Anda di halaman 1dari 118

Tinjauan Raw Material

Kompilasi literatur:
C. Lee, Norman.2000.Blow Molding, understanding. Carl Hanser Verlag. Munich.
C. Lee, Norman.1998. Blow Molding, Design Guide. Carl Hanser Verlag. Munich.
Rauwendaal, Chris. 1998. Extrusion, Understanding. Carl Hanser Verlag. Munich.
Harper, Charles A.2000. Modern Plastics Handbook. Mc Graw-Hill. New York.
Bryce, Douglas M. 1999. Plastic Injection Molding Vol. IV. Manufacturing Startup and
Management. Society of Manufacturing Engineers. Michigan.
CARA PEMBUATAN PLASTIK,
IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI
 material plastik dibuat melalui proses
polimerisasi.
 Dari sisi proses terdapat beberapa cara
polimerisasi:
 Polimerisasi Adisi
o Polimerisasi Radikal Bebas
o Polimerisasi Induksi Katalis
 Polimerisasi Kondensasi
 Polimerisasi Kombinasi
Identifikasi konfigurasi polimer

Identifikasi polimer dari konfigurasinya dibagi


menjadi:
 Atactic: memiliki susunan yang sangat acak,
tidak beraturan
 Isotactic: memiliki susunan berselang-seling
secara teratur
 Syndiotactic: memiliki susunan dengan
berselang secara spesifik / terkontrol.
Identifikasi konfigurasi polimer

Isotactic Syndiotactic Atactic


 Alloys adalah material yang
dibentuk dengan mencampur dua
(atau lebih) plastik untuk membentuk
“plastik baru” yang sangat homogen.
 Blends adalah campuran dua (atau
lebih) plastik yang tidak menjadi
homogen.
 Amorphous material adalah material
dimana struktur rantai molekulnya
random dan bersifat mobile pada range
suhu yang lebar.
 Crystalline material adalah material

dimana struktur rantai molekulnya sangat


teratur dan menjadi mobile hanya setelah
diberikan panas yang cukup untuk
mencapai MPnya.
KARAKTERISTIK DAN
PARAMETER
 Plastik tersusun dari molekul dengan rantai
yang sangat panjang sehingga memiliki
viskositas leleh yang tinggi. Dengan viskositas
yang lebih tinggi dibutuhkan torque lebih
besar pada extruder dan lebih banyak tekanan
dibutuhkan untuk mendorong plastik melewati
die.
 Viskositas plastik sangat tergantung dari berat
molekulnya, makin tinggi BM, makin tinggi
viskositasnya.

Melt index adalah kemampuan plastik dalam
bentuk cairnya (leleh) untuk mengalir seringkali
disebut juga sebagai melt flow index yang dinyatakan
sebagai jumlah plastik yang keluar (dlm gram) tiap
satuan waktu (per 10 menit).
 Alat yang digunakan untuk evaluasi MI: melt indexer.
 MI tinggi mengindikasikan viskositas yang rendah.
Istilah fractional melt plastic seringkali digunakan
untuk plastik yang mrmiliki MI < 1.
 Spesifikasi MI merupakan parameter kualitas yang
penting.
Contoh: Jika material menghasilkan parison yang
lembek atau putaran motor yang tidak biasanya, hal
ini dapat disebabkan MI yang lebih tinggi dari
spesifikasinya.
 HLMI (high load melt index) adalah melt
index untuk material dengan BM yang tinggi
yang tidak dapat terdeteksi dengan baik MI-
nya menggunakan normal load.
 Rasio HLMI/MI dapat digunakan untuk
membaca indikasi karakter suatu material
untuk mengetahui:
 Karakter melt flownya pada tekanan yang sama
 Tingkat kepekaan material terhadap shear
 Distribusi berat molekul material, terutama low
end MWD spectrum.
 Saat plastik diproses biasanya akan
terpapar pada shearing flow. Pada lapisan
shear flow yang berbeda, plastik akan bergerak
pada kecepatan yang berbeda.
 Kecepatan dari shearing yang terjadi biasa
disebut sebagai shear rate yang merupakan
perbedaan kecepatan antara dua elemen cairan
dibagi dengan jarak normal antara elemen tsb.
 Kecepatan alir dan geometri dari flow channel
menentukan shear rate. Flow rate tinggi 
shear rate tinggi, flow channel kecil  shear
rate tinggi.
 Saat plastik diekspose thd shear rate yang
tinggi, sejumlah belitan dari molekul2 akan
menurun demikian juga viskositasnya. Saat
shear rate turun, viskositasnya akan naik
kembali.
 Karakter ini disebut sebagai shear thinning
behavior / pseudoplastic behavior yang sangat
berperan dalam ekstrusi.
 Bila diplotkan viskositas vs shear rate dari
suatu cairan dan menghasilkan garis lurus
pada plot tsb, cairan tsb disebut sebagai power
law fluid.
Berat molekul (BM / MW) dan
distribusinya (DBM / MWD).
Sifat fisik dari suatu polimer dikontrol oleh banyak
faktor. Yang paling penting adalah berat molekul dan
distribusi berat molekulnya.
Berat molekul adalah rata2 berat molekul yang
menyusun polimer. Polimer dg BM lebih tinggi
cenderung memiliki performance properties yang
lebih baik (creep resistance, chemical resistance,
impact strength), sedangkan yang BM nya lebih
rendah cenderung getas dan lemah. Namun dmk, dg
lebih tingginya BM akan mempersulit proses
molding.
Berat molekul (BM / MW) dan
distribusinya (DBM / MWD).
Distribusi berat molekul adalah perbandingan
relative molekul dengan berat yang berbeda dalam
polimer. DBM merupakan pengukuran rasio antara
panjang rantai molekul yang besar, sedang dan kecil
yang ditemukan dalam material. Jika material dibuat
dari rantai molekul yang kebanyakan mendekati rata2
panjang  range sempit. Jika material disusun dari
beragam panjang rantai molekul  range lebar.
Secara umum dapat dikatakan material dengan range
DBM sempit memiliki sifat mekanis yang lebih baik
daripada yang memiliki range lebar, tetapi akan
memiliki tingkat kesulitan proses yang lebih tinggi.
Kelembaban / Kadar Air
Resin yang menyerap kelembaban disebut higroskopis.
Kandungan air resin harus diperhitungkan sebelum memulai
prosesing material higroskopis, seperti PET dan nylon.
Resin dengan kadar air tinggi atau ‘basah’ dapat menyebabkan
blistering, lemahnya struktur lelehan dan lemahnya integritas
produk.
Pada umumnya, kelembaban harus dijaga dibawah 0.2% w/w.
Nilai ini ditentukan oleh tingkat kadar air yang terserap dalam
24 jam pada suhu ruang, bila nilainya lebih dari 0.1% maka
dibutuhkan pengeringan.
PP dan PE adalah material unhygroscopic namun demikian
tetap dibutuhkan untuk memastikan bahwa terjadi pelembaban
akibat kondensasi, hujan, dll.
Metode paling umum untuk mengeringkan material adalah hot
air dessicant process.
Hardness
hardness atau kekerasan adalah faktor penting lain dalam
memilih suatu polimer.
Secara umum, kekerasan mengacu pada ketahanan material
terhadap goresan dan abrasi; seringkali diasosiasikan dengan
sifat yang lain.
Material dapat bersifat keras dan liat, keras dan getas atau
keras dan kuat.
Uji kekerasan biasanya dibuat dengan pin identation ke
permukaan material. Pengukuran dibuat menggunakan
Rockwell hardness testers atau shore durometers.
Contoh material yang keras: Phenolic > polyester > PVC,
acetal.
Contoh material yang lunak HDPE > PU (flexible) > PP
homopolymer > PPO > PC
Tensile Strength
 Tensile strength mengacu pada ketahanan suatu produk plastik untuk
ditarik-pisahkan.
 TS material plastik berkisar dari 2000 – 30,000 psi (137.9 – 2068.5 bar).
 TS merupakan satu dari indikasi tunggal kekuatan plastik yang terpenting.
 Beberapa istilah yang digunakan:
o yield strength adalah titik awal dimana tarikan yang diberikan tidak
dapat kembali.
o Ultimate elongation atau panjang maksimum material dapat ditarik
sebelum putus.
o Toughness adalah total energi yang dibutuhkan untuk memutus sample.

Material yang memiliki TS tinggi dan elongasi yang baik (mis. PC dan
ABS) digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan impact, sedangkan
material dengan TS tinggi dan elongasi rendah akan bersifat getas
sehingga membutuhkan modifikasi yang akan cenderung menurunkan
TSnya.
Creep
Mengacu pada perubahan dimensi
material plastik secara perlahan saat
ditempatkan dibawah beban untuk
periode waktu yang lama.
Creep resistance merupakan sifat yang
penting untuk produk yang akan
menerima beban berat.
Suhu merupakan faktor penting yang
berpengaruh.
Parameter Dasar Polimer dan Pengaruhnya terhadap Sifat Produk

Parameter Density BM DBM


+ - + - + -

ESCR      
Impact      
Stiffness      
Hardness      
TS      
Permeation      
Warpage      
Abrasion      
Flow      
Melt visco      
Copolymer %      
Pengaruh waktu dan suhu

