berasal dari hutan
Minggu : Diganggu oleh makhluk halus / setan

Selain hari-hari biasa, Budaya Jawa juga memiliki hari-hari yang disebut
hari pasaran dengan urutan : Pon, Wage, kliwon, legi, pahing. Budaya jawa
beranggapan bahwa nama yang “berat“ bisa mendatangkan sial. Pendapat
yang lain mengatakan “nama yang buruk” akan mempengaruhi aktivitas
pribadi dan sosial pemilik nama itu. Dan juga kebiasaan bagi orang jawa
yakni jika ada salah satu pihak keluarga atau sanak saudara yang sakit ,
maka untuk menjenguknya biasanya mereka mengumpulkan dulu semua
saudaranya dan bersama-sama mengunjungi saudaranya yang sakit tersebut.
Karena dalam budaya Jawa dikenal prinsip “mangan ora mangan, seng
penting kumpul“

Adapun beberapa contoh pengobatan tradisional masyarakat jawa yang tidak


terlepas dari tumbuhan dan buah-buahan yang bersifat alami adalah Daun
dadap sebagai penurun panas dengan cara ditempelkan di dahi. Temulawak
untuk mengobati sakit kuning dengan cara di parut, diperas dan airnya
diminum 2 kali sehari satu sendok makan, dapat ditambah sedikit gula batu
dan dapat juga digunakan sebagai penambah nafsu makan. Akar ilalang
untuk menyembuhkan penyakit hepatitis
B. Mahkota dewa untuk menurunkan tekanan darah tinggi,
yakni dengan dikeringkan terlebih dahulu lalu diseduh seperti teh dan
diminum seperlunya.
Brotowali sebagai obat untuk menghilangkan rasa nyeri, peredam panas ,
dan penambah nafsu makan.

Jagung muda ( yang harus merupakan hasil curian = berhubungan dengan


kepercayaan ) berguna untuk menyembuhkan penyakit cacar dengan cara
dioleskan dibagian yang terkena cacar.
Daun sirih untuk membersihkan vagina.
Lidah buaya untuk kesuburan rambut.
Cicak dan tokek untuk menghilangkan gatal – gatal.
Mandi air garam untuk menghilangkan sawan.
Daun simbung dan daun kaki kuda untuk menyembuhkan influenza.
Jahe untuk menurunkan demam / panas , biasanya dengan diseduh lalu
diminum ataupun dengan diparut dan detempelkan di ibu jari kaki.
Air kelapa hijau dengan madu lebah untuk menyembuhkan sakit kuning
yaitu dengan cara 1 kelapa cukup untuk satu hari , daging kelapa muda
dapat dimakan sekaligus , tidak boleh kelapa yang sudah tua.

b) Budaya Sunda

Konsep sehat sakit tidak hanya mencakup aspek fisik saja , tetapi juga bersifat
sosial budaya . Istilah lokal yang biasa dipakai oleh masyarakat Jawa Barat
( orang sunda ) adalah muriang untuk demam , nyerisirah untuk sakit kepala ,
yohgoy untuk batuk dan salesma untuk pilek / flu. Penyebab sakit umumnya
karena lingkungan , kecuali batuk juga karena kuman . Pencegahan sakit
umumnya dengan menghindari penyebabnya. Pengobatan sakit umumnya
menggunakan obat yang terdapat di warung obat yang ada di desa tersebut ,
sebagian kecil menggunakan obat tradisional . Pengobatan sendiri sifatnya
sementara , yaitu penanggulangan pertama sebelum berobat ke puskesmas
atau mantri.

1) Pengertian Sehat Sakit

Menurut orang sunda , orang sehat adalah mereka yang makan terasa enak
walaupun dengan lauk seadanya, dapat tidur nyenyak dan tidak ada yang
dikeluhkan , sedangkan sakit adalah apabila badan terasa sakit , panas atau
makan terasa pahit, kalau anak kecil sakit biasanya rewel, sering menangis,
dan serba salah / gelisah. Dalam bahasa sunda orang sehat
disebut cageur, sedangkan orang sakit disebut gering. Ada beberapa
perbedaan antara sakit ringan dan sakit berat. Orang disebut sakit ringan
apabila masih dapat berjalan kaki, masih dapat bekerja, masih dapat
makan-minum dan dapat sembuh dengan minum obat atau obat tradisional
yang dibeli di warung. Orang disebut sakit berat, apabila badan terasa
lemas, tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari, sulit tidur, berat badan
menurun, harus berobat ke dokter / puskesmas, apabila menjalani rawat
inap memerlukan biaya mahal.

Konsep sakit ringan dan sakit berat bertitik tolak pada keadaan fisik
penderita melakukan kegiatan sehari-hari , dan sumber pengobatan yang
digunakan. Berikut beberapa contoh sakit dengan penyebab , pencegahan
dan pengobatan sendiri. :

a) Sakit Kepala

Keluhan sakit kepala dibedakan antara nyeri kepala ( bahasa sunda =


rieut atau nyeri sirah, kepala terasa berputar / pusing / bahasa sunda =
Lieur ) , dan sakit kepala sebelah / migran ( bahasa sunda = rieut jangar
) . Penyebab sakit kepala adalah dengan menghindari terkena sinar
matahari langsung, dan jangan banyak pikiran. Pengobatan sendiri,
sakit kepala dapat dilakukan dengan obat warung yaitu paramek atau
puyer bintang tujuh nomor

