Anda di halaman 1dari 12

KIMIA MEDISINAL

“ VIOXX (ROFECOXIB) “

PUPUY ASTARINA PILANTO


G 701 16 022
ARUNDINI SUKMA AMALIA
G 701 16 144
 VIOXX® (Merck), obat yang disetujui oleh FDA tahun 1999, ternyata harus ditarik
disaat umurnya baru 5 tahun, tepatnya tahun 2004. Alasan obat ditarik yaitu obat
bisa menyebakan toksisitas jantung. VIOXX mengandung zat aktif rofecoxib,
merupakan suatu senyawa antiinflamasi non steroid yang memiliki efek anti
inflamasi, analgetik dan antipiretik. Mekanisme kerjanya adalah dengan
menghambat sintesis prostaglandin melalui penghambatan cyclooxygenase-2
(COX-2).

 Pada kadar terapetik pada manusia, rofecoxib tidak menghambat isoenzim


cyclooxygenase-1 (COX-1). Sejak tahun 1999, Vioxx telah dipasarkan di lebih dari
80 negara. Di Indonesia produk ini mendapat persetujuan Izin Edar pada tahun
2001 setelah melalui proses evaluasi efikasi, keamanan dan mutu oleh Komite
Nasional Penilai Obat Jadi (KOMNAS POJ) Badan POM.
 Indikasi yang disetujui adalah hanya untuk meringankan gejala osteoartritis
(dosis 12,5-25 mg per hari), dan tidak untuk nyeri akut (dosis 25-50 mg per
hari) sebagaimana di Inggris dan Amerika Serikat. Evaluasi yang dilakukan
tersebut berdasarkan data dari uji klinik Vioxx yang telah dilakukan
sebelumnya. Kasus yang terjadi saat ini, belum terlihat jelas pada populasi
peserta uji klinik yang lalu. Secara umum dapat disampaikan bahwa informasi
keamanan terbaru dapat diperoleh pada populasi yang lebih luas. Namun
demikian efek yang tidak diinginkan tidak akan terjadi bila obat tersebut
memang memiliki potensi resiko rendah.
 Uji klinik jangka panjang Vioxx (APPROVe) telah dilakukan untuk
mengevaluasi kemanfaatan Vioxx 25 mg pada pencegahan kekambuhan polip
kolorektal pada pasien dengan riwayat adenoma kolorektal. Setelah 18 bulan
pengobatan yang melibatkan 2600 pasien diperoleh bukti adanya peningkatan
risiko kardiovaskular berupa serangan jantung dan stroke akibat kejadian
thrombotik. Oleh karena itu studi yang telah dimulai tahun 2000 ini telah
dihentikan lebih awal pada bulan September 2004 mengingat alasan
keamanan.
 Berdasarkan data-dari hasil uji klinik terakhir tersebut produsen segera
menghentikan uji klinik dan melakukan penarikan secara serentak obat Vioxx di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kepada pasien yang menggunakan
produk ini dianjurkan untuk mengubungi dokter untuk mendapatkan terapi
pengganti dan untuk melaporkan setiap kejadian yang mempengaruhi kondisi
kesehatannya yang kemungkinan berhubungan dengan penggunaan obat ini
 Dalam kaitan ini, Badan POM akan terus melakukan upaya pemantauan
keamanan produk beredar di Indonesia secara terus menerus dan melakukan
tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka melindungi masyarakat. Untuk itu
Badan POM telah mengeluarkan surat Pembekuan Izin Edar dan Penarikan
Obat dari Peredaran kepada Industri yang bersangkutan tertanggal 1 Oktober
2004.
ALASAN ROFECOXIB MEMBAWA RESIKO
PEMBEKUAN DARAH
 Diawali tentang ditemukannya 2 isoform COX yaitu COX-1 dan COX-2. Enzim COX-1
bersifat konstitutif, artinya keberadaanya selalu tetap dan tidak dipengaruhi oleh adanya