Pemaparan material terhadap waktu dan
suhu proses yang bervariasi dapat mengubah
struktur molekul dari suatu polimer.
Sebagai contoh: pemanasan suatu polimer crystalline diatas
MP dan kemudian didinginkan dengan cepat akan
menciptakan suatu material yang akan lebih ke amorphous
sifatnya. Hal ini disebabkan pendinginan mengganggu
kemampuan molekul untuk kembali ke bentuk crystal yang
normal ditemukan dalam material crystalline. Pendinginan
perlahan akan mampu membentuk crystal, menghasilkan suatu
produk dengan sifat2 yang lebih berhubungan dengan material
crystalline.
 Pemberian waktu yang cukup, menyebabkan
molekul polimer yang dipanaskan akan berpindah
untuk menemukan kesetimbangan struktur ideal
yang di”sukai”.
 Peningkatan suhu memberikan kesempatan molekul
untuk menyempurnakan kesetimbangan pada waktu
yang jauh lebih pendek, tapi penurunan suhu
meminimalkan derajad kesetimbangan yang dicapai.
 Oki., nilai2 sifat dari suatu polimer dapat sangat
bervariasi, tergantung pada seberapa banyak waktu
yang diberikan untuk struktur molekul mencapai
kesetimbangan.
 Secara umum, plastik amorphous memiliki
sensitivitas suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan semi crystalline plastic.
 Temperature coefficient amorphous berkisar 5-
20% yang berarti viskositas berubah dari 5-
20% untuk setiap °C perubahan suhu.
 Temperature coefficient semi crystalline
berkisar 2-3%.
 Oki, kontrol temperature yang baik lebih kritis
dalam prosesing amorphous material.
 Saat plastik yang meleleh mendapatkan shear,
panas akan timbul dalam plastik yang disebut
viscous heat generation.
 Jumlah viscous heat generation ditentukan
oleh viskositas produk dan kuadrat shear rate.
 Oki, makin tinggi viskositas, makin tinggi
panas yang ditimbulkan, demikian juga
dengan shear rate, efek yang ditimbulkan
lebih tinggi. Sebagai akibat viskositas plastik
yang tinggi dalam extrusion, sebagian besar
pemanasan dihasilkan akibat viskositasnya.
 Pelelehan dan pemompaan pada proses ekstrusi, diatur oleh panas dan tekanan,
bekerja pada resin melalui dua mekanisme secara reologis: viscous dan elastic.
 Viscous energy disebarkan melalui perlawanan thd resistensi dari sistem,
sedangkan elastic energy disimpan. Energi yang disimpan ini menyebabkan
overall swell dalam parison yang diekstrude.
 Kapasitas dari plastik yang meleleh untuk mengalami deformasi elastic dan
menyimpan energi, meningkat dengan makin lebarnya DBM terutama dengan
makin tingginya proporsi molekul yang lebih besar ( high end MWD spectrum).
 Melt swell, selain daripada exact die dan dimensi mandrel, akan menentukan
dimensi akhir (baik diameter dan ketebalan) parison. Pengontrolan swell
dengan seleksi resin, rheologynya dan prediksi swell menjadi faktor yang
esensial.
 Data melt swell dapat dikembangkan menggunakan instrument lab seperti
misalnya melt indexer dengan menggunakan dua beban 2,160 dan 21,600 g,
pada suhu dan kondisi shear yang sesuai dengan aktual prosesing. Perbedaan
dasar pada L/D rasio dari rheometer orifice dan kondisi ekivalen dari parison
tooling harus diperhitungkan dalam pengembangan data komparative sda.
 Swell ratio (diameter extrudate : diameter orifice) meningkat dengan shear
rate.Beberapa resin akan berhenti pada satu perbandingan shear rate,
sedangkan yang lainnya akan terus swell dengan meningkatnya shear rate.
Tipe pertama memberikan kontrol dimensi parison yang lebih baik.
 Thermal conductivity adalah
kemampuan material untuk
menghantarkan panas, merupakan
sifat panas yang sangat penting.
Plastik yang memiliki konduksi panas
rendah disebut sbg thermal insulator
yang berarti pemanasan dan
pendinginan plastik melalui konduksi
berjalan dengan lambat,
menghasilkan plastik yang memiliki
suhu dan aliran yang tidak seragam
 thick spot pada hasil ekstrusi.
Panas spesifik adalah jumlah
panas yang dibutuhkan /
dikeluarkan untuk menaikkan /
menurunkan suhu material 1°.
Panas spesifik material semi
crystalline > amorphous.
 Plastik dapat mengalami degradasi dalam proses
ekstrusi.
 Variable utama yang terlibat dalam degradasi
adalah suhu dan lamanya waktu plastik dipapar
pada suhu tinggi.
 Degradasi menghasilkan hilangnya sifat
mekanis dan optis, masalah penampakan,
degassing,burning, dll.
 Variable lain yang akan mempengaruhi
degradasi adalah kehadiran oksigen.
 Waktu induksi (induction time) adalah
pengukuran dari stabilitas panas suatu
material dalam satuan waktu pada suhu
tinggi dimana plastik dapat bertahan
tanpa terjadi perubahan / degradasi.
 Stabilitas panas dan waktu induksi dari
plastik dapat diperbaiki dengan
penambahan penstabil panas (thermal
stabilizer). Pada umumnya, material
plastik sudah mengandung aditif sda.
 Density dari material adalah massa material
dibagi dengan volumenya. Biasa diekspresikan
dalam gr / cc. density juga bisa dinyatakan
dengan istilah spesifik volume yaitu volume
dibagi dengan massa material, diekspresikan
dalam cc / gr.
 Density atau spesifik volume dipengaruhi oleh
suhu dan tekanan. Mobilitas molekul plastik
meningkat dengan suhu yang lebih tinggi.
Spesifik volume menurun dengan tekanan
yang lebih tinggi.
 Spesifik volume meningkat dengan
cepat seiring dengan pencapaian
melting point.
 Pada titik melting, slope berubah

tajam dan volume meningkat lebih


lambat pada suhu yang lebih tinggi.
 Melting point adalah suhu dimana crystallite
meleleh.
 Semi crystalline pada umumnya diproses ±
50°C diatas Tm –nya.
 Bila plastik peka terhadap degradasi, suhu
prosesnya harus dijaga serendah yang
memungkinkan.
 Plastik yang memiliki viskositas tinggi, suhu
prosesnya digunakan setinggi mungkin
sepanjang tidak menyebabkan degradasi.
 Transisi antara dua kondisi disebut
sebagai glass transition temperature.
 Bila Tg diatas suhu ruang, plastic

akan bersifat keras dan getas.


 Tg dibawah suhu ruang memberikan

sifat soft dan flexible pada suhu


ruang.
REGRIND
Regrind yang akan digunakan harus dijaga kebersihannya.
Material asing dapat merusak tampilan permukaan dan mendegradasi sifat produk atau resin.
Material asing dapat juga tertinggal di head dan menyebabkan masalah tambahan.
Material secara keseluruhan harus ditutup dan keseleruhan peralatan penanganan material
(grinder, box, timbangan) harus dijaga kebersihannya.
Penggunaan regrind dan jumlahnya ditentukan oleh parameter produk yang harus dipenuhi:
ESCR, flexural modulus, abrassion, impact, chemical res., UV res. Regrind material
cenderung untuk menurunkan nilai parameter sda.
Untuk sebagain raw material, penggunaan regrind diatas 50% dapat memberikan efek negatif
pada kekuatan keluaran parison dan die swell. Buruknya konsistensi panjang parison adalah
salah satu akibatnya.
Direkomendasikan penggunaan regrind tidak lebih dari tiga siklus.
Regrind dengan tingkat ‘debu’ yang tinggi atau ukuran yang sangat lembut membutuhkan
penurunan T° feed 5.55-11.1°C (10-20°F). Ini akan membantu mencegah premature melting.
Persentase regrind akan mengubah persentase MB yang ditambahkan dan membutuhkan
CM. Hal ini disebabkan karena banyak pigment yang sensitif thd panas dan akan berubah
warnanya setelah direproses.
Regrind material akan terbawa secara berbeda dari virgin pellet akibat ukurannya yang
tidak beraturan. Material “rubbery” akan cenderung saling lekat.
Pengujian pada plastik biasanya
meliputi:
 Tensile ASTM D 638
 Compression ASTM D 695
 Melt Index ASTM D2561
 Hardness ASTM D2240,
ASTM D785
Resin dan
Karakteristik
Polyethylene
General character
High toughness
Excellent chemical resistance
Low water vapor permeability
Very low water absorption
relatively low modulus, yield stress &
melting point
Crystalline structure
Secara komersial terdiri dari grade:
VLDPE
LDPE
LLDPE
HDPE
UHMWPE
VLDPE
 Very Low Density Polyethylene
 BD: 0.880-0.912 g/cm³
 aplikasi: film
 high elongation
 good ESCR
 excellent low T°
 alternatif plasticized PVC atau EVA.
Kelenturan back bone VLDPE merupakan alternatif
pemecahan masalah kestabilan plasticizer di PVC
serta bau & stabilitas di EVA.
LDPE
 Low Density Polyethylene
 High impact strength
 High toughness
 Aplikasi: packaging film, shrink film, thin film for automatic packaging, heavy
sacking, multilayer film (laminated & co-extruded  act as a seal layer /
water vapor barrier)
 Dihasilkan dari polimerisasi radikal bebas dengan cabang grup alkyl dari
C2-C8. Cabang yang umum adalah C4; dengan tekanan reaksi yang tinggi
menghasilkan karakter crystalline.

200°C
20,000 – 35,000 psi
 n CH2=CH2 - (CH2CH2)n –
O2 + organic peroxide n : 400 – 50,000

 MDPE dihasilkan dari reaksi yang sama dengan T° reaksi yang lebih
rendah. Pengurangan T° ditujukan untuk menurunkan gerak Brownian
molekul dan energi thermal sehingga memungkinkan pembentukan
crystalline lebih cepat.
LLDPE
 Linier Low Density Polyethylene
 Density: 0.915-0.940 g/cm³
 Merupakan tandingan LDPE pada aplikasi film dengan melt
strength yang lebih tinggi.
 Dihasilkan dari polimerisasi radikal bebas ber-copolimer
dengan rantai samping 1-butene, disamping 1-hexene, 1-
octene; dengan tekanan dan suhu reaksi yang lebih rendah.
Rantai molekul pendek yang dihasilkan mengacak formasi
rantai sehingga mencegah terjadinya pembentukan
crystalline dan pencapaian density yang tinggi.

