Anda di halaman 1dari 49

5.2.

PENGUKURAN SUDUT & JARAK


2.1. PENGUKURAN SUDUT
2.1.1. Jenis Sudut
2.1.2. Pembacaan Besaran Sudut

2.2. PENGUKURAN JARAK


2.2.1. Jenis Pengukuran (Pengukuran Datar,
Pengukuran Miring & Beda Tinggi)
2.2.2. Pengukuran dengan Titik Silang
2.2.3. Rambu Ukur
2.1.1. Jenis Sudut
1. Sudut datar
U
True bearing merupakan sudut
lancip yang dibentuk oleh garis
meridian bumi (bujur) dengan
garis/arah bidik.
S 90º B S 90º T
B T Besaran sudut ukurnya dihitung
U 90º B U 90º T dari meridian Utara atau Selatan
ke arah timur atau barat.

S
True Bearing
U Azimut merupakan sudut
yang dibentuk antara
garis Utara atau Selatan
bumi dengan arah
pengukuran ke Timur
atau ke Barat sesuai
B T dengan bousole
(kompas) yang
digunakan.
Kisaran besaran sudut 0º –
360º atau 0g – 400g.

Besaran sudut hasil pembacaan


S ada yang bersifat langsung dan tak
Azimut langsung.
Kenyataannya bahwa jarum magnit tidak mengarah ke kutub
Utara-Selatan bumi tetapi menyimpang ke Utara-Selatan kutub
magnit bumi.

Kutub magnit merupakan daerah yang luas dan pada daerah tsb
jarum magnit akan berdiri tegak. Tempat-tempat yang menjauh
dari daerah magnit umumnya akan membentuk sudut deklinasi
yang umumnya dengan besaran yang berlainan, namun ada pula
yang mempunyai sudut deklinasi sama.

Penyimpangan terjadi karena posisi kutub magnit Utara-Selatan


bumi tidak tepat berada di kutub Utara-Selatan bumi dan akibat
pengaruh medan magnit besar yang merupakan gabungan
semua gaya magnit dipermukaan bumi menarik jarum magnit
untuk mengarah ke kutub magnit. Penyimpangan tsb dinyatakan
sebagai deklinasi.
 Deklinasi (sudut penyimpangan)
merupakan sudut yang dibentuk dari arah jarum magnit
terhadap Utara-Selatan bumi yang sesungguhnya.

UM UB
UB UM

20º T 20º B

B T B T

S S
Deklinasi Timur Deklinasi Barat
Tempat-tempat yang berdeklinasi sama ditarik garis (maya) dan
garis tsb dinyatakan sebagai isogonic. Garis isogonic di peta
dinamakan isogonic chart.

UB
UM
Disamping itu ada pula tempat-
tempat yang mempunyai deklinasi nol
(tepat mengarah Utara-Selatan kutub
B T
bumi) dan garis yang menghubung-
kannya dinamakan agonic.
S

Sudut deklinasi setiap tahunnya berubah-ubah, bahkan setiap


hari terjadi perubahan. Ini akibat rotasi bumi dan kejadian-
kejadian alam. Sehingga peta isogonic pun terjadi perubahan-
perubahan.
Tahun 1960 diperkirakan letak areal magnit Utara sekitar titik
perpotongan 75º LU dan 101º BB. Letak areal magnit Selatan
sekitar perpotongan 67º LS dan 148º BT.
 Local attraction (pengaruh lokal) = gaya tarik setempat)
merupakan pengaruh suatu kejadian yang biasa terjadi pada
daerah-daerah pegunungan atau vulkanik.
Garis gaya magnetik yang mengarahkan jarum magnit pada
kompas sering berubah arah dengan adanya tambang, deposit
mineral atau kabel transmisi listrik. Bahkan benda-benda yang
terbuat dari logam seperti tiang listrik, alat-alat berat, tangkai
payung, pulpen/pensil logam dapat mempenagruhi arah jarum
magnit.

