Anda di halaman 1dari 12

Nama : Dea Mutia

Kelas : X AKKL 1/17


TUGAS SENIBUDAYA
TRADISI MITONI
• Sejarah
• Seperti diketahui, rakyat Jawa banyak yang melakukan adat-adat aneh, yang kadang kala bertentangan
dengan ajaran Islam.
• Misalnya saja berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berdukacita atas
meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni dan sebagainya.
• Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu dan berusaha sebaik-baiknya untuk
merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga dan Sunan
Muria.
Begitu pula selamatn mitoni, acara selamatan yang minta kepada dewa kalau anaknya lahir supaya tampan
seperti Arjuna dan jika perempuan agar cantik seperti Dewi Ratih.
• Adat dan upacara tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus.
Melainkan diarahkan dalam bentuk islami. Acara boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan hanya sekedar
kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang
dihidangkan boleh dibawa pulang.
• Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah SWT dengan harapan jika anaknya yang lahir laki-laki
seperti Nabi Yusuf as dan jika perempuan seperti Ibu Maryam, Ibunda Nabi Isa as.
Untuk itu, sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca Surat Yusuf dan Surat Maryam dalam Al Qur’an.
• Sebelum acara selamatan dilaksanakan, diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau sejarah para nabi.
Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf as.
Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang asmaradana, pucung dan lain
sebagainya masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
• PROSESI & SYARAT ACARA
1. Sungkeman
2. Siraman
3. Ngrogoh Cengkir
4. Brojolan / brobosan
5. Membelah Cengkir
6. Pantes pantesan
7. Angrem
8. Potong Tumpeng
9. Pembagian Takir Pontang
10. Jualan Rujak Dawet
* Dilaksanakan oleh sang ibu yang sedang
mengandung anaknya selama 7 bulan
• FILOSOFI
• . Mitoni sendiri berasal dari kata “pitu” yang
artinya adalah angka tujuh. Meskipun begitu,
pitu juga dapat diartikan sebagai pitulungan
yang artinya adalah pertolongan, di mana
acara ini merupakan sebuah doa agar
pertolongan datang pada ibu yang sedang
mengandung. Selain mohon doa akan
kelancaran dalam bersalin, acara mitoni ini
juga disertai doa agar kelak si anak menjadi
pribadi yang baik dan berbakti.
• TRADISI GUNUNGAN
• Gunungan adalah struktur/karya berbentuk kerucut
 atau segitiga (bagian atas meruncing) yang terinspirasi
dari bentuk gunung (api). Secara lebih khusus, pe
wayangan dan tradisi grebeg menggunakan istilah ini
untuk dua hal yang berbeda.
• PROSESI ACARA
• Miyos Gangsa
• Perayaan  Sekaten  diawali dengan prosesi  Miyos
Gangsa  pada hari Jumat (24/11). Upacara ini  terdiri
dari Gamelan Sekati , yaitu Kanjeng Kiai Gunturmadu
dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dari keraton. Gamelan
tersebut selanjutnya akan ditempatkan