b) Sakit Demam

Keluhan demam ( bahasa sunda = muriang atau panas tiris ) ditandai


dengan badan terasa pegalpegal, menggigil, kadang-kadang bibir biru.
Penyebab demam adalah udara kotor, menghisap debu kotor. pergantian
cuaca, kondisi badan lemah, kehujanan, kepanasan cukup lama, dan
keletihan. Pencegahan demam adalah dengan menjaga kebersihan udara
yang dihisap, makan teratur, olahraga cukup, tidur cukup, minum
cukup, kalau badan masih panas / berkeringat jangan langsung mandi,
jangan kehujanan dan banyak makan sayuran atau buah. Pengobatan
sendiri demam dapat dilakukan dengan obat tradisional, yaitu kompres
badan dengan tumbukan daun melinjo, daun cabe atau daun singkong,
atau dapat juga dengan obat warung yaitu Paramek atau Puyer bintang
tujuh nomor.

c) Keluhan Batuk

Batuk TBC, yaitu batuk yang sampai mengeluarkan darah dari mulut,
batuk biasa (bahasa sunda = fohgoy), dan batuk yang terus menerus
dengan suaranya melengking (bahasa sunda = batuk bangkong ) dengan
gejala tenggorokan gatal , terkadang hidung rapet , dan kepala sakit ) .
Penyebab batuk TBC adalah karena orang tersebut menderita penyakit
TBC paru, sedangkan batuk biasa atau batuk bangkong adalah
menghisap debu dari tanah kering yang baru tertimpa hujan, alergi salah
satu makanan, makanan basi, masuk angin, makan makanan yang
digoreng dengan minyak yang tidak baik, atau tersedak makanan /
keselek . Pencegahan batuk dilakukan dengan menjaga badan agar
jangan kedinganan, jangan makan makanan basi, tidak kebanyakan
minum es, menghindari makanan yang merangsang tenggorokan, atau
menyebabkan alergi. Pengobatan sendiri batuk dapat dilakukan dengan
obat warung misalnya konidin atau oikadryl. Bila batuk ringan dapt
minum obat tradisional yaitu air perasan jeruk nipis dicampur kecap,
daun sirih 5 lembar diseduh dengan air hangat setengah gelas atau
rebusan jahe dengan gula merah.

d) Sakit Pilek

Keluhan pilek ringan ( bahasa sunda = salesma ), yaitu hidung


tersumbat atau berair, dan pilek berat yaitu pilek yang disertai sakit
kepala, demam, badan terasa pegal dan tenggorokan kering. Penyebab
pilek adalah kehujanan menghisap debu kotor, menghisap asap rokok,
menghisap air, pencegahan pilek adalah jangan kehujanan, kalau badan
berkeringat jangan langsung mandi, apabila muka terasa panas ( bahasa
sunda = singhareab ), jangan mandi langsung minum obat, banyak
minum air dan istirahat. Pengobatan sendiri, pilek dapat dilakukan
dengan obat warung yaitu mixagrib diminum 3x sehari sampai
keluhannya hilang. Dapat juga digunakan obat tradisional untuk
mengurangi keluhan, misalnya minyak kelapa dioleskan di kanan dan
kiri hidung.

e) Sakit Panas

Sakit panas adalah sakit yang menyebabkan sekujur tubuh seseorang


terasa panas biasanya yang disertai demam ( menggigil ). Untuk
mengobatinya , orang sunda biasa dengan menggunakan labu ( waluh )
yang diparut ( dihaluskan ), kemudian dibungkus kain dan di
kompreskan ke tubuh orang yang sakit panas tersebut hingga panasnya
turun. Selain itu juga bisa dengan menggunakan kompres air dingin.
Pengobatan sakit umumnya menggunakan obat yang terdapat di warung
. obat yang ada di desa tertentu, sebagian kecil menggunakan obat
tradisional. Masyarakat melakukan pengobatan sendiri dengan alasan
sakit ringan, hemat biaya dan hemat waktu. Pengobatan sendiri sifatnya
sementara, yaitu penanggulanan pertama sebelum berobat ke
puskesmas atau Mantri. Tindakan Pengobatan sendiri yang sesuai
dengan aturan masih rendah karena umumnya masyarakat membeli
obat secara eceran sehingga tidak dapat memaca keterangan yang
tercantum pada setiap kemasan obat.

c) Budaya Batak

Arti “sakit“ bagi orang Batak adalah keadaan dimana seseorang hanya
berbaring , dan penyembuhannya melalui cara – cara tradisional, atau ada
juga yang membawa orang yang sakit tersebut kepada dukun atau “orang
pintar“. Dalam kehidupan sehari – hari orang batak, segala sesuatunya
termasuk mengenai pengobatan jaman dahulu, untuk mengetahui bagaimana
cara mendekatkan diri pada sang pencipta agar manusia tetap sehat dan jauh
dari mara bahaya. Bagi orang batak , di samping penyakit alamiah, ada juga
beberapa tipe spesifik penyakit supernatural, yaitu :
1) Jika mata seseorang bengkak, orang tersebut diyakini telah melakukan
perbuatan yang tidak baik ( mis : mengintip ). Cara mengatasinya agar
matanya tersebut sembuh adalah dengan mengoleskan air sirih.

2) Nama tidak cocok dengan dirinya ( keberatan nama ) sehingga membuat


orang tersebut sakit. Cara mengobatinya dengan mengganti nama tersebut
dengan nama yang lain, yang lebih cocok dan didoakan serta diadakan
jamuan adat bersama keluarga.