Pada pengukuran keteknlkan hutan (kehutanan) biasa menggu-


nakan “deflection angle” (sudut-sudut pelurus) dan “interier
angle” (sudut dalam).
Sudut pelurus merupakan sudut yang dibentuk dari perpanjang-
an garis melalui suatu titik atau sudut yang dibentuk antara
perpanjangan pandangan belakang dan pandangan depan.
Sudut dalam merupakan sudut yang dibentuk antara dua sisi
yang berdekatan pada suatu poligon

p
d d p

p = sudut pelurus
d p d = sudut dalam

p d d
p
* Besaran jumlah sudut dalam suatu poligon = (n-2)(1800)
* Besaran jumlah sudut pelurus dengan asumsi bahwa pelurus
kanan dan kiri mempunyai tanda yang berlawanan.

Bila terjadi pengaruh lokal, maka diperlukan pandangan


(pengukuran) muka dan belakang terhadap suatu titik agar
dapat mengoreksi pengaruh tsb dan menghitung ulang arah
sudut yang benar.
Bila besaran ukuran pandangan muka dan belakang berbeda,
maka perlu menentukan sudut arah dengan cara pengamatan
pengindraan.
Arah merupakan pandangan depan yang dibentuk dari pandang-
an belakang (sebelumnya) sebagai garis patokan. Sudut yang
dibentuk merupakan sudut arah.

A C
Katakan pengukuran bergerak dari
Sudut arah
A ke B terus ke C, maka
- arah BA pandangan belakang
α - arah BC pandangan muka
- ABC = α adalah sudut arah
B

Sudut arah tidak menentukan arah Utara, Timur, Selatan atau


Barat. Sehingga dalam pengukuran diperlukan 2 titik yang telah
diketahui azimutnya, agar dapat ditentukan posisi titik-titik atau
garis berikutnya.
Katakan saja pengukuran bergerak
U dari A – B – C.

- Titik A dan B membentuk garis


A 1 yang diketahui asimutnya 1 = 45º
2 UB. (arah BA pandangan
C belakang).

- Selanjutnya arah pengukuran
B T dari titik B ke titik C dengan
B membentuk sudut terhadap
garis BA sebesar  = 110º
S (sudut arah). Azimut BC
(pandangan muka) diperoleh
dari ( - 1) = (110º – 45º) = 65º
(2).
2. Sudut tegak

Z Sudut tegak dibentuk dari bidang tegak


(vertikal).
Sudut ditentukan dari garis tegak yaitu
berupa sudut zenit (ž) atau sudut nadir ()
ž
dengan besaran maksimal sebesar 180º.

Bidang tegak

Bidang Sudut miring/lapangan dibentuk dari bidang


datar
datar (horizontal) terdiri dari sudut elevasi
 atau depresi.

 Besaran sudut elevasi () dan depresi ()


diperoleh dari :
 = 90º – ž  = 90º – 
N
2.1.2. Pembacaan Besaran Sudut
1. Sudut datar
S S
180 Ob 180

Ob

270
90
90
270
90

90

0 37 0
Ok
0 0 Ok

Bousole
Pengukuran azimut secara langsung
Langkah pengukuran/pembacaan :
1. Gambar di sebelah kiri menunjukkan kedudukan awal
teropong, dimana skala piringan datar 00 berimpit 00UMB
2. Arahkan teropong ke rambu (misal mengarah ke
kanan/Timur). Setelah mengarah ke rambu tepat (untuk
pembacaan), baca sudut melalui mikroskop dan terbaca
(misalnya) 37º .

Besaran sudut yang terbaca merupakan azimut yang terbaca


langsung didasarkan dari utara magnit bumi ke arah pembidikan
rambu (37ºUTM)
S Ob S
0 62

0
0

90
18
18

Ob

270
90

B
27

80
0

1
97
180
90 Ok 90
35
Ok
Bousole
Pengukuran azimut secara tak langsung
Langkah pengukuran/pembacaan :
1. Gambar di sebelah kiri menunjukkan kedudukan awal
teropong, dimana skala piringan datar 350 berimpit dengan
1800SMB = 00UMB
2. Arahkan teropong ke rambu (misal mengarah ke
kanan/Timur). Setelah mengarah ke rambu tepat (untuk
pembacaan), baca sudut melalui mikroskop dan terbaca
(misalnya) 97º .

