Analisis Regulasi Persaingan Usaha Perdagangan-1
Analisis Regulasi Persaingan Usaha Perdagangan-1
PERDAGANGAN
Oleh :
Fitri Wulandari (1908016027)
Oktavia Nusantari (1908016028)
Muhammad Rizky (1908016029)
Fiony Tri Rahma (1908016030)
PENDAHULUAN
• Pada hakikatnya hukum persaingan usaha perdagangan adalah hukum yang mengatur
setiap pelaku usaha untuk bebas bersaing dalam rangka melakukan kegiatan usaha
untuk memperoleh keuntungan yang maksimal tanpa merugikan kompetitor lainnya.
Hukum persaingan usaha sifatnya mencegah terjadinya praktek monopoli dan/atau
mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat.
• Adapun pengertian persaingan usaha perdagangan adalah usaha dari dua pihak atau
lebih perusahaan yang masing-masing berusaha mendapatkan pesanan dengan
menawarkan harga atau syarat yang paling menguntungkan. Persaingan usaha tersebut
bisa berupa pemotongan harga, iklan/promosi, variasi dan kualitas, kemasan, desain dan
segmentasi pasar
• Dasar pembuatan regulasi sendiri adalah untuk menjamin hak rakyat mendapatkan
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pendorongan pertumbuhan ekonomi
tanpa adanya praktek monopoli maupun persaingan tidak sehat.
A. ASPEK REGULASI PERSAINGAN USAHA
PERDAGANGAN
• Aspek hukum persaingan usaha perdagangan yang dimaksud dalam tulisan ini terkait
dengan aspek hukum material dan formal. Kedua pasangan dimensi hukum ini tidak
dapat dipisahkan mengingat keduanya sangat penting untuk dipahami sebagai satu
kesatuan yang utuh. Oleh karena demikian luasnya aspek hukum persaingan usaha itu
(dengan segala kompleksitas teoretis dan praktisnya). Hukum persaingan usaha mulai
banyak dibicarakan seiring dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-undang
ini disahkan tanggal 5 Maret 1999, tetapi baru efektif berlaku satu tahun kemudian.
• Ada banyak terminologi yang diintroduksi dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini. Sebagian di
antaranya dapat dilihat dalam ketentuan umumnya. Namun, untuk menyamakan persepsi
ada beberapa diantaranya yang perlu dikemukakan.
LANJUTAN...
• Pertama, undang-undang ini membedakan istilah “monopoli” dan “praktek monopoli”.
Kata monopoli adalah kata yang bermakna netral, yaitu penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Penguasaan demikian tidak harus berarti
negatif.
• Kedua, sekalipun UU No. 5 Tahun 1999 sering diberi nama lain sebagai UU
Antimonopoli, pada dasarnya monopoli hanya salah satu jenis kegiatan yang disebut-
sebut dalam undang-undang ini. Di samping ada bentuk-bentuk kegiatan yang dilarang,
juga ada bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang. Penyebutan UU Antimonopoli—seperti
gagasan DPR saat itu—untuk menyebut UU No. 5 Tahun 1999, dengan demikian,
menjadi kurang tepat. Akan lebih baik jika digunakan istilah UU Larangan Persaingan
Usaha Tidak Sehat atau UU Antipersaingan Curang.
FILOSOFI UU NO. 5 TAHUN 1999
• KUHP tidak memberikan sistem pengaturan yang utuh tentang persaingan usaha karena
dasar pendekatannya memang murni dari aspek hukum pidana semata. Pendekatan
sistematis tentang hukum persaingan usaha baru diletakkan oleh Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
• Undang-undang ini relatif singkat, hanya terdiri dari 11 bab dengan 53 pasal. Namun,
undang-undang yang ditelurkan melalui hak inisiatif DPR ini diklaim telah memenuhi standar
internasional antara lain dengan mengikuti pedoman dari United Nations Conference on
Trade and Development (UNCTAD) dan dirumuskan berkat bantuan para konsultan dari
Jerman. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa UU No. 5 Tahun 1999 memang membawa
semangat liberalisme perdagangan dunia yang menggebu-gebu pasca terbentuknya WTO
dan bekerjanya ekonomi pasar.
• Ada semangat lain yang muncul sebagai filosofi UU No. 5 Tahun 1999, yaitu bahwa undang-
undang ini diharapkan dapat disempurnakan melalui pendekatan kasuistik. Artinya, substansi
UU No. 5 Tahun 1999 itu tidak usah terlalu detail karena selanjutnya akan dilengkapi melalui
putusan-putusan KPPU.