3) Ada juga orang batak sakit karena tarhirim misalnya seorang bapak
menjanjikan akan memberi mainan buat anaknya, tetapi janji tersebut tidak
ditepati. Karena janji tersebut tidak ditepati, si anak bisa menjadi sakit.

4) Jika ada orang batak menderita penyakit kusta, maka orang tersebut
dianggap telah menerima kutukan dari para leluhur dan diasingkan dalam
pergaulan masyarakat.

Di samping itu, dalam budaya batak dikenal adanya “kitab pengobatan”


yang isinya diantaranya adalah, Mulajadi Namolon Tuhan Yang Maha Esa
bersabda “Segala sesuatu yang tumbuh di atas bumi dan di dalam air sudah
ada gunanya masing-masing di dalam kehidupan sehari-hari, sebab tidak
semua manusia yang dapat menyatukan darahku dengan darahnya, maka
gunakan tumbuhan ini untuk kehidupan mu“. Di dalam kehidupan Si raja
Batak dahulu ilmu pengobatan telah ada, mulai sejak dalam kandungan
sampai melahirkan.

a) Obat mulai dari kandungan sampai melahirkan

(1) Perawatan dalam kandungan : menggunakan salusu yaitu satu butir


telur ayam kampung yang terlebih dahulu di doakan

(2) Perawatan setelah melahirkan : menggunakan kemiri, jeruk purut


dan daun sirih

(3) Perawatan bayi : biasanya menggunakan kemiri, biji lada putih dan
iris jorango

(4) Perawatan dugu – dugu : sebuah makanan ciri khas Batak saat
melahirkan yang diresap dari bangun-bangun, daging ayam, kemiri
dan kelapa.

b) Dappol Siburuk ( obat urut dan tulang )

Asal mula manusia menurut orang batak adalah dari ayam dan burung.
Obat dappol si buruk ini dulunya berasal dari burung siburuk yang
mana langsung di praktikkan dengan penelitian alami dan hamper
seluruh keturunan Siraja Batak menggunakan obat ini dalam kehidupan
sehari – hari.

c) Untuk mengobati sakit mata.


Menurut orang batak, mata adalah satu panca indra sekaligus penentu
dalam kehidupan manusia, dan menurut legenda pada mata manusia
berdiam Roh Raja Simosimin, Berdasarkan pesan dari si raja batak,
untuk mengeluarkan penyakit dari mata, maukkanlah biji sirintak ke
dalam mata yang sakit. Setelah itu tutuplah mata dan tunggulah
beberapa saat, karena biji sirintak akan menarik seluruh penyakit yang
ada di dalam mata. Gunakan waktu 1x 19 hari, supaya mata tetap sehat.
Sirintak adalah tumbuhan Batak yang dalam bahasa Indonesia berarti
mencabut (mengeluarkan), nama ramuannya dengan sdama tujuannnya.

d) Mengobati penyakit kulit yang sampai membusuk Berdasarkan pesan


siraja batak untuk mengobati orang yang berpenyakit kulit supaya
menggunakan tawar mulajadi ( sesuatu yang berasal dari asap dapur ).
Rumpak 7 macam dan diseduh dengan air hangat.

Disamping itu, siraja batak berpesan kepada keturunannya, supaya


manusia dapat hidup sehat, maka makanlah atau minumlah : apapaga,
airman, anggir, adolorab, alinggo, abajora, ambaluang, assigning, dan
arip-arip. Dalam budaya batak juga dikenal dengan adanya charisma,
wibawa dan kesehatan menurut orang batak dahulu, supaya manusia
dapat sukses dalam segala hal biasanya diwajibkan membuat sesajen
berupa : ayam merah, ayam putih, ayam hitam, ketan beras ( nitak ),
jeruk purut, sirih beserta perlengkapannya.

Beberapa contoh pengobatan tradisional lainnya yang dilakukan oleh


orang batak adalah :

(1) Jika ada orang batak yang menderita penyakit gondok , maka cara
pengobatannya dengan menggunakan belau.

(2) Apabila ada orang batak yang menderita penyakit panas ( demam )
biasanya pengobatannya dengan cara menyelimutinya dengan
selimut / kain yang tebal

d) Budaya Flores

Damianus Wera orang Flores satu ini punya karunia yang sangat langka.
Dami dikenal sebagai penyembuh alternative unik. Damianus Wera bukan
dokter, buta huruf, tak makan sekolah, tapi buka praktik layaknya dokter
professional. Dia melakukan operasi hanya menggunakan pisau. Menurut
Dami ada tiga jenis penyakit yang dikeluhkan para pasien.

Pertama, jenis penyakit nonmedis atau santet / guna – guna . Biasanya tubuh
korban dirusak dengan paku, silet, lidi, kawat, beling, jarum, benang kusut.
Kedua, penyakit medis seperti jantung koroner, batu ginjal, tumor , kanker,
dll. Dami mengangkat penyakit ini dengan operasi dan juga sedot darah
melalui selang . Ketiga, sakit psikologis misalnya : banyak utang, stress, sulit
hamil, dll. Dami mengingatkan kunci sehat itu sebenarnya ada di pikiran yang
sehat. Sebaliknya, pikiran yang ruwet, penuh beban dan tekanan, justru
memicu munculnya penyakit dalam tubuh manusia.
Dami di datangi ayahnya yang sudah meninggal dan dikasih gelang. Dan saat
dia bermimpi ia akan di di karuniai penyembuhan . Pagi-pagi ia menemukan
pisau di bawah bantal. Pisau itu untuk mengoprasi orang sakit. Dami
mempunyai 7 metode untuk mengatasi penyakit :

1) Berdoa : dilakukan sebelum dan sesudah pengobatan , pasien berdoa


menurut agamanya.