di   Masjid Pagongan Gedhe dan ditabuh selama satu
minggu.
• Numplak Wajik
• Upacara  Numplak Wajik  dilaksanakan di  Plataran
Kemagangan  pada hari Selasa (28/11) pukul 16.00 WIB, dipimpin
oleh GKR Mangkubumi. Prosesi ini dilakukan dengan
menempatkan  wajik  di tengah badan  Gunungan
Wadon . Numplak Wajik  adalah penanda dimulainya proses
menyusun gunungan yang akan diarak dan dibagikan saat  Garebeg
nanti  .
• Mbusanani Pusaka
• Prosesi  Mbusanani Pusaka  dilaksanakan di  Gedhong Jene , PADA
hari Kamis Wage (30/11), Pukul 09.00 WIB. Prosesi ini dilaksanakan
oleh para  Pangeran Sentana  yang dipimpin oleh  Mantu
Dalem  Kangjeng Pangeran Harya (KPH) Wironegoro. Dalam
prosesi  Mbusanani Pusaka  ini, beberapa pusaka Kraton Yogyakarta
dikeluarkan dari ruang penyimpanan untuk diterjemahkan dan
diganti busananya (kain pelindung) sebagai persiapan untuk
menerima upacara  Garebeg Mulud nanti  .
• Betak
• Prosesi  bethak  dilaksanakan di  Bangsal Sekar Kedhaton , komplek Keputren, PADA
Kamis petang. Prosesi ini dipimpin oleh GKR Hemas sebagai  Permaisuri
Dalem . Selepas maghrib, Sri Sultan mengirimkan pusaka Kanjeng Nyai Mrica dan
Kanjeng Kyai Blawong kepada GKR Hemas. Menggunakan pusaka yang membentuk
periuk ( kendhil ) tersebut, GKR Hemas bersama dengan  Putra  dan  Sentana Dalem
Putri  (putri dan kerabat wanita Sultan) akan menanak nasi sebanyak tujuh kali. Nasi
yang dimasak dalam  Upacara Bethak ini  akan dikirimkan kepada Sri Sultan pada saat
pesowanan keesokan harinya.
• Kundur Gangsa
• Sebagai tanda berakhirnya Sekaten , gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng
Kiai Nagawilaga diambil kembali dari Pagongan Masjid Gedhe ke dalam
keraton. Prosesi diawali dengan hadirnya ( miyos ) Sri Sultan di Pelataran Masjid
Gedhe hari Kamis pukul 20.00 WIB untuk menyebarkan udhik-udhik . Udhik-
udhik yang berisi beras, bunga, dan uang logam ini disebar di Pagongan
Kidul (selatan) terlebih dahulu, baru setelah itu di Pagongan Lor (utara). Selesai
menyebar udhik-udhik , Sri Sultan akan duduk di serambi Masjid Gedhe untuk
mendengarkan kunjungan Nabi Muhammad. Berbeda dengan pelaksanaan Garebeg
Muludbiasa, setiap tahun Dal, Sultan akan menjejakkan kaki ke tembok bata di pintu
( butulan ) Masjid Gedhe sebelum kembali ke keraton. Upacara ini dikenal dengan
istilah Njejak Beteng .
• Pesowanan Garebeg
• Prosesi Pesowanan Garebeg Dal Tahun 1951 dilaksanakan di Kagungan Dalem
Bangsal Kencana PADA hari Jumat Kliwon (1/12) Pukul 09.00 WIB. Dalam prosesi
yang juga dihadiri oleh KGPAA Paku Alam X ini, Sri Sultan mengambil nasi dari
periuk Kanjeng Nyai Mrica, mengepal-ngepalnya menjadi bulatan kecil, lalu
meletakannya di Kanjeng Kiai Blawong (pusaka berwujud pengiriman besar). Nasi
yang sudah dikepal oleh Sri Sultan dan kepalan nasi yang sudah dibuat sebelumnya
dibagikan ke GKR Hemas, KGPAA Paku Alam X, diteruskan ke para kerabat dan Abdi
Dalem .