Besaran sudut yang terbaca tidak merupakan azimut yang


terbaca langsung.
Perhitungan hasil pembacaan : (970 – 350) = 620UTM
2. Sudut tegak Ž = sudut zenith
 = sudut elevasi = sm +
Z
 = sudut depres = sm –
i dik
b
r ah Bila sebesar :
A
A1 (1) Z ~ A1 = Ž1
ž1 1  = 900 ~ ž1 =  1
ž2 Bidang datar
= 900 ~ 500 = 400

(2) Z ~ A2 = Ž2
2  = 900 ~ ž2 =  2
A2 = 900 ~ 1500 = - 600
Ar
ah

Tanda neg. = arah pengukuran


bid

menurun
ik
2.2. PENGUKURAN JARAK

Jarak merupakan rentangan hubungan terpendek antara


dua titik. Jauh rentangan antara dua titik dinyatakan dalam
satuan ukuran panjang.
Kedudukan kedua titik tsb, bisa pada :
• posisi datar (sejajar dengan bidang datar), disebut jarak
datar
• posisi miring (membentuk sudut lancip dengan bidang
datar), disebut jarak miring (lapangan)
• posisi tegak (membentuk sudut 900 terhadap bidang
datar), disebut jarak tegak (beda tinggi)
2.2.1. Jenis Pengukuran (Pengukuran Datar,
Pengukuran Miring & Beda Tinggi)
Pengukuran jarak secara garis besar terbagi 2 jenis pengukur-
an yaitu secara langsung dan tidak langsung

a. Pengukuran jarak secara langsung : pengukuran jarak antara


dua titik tidak begitu jauh atau pada hamparan lahan yang
tidak begitu luas. Pengukuran ini dilakukan dengan cara
sederhana. Peralatan ukur yang digunakan berupa galah,
pita ukur atau rantai ukur.
b. Pengukuran jarak secara tak langsung : pengukuran jarak
antara dua titik cukup jauh atau pada hamparan lahan yang
cukup luas. Pengukuran dilakukan secara optik atau
elektronik. Peralatan ukur yang digunakan berupa alat optik
(manual atau elektronik).
Pengukuran dengan alat (pesawat) optik dikenal 4 unsur
utama yang berperanan yaitu benang silang (stadia), rambu
ukur, sudut (sudut datar dan sudut tegak) dan nivo
(gelembung pendatar).

1. Pengukuran datar

Pengertian pengukuran (jarak) datar bila kedudukan garis


bidik teropong sejajar dengan bidang datar (sudut miring = 0°).
Pengukuran datar ini lebih dikenal dengan “Menyipat Datar”
(diuraikan tersendiri).
Pesawat ukur yang digunakan berupa Bousole Tranche
Montagne (BTM) atau Theodolit.
Jarak datar pada pengukuran datar
(Pesawat Bousole Tranche Montagne)
A
Sumbu V


Ab Ab
Sumbu H
F
T2 T1 T
 p b

Ba Ba

B
a f

c D.
d b
Rumus dasar perhitungan jarak :

d = c + D.b

berarti : D = ( d : b )  ( f : p )

Tetapan c = jarak titik api F (focus) ke busur lensa sangat


kecil (nol) sehingga diabaikan
Tetapan D = bilangan pengali dalam menentukan jarak dan
besarannya telah ditetapkan (umumnya bernilai
100)
Nilai b = selisih nilai antara dua pembacaan benang pada
rambu
Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,40 m.
Setelah teropong dibidikan ke rambu diperoleh
pembacaan benang atas (Ab) dan
benang bawah (Ba) adalah 1,25 m
A
dan 1,55 m. Tetapan D sebesar 100.
1,25 m
T

1,55 m ½AB = AT = TB
B

Perhitungan : b = Ba – Ab = B – A (selisih dua benang)


b = 1,55 m – 1,25 m = 0,30 m
d = c + Db d = (100) (0,30) m = 30 m
atau d = (100) (1,55 m – 1,25 m)
= 30 m
Jarak datar pada pengukuran datar
( Pesawat Theodolit )
A
Sumbu V


Aa Bb
Sumbu H
F
T2 T1 T
 p b

Bb Aa

LPB

B
a f

c D.b
d
Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,35 m.
Setelah teropong dibidikan ke rambu diperoleh
pembacaan benang atas (Aa) dan
A benang bawah (Bb) adalah 1,55 m
1,55 m dan 1,15 m. Tetapan D sebesar
100.
T

1,15 m ½AB = AT = TB
B

Perhitungan : b = Aa – Bb = A – B (selisih dua benang)


b = 1,55 m – 1,15 m = 0,40 m
d = c + D.b d = (100) (0,40 m) = 40 m
atau d = (100) (1,55 m – 1,15 m)
= 40 m
Bila tetapan D tidak diketahui, maka cara berikut dapat
digunakan sebagai pegangan untuk menetapkan nilai D
sebagai berikut :

1) Cari lokasi yang datar sepanjang 50 m atau 100 m.