2) Air putih : Pasien diminta membawa air putih dalam botol 1, 5 liter .
Setelah didoakan, pasien minum di rumah masing-masing. Kalau mau
habis, tambahkan dengan air yang baru.

3) Kapsul ajaib : Pasien diminta minum kapsul ajaib seperti obat biasa.

4) Pijat refleksi : Pasian menjerit kesakitan karena “diestrum“ listrik tegangan


tinggi.

5) Suntik : Jarum suntik diperoleh dengan cara muntah. Cairan atau obat
diperoleh lewat doa tertentu.

6) Telur ayam ( kampung ) dan gelas : Dipegang, diletakkan di atas kepala


pasien. Selain mendeteksi penyakit , telur ayam kampung itu juga untuk
mengobati penyakit dan untuk mengambil benda – benda santet seperti
jarum, benang, silet, beling, paku lewat telur ayam.

7) Operasi / bedah : Operasi atau bedah bisa untuk penyakit medis maupun
non medis.

Di samping itu, orang flores juga percaya adanya sejenis kain yang
berwarna hitam yang dipercaya dapat menyembuhkan orang yang sakit
panas / demam tinggi yaitu dengan cara di selubungkan atau ditutupkan di
seluruh tubuhnya hingga tidak ada yang kelihatan lagi, dan biarkan orang
yang sakit panas tersebut hingga ia merasa nyaman dan pansanya
berkurang.
Bawang merah dipercaya untuk mengobati batuk, yakni dengan cara
dihancurkan (dikunyah ) lalu dibungkus dengan sepotong kain, kemudian
ditempelkan di tenggorokan. Cara ini baik diterapkan pada waktu sebelum
tidur malam.

Daun sirih untuk mengobati orang yang mimisan, yaitu dengan digulung
kemudian disumbatkan ke lubang hidung yang keluar darah. Daun
papaya yang masih muda digunakan untuk menghentikan keluarnya darah
dari bagian tubuh yang luka, yaitu dengan dikunyah sampai halus
kemudian ditempelkan di bagian yang luka tersebut. Pengaruh
Kepercayaan, Agama dan Aliran Lain, Jinis Kelamin dan Masalah Analisis

a) Kepercayaan, agama dan aliran lain

Kepercayaan dan agama adalah pondasi penting untuk kesehatan ,


agama dan kepercayaan memberikan kontribusi penuh dalam tindakan
keperawatan . Misalnya perawatan pasien beragama berbeda harus
dibedakan dengan pasien lain yang mempunyai agama berbeda dalam
hal kepercayaan.

b) Jenis Kelamin

Wanita mempunyai peranan ( yang dianggap penting) karena


perempuan lebih professional. Terbukti dari awal mula 95-98 %
perawat adalah perempuan. Status sosial wanita dalam dunia medis
maupun masyarakat dicirikan sebagai seorang yang dapat merawat,
seperti seorang ibu yang merawat anak-anaknya.

c) Masalah Analisis

Sebuah masalah digambarkan dengan situasi dan keadaan tertentu.


Masalah selalu di luar rencana ( tidak direncanakan ) dan lebih sering
tidak diterima . Masalah bisa lebih kompleks ataupun malah lebih
sederhana , untuk itu seorang perawat harus mampu menyesuaikan diri
dengan mengubah pola pikir terhadap analisa tersebut.

3. Daftar Pustaka

Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”,
Edisi I, EGC, Jakarta
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories,
Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi aplikasi transkuktural nursing
sepanjang daur kehidupan manusia mencakup perawatan kehamilan dan kelahiran,
perawatan dan asuhan pada anak, perawatan pada lansia, perawatan sebelum dan
sesudah meninggal, kepercayaan dan pengobatan kuno
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi aplikasi transkuktural
nursing sepanjang daur kehidupan manusia baik melalui buku-buku maupun melalui
internet.

C. Penutup
1. Evaluasi danKunci Jawaban
a. Jelaskan perawatan kehamilan dan kelahiran berdasarkan padangan budaya
b. Jelaskan perawatan pada anak, dan lansia berdasarkan pandangan budaya
c. Jelaskan beberapa pengobatan kuno yang masih digunakan/diterapkan

2. Lembar Kejra Mahasiswa .

Mata Kuliah ......................


Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%

PEMBELAJARAN 15
Aplikasi Keperawatan Transkultural Dalam Berbagai Masalah Kesehatan Pasien

A. PENDAHULUAN
1. Deskripsi/Uraian Materi
Mata Kuliah ini menguraikan tentang alpikasi keperawatan transkultural dalam
berbagai masalah kesehatan pasien mencakup pengertian transkultural nursing, tujuan
keperawatan transkultural, hubungan model dan paradigm, hubungan model dengan
konsep caring, konsep utama teori transkultural, mitos-mitos yang berkaitan dengan
kesehatan .

