Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kepada manusia agar memaksimalkan potensi akalnya untuk berfikir (al-Tafkir), menghayati (al-Ta’ammul), dan meneliti (al-Nadzar) alam semesta sehingga dapat membuka tabir rahasia (al-Asrar) dan hakikatnya. PERHATIKAN BEBERAPA DEFINISI FILSAFAT BERIKUT INI • Aristoteles : ilmu tetentang kausalitas tertinggi (al-Ashab al-Quswa) atau tentang hakikat yang ada seperti apa adanya. • Al-Kindi : ilmu tentang hakikat alam semesta. • Al-Farabi: ilmu tentang alam semesta seperti apa adanya. • Ibnu Sina : pencarian hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. • Ibnu Rusyd : penelitian (al-Nadzar) terhadap alam semesta dan upaya pencarian bukti adanya Sang pencipta. Dari definisi-definisi tersebut, maka berfilsafat merupakan salah satu inti dari perintah dan ajaran Al- Qur’an. Perintah tersebut secara eksplisit dinyatakan di dalam firman Allah Swt.
)20:(العنكبوت • قُ ْل سريوا يف األرض فانظروا كيف بدأ اخللق
• Artinya : Katakanlah, “berjalanlah di atas bumi, lalu telitilah bagaimana Allah Swt memulai penciptaan” يِف • )185 : (األعراف • Artinya : dan apakah mereka tidak meneliti segala yang ada di kerajaan langit dan bumi, dan segala sesuatu yang telah di ciptakan Allah Swt. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa mempelajari filsafat adalah perintah agama, karena inti filsafat adalah meneliti yang ada dan menghayatinya, sehingga hikmah (i’tibar)yang ada dapat di ambil melalui proses analogi(al-Qiyas) agar sesuatu yang tidak tampak(al- Majhul)dapat di mengerti. Penelitian inilah yang di maksud dengan analogi demonstratif (al-Qiyas al- burhani). Penelitian yang valid terhadap segala yang ada membutuhkan penguasaan ilmu logika dengan segala konsepsi(al-tasawwurat),pembenaran(al- tashdiqat), serta proposisi atau premisnya(al-qodloya). Dengan demikian jika penelitian terhadap alam semesta wajib maka mempelajari logika dan filsafat adalah juga wajib. Bagi ulama’ fiqih mempelajari qiyas adalah keharusan sebagai sarana untuk mendalami syariat agama. Maka mempelajari analogi rasional (al-qiyas al-aqli) adalah wajib bagi para filusuf sebagai sarana untuk penelitian terhadap hakikat alam semesta. Ironis jika filusuf di larang melakukan hal yang justru di lakukan oleh ulama’ fiqih. Jika penggunaan analogi rasional dalam filsafat di larang karena di anggap heterodoks (al- bid’ah), maka penggunaan analogi fiqih (al-qiyas al-fiqhi) mestinya juga bid’ah, karena kemunculannya setelah generasi pertama.