Kompilasi literatur:
C. Lee, Norman.2000.Blow Molding, understanding. Carl Hanser Verlag. Munich.
C. Lee, Norman.1998. Blow Molding, Design Guide. Carl Hanser Verlag. Munich.
Rauwendaal, Chris. 1998. Extrusion, Understanding. Carl Hanser Verlag. Munich.
Harper, Charles A.2000. Modern Plastics Handbook. Mc Graw-Hill. New York.
Bryce, Douglas M. 1999. Plastic Injection Molding Vol. IV. Manufacturing Startup and
Management. Society of Manufacturing Engineers. Michigan.
CARA PEMBUATAN PLASTIK,
IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI
material plastik dibuat melalui proses
polimerisasi.
Dari sisi proses terdapat beberapa cara
polimerisasi:
Polimerisasi Adisi
o Polimerisasi Radikal Bebas
o Polimerisasi Induksi Katalis
Polimerisasi Kondensasi
Polimerisasi Kombinasi
Identifikasi konfigurasi polimer
Material yang memiliki TS tinggi dan elongasi yang baik (mis. PC dan
ABS) digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan impact, sedangkan
material dengan TS tinggi dan elongasi rendah akan bersifat getas
sehingga membutuhkan modifikasi yang akan cenderung menurunkan
TSnya.
Creep
Mengacu pada perubahan dimensi
material plastik secara perlahan saat
ditempatkan dibawah beban untuk
periode waktu yang lama.
Creep resistance merupakan sifat yang
penting untuk produk yang akan
menerima beban berat.
Suhu merupakan faktor penting yang
berpengaruh.
Parameter Dasar Polimer dan Pengaruhnya terhadap Sifat Produk
ESCR
Impact
Stiffness
Hardness
TS
Permeation
Warpage
Abrasion
Flow
Melt visco
Copolymer %
Pengaruh waktu dan suhu
Pemaparan material terhadap waktu dan
suhu proses yang bervariasi dapat mengubah
struktur molekul dari suatu polimer.
Sebagai contoh: pemanasan suatu polimer crystalline diatas
MP dan kemudian didinginkan dengan cepat akan
menciptakan suatu material yang akan lebih ke amorphous
sifatnya. Hal ini disebabkan pendinginan mengganggu
kemampuan molekul untuk kembali ke bentuk crystal yang
normal ditemukan dalam material crystalline. Pendinginan
perlahan akan mampu membentuk crystal, menghasilkan suatu
produk dengan sifat2 yang lebih berhubungan dengan material
crystalline.
Pemberian waktu yang cukup, menyebabkan
molekul polimer yang dipanaskan akan berpindah
untuk menemukan kesetimbangan struktur ideal
yang di”sukai”.
Peningkatan suhu memberikan kesempatan molekul
untuk menyempurnakan kesetimbangan pada waktu
yang jauh lebih pendek, tapi penurunan suhu
meminimalkan derajad kesetimbangan yang dicapai.
Oki., nilai2 sifat dari suatu polimer dapat sangat
bervariasi, tergantung pada seberapa banyak waktu
yang diberikan untuk struktur molekul mencapai
kesetimbangan.
Secara umum, plastik amorphous memiliki
sensitivitas suhu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan semi crystalline plastic.
Temperature coefficient amorphous berkisar 5-
20% yang berarti viskositas berubah dari 5-
20% untuk setiap °C perubahan suhu.
Temperature coefficient semi crystalline
berkisar 2-3%.
Oki, kontrol temperature yang baik lebih kritis
dalam prosesing amorphous material.
Saat plastik yang meleleh mendapatkan shear,
panas akan timbul dalam plastik yang disebut
viscous heat generation.
Jumlah viscous heat generation ditentukan
oleh viskositas produk dan kuadrat shear rate.
Oki, makin tinggi viskositas, makin tinggi
panas yang ditimbulkan, demikian juga
dengan shear rate, efek yang ditimbulkan
lebih tinggi. Sebagai akibat viskositas plastik
yang tinggi dalam extrusion, sebagian besar
pemanasan dihasilkan akibat viskositasnya.
Pelelehan dan pemompaan pada proses ekstrusi, diatur oleh panas dan tekanan,
bekerja pada resin melalui dua mekanisme secara reologis: viscous dan elastic.
Viscous energy disebarkan melalui perlawanan thd resistensi dari sistem,
sedangkan elastic energy disimpan. Energi yang disimpan ini menyebabkan
overall swell dalam parison yang diekstrude.
Kapasitas dari plastik yang meleleh untuk mengalami deformasi elastic dan
menyimpan energi, meningkat dengan makin lebarnya DBM terutama dengan
makin tingginya proporsi molekul yang lebih besar ( high end MWD spectrum).
Melt swell, selain daripada exact die dan dimensi mandrel, akan menentukan
dimensi akhir (baik diameter dan ketebalan) parison. Pengontrolan swell
dengan seleksi resin, rheologynya dan prediksi swell menjadi faktor yang
esensial.
Data melt swell dapat dikembangkan menggunakan instrument lab seperti
misalnya melt indexer dengan menggunakan dua beban 2,160 dan 21,600 g,
pada suhu dan kondisi shear yang sesuai dengan aktual prosesing. Perbedaan
dasar pada L/D rasio dari rheometer orifice dan kondisi ekivalen dari parison
tooling harus diperhitungkan dalam pengembangan data komparative sda.
Swell ratio (diameter extrudate : diameter orifice) meningkat dengan shear
rate.Beberapa resin akan berhenti pada satu perbandingan shear rate,
sedangkan yang lainnya akan terus swell dengan meningkatnya shear rate.
Tipe pertama memberikan kontrol dimensi parison yang lebih baik.
