Anda di halaman 1dari 31

BAB 6

KOMBINASI BISNIS
DAN REVALUASI
ASET TETAP
AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN ATAS
KOMBINASI BISNIS

Kombinasi Bisnis merupakan suatu transaksi atau peristiwa lain yang


mana pihak pengakuisisi memperoleh pengendalian atas satu atau lebih
bisnis.

Sesuai dengan PSAK 46 (Revisi 2010) tentang Pajak Penghasilan bahwa pihak
pengakuisisi mengakui dan mengukur aset atau liabilitas pajak tangguhan yang
timbul dari aset yang diperoleh dan liabilitas yang diambil-alih dalam kombinasi
bisnis sesuai PSAK 46 (Revisi 2010) tentang Pajak Penghasilan.

Dari hal tersebut pihak pengakuisisi akan


memperhitungkan kemungkinan adanya
dampak dari perbedaan temporer dan sisa
kompensasi kerugian dari pihak yang diakuisisi
yang ada pada tanggal akuisisi atau yang
timbul sebagai hasil akuisisi dengan PSAK 46
(Revisi 2010).
AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN ATAS
KOMBINASI BISNIS
Dari sisi aturan dalam undang-undang pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa nilai perolehan atau
pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambil-alihan usaha adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.

Dengan demikian prinsip yang digunakan


dalam akuntansi pajak atas kombinasi bisnis
yaitu bila terjadi pengalihan harta, penilaian
harta yang dialihkan dilakukan berdasar harga
pasar.
Namun dikecualikan dengan tidak menggunakan harga pasar yang peraturannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pengaturan dimaksud telah diterbitkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 43/PMK 03/2008 Tanggal 13 Maret 2008 tentang Penggunaan
Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau
Pemekaran Usaha Peraturan Menteri Keuangan dimaksud terlihat bahwa penggabungan
dan peleburan usaha merupakan cara pelaksanaan merger.
Pasal 4 ayat (1) huruf "d", menyebutkan keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambil-alihan usaha atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun, sebagai objek
Pajak Penghasilan. Hal tersebut terlihat sebagai objek yang dikenakan Pajak penghasilan yaitu keuntungan dari
merger. Dari sisi ketentuan pajak tentang penggabungan, peleburan, penukaran, dan pengambilalihan usaha,
pada prinsipnya menganut Fair value atau arm's length principle dan metode yang digunakan yaitu metode
pembelian (purchase method).

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length


Principle/ALP) mendasarkan pada norma bahwa harga
atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-
piihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi
tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair
Market Value/FMV)

Tanggapan dari Wajib Pajak atas kebijakan pemajakan atas merger ini disebut dengan taxable
merger jelas sebagai beban usaha. Tetapi untuk mengurangi beban dimaksud Undang-Undang
PPh memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lain.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK 03/2008


menetapkan penggunaan nilai buku (fiskal) atas pengalihan
harta dalam rangka merger dan pemekaran usaha sebagai
dasar lainnya selain harga pasar.
Untuk memudahkan pembahasan perlu diketahui istilah berikut ini.
1. Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
2. Penggabungan usaha adalah penggabungan dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah
satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa
kerugian yang lebih kecil.
3. Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
4. Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya
terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara
mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban
kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan
usaha yang lama.
Penggabungan usaha (business combination) atau yang biasa dikenal dengan konsolidasi atau
merger merupakan salah satu bentuk tindakan restrukturisasi yang paling sering dipakai, dibanding
tindakan-tindakan yang lainnya. Beams dan Jusuf (1998:2-3) mengungkapkan bahwa ada beberapa
alasan yang muncul sehingga beberapa perusahaan mengambil tindakan untuk melakukan
penggabungan usaha yaitu :
a. Manfaat biaya (Cost Advantange). Acapkali lebih murah bagi perusahaan untuk memperoleh
fasilitas yang dibutuhkan melalui penggabungan dibandingkan melalui pengembangan, terutama
pada keadaan inflasi.
b. Risiko Lebih Rendah (Lower Risk). Membeli lini produk dan pasar yang telah didirikan
biasanya lebih besar risikonya dibandingkan dengan mengembangkan produk baru dan
pasarnya. Penggabungan usaha kurang berisiko terutama ketika tujuannya adalah diversifikasi.
c. Penundaan Operasi Lebih Sedikit (Fewer Operating Delays). Fasilitas- fasilitas pabrik yang
diperoleh melalui penggabungan usaha dapat diharapkan untuk segera beroperasi. Sedangkan
apabila membangun fasilitas perusahaan yang baru akan menimbulkan masalah yang baru
juga misalnya perlunya izin pemerintah.
d. Mencegah Pengambilalihan (Avoidance Of Takeovers). Beberapa perusahaan bergabung
untuk mencegah pengambilalihan diantara mereka.
e. Akuisisi Harta Tidak Berwujud (Acquisition of Intangible Assets). Penggabungan usaha
melibatkan penggabungan sumber daya tidak berwujud maupun berwujud. Akusisi atas hak
paten, hak atas mineral, database pelanggan, atau keahlian manajemen mungkin menjadi faktor
utama yang memotivasi suatu penggabungan usaha.
Secara umum, penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha akan
melibatkan pihak yang mengalihkan harta dan pihak yang memperoleh harta.
Sesuai akuntansi komersial, metode yang digunakan dalam konsolidasi adalah:
1. penyatuan kepentingan (pooling of interest);
2. pembelian (purchase).