Kundur Gunungan Bromo
• Prosesi Kundur Gunungan Bromo ( Kutug ) dilaksanakan di Plataran Gedhong
Purwaretna pada Hari Jumat Kliwon, pukul 11.00 WIB. Sebelumnya, Gunungan
Bromo diarak bersama Gunungan Wadon , Gunungan Gepak , Gunungan
Darat , Gunungan Pawuhan , dan Gunungan Lanang melewati Alun-Alun
Utara. Satu Gunungan Lanang dibawa ke Kepatihan, satu lagi dibawa menuju Puro
Pakualaman . Gunungan Lanang dipindahkan bersama Gunungan menuju Masjid
Gedhe dengan arak-arakan yang dikawal oleh barisan BregadaPrajurit
Keraton. Setelah selesai didoakan di Masjid Gedhe, Gunungan Bromo dibawa
kembali masuk ke dalam keraton. Selanjutnya Gunungan ini dibagikan kepada para
kerabat Yogyakarta. Lima gunungan yang ditempatkan di Pelataran Masjid Gedhe
kemudian dibagikan kepada masyarakat sebagai bentuk sedekah dari Sri Sultan.
• Bedhol Songsong
• Upacara Bedhol Songsong merupakan
pagelaran wayang yang dilakukan di Bangsal
Pagelaran pada Jumat (1/12), pukul 20:00
WIB. Upacara ini dilaksanakan untuk
ditutupnya Garebeg Mulud. Lakon yang
dibawakan kali ini adalah "Semar Ratu" oleh Ki
Dalang Mas Bekel Cermo Sugondo, S. Sn.
• WAKTU PELAKSANAAN
• Tradisi Grebeg Maulud diadakan setiap tanggal
12 pada Bulan Maulud (Rabiulawal) yang
merupakan upacara untuk memeperingati
kelahiran Nabi Muhammad SAW.
• FILISOFI
• Keraton Yogyakarta setiap tahun menyelenggarakan tiga kali upacara
garebeg, yaitu: Garebeg Maulud, Garebeg Syawal/Grebeg Puasa, dan
Garebeg Besar. Garebeg merupakan suatu upacara kerajaan yang
melibatkan seisi keraton, segenap aparat kerajaan; dari yang berpangkat
tinggi sampai rendah, melibatkan seluruh lapisan masyarakat, dan pada
masa dahulu mengharuskan para pembesar kolonial berperan serta
(Soelarto, 1982). Kata garebeg berasal dari kata gumrebeg yang memiliki
filosofi sifat riuh, ribut, dan ramai
(htpp://kotajogja.com/wisata/index/Grebeg-Sekaten). Pada awalnya,
penyelenggaraan upacara garebeg merupakan media dakwah agama Islam,
sebagai peringatan terhadap hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Gagasan penyelenggaraan acara tersebut dikemukakan oleh para wali dan
disetujui oleh Raja Demak. Cara tersebut ditempuh karena adanya
kesadaran akan realita bahwa tradisi lama pada agama Hindu dan Budha
tidak dapat serta merta dihapuskan begitu saja. Oleh karena itu, penyiaran
agama Islam menyesuaikan dengan kebudayaan yang sudah ada agar dapat
diterima. Pada perkembangan selanjutnya, upacara garebeg selalu
dilakukan oleh penerus kerajaan Demak, termasuk Keraton Yogyakarta.
• TRADISI KENDURI
•  Setiap kali suatu agama datang pada suatu daerah, maka mau tidak mau, agar agama tersebut dapat
diterima masyarakatnya secara baik, penyampaian materi dan ajaran agama tersebut harus menyesuaikan
diri dengan beberapa aspek lokal, sekiranya tidak bertentangan secara diametris dengan ajaran subtantif
agama tersebut. Demikianlah pula dengan kehadiran Islam di Jawa, sejak awalnya, Islam begitu mudah
diterima, karena para pendakwahnya menyampaikan Islam secara harmonis, yaitu merengkuh tradisi yang
baik sebagai bagian dari ajaran agama Islam sehingga masyarakat merasa “ngeh” atau “enjoy” menerima
Islam menjadi agamanya.[1]
•        Umumnya para pendakwah Islam dapat menyikapi tradisi lokal, yang dipadukan menjadi bagian tradisi
yang “islami”. Sehingga apa yang disebut sebagai ritual dan tradisi kenduri kelahiran, pernikahan, dan
kematian merupakan tradisi berbentuk asimilasi antara budaya Jawa dengan budaya Islam.
•        Upacara kenduri yang biasa dilakukan oleh orang Jawa ini merupakan fenomena yang tidak dapat
dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri,
karena upacara kenduri sudah mendarah daging hingga sekarang. Masyarakat Jawa melaksanakan kenduri
dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi masyarakat Jawa itu sendiri. Kenduri pada mulanya
bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme.[2]
•        Sejarah awal tradisi kenduri memang masih sangat kabur. Hal ini atas dasar karena kurangnya sumber-
sumber terpercaya, yang mencatat secara jelas. Selain itu juga dikarenakan proses transisi dan konversi
penduduk Jawa ke Islam bersifat gradual, tidak merata, dan terus berlangsung hingga kini. Oleh sebab itu
perlu terlebih dahulu menelusuri tentang asal-muasal dan persebaran Islam di Jawa itu sendiri.
• PROSESI ACARA
• PROSESI KENDURI SETELAH KEMATIAN
• Kematian merupakan salah satu kejadian dari hidup yang dialami oleh setiap makhluk hidup.seperti halnya
kelahiran, semua makhluk hidup juga akan mengalami saat kematian pada waktu yang telah ditentukan.
• Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu tertentu masih
berada di sekeliling keluarganya. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan
untuk orang yang telah meninggal. Berikut diantaranya ritual yang dilakukan menurut adat istiadat Jawa.
• WAKTU PELAKSANAAN KENDURI
• Setelah ada orang meninggal dilakukan selama 7 hari berturut-turut,seratus dan seribu harinya hanya dilakukan selama 1
hari.
• Yang melaksanakan acara adalah keluarga dan keluarga almarhum
• FILOSOFI
• Filosofi Kenduri
• Beruntunglah buat kita yang terlahir diantara tahun 70-an s.d akhir 90-an. Generasi yang terlahir dikurun waktu tersebut
mengalami masa yang lengkap. Masa kecil biasa bermain dengan permainan yang tradisional, semacam engklek, kelereng,
gobak sodor, halma, dam-daman, juga masih kebagian game yang sifatnya teknologi semacam: video games, game boy, ps,
game komputer, etc.