100°C/ 300 lb/in²


n CH2=CH2 - (CH2CH2)n –
O2 + organic peroxide n : 400 – 50,000
(Ziegler catalyst)
HDPE
 High Density Polyethylene
 Density: 0.95 – 0.96 g/cm³
 Tm: 130 - 135°C (266 – 275°F)
 High impact strength
 Low T° toughness
 Excellent chemicals resistance
 Good electrical insulating properties
 Poor UV resistance
 Aplikasi blow molding: milk & juice bottle, housewares, toys, pails,
drums, automotive gas tank.
 Aplikasi injection molding: housewares, toys, food container, garbage
pails, milk crates, cases.
 Aplikasi film: bags, garbage bags.
 Dihasilkan dari polimerisasi menggunakan Phillips catalyst (Cr-oxide)
atau Ziegler Natta
 BM dan DBM diatur dengan pengaturan suhu reaksi (T >  BM <)
dan sistem katalis.
HDPE
 Karakteristik proses
Range T° proses: 190 – 235°C (370 – 450°F)
Feed : 190 – 200°C (370 – 390°F)
Transition : 195 – 205°C (380 – 400°F)
Metering : 195 – 205°C (380 – 400°F)
Head : 195 – 223°C (380 – 430°F)
Catatan : usahakan untuk mempertahankan melt T° pada batas bawah dari
range. T° yang jatuh dibawah range akan menghasilkan nonmelt / finish yang
kasa. T° diatas range akan menghasilkan lapisan yang glossy
Dalam kondisi normal, tidak membutuhkan pengeringan
Regrind ratio s/d 100% dapat digunakan untuk dua generasi dengan
pengaruh yang kecil pada sifat fisik.
Die swell: 2 – 3 : 1 tergantung pada disain die dan kecepatan tekanan
pengeluaran
Blow up ratio: 3:1 sampai 4:1 tergantung pada desain produk.
Hang strength (a function of drop time and size): very good (pada T° proses
yang tepat).
Shrinkage: 0.15 – 0.4 mm/m (1.5 – 4%)
T° mold cooling: 7.2° -29.4°C (45 – 85°F) untuk memberikan CT optimum
CT seringkali dibatasi oleh shrinkage produk
UHMWPE
Identik dengan HDPE, dg BM
3 - 6 x 10
Outstanding abrasion
resistance
High toughness
Excellent ESCR
Tidak dapat diproses secara
proses konvensional
HDPE, klasifikasi blow molding
Rigid Homopolymer (0.960 ± 0.002 g/cm³, MI: 0.7 –
1.0): thin wall milk, beverage, food containers.
Dual purpose copolymer (0.955 ± 0.002 g/cm³, MI:
0.2-0.4): GP chemicals, bleaches, cleaners,
automotive products. Katagori ini memberikan
medium thoughness dan ESCR.
Detergent grade copolymer (0.950 ± 0.002 g/cm³,
MI:0.3 – 0.5). ESCR lebih baik.
Industrial grade / high performance copolymer (0.943
± 0.003 g/cm³, MI: 0.1-0.2, HLMI: 18-25): drum ↑ 76 l
(20 gal). ESCR khusus dan impact strength tinggi.
UHMWPE (0.944-0.956 g/cm³, HLMI: 4-12): drum
s/d 210 l (55 gal), special tank dengan kapasitas
lebih besar.
Resin dan
Karakteristik
Polypropylen
e
General character
Good RT° Impact strength
Poor impact strength at cold T°
Good chemical resistance
High abrasion resistance
High melting strength
Very low water absorption
Crystalline structure
MP: 170°C
Memiliki struktur molekul yang mirip
dengan PE kecuali untuk substitusi dari
satu grup hidrogen dengan grup methyl
untuk setiap carbon.
Disintesa dari proses polimerisasi
propylene, suatu monomer yang
diturunkan dari produk minyak bumi
dengan reaksi sbb.:
n H2C=CH [ CH2CH ]n
CH3 CH3
Merupakan reaksi polimerisasi adisi yang diinduksi katalis yang
akan mengontrol stereochemistry selama polimerisasi
menghasilkan taktisitas yang berragam (atactic, isotactic,
syndiotactic)
Katalis yang digunakan: Ziegler-Natta, Metallocene
Range Mn: 38,000 – 60,000 dan Mw: 220,000 – 700,000 dengan
Mw /Mn: 2 – 11
Syndiotactic polimer memiliki Tm lebih rendah dibandingkan
isotactic.
Isotactic polimer merupakan bentuk yang paling komersial dengan
Tm: 165°C.
Atactic PP memiliki jumlah crystalinity yang kecil (5-10%) karena
strukturnya yang tidak beraturan mencegah terjadinya kristalisasi,
menghasilkan material yang soft dan flexible.
Tidak seperti PE dimana mengkristal pada bentuk planar zigzag, PP
mengkristal dalam bentuk heliks akibat adanya gugus methyl pada
rantainya.
Komersial polimer ± 90 – 95% nya adalah isotactic. Jumlah
isotacticity yang terdapat pada rantai akan mempengaruhi sifat
material. Dengan bertambahnya isotactic index  crystallinity
meningkat menghasilkan peningkatan modulus, SP dan kekerasan
Isotactic PP lebih keras dan memiliki SP > PE, shg biasa digunakan
bila dibutuhkan material yang lebih keras.
PP kurang tahan terhadap degradasi terutama oksidasi pada T°
tinggi db PE, tetpai memiliki ESCR yang lebih baik. Turunnya
ketahanan thd degradasi disebabkan dari keberadaan C tersier shg
memudahkan pemindahan hidrogen, sebagai akibatnya dibutuhkan
penambahan antioxidant untuk memperbaiki ketahanannya
terhadap oksidasi.
Mekanisme degradasi PP berbeda dengan PE. PE akan mengalami
cross link pada oksidasi, sedangkan PP akan mengalami
pemutusan rantai. Hal ini juga berlaku pada material saat diekspose
pada energi radiasi yang tinggi, metoda yang seringkali digunakan
untuk cross-link PE.
PP merupakan satu dari plastik yang paling ringan dengan density
0.905.
Sifat nonpolarnya memberikan sifat absorpsi air yang rendah.
PP memiliki resistensi kimia yang baik, tetapi cairan seperti Cl-
solvent, gasoline dan xylene akan mempengaruhinya.
PP memiliki konstanta dielektrik rendah  insulator yang baik.
Kesulitan dalam bonding PP dapat diperbaiki dengan penggunaan
perlakuan permukaan untuk memperbaiki karakter adesinya.
Dengan pengecualian UHMWPE, PP memiliki Tg dan
MP yang lebih tinggi dari PE. Proses PP membutuhkan
suhu yang lebih tinggi. Karena SP yang lebih tinggi, PP
dapat bertahan dalam air mendidih dan dapat digunakan
dalam aplikasi yang membutuhkan steam sterilization.
PP juga lebih tahan terhadap cracking in bending
dibandingkan PE sehingga banyak digunakan dalam
pembuatan tali, tapes, carpet fibers, dll.
Satu kelemahan PP adalah low T° brittleness behavior
 brittle ~ 0°C. sifat ini dapat diperbaiki melalui
kopolimerisasi dengan ethylene.
PP lebih non newtonian db PE, panas spesifik PP < PE.
Melt visco PE lebih kurang T°sensitive db PP.
Mold shrinkage PP p.u. < PE, tetapi tergantung pada
kondisi prosesing aktual.
Tidak seperti polimer yang lain, peningkatan BM PP
tidak selalu diterjemahkan memperbaiki karakter. Melt
visco dan impact akan meningkat dengan peningkatan
BM, tetapi diringi dengan penurunan kekerasan dan SP
yang diakibatkan dari penurunan kemampuan polimer
untuk mengkristal.
DBM memiliki implikasi penting dalam proses. PP
dengan DBM lebar lebih shear sensitive dibandingkan
dengan DBM sempit. DBM lebar  aplikasi injection
molding lebih baik.
Banyak grade PP dapat dibuat sesuai dengan aplikasi
spesifik. Gradenya dapat diklasfikasikan dari flow
ratenya yang tergantung baik pada Mn dan DBM. Flow
rate yang lebih rendah digunakan dalam aplikasi
ekstrusi. Dalam injection molding, flow rate rendah
digunakan untuk produk tebal dan flow rate tinggi
digunakan untuk produk tipis.
PP dapat diproses dengan metode ~ PE. Suhu
proses p.u. berkisar 210 – 250°C. waktu
pemanasan harus diminimalkan untuk
mengurangi kemungkinan oksidasi.
Blow molding PP membutuhkan melt T° dan
shear yang lebih tinggi tetapi kondisi tsb
cenderung mempercepat degradasi PP. screw
zona metering harus memiliki jarak yang cukup
(tidak dangkal / rapat) untuk menghindari shear
yang berlebihan. Untuk screw 60 mm tipikal
jaraknya: 2.25 mm dan 3.0 mm untuk 90 mm.
Beberapa additives yang dapat digunakan pada
PP a.l.: glass reinforcement, coupling agent,
CaCO3, talc, pigment, A.O., nucleating agent,
Carbon black, antiblocking, slip agent, antistatic,
EP-rubber
Copolymer PP paling umum adalah
dengan ethylene. Kandungan
comonomernya antara 1 – 7% yang
terletak secara acak pada back bone
 produk yang lebih flexible,
meningkatkan impact, menurunkan
Tm, meningkatkan clarity. Derajad
kelenturan meningkat dengan
naiknya kandungan ethylene  EP
rubber.
 Karakteristik proses
Range T° proses: 190 – 232°C (375 – 450°F)
Feed : 187 – 199°C (370 – 390°F)
Transition : 199 – 226°C (390 – 440°F)
Metering : 199 – 226°C (390 – 440°F)
Head : 199 – 226°C (390 – 440°F)