2. Kompetensi Dasar
a. Mampu menjelaskan pengertian keperawatan transkultural
b. Mampu menjelaskan tujuan keperawatan transkultural
c. Mampu menjelaskan hubungan model Leininger dengan konsep caring
d. Mampu menjelaskan mitos yang berkaitan dengan kesehatan

B. Penyajian

1. Pengertian Keperawatan Transkultural


Leininger mendefinisikan “Transkultural Nursing” sebagai area yang luas dalam
keperawatan yang berfokus pada komparatif studi dan analisis perbedaan kultur dan
subkultur dengan menghargai prilaku caring, nursing care dan nilai sehat-sakit,
kepercayaan dan pola tingkah laku dengan tujuan perkembangan ilmu dan humanistic
body of knowledge untuk kultur yang spesifik dan kultur yang universal dalam
keperawatan. Culture care adalah teori yang holistic karena meletakkan didalamnya
ukuran dari totalitas kehidupan manusia dan berada selamanya, termasuk sosial struktur,
pandangan dunia, nilai cultural, konteks lingkungan, ekspresi bahasa dan etnik serta
sistem professional.
2. Tujuan dari transkultural dalam keperawatan adalah kesadaran dan apresiasi terhadap
perbedaan kultur.
3 Hubungan model dan paradigma keperawatan Manusia :seseorang yang diberi perawatan
dan harus diperhatikan kebutuhannya Kesehatan :konsep yang penting dalam perawatan
transkultural Lingkungan : tidak didefinisikan secara khusus, namun jika dilihat bahwa
telah terwakili dalam kebudayaan, maka lingkungan adalah inti utama dari teori M.
Leininger Keperawatan : Leininger menyajikan 3 tindakan yang sebangun dengan
kebudayaan klien yaitu Cultural care preservation, accomodation dan repatterning
4. Perbedaan Budaya Menurut Leininger Preservasi Asuhan Kultu Ral Preservasi asuhan
cultural berarti bahwa keperawatan melibatkan penghargaan yang penuh terhadap
pandangan budaya dan ritual pasien serta kerabatnya. Adaptasi Asuhan Kultural
Akomodasi/ adaptasi asuhan kultural melibatkan negosiasi dengan pasien dan
kerabatnya dalam rangka menyesuaikan pandangan dan ritual tertentu yang berkaitan
dengan sehat, sakit, dan asuhan Rekonstru Ksi/Repatterning Asuhan Kultu Ral
Rekonstruksi asuhan kultural melibatkan kerjasama dengan pasien dan kerabatnya
dalam rangka membawa perubahan terhadap perilaku mereka yang berkaitan dengan
sehat, sakit, dan asuhan dengan cara yang bermakna bagi mereka.
5. Hubungan Teori Model Leininger Dengan Konsep Caring Caring dalam keperawatan
adalah fenomena transkultural dimana perawat berinteraksi dengan klien, staf dan
kelompok lain. Leininger menggunakan metode ethnomethods sebagai cara untuk
melakukan pendekatan dalam mempelajari caring karena metode ini secara langsung
menyentuh bagaimana cara pandang, kepercayaan dan pola hidup yang dinyatakan
secara benar.
6. Alasan Utama Mempelajari Caring Konsep caring muncul secara kritis pada
pertumbuhan,perkembangan,& kemampuan bertahan makhluk hidup. Mengerti secara
menyeluruh aturan pemberian & penerima pelayanan pd kultur yg berbeda. Caring adlh
studi untuk memenuhi kebutuhan yg esensial untuk proses penyembuhan kelompok.
7. Hubungan teori Leininger dengan konsep holism Perawat perlu melakukan asuhan kep
secara menyeluruh/holistic care, karena objek kep adalah manusia yg merupakan
individu yg utuh shg harus dilakukan secara menyeluruh. Perbedaan asuhan kep
menyeluruh berfokus memadukan berbagai praktek & ilmu pengetahuan ke dalam satu
kesatuan asuhan. Sedangkan asuhan holistic berfokus pd memadukan sentiment
kepedulian dan praktek perawat yg bertujuan meningkatkan kesejahtraan pasien.
8. Hubungan teori Leininger dengan konsep humanism Tindakan keperawatan mengacu pd
pemahaman hubungan sehat,sakit,dan perilaku manusia. Perawatan manusia
membutuhkan perawat yg memahami prilaku & respon manusia terhadap masalah
kesehatan. Perawat juga harus bisa memberikan kenyamanan, perhatian dan empati kpd
pasien & keluarganya. Hubungan konsep ini bahwa memberikan pelayanan kesehatan
pd klien dgn memandang klien sbg individu sbg personal lengkap dgn fungsinya.
10 Konsep Utama Teori Transkultural :
a. Culture Care Nilai-nilai, keyakinan, norma, pandangan hidup yang dipelajari dan
diturunkan serta diasumsikan yang dapat membantu mempertahankan kesejahteraan
dan kesehatan serta meningkatkan kondisi dan cara hidupnya.
b. World View Cara pandang individu atau kelompok dalam memandang kehidupannya
sehingga menimbulkan keyakinan dan nilai.
c. Dimensi Culture and Social Structure Pengaruh dari factor-faktor budaya tertentu
(sub budaya) yang mencakup religius, kekeluargaan, politik dan legal, ekonomi,
pendidikan, teknologi dan nilai budaya yang saling berhubungan dan berfungsi untuk
mempengaruhi perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda
d. Generic Care System Budaya tradisional yang diwariskan untuk membantu,
mendukung, memperoleh kondisi kesehatan, memperbaiki atau meningkatkan
kualitas hidup untuk menghadapi kecacatan dan kematiannya.
e. Profesional system Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan
kesehatan yang memiliki pengetahuan dari proses pembelajaran di institusi
pendidikan formal serta melakukan pelayanan kesehatan secara professional.
f. Culture Care Preservation Upaya untuk mempertahankan dan memfasilitasi tindakan
professional untuk mengambil keputusan dalam memelihara dan menjaga nilai-nilai
pada individu atau kelompok sehingga dapat mempertahankan kesejahteraan.
g. Culture Care Acomodation Teknik negosiasi dalam memfasilitasi kelompok orang
dengan budaya tertentu untuk beradaptasi/berunding terha terhadap tindakan dan
pengambilan kesehatan.
h. Cultural Care Repattering. Menyusun kembali dalam memfasilitasi tindakan dan
pengambilan keputusan professional yang dapat membawa perubahan cara hidup
seseorang.
i. Culture Congruent / Nursing Care Suatu kesadaran untuk menyesuaikan nilai-nilai
budaya / keyakinan dan cara hidup individu/ golongan atau institusi dalam upaya
memberikan asuhan keperawatan yang bermanfaat. Transkultural Care Dengan
Proses Keperawatan Model konseptual asuhan keperawatan transkultural dapat
dilihat pada gambar berikut.
11 Faktor teknologi (tecnological factors) Teknologi kesehatan memungkinkan individu
untuk memilih atau mendapat penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji : persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau
mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih
pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan
teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan saat ini.