stimulus. Enzim ini mengkatalisis sintesis prostaglandin yang dibutuhkan oleh tubuh
normal, termasuk untuk proteksi mukosa lambung. Sedangkan COX-2 bersifat indusibel,
artinya keberadaannya tergantung adanya induksi dari stimulus. Enzim ini meningkat
ekspresinya pada kondisi inflamasi dan kanker, demikian enzim COX-2 yang terlibat
dalam patofisiologi inflamasi.
 NSAID yang tidak selektif dapat menghambat sintesis prostaglandin yang dibutuhkan
tubuh untuk proteksi mukosa lambung, karena itu efek samping utama obat-obat NSAID
adalah tukak lambung. Dari fakta ini, maka dikembangkan obat antiinflamasi yang lebih
selektif sebagai penghambat COX-2, sehingga memiliki efek samping minimal pada
lambung. Namun demikian, perkembangan penelitian tentang obat golongan coxib
ditemukan fakta baru bahwa walapun aman bagi lambung, obat-obat coxib meningkatkan
risiko trombosis pada pasien-pasien dengan gangguan kardiovaskuler.
 Diketahui bahwa tromboksan A2 merupakan eikosanoid yang
menyebabkan agregasi platelet dan vasokonstriksi. Tromboksan A2
dihasilkan di platelet dengan katalisis oleh COX-1. Platelet sendiri
hanya mengekspresikan COX-1, sehingga adanya obat golongan
coxib tidak menghambat pembentukan tromboksan A2. Di sisi lain,
prostasiklin (PGI2) merupakan vasodilator dan inhibitor agregasi
platelet, yang pembentukannya dikatalisis utamanya oleh COX-2.
Pada gambar A, situs pengikatan asam
arakidonat untuk COX-1 (kiri) dan
COX-2 (kanan), menggambarkan
lokasi Arg120, yang membentuk ikatan
ionik dengan gugus karboksil dari
asam lemak, dan kantong hidrofobik.
Selain itu, perhatikan perbedaan dalam
asam amino pada posisi 523, yang
isoleucine dalam COX-1 dan valin
dalam COX-2, tidak satupun yang
mempengaruhi pengikatan asam
arakidonat
 Pada gambar B, COX inhibitor
mengikat ke situs pengikatan asam
arakidonat dicontohkan naproxen terikat
COX-1 (kiri) dan celecoxib terikat
COX-2 (kanan). Perbedaan dalam asam
amino pada posisi 523, sebagian, untuk
selektivitas coxib, dengan valin yang
lebih kecil mengakomodasi pengikatan
gugus sulfonamida di kantong samping.
 Perbedaan ini berperan penting dalam spesifitas pengikatan obat-obat
golongan coxib dan konformasi enzim COX yang terbentuk setelah
terjadinya ikatan obat-enzim. Adanya valin-523 memberikan konformasi
kantong pada sisi aktif COX-2 sehingga akses obat golongan coxib mudah
dan ikatan obat golongan coxib komplemen dengan COX-2 tetapi tidak
dengan COX-1.
 Akibatnya, ikatan coxib spesifik pada COX-2 dan mengeblok masuknya
substrat (asam arakidonat) ke dalam sisi aktif COX-2 dan asam arakidonat
tidak dapat dimetabolisme oleh COX-2, akan tetapi masih dimetabolisme
COX-1. Oleh karena itu, penghambatan COX-2 tidak menghentikan
biosintesis prostaglandin (oleh COX-1) yang berperan dalam proteksi
saluran gastrointestinal terhadap asam lambung.
Dengan penggunaan obat golongan coxib, akan
terjadi ketidakseimbangan di mana sintesis
prostasiklin berkurang, sementara tromboksan
A2 yang membantu agregasi platelet tetap
terbentuk. Hal inilah yang kemudian dapat
meningkatkan risiko pembekuan darah
(trombosis) pada pasien-pasien yang sudah
memiliki riwayat gangguan kardiovaskular.
TERIMA KASIH 

Anda mungkin juga menyukai