2) Dirikan pesawat (posisi datar) dan usahakan tinggi pesawat
bernilai genap; misal 1,30 m, 1,40 m.
3) Dirikan rambu ukur (posisi tegak) dengan jarak ke pesawat
sesuai yang diinginkan.
4) Arahkan teropong ke rambu ukur dengan tinggi arah bidik
sesuai dengan tinggi pesawat.
5) Baca kedua benang (benang atas dan benang bawah) pada
bayangan rambu dalam teropong dan hitung selisihnya (b).
6) Tentukan tetapan D yaitu sebesar (d : b).
Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,40 m. Jarak
antara pesawat ke rambu diukur sejauh 50 m. Hasil
pembacaan benang atas (Aa) dan benang bawah (Bb)
adalah 1,65 m dan 1,15 m.

Perhitungan : Selisih pembacaan benang :

b= A–B
A = 1,65 m – 1,15 m = 0,50 m
1,65 m
D = d : b
= (50 m) : (0,50 m) = 100
T
Jadi tetapan D sebesar 100
1,15 m
B ½AB = AT = TB
2. Pengukuran miring
Pengertian pengukuran (jarak) miring (lapangan) bila
kedudukan arah bidikan dari teropong tidak sejajar dengan
bidang datar (sudut miring = °).
Pesawat ukur yang digunakan berupa BTM atau Theodolit.
Pengukuran cara ini lebih banyak digunakan pada daerah-
daerah yang bergelombang, berbukit atau bergunung.
Disamping itu cara ini lebih disukai karena kondisi medan tidak
menjadi penghalang.
Bila kedudukan rambu miring sebesar  (kedudukan rambu
tegaklurus garis bidik) maka rumus jarak yang digunakan
adalah d = c + D.b.
Kenyataan di lapangan bahwa rambu ukur berdiri tegaklurus
terhadap bidang datar, sehingga rumus tsb perlu dilakukan
penyesuaian. Karena jarak titik F cukup jauh dari rambu, maka
dapat dianggap sudut FTA’ sebesar 90º.
Jarak datar pada pengukuran miring

 A
PQ = jarak datar (d)
A’
d = c sin  + D.b sin²Ž ; c = 0
T b
= D.b sin²Ž
B B’
Ž
F 
P
Q
Tp d = c cos  + D.b cos² ; c = 0
= D.b cos²
Contoh : Hasil pembacaan benang atas (A) 1,45 m dan benang
bawah (B) 1,15 m dengan sudut tegak (Ž) sebesar
67º20’. Tetapan d = 100.
Penyelesaian :b = A – B
= 1,45 m – 1,15 m = 0,30 m

 Ž = 67º20’ d = D.b sin²Ž


= (100) (0,30 m) sin²(67º20’)
= 25,55 m

 Ž = 67º20’   = 90º –  Ž
= 90º – 67º20’= 22º40’
d = D.b cos²
= (100) (0,30 m) cos²(22º40’)
= 25,55 m
3. Penentuan beda tinggi

Pengertian beda tinggi : selisih antara dua titik atau dua


tempat yang tingginya berbeda.
Untuk mengetahui beda tinggi antara dua titik atau tempat
dapat dilakukan dengan pengukuran datar atau miring.

Beda tinggi pada pengukuran datar

nilai P  nilai T
T
P
T’
 t
Q
P’ PP’  TT’
T’Q = PP’ – TT’ t = PP’ – TT’
Beda tinggi pada pengukuran miring

nilai P = nilai T T

T’

P
t

P’ Q
PP’ = TT’
T’Q = c sin + ½ D.b sin2
t = ½ D.b sin2
Contoh : Hasil pembacaan benang atas (A) 1,45 m dan benang
bawah (B) 1,15 m dengan sudut tegak (Ž) sebesar
67º20’. Tetapan d = 100.