Dalam kondisi normal, tidak membutuhkan pengeringan


Regrind ratio s/d 100% dapat digunakan untuk dua generasi dengan
pengaruh yang kecil pada sifat fisik. Catatan: pada PP yang ditambahkan
pigment putih, garis kuning dapat timbul bila regrindnya digunakan.
Penurunan T° 10 – 20°F akan bisa mengurangi.
Die swell: 2 – 3 : 1 tergantung pada disain die dan kecepatan tekanan
pengeluaran
Blow up ratio: maximum 3:1 untuk performance molding terbaik. desain mold
akan menurunkan ratio sda.
Hang strength (a function of drop time and size): very good (pada T° proses
yang tepat).
Shrinkage: 0.3 – 0.33 mm/m
Residence time ~ PE tetapi akan terdegradasi lebih cepat. Jika proses akan
dihentikan sementara harus dipastikan untuk mengisi dan bersihkan head tiap
20 menit.
T° mold cooling: 5.5° -23.8°C (50 – 75°F) untuk memberikan CT optimum
CT seringkali dibatasi oleh shrinkage produk
Resin dan
Karakteristik
Polyvinyl
Chloride
PVC secara umum dikenal sebagai vinyl resin, dibuat dari
polimerisasi vinyl chloride melalui reaksi radikal bebas, dengan
metode suspensi, emulsi, larutan atau bulk.
n CH2=CHCl  -(CH2-CHCl)n-
Monomer terutama akan tersusun head to tail sepanjang back
bone.
Kebanyakan PVC yang digunakan dalam molding dibuat melalui
metode suspensi, dengan menyuspensikan droplet monomer
berukuran 10 – 100 nm dalam air. Pengaturan ukuran partikel,
bentuk dan distribusi ukurannya dilakukan dengan memvariasikan
dispersing agent dan kecepatan pengadukan.
Mikro struktur PVC kebanyakan atactic, dengan sedikit fraksi (±
5%) syndiotactic. Pada dasarnya berrantai linier dan kadangkala
dengan sedikit percabangan pendek. Syndiotacticity meningkat
dengan turunnya suhu polimerisasi. Seringkali diindikasikan dari
K-value.
Karena adanya kandungan gugus Cl  polar polimer.
Komersial polimer memiliki Mw: 100,000 – 200,000 dan Mn:
45,000 – 60,000; Mw/Mn: 2.
Tg PVC bervariasi dengan metode polimerisasinya berada pada
range 60 – 80°C.
PVC memiliki sifat tahan thd flame yang baik.
Karena sensitif terhadap panas, sejarah termalnya harus
dikontrol dengan dengan benar untuk menghindari
dekomposisi.
Pada suhu diatas 70°C, akan terjadi degradasi PVC
melepaskan HCl dan menghasilkan pembentukan
ketidakjenuhan pada rantai utamanya yang diindikasikan
dengan perubahan warna dari polimernya  kuning 
coklat  hitam berturut-turut sesuai dengan derajad
degradasinya. Pelepasan HCl mempercepat terjadinya
degradasi lebih lanjut yang dikenal sebagai autocatalytic
decomposition. Oleh karenanya dalam polimernya
ditambahkan thermal stabilizer untuk mengurangi
kecenderungan sda.
UV stabilizer juga ditambahkan untuk melindungi
material dari sinar UV yang juga bisa menyebabkan
lepasnya HCl.
Stabilizer yang seringkali ditambahkan adalah lead
compound yang akan bereaksi dengan HCl yang dilepas
selama degradasi. Biasanya yang digunakan adalah
lead carbonate atau white lead dan tribasic lead sulfate.
Stabilizer yang lain meliputi: metal stearat, ricinoleates,
palmitat dan octoates. Penambahan Cd-Ba system akan
menghasilkan sifat sinergis.
Organo-tin compound juga digunakan sebagai stabilizer
untuk menghasilkan clear compound.
Additives lain yang seringkali digunakan antara lain:
fillers (talc, CaCO3, clay) stiffness, lubricants,
pigments dan plasticizers (primer, sekunder, ekstender)
 Tg & Tm  thermal exposure.
Karena HCl dapat terlepas selama proses, maka harus
ada perhatian terhadap kemungkinan korosi logam dari
bagian-bagian mesin. Mold, tooling dan screw harus
diinspeksi secara teratur.
PVC (low molecular weight)
Terdapat banyak cara untuk meningkatkan sifat alir PVC yang akan menghasilkan variasi produk
dan konsekuensi ekonomis, spt mis penggunaan flow modifier, komponen polimer yang mudah
mengalir, lubricants, kopolimerisasi dengan comonomer VA atau propylene, prosesing pada suhu
tinggi ‘sepanjang stabilitas panasnya tinggi’ dan reduksi BM polimer dengan polimerisasi suhu
tinggi atau dengan penggunaan agent pengatur panjang rantai.
Prosesing high flow PVC jauh lebih mudah dibandingkan dengan prosesing grade PVC dengan
BM lebih tinggi.
Aplikasi PVC dengan kemampuan alir dan stabilitas tinggi untuk produk rigid memiliki banyak
keuntungan dari sudut pandang ekonomi, ekologi dan prosesing:
 Better yield untuk IM dan EM
 Beban yang lebih rendah pada torque peralatan proses dan tekanan injeksi
 Permukaan yang sangat kilap
 Hemat additives spt flow modifier, lubricants dan thermal stabilizer
 Diproses pada suhu yang lebih rendah (10-15°C)
 Aplikasi baru
 Kemungkinan penggunaan stabilizer yang lebih ‘bersahabat’, bebas dari logam berat

 Beberapa produsen:
 BASF- Jerman (Vinoflex S5015)
 Solvay-Belgia (Solvic 250 SA)
 Lucky-Korea selatan (LS-050)
 LVM-Belanda (Marvylan S-5002)
 Nitrogen (Petrochemical) Works “ Wloclawek”-Polandia (Polanvil S-52 HF)
Resin dan Karakteristik