Dalam akuntansi perpajakan digunakan metode pembelian (purchase method)


atau berdasarkan harga pasar, sedang metode penyatuan kepentingan dapat
digunakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
1. Pembelian (by purchase)
Indikasi yang terukur untuk penggabungan usaha dengan menggunakan metode
purchases adalah adanya pengeluaran uang tunai selain biaya penggabungan dan
biaya emisi saham yang dikeluarkan perusahaan pembeli. Disamping itu akan terjadi
perubahan kepemilikan.
Secara prinsip dasar akuntansi penggabungan usaha adalah mencatat kos yang
dikeluarkan oleh pemilik baru, sedangkan harga perolehan akuisisi pemilik baru
merupakan dasar penilaian dasar penilaian neto yang diperoleh dari perusahaan yang
dibeli. Selanjutnya yang diperoleh dalam penggabungan perusahaan tersebut adalah
besaran aset dan utang maka harga perolehan tersebut memberikan dasar dalam
mengalokasikan nilai aset dan utang yang diperoleh. Dasar harga perolehan adalah
nilai pasar yang wajar (fair market values) dari aset, utang maupun saham yang
diterbitkan untuk membayar transaksi pada saat akuisisi.

Goodwill pada penggabungan usaha akan diakui jika masih ada selisih kos terhadap nilai
buku yang tidak teridentifikasi pada aset dan utang tertentu. Sementara itu karena income hanya
akan diakui sesudah pembelian aset tersebut maka hanya pendapatan dan beban sesudah
akuisislah yang diatributkan pada penggabungan usaha. Pada bagian akhir biaya yang berkaitan
dengan penggabungan usaha akan diperlakukan sebagai bagian harga perolehan, sedangkan biaya
penerbitan saham akan mengurangi agio saham
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah aplikasi metode purchases yang digunakan dalam
penggabungan usaha. Aplikasi metode purchases pertama yang umum diketahui adalah dengan
cara mengakuisisi aset. Pada metode ini penggabungan usaha dilakukan dengan cara perusahaan
pembeli tetap melanjutkan usaha sedangkan perusahaan yang dibeli dibubarkan dan berhenti
beroperasi.
Metode kedua yang sering kita lihat adalah penggabungan usaha dengan cara membeli
seluruh saham perusahaan yang diakuisisi. Contoh penggabungan usaha dengan metode pembelian
saham perusahaan tersebut adalah pembelian mayoritas PT Bogasari oleh PT Indofood, dan
pembelian HM Sampurna oleh Philip Morris. Dalam kasus ini PT Bogasari dan HM Sampurna
menjadi satu divisi atau unit dari PT Indofood dan Phili Morris.
Metode ketiga dengan cara konsolidasi dan mengakuisisi aset atau saham kemudian
membuat perusahaan baru untuk menampung aset dan utang perusahaan dari perusahaan yang
digabung. Contoh dari metode ini di Indonesia adalah bergabungnya empat bank di Indonesia yaitu
Bank Bumi Daya BBD), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Export-Import (Bank Exim),
dan Bank Dagang Negara (BDN) menjadi Bank Mandiri.
2. Penyatuan Kepentingan (Pooling of Interest)
Karakter utama penggabungan usaha melalui POI ini akan
menggabungkan unsur-unsur laporan keuangan dari perusahaan yang bergabung sesuai dengan
nilai buku perusahaan masing-masing.
Dikarenakan pencatatan dilakukan dengan dasar nilai buku maka tidak terdapat nilai wajar
atau nilai pasar pada Dikarenakan pencatatan dilakukan dengan dasar nilai buku maka tidak
terdapat nilai wajar
atau nilai pasar pada penggabungan usaha ini.