Penyelesaian : t = ½ D.b sin2


b=A–B
= 1,45 m – 1,15 m= 0,30 m
t = ½ (100) (0,30) sin 2(90 - 67º20’)
= 10,67 m

Pada kondisi lapangan tertentu terkadang pembidikan ke


rambu dengan tinggi pesawat samadengan tinggi rambu sulit
dilakukan. Sehingga untuk menentukan beda tingginya perlu
dilakukan perubahan arah bidik.
Beda tinggi dengan bidikan tidak setinggi pesawat
T

nilai P ≠ nilai T
T’

P S
t

P’ PP’ = TT’ Q

T’Q = c sin + ½ D.b sin2


T’S = TS – TT’ SQ = T’Q – T’S
t = T’Q + PP’ - TS
= c sin + ½ D.b sin2 + PP’ - TS
= ½ D.b sin2 + PP’ - TS
Contoh : Tinggi pesawat 1,30 m dengan tinggi bidikan pada
rambu 1,60 m. Selisih pembacaan benang 0,45 m.
Sudut miring () sebesar 15º10’.

Penyelesaian : ½ D.b sin2 = ½ (100) (0,45 m) sin 2(15º10’)


= 11,36 m

PP’ = 1,30 m & TS = 1,60 m

t = 11,63 m + 1,30 m – 1,60 m


= 11,06 m
2.2.2. Pengukuran dengan Titik Silang
Cara ini dilakukan bila terjadi kerusakan pada benang
silang (stadia) sehingga hanya titik silang tengah yang tampak
dalam lensa.
Agar pesawat dapat digunakan maka dapat dilakukan cara-
cara sebagai berikut :
1) Setelah tinggi pesawat diukur, bidikan teropong ke arah
rambu (arahkan ke sebelah atas dari titik tengah T; titik
tengah T pada rambu sesuai dgn tinggi pesawat), kemudian
baca angka pada rambu dan sudut tegaknya.
2) Ubah arah bidikan pada pembacaan lain (arahkan ke
sebelah bawah dari titik tengah T), kemudian baca angka
pada rambu dan sudut tegaknya.
3) Hitung masing-masing sudut miringnya yang diperoleh dari
masing-masing sudut tegaknya.
4) Hitung jarak datar dengan rumus d = b : (tg  ± tg )
A
Garis datar berada di bawah kedua garis bidik
b
B


P
Q
d = PQ = b : (tg  – tg )
d = PQ = b : (tg  – tg )
P Q

A

b
B
Garis datar berada di atas kedua garis bidik
Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 3,00 m
dengan sudut miring () 3º15’. Pembacaan kedua (Tb)
setinggi 0,25 m dengan sudut miring () -2º05’.

(3,00 m – 0,25 m)
d = PQ = = 29,52 m
(tg 3º15’ – tg 2º05’

Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 2,60 m


dengan sudut miring () 5º05’. Pembacaan kedua (Tb)
setinggi 0,40 m dengan sudut miring () 2º10’.

(2,60 m – 0,40 m)
d = PQ = = 43,04 m
(tg 5º05’ – tg 2º10’
Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 2,75 m
dengan sudut miring () -5º15’. Pembacaan kedua (Tb)
setinggi 0,25 m dengan sudut miring () -10º05’.

(2,75 m – 0,25 m)
d = PQ = = 29,09 m
(tg 10º05’ – tg 5º15’
2.2.3. Rambu Ukur
Saat rambu akan dibaca melalui benang silang hendaknya
berdiri tegaklurus pada bidang datar (permukaan bumi).

A 1,365
Perhatikan
selisih antar benang :
B – A = 1,515 – 1,365 = 0,15
T 1,440 B – T = 1,515 – 1,440 = 0,075
T – A = 1,440 – 1,365 = 0,075
½ (B + A) = ½ (1,515 + 1,365)
= 1,440
B 1,515

BTM
1,535
A
Perhatikan
selisih antar benang :
A – B = 1,535 – 1,385 = 0,15
T 1,460
A – T = 1,535 – 1,460 = 0,075
T – B = 1,460 – 1,385 = 0,075
½ (A + B) = ½ (1,535 + 1,385)
B = 1,460
1,385

Theodolit
(3 benang)
Perhatikan selisih antar benang :
1,620 A2
(A2 – A1) = (A1 – T) = (T – B1)
1,575 A1 = (B1 – B2) = 0,045
(A2 – T) = (A1 – B1) = (T – B2)
1,530 T
= 0,09