Polycarbonate
General character
Excellent heat resistance
Hard, tough material
Good impact resistance
Excellent transparency
SP: 148.9°C (300°F), MP:
221°C (430°F)
PC resin dapat dibagi menjadi dua kelas: alifatik dan aromatik.
PC alifatik tidak banyak digunakan sebagai thermoplastic tetpai
dapat digunakan sebagai co-monomer atau co-condensate dengan
polycondensate yang lain. Sbg contoh: digunakan untuk
memodifikasi aromatik PC bisphenol A sbg high heat elastomer,
juga digunakan sbg plasticizer dan stabilizer PVC.
PC aromatik yang paling umum adalah polybisphenol A carbonate
yang merupakan engineering thermoplastic yang dikenal dari high
impact toughness, Tg (150°C) dan optical clarity.
dua metode sintesa yang diaplikasikan secara komersial:
Interface process yang melibatkan pelarutan bisphenol A dalam
larutan kaustik soda /air dan introduction phosgene dengan
keberadaan solvent inert seperti mis. Pyridine.
Transesterification bisphenol A dengan diphenyl carbonate pada
suhu tinggi
BM 30,000-50,000 diperoleh dari metode kedua, sedangkan
metode pertama menghasilkan BM yang lebih tinggi.
struktur PC dengan carbonate dan bisphenolicnya memberikan
sifat yang berbeda.
Para substitusi pada phenyl ringnya menghasilkan suatu simetri dan
kurangnya sifat stereospesifik.
Gugus phenyl dan methyl pada quarternary carbonnya memberikan
struktur yang kuat.
gugus ester-ether carbonate –OCOO- yang polar, tetapi derajad
pembentukan ikatan intermolecular polarnya minimal akibat dari
posisinya yang steric pada ring benzene.
Tingginya tingkat aromatik dari rantai utama dan besarnya ukuran
pengulangan struktur menghasilkan molekul yang sangat terbatas
mobilitasnya.
Ikatan ether pada rantai utamanya memungkinkan sejumlah rotasi
dan fleksibilitas  high impact strength.
Sifat amorphousnya dengan rantainya yang panjang dan saling
mengait memberikan kontribusi pada high toughness.
Namun dmk, pada kristalisasi PC menjadi getas. PC sangat sulit
untuk mengkristal (membutuhkan waktu beberapa hari pada suhu
180°C).
PC memiliki kesetimbangan m.c. pada 0.2% disuhu 25°C dan RH
60% dan 0.9% pada suhu 100°C.
kekurangannya meliputi:
kebutuhannya untuk pengeringan
sebelum proses
suhu proses yang tinggi.
Ketahanan kimianya yang terbatas thd
sejumlah aromatik solvent.
Kebutuhan suhu tinggi dalam proses 
resiko degradasi akibat panas yang
diikuti dengan degradasi BM terutama
dengan adanya basa atau pengotor
besi.
Ketahanannya terhadap UV dibatasi
oleh waktu  menguning
blending dengan ABS akan
meningkatkan heat distortion T°
ABS dan low T° impact strength
PC. Sehingga dapat digunakan
dalam aplikasi electronic housing
spt. Komputer laptop.
Blending dg PBT akan
meningkatkan ketahanan kimia
PC thd produk petrol dan low T°
impact strengthnya.
 Karakteristik proses
Range T° proses: 254 – 271°C (490 – 520°F)
Feed : 249 – 260°C (480 – 500°F)
Transition : 254 – 271°C (490 – 520°F)
Metering : 254 – 271°C (490 – 520°F)
Head : 254 – 271°C (490 – 520°F)
Catatan: PC bersifat higroskopis sehingga membutuhkan pengeringan pada suhu
93.4 – 104°C (200 – 220°F) selama 6-18 jam
Regrind ratio max 50%. Regrind memiliki efek negative pada kekuatan parisonnya.
Regrind material harus dikeringkan sebelum digunakan.
Die swell: 0.8 – 1 : 1 resin tidak memiliki die swell. Akan membutuhkan head yang lebih
besar dibandingkan resin lainnya.
Blow up ratio: tipikal 1:1tergantung pada disain produk dan kecepatan setup.
Hang strength: pada suhu melt memiliki ketegaran yang buruk. Parison support sangat
penting artinya dan top pinch bar akan dibutuhkan.
Shrinkage: 0.203 – 2.23 mm/m
Residence time: material akan terdegradasi dengan cepat bila aliran dihentikan. Jaga
material tetap bergerak. Degradasi akan tetap terjadi meskipun flow tidak dihentikan
menghasilkan garis kuning dan coklat. Penambahan ABS akan meningkatkan
degradasi.
T° mold cooling: 35° -99°C (95 – 210°F). T°↑ untuk memastikan reproduksi tekstur dan
memperbaiki stabilitas dimensi dan pinch edge weld.
Startup: 11°C (20°F) lebih tinggi dari T°normal operasi untuk mereduksi high screw load
akibat material yang dingin. Suhu diturunkan kembali setelah parison yang dikehendaki
terbentuk.
Shutdown: jalankan mesin sampai habis sama sekali. Bilas dengan resin dengan BM
tinggi
Resin dan
Karakteristik
Styrene Based
Resin
ABS terpolymer
 Disintesa dari tiga jenis monomer: Acrylonitrile, Butadiene dan
styrene.
 Metode yang digunakan adalah grafting baik pada polybutadiene
latex atau grafting dua monomer yang dilanjutkan dengan blending.
 Fleksibilitasnya diatur dari rasio ketiga monomernya.
 Acrylonitrile memberikan kontribusi pada heat resistance,strength
dan chemical resistance
 Butadiene memberikan higher impact strength, toughness, low
T°property retention, flexibility.
 Styrene berkontribusi pada rigidity, glossy finish dan kemudahan
prosesing.
 Ukuran partikel dan distribusinya akan berpengaruh pada sifat fisik
dan mekanik. Rata-rata ukuran partikel akan mengontrol sifat impact,
melt visco dan parameter penampilan (gloss, opasitas, kemampuan
pewarnaan)
ABS terpolymer
 kelemahan ABS meliputiopasitas, lemahnya
ketahanan cuaca dan flame resistance.
 Fire retardant dapat ditambahkan untuk
memperbaikinya atau dengan blending dengan
PVC dengan catatan kemudahannya dalam
proses akan menurun.
 ABS memiliki sifat insulasi elektrik yang
baik.dan penerimaan additive, filler dan
reinforcing agent yang baik.
 Karakteristik proses
Range T° proses: 198 – 227°C (390 – 440°F)
Feed : 187 – 193°C (370 – 380°F)
Transition : 193 – 221°C (380 – 430°F)
Metering : 193 – 221°C (380 – 430°F)
Head : 193 – 221°C (380 – 430°F)
Catatan: PC bersifat higroskopis sehingga membutuhkan pengeringan
pada suhu 76.7 – 82.2°C (170 – 180°F) selama 4-12 jam
Regrind ratio s/d 100%. Regrind material harus dikeringkan sebelum
digunakan.
Die swell: 1.5 : 1 tergantung pada kecepatan ekstrusi dan head design.
Blow up ratio: 1.5-2:1tergantung pada disain produk .
Hang strength: baik dibandingkan dengan kebanyakan resin. Tergantung pada
T° melt, distribusi berat parison dan paket additive.
Shrinkage: 0.127 – 0.203 mm/m
Residence time: pada T° tinggi akan dihasilkan asap. Material bertahan stabil
hanya dalam waktu singkat. Penurunan suhu ke 121°C (250°F) akan
mengurangi degradasi jika shot weight minimal 80% dari kapasitas head.
T° mold cooling: 23.9° -29.4°C (75 – 185°F). T°↑ menghasilkan reproduksi
tekstur dan parting line weld strength yang lebih baik. Produk desain akan
membutuhkan pengaturan suhu mold halves yang berbeda karena variasi tebal
dinding akibat konfigurasi produk.
SAN Copolymer
 Dapat disintesa melalui polimerisasi suspensi, emulsi
atau bulk.
 Kandungan acrylonitrile berkisar 20-30%
 SAN merupakan linier-amorphous material yang
memiliki ketahanan panas yang lebih baik daripada
PS murni.
 Polimer bersifat transparan, tetapi akan menjadi
kuning dengan peningkatan kandungan acrylonitrile.
 Seperti ABS, material membutuhkan pengeringan
sebelum proses.
Polystyrene
 Disintesa melalui mekanisme polimerisasi radikal bebas, umumnya
berstruktur atactic.
 Terdapat dua tipe PS:
 GPPS (general purpose PS), polimer styrene sederhana, getas,
transparan, non-crystalline dengan Tg 100°C
 HIPS (high impact PS), polimer styrene dengan penambahan
komponen rubber (gel) menghasilkan polimer yang liat
 Dengan memanfaatkan Ziegler-Natta catalyst dan kombinasinya dengan
MAO (methylalumoxane) dihasilkan iPS dan sPS, yang memiliki Tm yang
tinggi (238-241°C iPS dan 270-275°C sPS), bersifat crystalline, memiliki
ketahanan panas yang tinggi, chemical resistance, water / steam resistance;
selain memiliki karakter seperti pada aPS /GPPS.
 Berbagai metode proses polimer spt IM dan sheet forming dapat digunakan
dengan cara yang sama seperti thermoplastik yang lain.
 Kekuatan mekanis sPS dapat diperbaiki dengan orientasi biaxial
sebagaimana polimer crysalline lainnya.
Polystyrene
 Karakter PS:
 Transparan
 BD rendah
 Relative high modulus
 Excellent electrical properties
 Low cost
 Kemudahan dalam proses
 Brittle
 Ultimate elongation hanya 2-3%
 Low shrinkage: 0.004-0.005 mm/mm
 High dimensional stability
Resin dan Karakteristik
Polyethylene
Terephtalate
General properties
 CSD High-barrier container
 High Tm, moderate Sp, Tg: 80°C
 High strength film
 High clarity amorphous state, colorless
 Crystallisable
 Excellent strength, good creep resistance
(crystallised), excellent chemical resistance
 Excellent Gas barrier packaging for sensitive
foodstuffs
 Worldwide food approval
 Low taint
Polimerisasi dan Proses
Pembuatan
 Dikenal juga sebagai poly(oxyethylene
oxyterephthaloyl). Merupakan material hasil
polimerisasi kondensasi dari asam terepthalate dan
MEG, dengan reaksi
 nHOOCC6H4COOH + (n+1)HOCH2CH2OH
HOCH2CH2O(OCC6H4COOHCH2CH2O)nH
 Terdapat tiga jalur reaksi yang bisa digunakan:
 ester interchange dimethylterephtalate & MEG
 Direct esterification terephtalic acid & MEG
 Reaction of EO-PTA oligomeric precursor & MEG
 Sintesa melalui proses ester interchange dengan
perbanidngan ester : MEG = 1:2, menggunakan katalis
metal alkanoate (mis. Mn, Co, Zn, Ca acetate),dengan
heat stabilizer: phosphorous compound (mis. Phosphoric
acid), A.O. phosphate pada suhu awal 160°C pada tahap
satu, naik ke 230°C pada tahap dua.
 Metode esterifikasi langsung dari asam dan glikol
berlangsung tanpa / dengan penggunaan katalis (metal
alkoksida dr Ti, Pb dan antimony pada range suhu reaksi:
260-290°C pada kondisi vakum (< 2-5 mbar), dengan
perbandingan MEG:PTA = 1.2:1
 Secara umum, PET yang dibuat dari esterifikasi langsung
asam terephthalat mengandung lebih banyak diethylene
glycol yang akan menurunkan kekuatan mekanis dan Tm
juga ketahanan thd oksidasi karena panas dan stabilitas
thd UV.
 Dari sisi proses terdapat metode yang digunakan: Melt
process dengan kandungan acetaldehyde < 50 ppm dan
solid state polimerisation (SSP) yang menggunakan
polimer precursor yang dihasilkan dari melt process,
menghasilkan PET dengan kandungan acetaldehyde yang
jauh lebih rendah (<2 ppm).
 Derajad kristalisasi dan arah axis crystallite
mengatur keseluruhan sifat fisik resin.
 Kadar crystalline yang terkandung ditentukan
dari BD resin menggunakan DSC. Amorphous PET
memiliki BD 1.333 g/cm³, PET kristal 1.455
g/cm³.
 Dengan tidak adanya nucleating agent dan
plasticizer, PET mengkristal dengan sangat
lambat. Kristalisasi dapat diinduksi secara
mekanis. Penempatan ester yang terikat secara
langsung pada komponen aromatik dari rantai
utama memiliki arti bahwa PET dengan rantai
reguler lurusnya memiliki kelenturan cukup untuk
membentuk kristal yang diinduksi melalui stress
dan mencapai orientasi molekuler yang cukup
untuk membentuk film yang kuat dan stabil thd
panas.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Struktur
 PET bisa memiliki bentuk amorphous dan crystalline,
tergantung dari struktur molekul dan thermal hystory yang
dimilikinya.
 Struktur PET didasarkan pada pengulangan unit
monooxyethylene terephtalate.
 Kombinasi dari unit terephtaloyl yang aromatik dan
ethylene glycol yang alifatik menentukan sifat uniknya.
 unit aromatik dalam kombinasinya dengan kontribusi dari
ikatan hidrogen antara carbonyl oxygen dan grup hidrogen
dari ethylene menghasilkan molekul dengan rigiditas yang
baik dan modulus tinggi.
 grup carboxyl pada ikatan C-C ethylene dapat menempati
konformasi sis atau trans. Pada posisi amorphous, molekul
lebih banyak dalam bentuk sis, yang pada saat kristalisasi
molekul akan bertransformasi ke konfigurasi trans. Molekul
polyester juga dapat mengambil konfigurasi trans saat
diorientasikan.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Morfologi
Strength, durability, cohesion, gas barrier, heat setting
diasosiasikan dengan area crystalline.
Area non crystalline bertanggung jawab pada extensibility,
recovery, toughness dan difusi.
Arrangement yang dikehendaki adalah molekul pada komposisi
dimana energi bebasnya minimum.
status energi bebas pada suhu tinggi, dimana mobilitas molekular
terlalu tinggi untuk melakukan ikatan intermolekular yang efektif,
adalah pada posisi amorphous.
Pada suhu yang lebih rendah, molekul menjadi kurang mobile dan
perapatan area yang berdekatan dari berbagai molekul terjadi
untuk meminimalkan energi bebas.
Area amorphous bisa menjadi pelemah sifat dari struktur
crystalline (misal: creep dan barrier) akibat adanya dislokasi.
Injection moulded articles (spt mis. Preform) pada dasarnya
bersifat amorphous.Peningkatan stress akan mengembangkan
