Pelayanan Kesehatan Dasar Di Era Otonomi Daerah
Pelayanan Kesehatan Dasar Di Era Otonomi Daerah
Latar Belakang
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat
itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk
pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah
lingkungannya (wikipedia.com).
Puskemas adalah ujung tombak pelayanan kesehatan dasar yang disediakan oleh
pemerintah. Puskesmas, bersama unit penunjangnya, seperti posyandu, pustu,
pusling, dan polindes, sangat penting peranannya karena merupakan pelayanan
kesehatan utama yang dapat menyebar sampai ke masyarakat tingkat desa dan
biayanya relatif dapat dijangkau oleh kantong masyarakat miskin.
Pelayanan Puskesmas
Sebagai pusat pelayanan kesehatan dasar di tingkat kecamatan, umumnya setiap
puskesmas mempunyai seorang dokter yang merangkap sebagai kepala
puskesmas. Namun tugas administrasi seorang kepala puskesmas acapkali
menyita waktu pelayanannya bagi masyarakat. Akibatnya, penanganan pasien
lebih banyak diserahkan kepada tenaga perawat dan bidan.
Di beberapa puskemas juga ditemukan bahwa dokter kepala puskesmas dan
tenaga medis lainnya memberikan pelayanan pasien pribadi pada jam kerja
puskesmas. Pasien yang ingin mendapat pelayanan dan obat yang lebih baik
umumnya memilih berobat ke dokter kepala puskesmas meskipun harus
membayar dengan biaya lebih tinggi. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan
fungsi puskesmas, yaitu sebagai tempat alternatif berobat bagi masyarakat miskin
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Keuangan Puskesmas
Puskesmas di beberapa daerah mengeluhkan minimnya dana operasional yang diterima di
era otonomi daerah. Keluhan lain berkenaan dengan monopoli pengelolaan dana oleh
kabupaten. Saat ini, meskipun usulan program dan rencana keuangan tahunan disusun
oleh puskesmas, namun puskesmas hanya menerima dana dalam bentuk program yang
telah ditentukan oleh kabupaten. Sebelum otonomi daerah justru sebaliknya, 80% dana
dari pemerintah pusat diterima puskesmas dalam bentuk “block grant”, sehingga
puskesmas dapat mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhannya. Secara sederhana,
jika pemda menghendaki kuantitas dan kualitas pelayanan puskesmas tetap sama dengan
keadaan sebelum otonomi daerah, dana APBD yang dialokasikan untuk puskesmas
setidaknya harus sama dengan alokasi dana sebelum otonomi daerah. Meskipun jumlah
dana bukan satu-satunya faktor yang
mempengaruhi kualitas, tetapi kurangnya dana tentu akan mempengaruhi tingkat
pelayanan. Kecenderungan lain setelah kebijakan otonomi daerah diberlakukan adalah
naiknya retribusi puskesmas. Sebelumnya rata-rata pungutan retribusi yang dikenakan
pada setiap pasien antara Rp500 - Rp2.000 per kunjungan. Setelah otonomi daerah
berlaku, sebagian kabupaten/kota menaikkan retribusi puskesmas menjadi Rp3.000 -
Rp5.000. Meskipun secara hukum retribusi adalah pungutan sah, tetapi perlu diingat
bahwa pelayanan puskesmas kebanyakan dimanfaatkan oleh masyarakat miskin (yang
tidak dapat mengakses pelayanan oleh dokter swasta), karena itu tarif retribusi yang
tinggi ini dapat menghalangi mereka untuk mengakses pelayanan kesehatan.
Indikator Pelayanan Kesehatan Dasar Di Era Otonomi Daerah
Evaluasi Input
Evaluasi Proses
Evaluasi Output
Kebijakan Kesehatan di Era Otonomi Daerah