12 Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors) Agama adalah
suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para
pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang
harus dikaji oleh perawat adalah : agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang
klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan.

13 Analisis Fenomena Keperawatan Gambaran Kasus : Ny. D, berusia 29 tahun masuk ke


unit keperawatan onkologi dengan keluhan nyeri pelvic dan pengeluaran cairan
pervagina. Hasil pemeriksaaan Pap Smear didapatkan menderita Ca Cerviks stadium II
dan telah mengalami Histerektomy radikal dengan bilateral salpingo- oophorectomy.
Riwayat kesehatan masa lalu : jarang melakukan pemeriksaan fisik secara teratur. Ny
D mengatakan bahwa tidak pernah melakukan pemeriksaan payudara sendiri. Tinggi
badan 5 kaki 4 inci dan BB 89 pound. Biasanya dia memiliki BB 110 pound. Dia
seorang perokok dan menghabiskan kurang lebih 2 pak sehari dan berlangsung selama
16 tahun. Dia sudah memiliki 2 orang anak.

14 Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors) Perawat pada tahap
ini harus mengkaji faktor- faktor : nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat
tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam
keluarga, dan hubungan klien dengan kepala keluarga.

15 Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways) Nilai-nilai budaya
adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang dianggap
baik atau buruk. Norma- norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat
penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini
adalah : posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, persepsi
sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaan membersihkan diri.

16 Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors) Kebijakan
dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi
kegiatan individu dalam asuhan keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995).
Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang berkaitan
dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.

17 Faktor ekonomi (economical factors) Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan
sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh.
Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya : pekerjaan klien, sumber
biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan
antar anggota keluarga.

18 Faktor pendidikan (educational factors) Latar belakang pendidikan klien adalah


pengalaman klien dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini.
Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh
buktibukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi
terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada
tahap ini adalah : tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya
untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang
kembali.

19 Analisis Fenomena Keperawatan Ny. D Kehamilan pertama ketika dia berusia 16


tahun dan kehamilan yang kedua saat berusia 18 tahun. Sejak saat itu dia
menggunakan kontrasepsi oral secara teratur. Dia menikah dan tinggal dengan
suaminya bersama 2 orang anaknya dirumah ibunya, dengan sanitasi lingkungan yang
kurang baik. Suaminya seorang pengangguran. Dia menggambarkan suaminya seorang
yang emosional dan kasar.

20 Analisis Fenomena Keperawatan Ny D telah mengikuti pembedahan dengan baik


kecuali satu hal dia belum mampu mengosongkan kandung kemihnya. Dia masih
merasakan nyeri dan mual post operasi. Hal itu mengharuskan dia untuk menggunakan
kateter intermitten di rumah. Obat yang digunakan adalah antibiotic, analgetik untuk
nyeri dan antiemetic untuk mualnya. Sebagai tambahan, dia akan mendapatkan terapi
radiasi sebagai pengobatan rawat jalan. Ny D sangat sedih. Dia menunjukkan
perhatian yang sangat besar terhadap masa depannya dan kedua anaknya. Dia percaya
bahwa penyakit ini adalah sebuah hukuman akibat masa lalunya.

21 Penerapan Asuhan Keperawatan Berdasarkan teori Leininger. A. Pengkajian


Pengkajian dilakukan terhadap respon adaptif dan maladaptif untuk memenuhi
kebutuhan dasar yang tepat sesuai dengan latar belakang budayanya. Pengkajian
dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “ Leininger’s Sunrise models”
dalam teori keperawatan transkultural

22 Diagnosa Keperawatan Perawat merumuskan masalah yang dihadapi Pasien dan


keluarganya adalah : Perlunya perlindungan, kebutuhan akan kehadiran orang lain dan
rasa ingin berbagi sebagai nilai yang penting untuk Pasien dan keluarganya.
Perkembangan dari pola ini adalah kesehatan dan kesejahteraan yang bergantung pada
ketiga aspek tersebut. Hal lain yang ditemukan adalah suatu pola yang dapat
membangun kehidupan social dan aspek penting lainnya yaitu masalah kerohanian,
kekeluargaan dan ekonomi yang sangat besar mempengaruhi kesehatan dan
kesejahteraan

23 Perencanaan dan Implementasi Perencanaan dan implementasi keperawatan


transkultural menawarkan tiga strategi sebagai pedoman Leininger (1984) ; Andrew &
Boyle, 1995 yaitu : Perlindungan/mempertahankan budaya (Cultural care
preservation/maintenance) bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan,
Mengakomodasi/menegosiasi budaya (Cultural care accommodation atau
negotiations) apabila budaya pasien kurang mendukung kesehatan Mengubah dan
mengganti budaya pasien dan keluarganya (Cultural care repartening / recontruction).