level orientasi secara nyata sejajar dengan arah stretching yang
memberikan kontribusi pada kekuatan artikel.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Pada stretch ratio yang lebih tinggi,
pergerakan rantai memberikan
kontribusi pada pemanasan lokal dan
terjadi kristalisasi tambahan. Kristal
ini dapat meningkatkan kestabilan
panas ke dalam sistem dan akan
mempengaruhi derajad shrinkage
yang terjadi pada suhu yang lebih
tinggi, namun demikian level
kristalisasi tidak cukup memberikan
stabilitas dimensi di atas Tg.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Orientasi
Dalam prakteknya, stretching
performance PET tergantung dari:
Temperatur
BM
Strain rate
Kristalisasi
Kelembaban
Type dan komposisi co-polimer
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Orientasi
 Pada suhu rendah, stress meningkat tajam sampai ke yield
point dan kemudian turun kembali sejalan terbentuknya
molekul polyester. Dibawah kondisi ini, kerja yang terlibat
perentangan molekul menimbulkan panas dan peningkatan
suhu pada yield point, menyebabkan penipisan lokal dan
tarikan yang tidak seragam.
 Sejalan dengan peningkatan suhu ke kisaran Tg, hasil yang
lebih seragam dan terkontrol dapat diperoleh.
 Pada level strain yang lebih tinggi, stress meningkat tajam
kembali.
 Untuk menghasilkan baik kekuatan maupun kekerasan
(modulus) sebagaimana dibutuhkan di aplikasi botol,
dibutuhkan pengembangan derajad pengerasan (hardening
/ high orientation) pada saat stretching. Dengan
meningkatnya suhu diatas 110°C, molekul akan mengalir
dengan cepat dan makin tinggi stretch yang dibutuhkan
untuk mencapai strain hardening.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Rendahnya strain hardening direfleksikan dari nilai TS<,
ekstensibilitas>, penyusutan<.
Kondisi proses optimum untuk homopolimer: 85-105°C.
kondisi ini akan berubah jika Tgnya berubah akibat
copolimerisasi.
BM juga memiliki pengaruh yang nyata pada karakter
stretching. Libatan molekular diasosiasikan dengan makin
tingginya BM resin  pengaruh restraining pada molekul.
Makin tinggi BM  makin tinggi stress yield point, strain
hardening terjadi pada stretch rasio yang lebih rendah.
Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk mengontrol
BM dalam spesifikasi yang ketat.
Makin tinggi strain rate terlihat dengan peningkatan yang
nyata suhu pada strain hardening dan lebih tingginya level
crystallinity produk.
 crystallinity ↑  stretch rasio   brittle & rigid product.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Air merupakan plasticiser yang baik untuk PET dan akan
menurunkan Tg cukup efektif.
Pada RH↑ (> 90%), Tg akan turun beberapa s/d 20°C.
Level kelembaban pada amorphous resin pada saat stretching akan
sangat mempengaruhi sifat produk yang dibentuk. Hasil
pengaruhnya mirip seperti melakukan stretching pada suhu lebih
tinggi; molekul akan menjadi lebih mobile pada suhu yang lebih
rendah dan resin akan cenderung mengalir daripada strain harden
pada stretch rasio yang dirancang.
Pengaruh co-polimerisasi tergantung pada tipe additive dan jumlah
penambahannya.
Alifatik, glikol dengan rantai yang lebih panjang atau aliphatic
diacid cenderung akan menurunkan Tg dan oleh karenanya beraksi
sebagai plasticiser.
Aromatik, pengaruhnya tergantung pada struktur molekulnya.
Naphtalene 2,6 dicarboxylic acid akan meningkatkan rigidity  Tg↑
 mobilitas turun  T°↑ untuk stretching. Isophtalic acid, yang
beraksi sebagai pengacak rantai menyebabkan kristalisasi dan
strain hardening terhambat setelah stretching  molekul memiliki
lebih banyak kebebasan dalam mengalir dibutuhkan stretch rasio
yang lebih tinggi untuk mendapatkan sifat fisik yang baik.
Creep
 Creep merupakan karakter penting pada polimer
yang mendapatkan stress dan strain secara
kontinue seperti pada kasus pressurised
containers.
 Oriented PET cukup tahan thd creep pada suhu
rendah. Pada suhu mencapai Tg kebutuhan akan
creep (elongation/ tensile stress) meningkat
tajam sejalan dengan turunnya modulus dan
molekul lebih bebas bergerak.
 Creep diasosiasikan dengan pergerakan molekul
dalam fasa amorphous, dan peningkatan level
kristalisasi dan/atau orientasi dapat mereduksi
level pergerakan secara nyata
BM & IV
 BM dan DBM merupakan sifat dasar yang menentukan aplikasi
penggunaan resin.
 Bm dikarakteristikkan dari pengukuran IV dari larutan resin dalam
solvent: ortho-phenol, hexafluoroisopropanol, 60:40
phenol:tetrachloroethane, meta-cresol, trichloroacetic acid,
trifluoroacetic acid, 25:75 ortho-phenol:chloroform
 DBM resin akan mempengaruhi sifat prosesingnya.
 Rantai pendek resin akan mengatur sifat TS, Impact, kristalisasi.
 Mid range molekul akan mempengaruhi IV dan low shear melt flow
 rantai panjang molekul berpengaruh pada elastisitas cair, sifat
stretching pada strain hardening dan delaminasi polimer.
 Pemahaman DBM didapat dengan teknik HPLC-GPC menggunakan
ortho-phenol sebagai solvent.
 Linear PET memiliki Pd (Mw/Mn): 2.3-2.7, sedangkan branched
PET: >3-5, tergantung dari derajad dan tipe percabangan.
 Cyclic trimer juga biasa terdapat dalam resin. Dalam melt proses
nilai kesetimbangannya ± 1.2% w/w, dengan kandungan cyclic
yang lebih tinggi < 0.5% w/w.
BM & IV
 Dengan SSP, kristalinitas yang tinggi dan masa tinggal
yang lama menurunkan secara nyata kandungan cyclic
trimer.
 Pada prosesing, level trimer akan kembali meningkat dan
mencapai nilai kesetimbangan: 0.3-0.5% w/w, terutama
bila waktu tinggal saat leleh lama.
 Cyclic trimer memiliki Tm ± 319°C dan tidak volatil,
ditemukan sebagai deposit pada mould.
End Group
 PET memiliki hydroxyl dan carboxyl end group.
 Pemahaman dan kontrol kesetmbangan end group
sangat penting dalam mengontrol proses pembuatan,
terutama SSP, dan prosesing produknya.
 Carboxyl end diketahui mengkatalisa baik reaksi
polimerisasi maupun hidrolisis. Pada Melt Process
dikontrol pada range 30-40% sedangkan di SSP: 25-
35%.
 Carboxyl end group dapat mengkatalisa reaksi hidrolisis
pada suhu diatas Tg.
 Penggunaan recycled material akan meningkatkan
kandungan carboxyl group yang akan menghasilkan
deposit di mould  membuat cacat pada permukaan
produk dan kelemahan pada dinding produk.
 Namun demikian, carboxyl end memberikan keuntungan
pada nukleasi dan kristalisasi dengan adanya metal ion.
Sifat Thermal
 Sifat thermal penting: Tg, Tc dan Tm.
 Resin amorphous memiliki Tg ± 80°C dengan max. Tc:
160°C dan puncak Tm ±250°C.
 Resin crystalline SSP tidak memiliki Tg dan Tc dengan
puncak Tm ± 248°C. Peningkatan derajad kristalinitas
meningkatkan Tm >260-300°C yang menyebabkan
makin sulitnya proses moulding.
 Instrument yang digunakan dalam pengamatan sifat
thermal: DSC dan DMA.
 Tipe dan jumlah copolimer yang digunakan akan
berpengaruh terhadap penurunan Tm ± 2.3°C/mole co-.
 Alifatik co-, seperti misalnya DEG, PEG dan asam adipat
akan menurunkan Tg kristalisasi < 100°C dan
meningkatkan flexibilitas. Nmn dmk, CHDM (yang lebih
rigid) sedikit pengaruhnya terhadap Tg.
Sifat Thermal
 Aromatik co-, IPA hanya sedikit pengaruhnya pada Tg
sedangkan diacid dari molekul aromatik yang lebih rigid spt.
Misalnya naphtalene 2.6 dicarboxylic acid akan meningkatkan
Tg  kristalisasi > 100°C.
 Copolimer juga akan berpengaruh terhadap karakter
kristalisasi. PU penambahan copolimer akan menghambat
kristalisasi. Penambahan additive spt branching agent akan
menambah stress selama pendinginan dapat mempertahankan
rate kristalisasi.
 Dalam proses pemanasan dari glassy state, kecepatan
kristalisasi juga dipengaruhi oleh tingkat stress yang mungkin
timbul dalam sample selama pendinginan.
 Perhatian penuh harus diberikan untuk menjamin bebasnya
sample dari stress.
 Kadar air dan carbonyl ends dapat secara nyata
mempengaruhi hasil produksi. oleh karenanya menjadi hal
yang sangat penting untuk mengetahui kadarnya sebelum
proses.
Rheology
Melt Viscosity
 Melt visco dan sifat alir polimer dalam kondisi
cair merupakan faktor yang penting baik dalam
polimerisasi maupun dalam prosesing.
 Polyester memiliki karakter viscoelastic dan
viskositasnya bergantung pada waktu, suhu,
shear rate, BM-IV, percabangan dan copolimer
yang ada. Efek ini dapat diamati dari karakter
die swell dari polimer yang diekstrusi.
 Melt visco diukur dengan instrument: capillary
rheometer, setelah melewati pengeringan
material untuk menekan degradasi hidrolitik.
Rheology
Melt flow
 Karakter Melt flow dari berbagai jenis PET akan mengatur cara
prosesnya yang benar.
 Dalam extruder, derajad back mixing sepanjang screw barrel dan
keseragaman dari produk ditekan melewati manifold, terutama pada
setiap line splits yang ada, dan hot runner systemnya diatur oleh
sifat elastic polimer.
 Produk yang menempel ke dinding dapat memiliki waktu tinggal
yang sangat lama dan dapat terjadi reaksi degradasi yang akan
memberikan efek yang buruk pada produk yang dihasilkan.
 Shear heating yang berlebihan dalam line ekstrusi dapat ditekan
dengan mengatur dimensi lini untuk mengakomodasi pengaruh dan
keuntungan dari shear viscosity.
 Untuk meningkatkan konsistensi dan mengontrol efek degradasi, spt
mis. Pembentukan acetaldehyde, static mixer dapat digabungkan ke
dalam manifold.
 Dalam aplikasi injection molding, mouldability tergantung baik pada
sifat polimer, spt mis. Kecenderungan dinamik kristalisasi, dan
kondisi proses.
Rheology
 Karakter rheology dan thermal polimer sebagaimana geometri,
suhu dan kondisi tekanan merupakan hal yang sangat penting.
 Sifat flow polimer bergantung tidak hanya pada karakter visco
saat meleleh tetapi juga pada karakter bekuannya saat
pendinginan.
 Test yang banyak digunakan untuk mengetahui mouldability
adalah spiral flow test
 Karakter flow sangat peka terhadap melt visco dan dipengaruhi
oleh tekanan, suhu mold dan BM.
 Kecepatan injeksi dan suhu melt merupakan dua hal yang
berpengaruh terhadap panjang aliran. Panjang aliran akan
meningkat dengan naiknya kecepatan injeksi yang diakibatkan
dari kecepatan shear dalam nozzle yang lebih besar  relative
visco turun. Juga memungkinkan cairan memiliki patron aliran
yang lebih luas dalam cavity akibat pemadatan kulit luar
material disisi permukaan mold yang lebih tipis.
Rheology
Moulding shrinkage
 Istilah shrinkage dibagi menjadi:
 moulding shrinkge, yang merupakan perbedaan dimensi mould cavity
pada 23±2°C dan produk, 24 jam setelah pencetakan.
 Post moulding shrinkage, yang merupakan penyusutan lanjutan yang
dapat terjadi jika produk diekspose pada kondisi lingkungan yang
berubah (RH & T°).
 Pemilihan yang tepat kondisi proses: T°m, T°mold, tekanan injeksi
dan holding pressure & time akan berpengaruh terhadap
penyusutan
 Amorphous PET memiliki penyusutan linier ± 0.45% dan post
mould shrinkage dibawah 50°C dapat diabaikan.
 Crystalline PET, density dan shrinkagenya akan berubah tergantung
pada level crystallinity yang ada, yang tergantung pada keberadaan
dan efektivitas nucleating agent yang ditambahkan, sebagaimana
juga sejarah thermal pada saat cair. Direkomendasikan untuk
memperhitungkan toleransi saat pembuatan mold untuk
mengantisipasi perubahan minor terhadap dimensi mold diikuti
dengan trial awal sebelum pembuatan mold selesai.
Serapan kelembaban dan pengeringan
Kadar air
 PET polimer memiliki karakter sangat
higroskopis dan akan menyerap air secara
cepat sampai ke tingkat jenuh. Jumlah air
yang diserap tergantung pada kondisi
lingkungan dan tingkat kristalinitas.
 Tingkat kandungan air pada amorphous PET
ditemukan proporsional thd tekanan uap air.
 Tingkat kristalinitas akan menurunkan level
kadar air yang diserap, proporsional
terhadap volume fraksi amorphous pada
suhu konstan.
Serapan kelembaban dan pengeringan
Pengeringan
 Untuk mereduksi derajad hidrolisa akibat kandungan
airnya, sangat dibutuhkan proses pengeringan untuk
mencapai level kelembaban dibawah 25-40 ppm sebelum
proses.
 Pengeringan yang efektif direkomendasi pada suhu 140-
180°C selama 4-6 jam dibawah kondisi vakum atau
dehumidified air dengan dew point <-40 s/d -60°C (untuk
IV tinggi). Pada suhu >180°C akan menyebabkan
terjadinya reaksi degradasi yang menyebabkan
pembentukan warna, terutama bila digunakan regrind atau
copolimer yang tidak stabil pada T°tinggi spt poliglikol.
 PET dengan tingkat amorphous tinggi spt. PETG harus
dikeringkan pada suhu sekitar Tg selama > 24 jam. Harus
diperhatikan bahwa material tidak terlalu tinggi suhunya
sebelum masuk ke zona metering, jika tidak perlengketan
akan terjadi baik antara pellet dan permukaan yang panas
maupun antar pellet itu sendiri.
Kesetimbangan m.c. amorphous resin