Jika terdapat selisih antara jumlah yang dibukukan dengan sebagai modal saham yang diterbitkan
dengan jumlah modal saham yang diperoleh maka selisih ini harus disesuaikan terhadap ekuitas
atau modal sendiri. Biaya penggabungan dan biaya penerbitan saham diakui sebagai beban pada
periode saat terjadi penggabungan usaha. penggabungan usaha ini. Jika terdapat selisih antara
jumlah yang dibukukan dengan sebagai modal saham yang diterbitkan dengan jumlah modal
saham yang diperoleh maka selisih ini harus disesuaikan terhadap ekuitas atau modal sendiri.
Biaya penggabungan dan biaya penerbitan saham diakui sebagai beban pada periode saat terjadi
penggabungan usaha.
Ketentuan perpajakan tidak seperti prinsip akuntansi yang mengatur bahwa
pemilihan metode penggabungan usaha yang dipakai didasarkan dengan
memperhatikan makna ekonomisnya dan bukan melihat pada bagaimana
transaksi itu menurut hukumnya (formalitas).
Dengan demikian bisa diartikan bahwa prinsip akuntansi membebaskan
perusahaan untuk memilih metode mana yang akan dipakai. Pertanyaan yang
timbul adalah mengapa Direktorat Jenderal Pajak memutuskan untuk tidak
memperbolehkan penggunaan metode pooling of interest dalam rangka
penggabungan usaha.
Jawabannya tidak lain bahwa dengan pooling of interset, tidak ada pajak
yang dibebankan atas penggabungan usaha tersebut, lain halnya apabila
menggunakan metode by purchase yang berdasarkan pada nilai pasar.

Sekarang bagaimana dasar pengenaan pajak untuk perusahaan yang melakukan


penggabungan usaha atas dasar metode pooling of interest. Seperti telah dijelaskan di
atas, metode pooling of interest menggunakan nilai buku sebagai dasar dalam
pengalihan harta dari penggabungan perusahaan. Dengan ini berarti bahwa
penggabungan perusahaan dengan metode pooling of interest, sama sekali tidak
menghasilkan penghasilan kena pajak, karena penggabungan tersebut didasarkan atas
nilai buku dari kedua perusahan, dan bukan berdasarkan suatu penilaian
kembali atau nilai pasar.
Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam
rangka likuidasi penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah sebagai berikut :

Penggunaan Harga Pasar


Jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan
penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan.

Contoh:
PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C. Nilai sisa
buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebaga berikut.

Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam rangka
peleburan menjadi PT C adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian, PT A
mendapat keuntungan sebesar Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 -
Rp200.000.000,00) dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp150.000.000,00
(Rp450.000.000,00 - Rp300.000.000,00). Sedangkan PT C membukukan semua harta
tersebut dengan jumlah Rp750.000.000,00 (Rp300.000.000,00 + Rp450.000.000,00).
Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di
bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter, dan kebijakan
lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menetapkan nilai lain selain harga pasar, yaitu atas dasar
nilai sisa buku (dengan menggunakan metode "pooling of
interest"). Dalam hal demikian PT C membukukan
penerimaan harta dari PT A dan PT B tersebut sebesar:
Rp200.000.000,00 + Rp300.000.000,00 =
Rp500.000.000,00.
Pengaturan yang memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar
yaitu atas dasar nilai buku. Ketentuan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2008 tentang Penggunaan Nilai Buku atas Pengalihan Harta dalam Rangka Penggabungan, Peleburan,
atau Pemekaran Usaha. Ketentuan ini berlaku sejak tanggal 13 Maret 2008. Pokok-pokok aturan Menteri
Keuangan dimaksud, meliputi berikut ini.