24 Evaluasi Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap : keberhasilan


pasien mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan Negosiasi terhadap
budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatannya Restrukturisasi budaya yang
bertentangan dengan kesehatan.

25 Tugas Individu Buat Proses Asuhan Keperawatan pada Fenomena Kasus Ny. D
Selamat Berkerja, Sukses Selalu dengan kerja keras

Kompetensi Budaya
Adalah seperangkat perilaku ,sikap, dan kebijaksanaan yang bersifat saling
melengkapi dalam satu system kehidupan sehingga memungkinkan untuk berinteraksi
secara efektif dalam satu kerangka yang saling berhubungan antar budaya di dunia (Cross
,T.et al, 1998 ).

Komunikasi Lintas Budaya


Merupakan komunikasi lintas budaya yang dapat dimulai melalui proses diskusi, dan
bila perlu dapat dilakukan melalui identifikasi cara orang berkomunikasi dari berbagai
budaya di Indonesia.

Penggunaan Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam komunikasi lintas budaya dapat menjadi perhatian
khusus.Ini merupakan sebagai cirri khas dari setiap orang menurut bahasa yang
digunakan dengan perhatian pola kata tertentu.

MITOS

Mitos Memakan Makanan Dari Sesaji Untuk Ritual Tertentu Di Masyarakat

Fakta Di Lapangan :
Masih banyak ditemukan dan bahkan di lapangan khususnya masyarakat pedesaan
masih mempercayainya. Kegiatan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang yang
terdahulu. Tempat yang mereka pakai dahulunya terletak pada daerah yang dimana disitu
merupakan bagian terpenting akan terkabulnya kenginan mereka. Intinya kegiatan yang
dilakukan ini bisa merupakan wujud ungkapan rasa syukur,penghormatan maupun bentuk
rasa berbagi dengan sesame yang ditujukan untuk Tuhan.Memakan makanan yang berasal
dari sesaji tersebut merupakan bentuk rasa penghormatan pada yang Kuasa dan juga bisa
mendoakan akan apa yang kita inginkan.

Teori
Dilihat dari bentuk yang dihidangakn berupa nasi,sayur-sayuran,ayam,dll.yang menjdai
inti permasalahannya adalah pembagian ayamnya dari yang masih utuh menjadi bagian
kecil-kecil,bila orang yang membagikan tidak tahu akan makna bersih maka akan
terabaikan kebersihan dari kuman ayam tersebut.Selain itu ada juga bagaimana proses
memasaknya untuk ayam tersebut,terkadang ayam ada bagian yang belum mencapai
tingkat kematangan dan itu akan berpengaruh pada proses pencernaan dan keamanan
mengkonsumsi makanan tersebut. Kandungan daging ayam sesungguhnya banyak
mengandung protein dan nutrisi nutrisi lain didalamnya yang berguna untuk keperluan
tubuh.Sayur-sayuran juga diperlukan tubuh untuk proses pencernaan seperti bayam yang
banyak mengandung serat berfungsi untuk memperlancar proses metabolisme.

Opini
Kepercayaan yang timbul sejak zaman dahulu sudah sangat melekat dan kental akan
budaya yang tiap tahun diadakan akan sulit dihilangkan karena akan menjadi cirri khas
pada daerah itu.Mereka beranggapan barang siapa menghilangkan budaya ini dampaknya
sangat bervariasi, bisa dikucilkan masyarakat karena dianggap tidak menghargai para
pendahulunya, dan yang paling fatal bisa diusir dari lingkungan.

Mitos Tentang Sirkumsisi Dilihat Dari Segi Agama Islam

Fakta Di Lapangan
Sekarang ini dilhat dari kesadaran masyarakat tentang kesehatan sudah sangat
berkembang.Banyak anak kecil yang sudah lulus tingkat sekolah dasar maupun yang
masih menempuhnya sudah dilakukan khitan atau sirkumsisi.Faktor yang mempengaruhi
keinginan untuk dikhitan biasnya berasal dari anak itu sendiri malu pada teman- teamanya
maupun dari orang tua yang mendesak untuk dilakukanya khitan.Di daerah sudah ada alat
yang mumpuni untuk melakukan proses sirkumsisi secara modern.Agenda yang
dilakukan institusi kesehatan biasanya yang sering kita dengar Khitanan masal dan ini
sangat membantu bagi keluarga yang tidak mampu untuk mengkhitankan anaknya.

Teori
Dari segi agama islam sangat dianjurkan untuk diilakukan sirkumsisi atau khitan
dengan tujuan memberikan kesehatan pada umatnya.Ini merupakan tanda sudah baligh
bila sudah di khitan atau sirkumsisi. Dahulunya untuk melakukan khitan atau sirkumsisi
masih sangat sederhana dan masih menggunakan metode yang classic.Untuk
penyembuhanya sendiri bisa berbulan setelah dilakukan sirkumsisi atau khitan.Obat yang
digunakan masih sangat terbatas selain itu di daerah desa juga sangat terbatas petugas
kesehatanya.Tapi sekarang dengan kemajuan tekhnologi diharapkan bisa terlaksana proses
sirkumsi yang lebih maju dan mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat.Sirkumsisi atau
khitan adalah memotong sebagian dari alat kelamin dari pria untuk menjaga kebersihan
dari alat kelamin pria.Ini bisa dibuktikan dengan urin yang keluar bila belum khitan atau
sirkumsisi akan sebagian tertinggal,selanjutnya akan mengendap dan bahayanya bila
terjdai hhubungan intim akan membahayakan bagi si wanita karena sperma yang keluaar
bersama dengan endapan tadi akan memyebabkan kanker rahim.