1
0.9
0.8
equilibrium m.c. (%)

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
% RH
Reaksi Degradasi
Degradasi thermal
 Terdapat dua mekanisme reaksi yang diduga terlibat dalam
reaksi degradasi thermal:
 diinisiasi dari ujung rantai
 Pemutusan rantai secara random pada ikatan ester
Kedua mekanisme tsb melibatkan perubahan pada methylene
grup
 Kedua mekanisme tersebut akan menghasilkan
acetaldehyde sebagai produk degradasi yang utama lewat
pembentukan intermediate vinyl end, ditemukan baik pada
produk hasil melt proses maupun SSP.
 Produk intermediate vinyl end akan membebaskan
acetaldehyde lewat reaksi baik dengan melibatkan hydroxyl
end dan/atau kelembaban.
 Pembentukan produk gas lain bisa terjadi selama kondisi
degradasi yang ekstrim. Keberadaan copolimer spt DEG
dan PEG akan memperparah kondisi.
Reaksi Degradasi
Reaksi inisiasi ujung
~OOCC6H4COOCH2CH2OH 
~OOCC6H4COOCH=CH2 + H2O
 ~OOCC6H4COOH + CH3CHO

Reaksi pemutusan ikatan ester


2 ~OOCC6H4COOCH2CH2OH 
~OOCC6H4COOOCC6H4COO~ +
HOCH2CH2OCH2CH2OH 
CH2=CHOCH2CH2OH + H2O 2CH3CHO
Reaksi Degradasi
Degradasi thermal-oxidative
 Melibatkan mekanisme pembentukan radikal bebas
dan merupakan reaksi degradasi yang agresif.
 Oksigen bereaksi dengan gugus methylene
membentuk peroxide yang kemudian mengawali
reaksi radikal bebas.
 Pada kadar oksigen serendah < 50 ppm sudah
mampu membentuk gas (CH3CHO, CO, CO2)
sebagaimana dihasilkan dari reaksi degradasi thermal
ekstrim.
 Nmn dmk, bisa juga terjadi radikal hydroxy yang
terbentuk bereaksi dengan phenylene entity dari 2
hydroxyterephtalic acid, menghasilkan peningkatan
fluoresensi dan warna. Juga menjadi indikasi, pada T°
yang lebih tinggi, suatu radikal phenylene dibentuk
darimana by product 2,4’,5 biphenyl tricarboxylic acid
diproduksi.
Reaksi Degradasi
Degradasi akibat lingkungan
 PET polimer peka terhadap degradasi
karena UV saat dibiarkan tidak terlindung
dari lingkungan luar.
 Kombinasi dari UV, kelembaban dan udara
dapat menyebabkan penurunan yang
parah pada tensile properties-nya dengan
periode waktu yang relatif singkat,
tergantung pada kondisi lingkungan,
menyebabkan produk menjadi lemah dan
getas. Oleh karenanya direkomendasikan
adanya penambahan UV absorber /
stabilizer
Karakter pemanasan ulang
proses lanjutan dari preform PET tergantung pada kemampuannya
untuk dipanaskan kembali dengan baik, diatas Tg tanpa terjadinya
kristalisasi prematur.
Media pemanas yang baik adalah radiasi infra merah.
PET adalah penyerap radiasi infra merah yang kuat pada
gelombang menengah dan panjang. Absorpsinya yang kuat
memungkinkan polyester resin dipanaskan dengan sempurna.
Nmn dmk, untuk produk yang memiliki dinding tebal, absorpsinya
yang kuat akan menghalangi penetrasinya kedalam core dan
pemanasan akan terlokalisasi di lapisan permukaan.
Oleh karenanya penting untuk mengontrol suhu pada permukaan
dengan menggunakan udara dan mengatur waktu pemanasan
sehingga memungkinkan core sampai pada suhu yang dibutuhkan
untuk stretching dengan kombinasi dari radiasi infra merah dan
konduksi.
Di teknologi blowing botol, aplikasi pemanasan menggunakan
panjang gelombang radiasi pendek (near infra red) dengan
memanfaatkan pemanas quartz yang memiliki daya tembus yang
efektif ke dalam dinding preform yang tebal.
Produsen resin menambahkan near infrared heat absorbers yang
sangat efektif untuk meningkatkan efisiensi pemanasan resin.
Gas Barrier Properties
Permeabilitas dari simple gas spt: He, N2, O2, Ar pada
glassy polymer tergantung pada kelarutan dan difusinya
pada matrix polimer.
Kelarutan gas sensitive terhadap struktur kimia polimer.
Difusi gas tergantung pada pergerakan molekul dalam
matrix polimer.
Untuk PET, fungsi permeabilitas gas s.d.a. tidak
bergantung pada tekanan gas. Sebaliknya untuk gas CO2
permeabilitasnya memperlihatkan ketergantungan pada
tekanan gas.
Kristalinitas dan orientasi berpengaruh terhadap penurunan
level amorphous material yang tersedia untuk berjalannya
difusi  struktur yang sangat teratur akan menghalangi
pergerakan molekul dan meningkatkan rata-rata panjang
jalur yang harus dilewati gas.
Secara umum, diasumsikan bahwa area crystalline
merupakan penghalang yang sempurna thd aliran gas.
Gas Barrier Properties
Selain dari kontribusi morfologi, sifat barrier juga
dipengaruhi oleh struktur kimia dan additives yang
dapat menciptakan lebih banyaknya liku-liku alur pada
matrix polimer.
Copolimer yang dapat meningkatkan energi kohesif
antar rantai molekul, spt mis asam chloroterephtalat
dan asam hydroterephtalat, meningkatkan gas
barrier; sedangkan CHDM menurunkan barrier.
Copolimer IPA, yang dapat mempengaruhi kebebasan
pergerakan molekul disekitar gugus aromatik
paraphenylene, sebagaimana molekul naphtalene 2,6
dicarboxylic acid, yang meningkatkan ketegaran
rantai, memberikan pengaruh yang positif.
Penambahan additives yang akan mempengaruhi
mobilitas rantai molekul, juga akan berpengaruh
secara positif atau negatif, tergantung pada
pengaruhnya pada rantai molekul.
Gas Barrier Properties
Plasticizer  menurunkan gas barrier, terutama
pada konsentrasi tinggi.
Hal yang menarik, penambahan sejumlah kecil
‘air’ pada awalnya akan memperbaiki gas barrier,
diduga lewat peningkatan ikatan kohesi antar
rantai molekul.
Sebaliknya , penambahan antiplasticizer, spt
tetrachlorophtalic dimethyl ester, dimethy l
naphtalate dan dimethyl terephtalate, dapat
memiliki pengaruh yang sangat positif.
Metode lain untuk meningkatkan sifat gas barrier
meliputi penambahan resin lain yang memiliki
sifat gas barrier tinggi, spt MXD.6,
polyesteramide dan modified PVA, penambahan
clay dan LCP, penggunaan spesifik scavenger.
Klasifikasi Polyester
Amorphous polyesters:
homopolymers
low copolymers
medium copolymers
high copolymers
Crystalline polymer
Polymer blends
Klasifikasi Polyester
Homopolymers
Istilah homopolimer adalah klasifikasi yang sedikit
menyimpang karena seluruh polimer akan mengandung
comonomer DEG dengan jumlah yang cukup nyata, shg
seharusnya disebut copolimer.
Homopolymer adalah formulasi mayor yang digunakan
aplikasi fiber dan aplikasi packaging dari awal.
Diawal perkembangan PET dengan proses ISBM, resin
dibuat dari proses SSP dengan IV ± 0.75 dan digunakan
secara sukses untuk pembuatan botol two-piece CSD, yang
memiliki sifat tensile yang sangat baik, dmk juga karakter
barrier CO2-nya.
Meskipun dalam perkembangannya digantikan oleh
formulasi copolimer dalam pembuatan one piece bottle,
polimer ini masih digunakan untuk container khusus, spt
peanut butter jars. Pada aplikasi ini dibutuhkan clarity dan
kemampuan untuk mempertahankan integritasnya selama
vacuum filling. Resin ini juga digunakan dalam pembuatan
pelat nomor kendaraan.
Klasifikasi Polyester
Homopolymers
Agar bisa digunakan dengan baik untuk aplikasi sda, BM harus
disesuaikan dengan karakteristik aliran mold, sebagaimana
ditentukan dalam spiral mold test.
Produsen resin telah mengembangkan satu pemahaman thd
cleaner catalyst systems yang tidak menyebabkan stress
crystallisation, dan digunakan untuk membuat grade polimer yang
memberikan integritas baik dan high clarity pada produk yang
dihasilkan.
Homopolimer juga merupakan resin yang paling dipilih untuk
aplikasi heat setting & hot fill. Pada aplikasi ini pemilihan diatur
oleh ketebalan dari moulding awal. Nmn dmk, untuk ketebalan
lenih dari 4 mm, penggunaan copolimer dianjurkan untuk
mereduksi kecenderungan terjadinya stress crystallisation saat
moulding.
BM ↑ (IV>1), termasuk adanya sedikit percabangan, berhasil
digunakan dalam aplikasi EBM. Melt visco resin ini sangat peka
terhadap shear rate, sehingga memungkinkan kondisi mild
extrusion (high shear) dan high melt strength post-die (low
shear). Sangat penting untuk menjaga IV>1 untuk mereduksi sag
berlebihan dalam parison saat moulding.
Klasifikasi Polyester
Low Copolymers
memiliki segmen pasar terbesar , termasuk didalamnya
aplikasi ISBM CSD dan mineral water bottle.
Untuk mengakomodasi pergeseran dalam desain botol,
dasar botol dibuat shg mampu menahan tekanan tinggi,