Nah, salah satu hal yang juga umum dialami oleh generasi tersebut adalah santap hasil kenduri. Kenduri (disebut juga
genduren), merupakan salah satu tradisi budaya kita sebagai wujud syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Sang
Pencipta, Allah SWT. Nikmat dari panen misalnya. Tradisi ini masih tetap berjalan hingga sekarang, terutama di desa-desa.

Sang pengempu acara mengundang warga disekitar rumahnya (biasanya kumpulan warga satu RT). Acara berisi sambutan-
sambutan singkat, sambil disuguh minuman ringan dan rokok ala kadarnya. Acara biasanya ditutup dengan do'a dan
sesudahnya mulai dikeluarkanlah jamuan makanan besarnya. Yang menarik, jamuan makan tersebut hanya sebagai simbul
saja karena setelah 2 atau 3 suap makanan langsung dibungkus dan dibawa pulang untuk disantap bersama dengan
keluarga yang sudah menunggu.

Berhubung ada acara kenduri, biasanya ibu-ibu tidak memasak untuk makan malam hari ini. Kan sudah ada makanan dari
kenduri, kalau masak nanti malah mubazir. Jadi, sudah barang pasti anggota keluarga menunggu sang Ayah pulang
membawa berkat (makanan kenduri yang dibawa pulang).

Berkat biasanya dibawa pulang dalam sebuah kemasan daun jati, beberapa ada yang menggunakan daun pisang. Setelah
berkat datang, biasanya ditaruh di tempat lapang dalam rumah dan dikerumuni oleh semua anggota keluarga. Ayah, Ibu,
Anak menyantap bersama. Sungguh nikmat makan dengan cara seperti ini. Makanan meski disantap bersama, tidak ada
yang saling berebut. Masing-masing anggota keluarga sudah tahu batasan-batasannya. Batasan-batasan tersebut secara
verbal - non verbal sudah diajarkan oleh orangtua secara sadar maupun tidak.

Anda mungkin juga menyukai