ANATOMI UU NO. 5 TAHUN 1999
• Bab V UU No. 5 Tahun 1999 mengatur tentang posisi dominan. Undang-undang ini
mengartikan posisi dominan sebagai keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang
dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
• Rumusan tersebut menggunakan dua pendekatan. Pertama, posisi dominan dilihat dari
pangsa pasar yang dimiliki satu pelaku usaha/satu kelompok pelaku usaha terhadap
pelaku usaha saingannya (kriteria struktur pasar). Kedua, adalah dengan melihat
kemampuannya untuk memimpin penentuan harga barang/jasa sehingga apa yang
dilakukannya menjadi acuan bagi pelaku-pelaku usaha pesaingnya (kriteria perilaku). UU
No. 5 Tahun 1999 mengkombinasikan penggunaan dua pendekatan ini bersama-sama.
LANJUTAN...
• Untuk mencegah penyalahgunaan posisi dominan, undang-undang melarang perbuatan
rangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris, pemilikan saham pada beberapa
perusahaan barang/jasa sejenis. Juga penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan,
ikut menjadi perhatian UU No. 5 Tahun 1999 ini. Semua perbuatan yang menuju ke posisi
dominan tersebut wajib memperhatikan akibat-akibatnya terhadap persaingan usaha.
• Terlepas dari itu semua, UU No. 5 Tahun 1999 membuat pengecualian-pengecualian. Hal
ini diatur dalam Bab IX tentang Ketentuan Umum. Ada sembilan bentuk pengecualian
yang disebutkan dalam Pasal 50, seperti perjanjian di bidang hak kekayaan intelektual,
perjanjian keagenan, perjanjian untuk tujuan ekspor, kegiatan usaha kecil dan koperasi.
Badan-badan usaha milik negara dan atau badan usaha/lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah, tetap dimungkinkan untuk memonopoli barang/jasa yang menguasai hajat
hidup orang banyak dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, sepanjang
hal itu diatur dengan undang-undang.
SANKSI
• UU No. 5 Tahun 1999 juga mengatur tentang sanksi. Ada tiga jenis sanksi yang diintroduksi dalam
undang-undang ini, yaitu tindakan administratif, pidana pokok, dan pidana tambahan. Komisi
Pengawas Persiangan Usaha (KPPU) yang lembaganya akan dijelaskan kemudian, hanya
berwenang memberikan sanksi tindakan administratif. Sementara pidana pokok dan pidana
tambahan dijatuhkan oleh lembaga lain, dalam hal ini peradilan. Yang dimaksud dengan tindakan
administratif adalah:
• Penetapan pembatalan perjanjian;
• Perintah untuk menghentikan integrasi vertikal;
• Perintah untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menyebabkan praktek monopoli dan anti-
persaingan dan/atau merugikan masyarakat;
• Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan;
• Penetapan pembatalan penggabungan/peleburan badan usaha/pengambilalihan saham;
• Penetapan pembayaran ganti rugi;
• Pengenaan denda dari 1 milyar s.d. 25 milyar rupiah.
• Sekalipun hanya berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif, kewenangan KPPU itu
bersinggungan dengan semua pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999. Artinya, semua pelanggaran
terhadap UU No. 5 Tahun 1999 dapat dijatuhkan sanksi tindakan administratif.
LEMBAGA KPPU
• Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga baru yang
diperkenalkan dalam UU No. 5 Tahun 1999. Pembentukannya secara resmi
melalui Kepres No. 75 Tahun 1999 dengan melalui serangkaian tahap
pemilihan yang cukup alot melibatkan Pemerintah dan DPR. KPPU
berkedudukan di Jakarta, tetapi boleh membuka perwakilan di ibukota
provinsi. Organisasi KPPU hanya terdiri dari anggota dan sekretariat. Jumlah
anggota seluruhnya (termasuk seorang ketua dan seorang wakil) paling
sedikit sembilan orang. Keanggotaan KPPU periode yang pertama (2000–
2005) ada 11 orang, dan mereka masih mungkin dipilih untuk satu periode
berikutnya.
TUJUAN DAN MANFAAT HUKUM PERSAINGAN
USAHA PERDAGANGAN
TUJUAN : MANFAAT :
• Agar persaingan antar pelaku usaha tetap • Menghadirkan motivasi tinggi bagi
hidup
pelaku bisnis.
• Agar persaingan yang dilakukan antar pelaku
usaha dilakukan secara sehat • Membantu pelaku bisnis untuk keluar
•
dari zona nyaman dan mencoba hal
Mencegah penyalahgunaan kekuatan
ekonomi baru agar tidak ketinggalan ditengah
persaingan yang ketat.