disamping untuk menjaga bentuk dan integritas dibawah
tekanan dalam waktu yang lama; oleh karenanya proses IM
dan BM dikontrol untuk menghasilkan preform dan botol
yang bebas stress.
Kandungan copolimer yang digunakan berkisar 1-2.5%
w/w, tergantung pada tipe copolimer yang ditambahkan
dan formulanya secara keseluruhan sebagaimana didesain
secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan customer.
Polimer yang paling banyak digunakan adalah CHDM atau
IPA, dibuat melalui proses SSP dengan IV: 0.82-0.84.
IV lebih tinggi digunakan untuk mempertahankan BM saat
kondisi lingkungan tidak mendukung, spt kondisi terlalu
panas dan lembab.
Klasifikasi Polyester
Low Copolymers
Selama proses pemanasan ulang sebelum proses blow,
preform dipanaskan dengan pemanas infra merah quartz ke
suhu ± 10°C > Tg.
Adalah hal yang rentan untuk mendapatkan profil suhu yang
seragam melewati dinding yang menjamin meratanya
stretching yang terjadi selama blowing shg memberikan
orientasi maximum dan low creep properties pada dinding;
juga bhw resin mengalir secara seragam ke dasar tanpa
menyebabkan terbentuknya area dengan tingkat stress
tinggi.
Untuk mempertahankan kecepatan pemanasan dan
mencapai keseragaman suhu yang lebih baik, produsen
menambahkan near infrared absorbers spesifik dalam
formulasinya.
Absorber ini memungkinkan preform dengan dinding yang
lebih tebal (> 4 mm) dapat digunakan dan memberikan
desain botol lebih bebas.
Absorber yang biasa digunakan adalah partikel metalik
dan/atau carbon black dengan ukuran kecil, dalam ppm.
Klasifikasi Polyester
Low Copolymers
Resin dengan acetaldehyde rendah dibutuhkan dalam
pembuatan kemasan untuk bahan makanan yang peka. Resin
tsb. Dibuat dibawah kondisi yang memungkinkan pembuangan
vinyl end precursor selama proses SSP dan biasanya juga
mengandung stabiliser.
Untuk memperoleh kandungan acetaldehyde yang rendah
dalam botol, maka diperlukan perlakuan pengeringan yang baik
dan diterapkan kondisi mild extrusion. Juga penting untuk
memperhatikan profil suhu dan karakteristik flow dalam sistem
hot runner, karena hal tsb akan mengkontribusi terhadap
terjadinya variasi kandungan acetaldehyde dalam preform.
Penggunaan static mixer dalam IM manifold dapat mereduksi
derajad variasi. Penambahan copolimer dapat secara nyata
berpengaruh pada karakteristik stretching dan kondisi blowing
harus diatur mengikutinya
Untuk membuat wadah dengan dinding tebal, digunakan resin
dengan kandungan copolimer yang lebih tinggi: 2.3-3.0% w/w,
tergantung pada additives yang digunakan dan formulasi
keseluruhan.
Klasifikasi Polyester
Low Copolymers
Copolimer yang banyak digunakan adalah CHDM dan IPA.
Formulasi resin juga harus memproduksi botol yang kuat
untuk perlakuan berulang pencucian dengan NaOH pada
suhu 60°C, paling tidak 20 kali. untuk bertahan tanpa
kehilangan integritas dan ESCR, penentuan ketebalan
dinding dasar yang cukup dan menghindari terbentuknya
area dengan stress tinggi menjadi hal yang kritis.
Hal yang penting adalah bhw desain produk menjamin bhw
seluruh sudut tajam dibuat lengkung, IV dipertahankan 0.8
dan kadar acetaldehyde dipertahankan rendah.
Untuk mencapai hal sda maka kondisi pengeringan diset
untuk mencapai kandungan air < 10 ppm dan mild
condition digunakan baik pada extruder dan manifold/hot
runner system.
Untuk aplikasi yang membutuhkan suhu pencucian lebih
tinggi (70°C), dibutuhkan tingkat setting panas yang lebih
tinggi atau additives spt naphtalene 2,6 dicarboxylic acid
digunakan untuk mempertahankan Tg.
Klasifikasi Polyester
Low Copolymers
Penggunaan copolimer akan mereduksi kecepatan
kristalisasi selama pendinginan dan memungkinkan
pembuatan dinding yang tebal > 5 mm. IV harus
dipertahankan 0.8 untuk memberikan melt strength dan
dukungan yang cukup selama ekstrusi.
Spiral test data dalam kombinasinya dengan dimensi mold
dan rute injeksi akan memberikan indikasi yang baik dari
ketepatan penggunaan resin.
Klasifikasi Polyester
Medium Copolymers
Memiliki range additives 4.5-13%.
Memiliki kecenderungan kristalisasi lebih rendah dan lebih
sulit diproses pada SSP maupun pengeringan untuk
membentuk amorphous state.
Memiliki keuntungan spesifik dibandingkan standard resin,
tergantung pada copolimer yang digunakan, a.l.:
 Meningkatkan gas barrier
 Meningkatkan / menurunkan Tg sesuai kebutuhan
 Memperlambat kristalisasi
 Meningkatkan kepekaan shear
 High clarity- thick wall product
Baik IPA dan naphtalene 2,6 dicarboxylic acid
memperlihatkan efek positif pada sifat gas barrier,
sedangkan 2,6 naphtalene dicarboxylic acid sendiri juag
menunjukkan peningkatan Tg.
DEG, PEG dan aliphatic diacids (mis. Adipic acid) Tg, gas
barrier <.
Klasifikasi Polyester
Medium Copolymers
Copolimer yang paling efektif memperlambat kristalisasi,
meningkatkan kepekaan shear, terutama pada IV rendah: CHDM
dan IPA; digunakan sebagai polymer modifier di aplikasi IM.
Polimer dapat disesuaikan dengan kebutuhan aplikasi melalui
pengetahuan dataspiral test, kondisi IM, termasuk dimensi mold,
rute injeksi dan karakteristik produk.
High Copolymers
Yang paling dikenal adalah copolimer CHDM: PETG.
Mengandung ± 35% w/w copolimer.
Karena sifat amorphousnya, membutuhkan pengeringan hati-
hati pada suhu rendah (± 90°C) untuk waktu yang lama (± 24
jam) dengan kondisi vakum atau dengan menggunakan
dehumidified gas.
Copolimer lain spt naphtalene 2,6 dicarboxylic acid, IPA dan
CHDCA, digunakan untuk kebutuhan spesifik termasuk
peningkatan gas barrier, ↑Tg dan ↑ rigidity.
banyak digunakan sbg co-extrusion surface layer pada homo dan
low copolymer untuk memperbaiki melt adhesion & printing
Klasifikasi Polyester
Crystalline polymers
Kristalisasi tinggi dibutuhkan pada produk untuk memberikan
kestabilan dimensi dan rigidity pada suhu tinggi.
Nucleating agent yang tepat harus digunakan dalam polimer.
Tipe dan kandungan additives yang ditambahkan harus sesuai
dengan kebutuhan proses.Hal yang penting adalah bahwa
Nucleant yang digunakan tidak menyebabkan masalah selama
awal proses pendinginan; yang dapat mempengaruhi
integritas produk dengan terjadinya shear crystallisation
terlokalisasi dalam mold  kualitas rendah.
Tipe nucleant akan tergantung pada saat mana kristalisasi
terjadi, spt pada saat pendinginan dalam proses IM atau pada
saat reheating dalam forming process. Untuk proses yang
pertama, tipe nucleant-nya biasanya dari talc atau kation spt.
Ion sodium.
Pada kedua proses sda, additives dalam jumlah yang tepat
dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah inti yang cukup
untuk memberikan pengaruh yang bermanfaat pada
kecepatan kristalisasi, sebagaimana juga efisiensi dalam
dispersi nucleant ke ukuran optimumnya (± 1 µm).
Klasifikasi Polyester
Crystalline polymers
Untuk IM, level optimumnya ± 500 ppm sodium dan 0.2%
talc. Level tsb akan bervariasi tergantung pada formulasi
polimer dan percabangan yang mungkin ada.
Untuk mencapai level kristalisasi yang dibutuhkan, proses
moulding ditahan untuk waktu tertentu (20 s) dalam mold
panas pada ± 140°C.
Pada saat pendinginan (post mould), harus dilakukan
dengan hati-hati untuk memastikan tidak terbentuknya
stress areas yang dibekukan didalamnya.
Untuk Thermoforming, nucleant yang digunakan lebih
diarahkan untuk efektif pada pemanasan, menggunakan
crystalline polimer dengan MP rendah: PE dan PP pada
konsentrasi 1-3% w/w.
BM polimer memiliki pengaru yang sangat kuat pada
kecepatan kristalisasi, level additives harus dioptmasikan
untuk masing-masing IV.
Klasifikasi Polyester
Polymer Blends
Penambahan polimer dengan MP rendah dapat
meningkatkan kristalisasi, namun dmk juga ditemukan
adanya pembentukan voids dan orientasi yang terlokalisasi,
yang dapat meningkatkan impact propertiesnya.
Tipe elastic / rubbery polimer spt mis modified acrylic resin
pada level > 5% w/w dapat menyebabkan perbaikan yang
nyata pada impact properties.
Campuran yang dibuat dengan polimer yang memiliki sifat
barrier tinggi spt mis PVOH co- dan MXD.6 dapat
memberikan peningkatan sifat gas barrier.

Anda mungkin juga menyukai