1,485 B1 (A2 – B1) = (A1 – B2) = 0,135

B2 ½ (A2 + B2) = 1,53 ≈ ½ (A1 +


1,440
B1) = 1,53

Theodolit ½ (A2 + T) = 1,575


5 benang ½ (A1 + B1) = 1,53
½ (T + B2) = 1,485
 Pembacaan rambu dengan huruf E
Cara ini dengan menghitung banyaknya huruf E yang berada
diantara 2 benang silang atau pada 3 benang silang. Satu
huruf E menunjukkan perbandingan bahwa 5 cm dirambu
adalah 5 m di lapangan
Banyaknya huruf E pada teropong BTM (A – B) diperoleh
sebanyak 3E. Secara matematik diperoleh dari :
2E + {(3,4 + 1,5)E : 5} = 3E
Jarak yang diukur sepanjang 3E = 3 x 5 m = 15 m
Banyaknya huruf E pada teropong Theodolit diperoleh
sebanyak 14/5E atau diperoleh jarak sepanjang 9 m.
(A2 – T) E + {(2 + 2)E : 5}
(A1 – B1) E + {(2,5 + 1,5)E : 5}
(T – B2) E + {(3 + 1)E : 5}
 Pembacaan rambu dengan benang silang

Rumus perhitungan jarak berdasarkan 3 benang

d = (B – A) m x 100
BTM d = (B – T) m x 200
(3 benang)
d = (T – A) m x 200

d = (A – B) m x 100
Theodolit
d = (A – T) m x 200
(3 benang)
d = (T – B) m x 200
Contoh : Perhitungan jarak dengan pembacaan 3 benang.
Jarak ukur diperoleh sepanjang :

Pembacaan benang dalam satuan meter

(1,515 – 1,365) m x 100 = 15 m


(1,515 – 1,440) m x 200 = 15 m
(1,440 – 1,365) m x 200 = 15 m

Pembacaan benang dalam satuan cm

(151,5 – 136,5) cm x 100 = 15 m

(151,5 – 144,0) cm x 200 = 15 m


(144,0 – 136,5) cm x 200 = 15 m
Rumus perhitungan jarak berdasarkan 5 benang

d = (A2 – B2) m x 50

d = (A2 – T) m x 100
d = (A1 – B1) m x 100
Theodolit d = (T – B2) m x 100
(5 benang)
d = (A2 – A1) m x 200
d = (A1 – T) m x 200
d = (T – B1) m x 200
d = (B1 – B2) m x 200
Contoh : Perhitungan jarak dengan pembacaan 5 benang.
Jarak ukur diperoleh sepanjang :
Pembacaan benang dalam satuan meter

(1,620 – 1,440) m x 50 = 9 m

(1,620 – 1,530) m x 100 = 9 m


(1,575 – 1,485) m x 100 = 9 m
(1,530 – 1,440) m x 100 = 9 m

(1,620 – 1,575) m x 200 = 9 m


(1,575 – 1,530) m x 200 = 9 m
(1,530 – 1,485) m x 200 = 9 m
(1,485 – 1,440) m x 200 = 9 m
Pembacaan benang dalam satuan cm

(162,0 – 144,0) m x 50 = 9 m

(162,0 – 153,0) m x 100 = 9 m


(157,5 – 148,5) m x 100 = 9 m
(153,0 – 144,0) m x 100 = 9 m

(162,0 – 157,5) m x 200 = 9 m


(157,5 – 153,0) m x 200 = 9 m
(153,0 – 148,5) m x 200 = 9 m
(148,5 – 144,0) m x 200 = 9 m
Soal Latihan 5-2 :

1. Apa perbedaan pengertian antara azimut, true bearing dan


sudut arah.
2. Apa kelebihan pesawat yang mempunyai 5 benang silang
dibanding dengan 3 benang silang.
3. Kesalahan apa saja yang mungkin terjadi bila saat
pengukuran rambu ukur berdiri miring.
4. Hal apa saja yang perlu anda perhatikan saat pelaksanaan
pengukuran sudut atau pengukuran jarak
5. Bagaimana cara mengubah jarak lapangan yang diperoleh
menjadi jarak datar.
6. Haruskah tinggi bidikan pada benang tengah selalu sama-
dengan tinggi pesawat.

Anda mungkin juga menyukai