• Melindungi kebebasan konsumen dan
produsen dalam berusaha • Membantu meningkatkan kinerja
• Efesiensi ekonomi berbisnis.
• Meningkatkan kesejahteraan konsumen • Menciptakan konsumen yang loyal.
• Menciptakan keadilan dan kejujuran dalam
berusaha
• Mengendalikan inflasi
B. PROBLEMATIKA HUKUM DALAM PERSAINGAN
USAHA PERDAGANGAN
• Salah satu tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum Untuk mencapai tujuan tersebut, “Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama atas asas kekeluargaan”, dan diselenggarakan “berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional”. Prinsip-prinsip tersebut memberikan ruang kontribusi kepada semua
warga negara Indonesia dalam membangun perekonomian nasional. Pembangunan
ekonomi membutuhkan strategi nasional. Sejak awal 2015 strategi nasional tersebut
tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Namun,
dalam implementasinya dilapangan masih saja banyak ditemui beebagai hambatan
dalam upaya mendorong peningkatan perdagangan dalam negeri.
ANALISIS PROBLEMATIKA PASAL - PASAL YANG TERDAPAT PADA
UNDANG – UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
a. Pasal 2
• "Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentinganpelaku
usaha dan kepentingan umum".
• Istilah “demokrasi ekonomi” masuk ke dalam hukum positif melalui Perubahan Keempat
UUD NRI Tahun 1945. Demokrasi adalah konsep politik yang menghendaki partisipasi
dan kontrol publik atas kekuasaan. Dari perspektif ini, ekonomi juga dapat menjadi suatu
bentuk kekuasaan. Namun penggabungan dua kata yaitu “demokrasi ekonomi” yang
berasal dari ilmu yang berbeda – demokrasi ekonomi – tidak serta-merta membentuk
konsep atau makna yang dapat dimengerti, dan oleh karena itu dapat diatur secara
sistematis agar tercipata kesesuaian dengan sistematika dan teknik penyusunan
Peraturan Perundang - undangan yang berlaku di Indonesia.
b. Pasal 3
• "Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk:
• (a). menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
• (b). mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usahakecil;
• (c.) mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
oleh pelaku usaha; dan
• (d). terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha".
Kondisi saat ini dengan berkembangnya E-commerce sangat memungkinkan adanya
perdagangan antar negara yang dapat mengakibatkan iklim persaingan usaha tidak sehat di
Indonesia. Baik karena adanya predatory pricing atau seorang pedagang dari luar negeri
menjual barangnya dengan harga sangat murah dengan tujuan mematikan penjual barang
yang sama di dalam negeri dan penjualanya menggunakan platform E-commerce. Maka itu
perlu perubahan hukum untuk mengatur perubahan yang terjadi secara masifsalah satu
caranya dengan menyesuaikan tujuan pembentukan UU dengan UU Perdagangan.
c. Pasal 36 ayat (3)
• "Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopolidan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau
oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang
sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
Komisi;".
• Dalam Pasal 36 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999 timbul kewenangan baru yang
diberikan kepada Komisi dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan sebagai langkah
awal dari investigasi dan terlepas apakah hasil pemeriksaan tersebut dilanjutkan atau
tidak, namun tetap dianggap sebagai penyelidikan yang berpotensi ditingkatkan menjadi
penyidikan.
• Terkait hal diatas ada baiknya dibuat Pengaturan mengenai batas kewenangan
penyelidikan yang dilakukan antara Pejabat polisi Negara Republik Indonesia dengan
Komisi agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan sehingga tercipta harmonisasi antar
regulasi.
d. Pasal 41 ayat (1) dan (2)
• “1. Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang
diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan.
• 2. Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang
diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses
penyelidikan dan atau pemeriksaan".
Frasa penyelidikan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada kejelasan lebih
lanjut apakah kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh KPPU merupakan penyelidikan
pidana ataukah kewenangan untuk melakukan pemeriksaan administratif.
Karena sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Terkait hal tersebut perlu diperjelas kewenangan penyelidikan yang dimiliki oleh KPPU
merupakan penyelidikan pidana ataukah kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
e. Pasal 44 ayat (4)
• "Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan
oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku".
• Dalam pasal ini disebutkan bahwa Komisi menyerahkan putusan kepada penyidik.
Namun tidak jelas pihak penyidik dari Komisi itu sendiri atau penyidik dari pihak
kepolisian yang berwenang untuk menindaklanjuti hasil putusan pada tahap penyidikan.
Didalam PUU ini juga tidak diatur mengenai mekanisme pemberitahuan dimulainya
penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.