1. Pihak yang diperkenankan menggunakan nilai buku Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan
nilai buku dalam penggabungan usaha atau peleburan usaha. Syarat yang diperlukan atau diwajibkan bagi
Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha, peleburan usaha, maupun pemekaran usaha.
a. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan alasan dan tujuan melakukan
merger dan pemekaran usaha. Permohonan tersebut diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima harta yaitu
dalam hal Wajib Pajak melakukan merger atau Wajib Pajak yang mengalihkan harta dalam hal dilakukan
pemekaran usaha. Pengajuan permohonan ditujukan kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dalam
waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha dilakukan. Sebagai
dukungan permohonan perlu melampirkan surat pernyataan yang mengemukakan alasan dan tujuan
melakukan merger atau pemekaran usaha disertai bukti pendukung serta melampirkan daftar isian dan surat
pernyataan dalam rangka business purpose test.
Atas permohonan Wajib Pajak yang mengajukan permohonan dimaksud, kepala kantor wilayah harus
menerbitkan surat keputusan paling lama (satu) bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Bila melebihi
waktu tersebut, maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan akan diterbitkan Surat Keputusan
Persetujuan;

b. Melunasi seluruh utang pajak dari tiap badan usaha yang terkait.

c. Memenuhi persyaratan tujuan bisnis (business purpose test). Masalah pelunasan seluruh utang pajak wajib
dipenuhi oleh Wajib Pajak yang mengalihkan harta dan Wajib Pajak yang menerima harta, termasuk utang pajak
dari cabang atau perwakilan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak lokasi.
Sedangkan memenuhi persyaratan business purpose test apabila:
1. tujuan utama dari merger dan pemekaran usaha adalah menciptakan sinergi usaha yang
kuat dan memperkuat struktur permodalan serta tidak dilakukan untuk penghindaran
pajak;
2. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta masih berlangsung sampai
dengan tanggal efektif merger,
3. kegiatan usaha Wajib Pajak yang mengalihkan harta sebelum merger terjadi wajib
dilanjutkan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta paling singkat 5 (lima)
tahun setelah tanggal efektif merger,
4. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka merger tetap
berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif merger;
5. kegiatan usaha Wajib Pajak yang menerima harta dalam rangka pemekaran usaha
wajib berlangsung paling singkat 5 (lima) tahun setelah tanggal efektif pemekaran
usaha; dan
6. harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak yang menerima harta setelah terjadinya merger
atau pemekaran usaha tidak dipindahtangankan oleh Wajib Pajak yang menerima harta
paling singkat 2 (dua) tahun setelah tanggal efektif merger atau pemekaran usaha.
2. Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah:
a. Wajib Pajak yang belum go public yang akan melakukan penawaran umum perdana (initial
public offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah go public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan
penawaran umum perdana (initial public offering).
3. Sisa kerugian dan kompensasi kerugian
Sebagaimana disebutkan dalam penggabungan usaha bahwa penggabungan dari dua atau lebih
Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa
kerugian yang lebih kecil. Sisa kerugian tersebut yaitu sisa kerugian fiskal.
Dalam hal kompensasi kerugian yaitu Wajib Pajak yang melakukan merger dengan menggunakan
nilai buku tidak boleh mengompensasikan kerugian/sisa kerugian dari Wajib Pajak yang
menggabungkan diri/Wajib Pajak yang dilebur.
4. Pencatalan nilai buku
Bagi Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta (penggabungan, peleburan, dan pemekaran
usaha) mencatat nilai perolehan harta tersebut sesuai dengan nilai sisa buku sebagaimana tercantum
dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan.
5.Penyusutan
Penyusutan atas harta yang diterima sebagaimana dimaksud pada butir 4, dilakukan berdasarkan masa
manfaat yang tersisa sebagaimana tercantum dalam pembukuan pihak atau pihak-pihak yang
mengalihkan.
6.Pajak Penghasilan
Apabila merger atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun pajak berjalan, jumlah angsuran Pajak
Penghasilan Pasal 25 dari pihak-pihak yang menerima pengalihan tidak boleh lebih dari jumlah angsuran
yang wajib dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang mengalihkan. Sedangkan untuk pembayaran,
pemungutan, dan pemotongan Pajak Penghasilan yang telah dilakukan oleh pihak atau pihak- pihak yang
mengalihkan sebelum dilakukannya merger atau pemekaran usaha dapat dipindahbukukan menjadi
pembayaran, pemungutan, atau pemotongan Pajak Penghasilan dari Wajib Pajak yang menerima
pengalihan.
7. Penjualan harta
Bagi Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku, bila Wajib
Pajak yang menerima harta melakukan penjualan harta yang sebelumnya dimiliki Wajib Pajak yang
mengalihkan harta sebelum melewati jangka waktu 2 tahun setelah tanggal efektif merger atau
pemekaran usaha. Wajib Pajak tersebut wajib menyampaikan pernyataan tertulis bahwa harta tersebut
layak dijual demi meningkatkan efisiensi perusahaan dan disertai dengan bukti pendukung. Terhadap
Wajib Pajak yang akan menjual sahamnya di bursa efek selambat-lambatnya jangka waktu I (satu) tahun
setelah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemekaran usaha dengan
menggunakan nilai buku harus telah mengajukan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar
Modal dalam rangka penawaran saham umum perdana (initial public offering) dan pernyataan
pendaftaran telah menjadi efektif.
 