Opini
Dilakukan khitan atau sirkumsisi dapat mempercepat proses pendewasaan dari postur
tubuh biasanya dengan tanda jakun yang membesar,suara yang terlihat besar, dan tentunya
bertambahnya tinggi dan berat badan.Setelah dikhitan akan merasa lega karena sudah
melaksanakan tugas dari rosul.untuk syarat sahnya sholat salah satunya juga sirkumsisi
atau khitan ini bila kita sebagai imam.

Mitos Ibu Hamil

Fakta Di Lapangan
Ibu hamil itu boleh makan pisang, nanas, mentimun itu kan bisa menyebabkan
keputihanbahkan masyarakat sekitar saya berpendapat bahwa nanas bisa menyebabkan
keguguran,apakah semua itu benar?????
Sewaktu ibu hamil,jika suami memotong ayam, apakah anak yang akan lahir cacat? Fakta
dari mitos diatas tidak akan terjadi kecacatan pada bayi yang dilahirkan,jika bayi yang
lahir cacat bukan dari mitos tersebut,kerena cacat itu bisa dari faktor kelainan genetiknya.

Teori
Jadi mengkonsumsi pisang , nanas, mentimun justru disarankann karena kaya akan
vitamin C dan serat yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh dan melancarkan proses
pembuangan sisa-sisa pencernaan. Untuk kehamilan itu untuk memenuhi nutrisi untuk
menjaga perkembangan janin menjadi baik.
Kehamilan seseorang tidak bisa ditentukan dengan kelahiran yang normal maupun
tidak,tapi secara medis untuk kelahiran yang tak normal banyak berbagai faktor yang
mempengaruhi salah satunya adalah kelainan gen pembawa dari ayah maupun ibu ini
sangat berpengaruh bagi kelahirannya.

Opini
Ibu hamil rentan akan masalah yang bisa ditimbulkan.Sebisa mungkin perhanan akan
kondisi sehat sangat kuat dengan dukungan keluarga,suami dan teman-taman.budaya di
mana dia tinggal sangatlah berpengaruh bagi perkembangan kehamilannya.keyakinan
inilah yang dipegang untuk menjaga,merawat, melindungi kehamilan si ibu.Nilai-
nilai,norma,adat masih dipegang kuat.
Menurut pendapat kami tentang mitos diatas tersebut itu hanya keyakinan seseorang
atau kelompok,karena belum tentu setiap desa atau kota menpunyai mitos yang
sama.karena belum tentu mitos itu akan jadi kenyataan,memang kadang-kadang ada ibu
hamil anaknya lahir dalam kondisi tidak normal(cacat), misalnya makan buah yang
menjadi pantangan ibu hamil anaknya lahir cacat itu hanya bertepatan saja,dibalik semua
itu mungkin ada kelainan pada saat bayi masih dalam kandungan.

3. Daftar Pustaka

Nova Maulana, (2014), Buku Ajar Sosiologi dan Antropologi Kesehatan, Cetakan
Pertama, Nuha Medika, Yogyakarta
Arum Pratiwi, (2011), Buku Ajar Keperawatan Transkultural, Cetakan Pertama,
Penerbit Gosyen Pulishing, Yogyakarta
Wahyu Ratna, (2010),”Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu
Keperawatan”, Edisi I, Pustaka Rihama, Yogyakarta.
Sudiharto,(2007) “Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Transkultural”,
Edisi I, EGC, Jakarta
Foster/Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan, Jakarta, Grafiti.
Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan, Beberapa Konsep Beserta Apli kasinya,
Yogyakarta, Gadjah Mada Press.
Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,Theories,
Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Momon Sudarma, (2009), Sosiologi untuk Kesehatan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika

4. Latihan/Tugas
a. Setiap mahasiswa membuat rangkuman materi alpikasi keperawatan transkultural
dalam berbagai masalah kesehatan pasien baik melalui buku-buku, jurnal maupun
internet
b. Setiap kelompok mencari, menggali dan mendiskusikan materi aplikasi keperawatan
transkuktural dalam bebbagai masalah kesehatan pasien untuk dipresentasikan.
C. Penutup
1. Evaluasi danKunci Jawaban
a. Jelaskan perawatan pengertian kepperawatan transkultural
b. Jelaskan tujuan keperawatan transkultural
c. Jelaskan hubungan model dan paradigma
d. Jelaskan mitos-mitos yang berkaitan dengan kesehatan.

2. Lembar Kejra Mahasiswa .

Mata Kuliah ......................


Semester : ....................... SKS : ................
Minggu ke : ...................... Tugas ke : ..................

1. Tujuan Tugas :
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan : ....................
b. Yang harus dikerjakandan batasan-batasan : ...................
c. Metode/cara pengerjaan, acuan yang digunakan : ........
d. Deskripsiluaran tugas yang digunakan : ................
3. Kriteria penilaian :
a. .................................. .........................%
b. .................................... ..........................%
c. ................................. .........................%

Anda mungkin juga menyukai