 
REVALUASI ASET TETAP
Revaluasi aset tetap adalah penilaian kembali aset tetap
perusahaan. Hal ini dilakukan akibat adanya kenaikan nilai aset
tetap di pasaran atau karena rendahnya nilai aset tetap dalam
laporan keuangan perusahaan.

Tujuan utama dari revaluasi aset adalah agar perusahaan dapat melakukan
penghitungan penghasilan dan biaya secara lebih wajar. Dengan begitu, hasil
revaluasi aset bisa mencerminkan nilai dan kemampuan perusahaan yang
sebenarnya.

Aset yang dapat direvaluasi adalah aset tetap berwujud yang terletak
di Indonesia, serta dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Contohnya adalah aset properti. Yang jelas, revaluasi aset harus
dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset tetap tersebut.
Besaran Tarif untuk Revaluasi Aset Tetap

Besaran revaluasi aset tetap terbagi menjadi 3 macam dan ketiganya bersifat Final.
Adapun besaran tarif tersebut adalah:

1. 3% untuk permohonan sampai dengan 31 Desember 2015 dan penilaian


kembali selesai paling lambat 31 Desember 2016.
2. 4% untuk permohonan periode 1 Januari 2016 sampai dengan 30 Juni 2016 dan
penilaian kembali selesai paling lambat 30 Juni 2017.
3. 6% untuk permohonan periode 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Desember 2016
dan penilaian kembali selesai paling lambat 31 Desember 2017.
Hubungan Revaluasi Aset Tetap untuk
Tujuan Pajak

Revaluasi aset tetap untuk tujuan pajak tunduk pada peraturan perpajakan, yang
diantaranya mengatur bahwa revaluasi aset tetap tidak dapat dilakukan kembali
sebelum lewat jangka waktu lima tahun, dapat dilakukan untuk sebagian atau
seluruh aset tetap, masa manfaat aset tetap setelah revaluasi disesuaikan kembali
menjadi manfaat penuh untuk kelompok aset tersebut, dan dasar penyusutan aset
tetap adalah nilai pada saat revaluasi aset tetap.
Manfaat Revaluasi Aset Tetap
1. Meringankan Kewajiban Perpajakan
Dengan seiring berjalannya waktu nilai aset bertambah, maka biaya penyusutan juga ikut
bertambah. Naiknya biaya penyusutan setelah revaluasi yang dibebankan dalam laporan keuangan
perusahaan dapat membantu meringankan kewajiban perpajakan perusahaan pada tahun-tahun
selanjutnya.
2. Mengontrol Permodalan
Adanya revaluasi aset mampu membantu Anda mengontrol permodalan. Dengan begitu, rasio
utang terhadap ekuitas atau debt-to-equity ratio akan turun. Selaku nasabah, perusahaan non-bank
pun bisa meminjam lebih banyak dana dari bank. Menariknya, keuntungan ini sejalan dengan
manfaat yang akan didapatkan bank. Apabila modal meningkat, maka rasio kecukupan modal atau
Capital Adequacy Ratio juga ikut meningkat. Artinya, bank akan memiliki lebih banyak
kemampuan untuk mengucurkan dana kredit bagi perusahaan dan nasabah lainnya.
3. Menarik Minat Investor terhadap Perusahaan
Pada dasarnya, revaluasi aset dapat membantu meningkatkan performa keuangan perusahaan. Hal
ini tentu akan sangat berguna untuk menarik minat investor terhadap perusahaan Anda. Berbekal
modal kuat, perusahaan Anda bisa menjaring dana dari penawaran saham atau penerbitan obligasi.
Kepercayaan kreditur pun juga meningkat berkat dampat baik beberapa rasio keuangan perusahaan,
khususnya yang ditunjukkan oleh debt-to-assets ratio dan debt-to-equity ratio.
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
SELISIH PENILAIAN KEMBALI
Selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen).
Apabila kondisi keuangan Wajib Pajak tidak memungkinkan untuk
melunasi sekaligus Pajak Penghasilan yang terutang atas selisih lebih
penilaian kembali seperti telah dijelaskan sebelumnya, dapat mengajukan
permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan
sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (4) Undang- Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
Pada Pasal 9 ayat (4) dimaksud mengatur masalah kewenangan Direktur Jenderal
Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak termasuk kekurangan pembayaran. Dalam hal besarnya Pajak Penghasilan
yang terutang lebih dari Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah), Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran lebih dari 1 (satu) tahun
hingga paling lama 5 (lima) tahun kepada Direktur Jenderal Pajak.
Besarnya angsuran tersebut ditetapkan secara prorata setiap tahun sesuai dengan
lamanya masa angsuran yang diatur:

Terjadinya keterlambatan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dan atas


pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang secara angsuran dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta peraturan pelaksanaan.
DASAR PENYUSUTAN ASET TETAP
Dasar penyusutan fiskal aset tetap perusahaan yang telah memperoleh
persetujuan penilaian kembali yaitu mulai bulan dilakukannya pernilaian
kembali adalah nilai sisa buku fiskal yang baru. Terhadap penyusutan fiskal aset
tetap perusahaan yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali.
Untuk nilai sisa buku baru aset tetap perusahaan kelompok bangunan dan
bukan bangunan yang penyusutannya menggunakan metode garis lurus
merupakan nilai perolehan fiskal baru aset tetap perusahaan tersebut pada
tanggal penilaian kembali. Sisa masa manfaat fiskal aset tetap perusahaan yang
telah dilakukan penilaian kembali mulai bulan dilakukannya penilaian kembali
disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok tetap
perusahaan tersebut.

Dasar penyusutan fiskal dan sisa masa manfaat fiskal aset tetap perusahaan
untuk menghitung penyusutan dalam bagian tahun pajak sampai dengan bulan
sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali adalah dasar penyusutan fiskal
dan sisa masa manfaat fiskal pada awal Tahun Pajak yang bersangkutan dan
penyusutan fiskal dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.
BATAS WAKTU PEMBAYARAN
Pajak penghasilan final yang terutang atas selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan
harus dibayar lunas ke kas negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat
15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal diterbitkannya Keputusan Persetujuan Direktur Jenderal
Pajak atau paling lambat pada tanggal jatuh tempo setiap angsuran pembayaran dalam hal Wajib
Pajak memperoleh Keputusan Persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Keputusan Persetujuan
Direktur Jenderal Pajak. Atas keterlambatan pembayaran dan atas angsuran pembayaran pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai ketentuan umum Undang-Undang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta peraturan perlaksanaannya yang berlaku.

Dalam hal Wajib Pajak dikenakan sanksi tambahan Pajak Penghasilan Final sebesar 20% (dua
puluh persen) karena melakukan pengalihan aset tetap perusahaan yang memperoleh persetujuan
penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru golongan aset dimaksud, maka
tambahan Pajak Penghasilan Final tersebut harus dibayar lunas ke kas negara paling lambat 15
(lima belas) hari kerja setelah akhir bulan terjadinya pengalihan aset tetap perusahaan.
WAJIB PAJAK MELAKUKAN
PENGALIHAN
Dalam hal wajib pajak melakukan pengalihan aset tetap perusahaan yang telah
memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru,
maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan pajak penghasilan yang bersifat
final sebesar 20% (dua puluh persen) dari selisih lebih penilaian kembali di atas nilai
sisa buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-
tahun sebelumnya.
Sanksi tambahan PPh Final sebesar 20% karena melakukan pengalihan aset tetap
tersebut harus dibayar lunas ke kas negara paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
setelah akhir bulan terjadinya pengalihan aset tetap. Sebagai unsur pengecualian dari
ketentuan di atas dalam hal:
1. pengalihan aset telap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan
atau kebijakan pemerintah atau keputusan pengadilan; atau
2. pengalihan aset tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan
penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan; atau
3. penarikan aset tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan
berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Terjadinya pengalihan aset tetap perusahaan dapat menimbulkan
keuntungan atau kerugian. Keuntungan atau kerugian yaitu sebesar
selisih antara nilai pengalihan dengan nilai sisa buku fiskal pada saat
pengalihan merupakan penghasilan atau pengurang penghasilan bruto
berdasarkan ketentuan yang berlaku umum pada undang-undang Pajak
Penghasilan.
Selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan di atas nilai sisa
buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan
Final sebesar 10%
PAJAK PENGHASILAN WAJIB
PAJAK TERTENTU
Pembayaran Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak melakukan penilaian kembali yang mendapat Perlakuan
Khusus harus dilunasi sebelum permohonan penilaian kembali diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Perlu mendapat perhatian terhadap Wajib Pajak Perlakuan khusus, yaitu:
dalam hal hasil penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli
penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah lebih besar daripada nilai perkiraan nilai pasar alau nilai
wajar yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Permenkeu
No. 191/2015 tentang belum melakukan penilaian kembali aktiva tetap, atas selisih tersebut dikenakan
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar:
1. 3% (tiga persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap
oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah, dan melunasi
Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku sampai
dengan tanggal 31 Desember 2015;
2. 4% (empat persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap
oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah, dan melunasi
Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal
30 Juni 2016;
3. 6% (enam persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva tetap
oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah, dan melunasi
Pajak Penghasilan dimaksud dalam jangka waktu sejak tanggal 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31
Desember 2016; atau
4. 10% (sepuluh persen), bagi Wajib Pajak yang telah memperoleh penetapan penilaian kembali aktiva
tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah, dan
melunasi Pajak Penghasilan dimaksud pada tahun 2017.
PAJAK PENGHASILAN WAJIB
PAJAK TERTENTU
2. Dalam hal hasil penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik
atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah lebih kecil daripada nilai perkiraan nilai
pasar atau nilai wajar yang diajukan dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf b Permenkeu 191 tahun 2015 tentang belum melakukan penilaian kembali aktiva
tetap, yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak, atas kelebihan pembayaran
pajak tersebut merupakan pajak yang seharusnya tidak terutang
3. Dalam hal Wajib Pajak yang mengajukan permohonan penilaian kembali aktiva tetap adalah
Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, selisih lebih nilai aktiva tetap yang
digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan dan Pajak Penghasilan Final harus
dikonversi terlebih dahulu ke dalam satuan mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal pembayaran Pajak
Penghasilan.
4. Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan penilaian kembali aktiva tetap yang ditetapkan oleh
kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari pemerintah, sesuai jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal I ayat (4) Permenkeu 191 tahun 2015, dan/atau tidak
melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) mengenai kelengkapan
dokumen, permohonan dianggap batal dan atas pembayaran Pajak Penghasilan yang telah
dilunasi diperlakukan sebagai pajak yang seharusnya tidak terutang.
ASET YANG DIAJUKAN
PERMOHONAN
Penilaian kembali aset tetap perusahaan dilakukan terhadap:
1. seluruh aset tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak
guna bangunan; atau
2. seluruh aset tetap berwujud tidak termasuk tanah yang : terletak atau berada di
Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.

Aset Tetap Berwujud tersebut yang telah dilakukan penilaian kembali tidak dapat
dilakukan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak penilaian kembali aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008.
Pasal 1 Permenkeu No. 233/PMK.03/2015 mengatur mengenai pengubahan
Pasal 3 Permenkeu No. 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali
Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan pada
Tahun 2015 dan Tahun 2016 dengan ketentuan sebagai berikut.
1. Penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan terhadap sebagian atau
seluruh aktiva tetap berwujud yang berada atau terletak di Indonesia,
dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak, yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
2. Aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 233/PMK.03/2015 tidak dapat
dilakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan sebelum lewat
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva
tetap yang dilakukan berdasarkan Permenkeu No. 233/ PMK.03/2015.

Anda mungkin juga menyukai