Thermal conductivity adalah
kemampuan material untuk
menghantarkan panas, merupakan
sifat panas yang sangat penting.
Plastik yang memiliki konduksi panas
rendah disebut sbg thermal insulator
yang berarti pemanasan dan
pendinginan plastik melalui konduksi
berjalan dengan lambat,
menghasilkan plastik yang memiliki
suhu dan aliran yang tidak seragam
thick spot pada hasil ekstrusi.
Panas spesifik adalah jumlah
panas yang dibutuhkan /
dikeluarkan untuk menaikkan /
menurunkan suhu material 1°.
Panas spesifik material semi
crystalline > amorphous.
Plastik dapat mengalami degradasi dalam proses
ekstrusi.
Variable utama yang terlibat dalam degradasi
adalah suhu dan lamanya waktu plastik dipapar
pada suhu tinggi.
Degradasi menghasilkan hilangnya sifat
mekanis dan optis, masalah penampakan,
degassing,burning, dll.
Variable lain yang akan mempengaruhi
degradasi adalah kehadiran oksigen.
Waktu induksi (induction time) adalah
pengukuran dari stabilitas panas suatu
material dalam satuan waktu pada suhu
tinggi dimana plastik dapat bertahan
tanpa terjadi perubahan / degradasi.
Stabilitas panas dan waktu induksi dari
plastik dapat diperbaiki dengan
penambahan penstabil panas (thermal
stabilizer). Pada umumnya, material
plastik sudah mengandung aditif sda.
Density dari material adalah massa material
dibagi dengan volumenya. Biasa diekspresikan
dalam gr / cc. density juga bisa dinyatakan
dengan istilah spesifik volume yaitu volume
dibagi dengan massa material, diekspresikan
dalam cc / gr.
Density atau spesifik volume dipengaruhi oleh
suhu dan tekanan. Mobilitas molekul plastik
meningkat dengan suhu yang lebih tinggi.
Spesifik volume menurun dengan tekanan
yang lebih tinggi.
Spesifik volume meningkat dengan
cepat seiring dengan pencapaian
melting point.
Pada titik melting, slope berubah
200°C
20,000 – 35,000 psi
n CH2=CH2 - (CH2CH2)n –
O2 + organic peroxide n : 400 – 50,000
MDPE dihasilkan dari reaksi yang sama dengan T° reaksi yang lebih
rendah. Pengurangan T° ditujukan untuk menurunkan gerak Brownian
molekul dan energi thermal sehingga memungkinkan pembentukan
crystalline lebih cepat.
LLDPE
Linier Low Density Polyethylene
Density: 0.915-0.940 g/cm³
Merupakan tandingan LDPE pada aplikasi film dengan melt
strength yang lebih tinggi.
Dihasilkan dari polimerisasi radikal bebas ber-copolimer
dengan rantai samping 1-butene, disamping 1-hexene, 1-
octene; dengan tekanan dan suhu reaksi yang lebih rendah.
Rantai molekul pendek yang dihasilkan mengacak formasi
rantai sehingga mencegah terjadinya pembentukan
crystalline dan pencapaian density yang tinggi.
Beberapa produsen:
BASF- Jerman (Vinoflex S5015)
Solvay-Belgia (Solvic 250 SA)
Lucky-Korea selatan (LS-050)
LVM-Belanda (Marvylan S-5002)
Nitrogen (Petrochemical) Works “ Wloclawek”-Polandia (Polanvil S-52 HF)
Resin dan Karakteristik
Polycarbonate
General character
Excellent heat resistance
Hard, tough material
Good impact resistance
Excellent transparency
SP: 148.9°C (300°F), MP:
221°C (430°F)
PC resin dapat dibagi menjadi dua kelas: alifatik dan aromatik.
PC alifatik tidak banyak digunakan sebagai thermoplastic tetpai
dapat digunakan sebagai co-monomer atau co-condensate dengan
polycondensate yang lain. Sbg contoh: digunakan untuk
memodifikasi aromatik PC bisphenol A sbg high heat elastomer,
juga digunakan sbg plasticizer dan stabilizer PVC.
PC aromatik yang paling umum adalah polybisphenol A carbonate
yang merupakan engineering thermoplastic yang dikenal dari high
impact toughness, Tg (150°C) dan optical clarity.
dua metode sintesa yang diaplikasikan secara komersial:
Interface process yang melibatkan pelarutan bisphenol A dalam
larutan kaustik soda /air dan introduction phosgene dengan
keberadaan solvent inert seperti mis. Pyridine.
Transesterification bisphenol A dengan diphenyl carbonate pada
suhu tinggi
BM 30,000-50,000 diperoleh dari metode kedua, sedangkan
metode pertama menghasilkan BM yang lebih tinggi.
struktur PC dengan carbonate dan bisphenolicnya memberikan
sifat yang berbeda.
Para substitusi pada phenyl ringnya menghasilkan suatu simetri dan
kurangnya sifat stereospesifik.
Gugus phenyl dan methyl pada quarternary carbonnya memberikan
struktur yang kuat.
gugus ester-ether carbonate –OCOO- yang polar, tetapi derajad
pembentukan ikatan intermolecular polarnya minimal akibat dari
posisinya yang steric pada ring benzene.
Tingginya tingkat aromatik dari rantai utama dan besarnya ukuran
pengulangan struktur menghasilkan molekul yang sangat terbatas
mobilitasnya.
Ikatan ether pada rantai utamanya memungkinkan sejumlah rotasi
dan fleksibilitas high impact strength.
Sifat amorphousnya dengan rantainya yang panjang dan saling
mengait memberikan kontribusi pada high toughness.
Namun dmk, pada kristalisasi PC menjadi getas. PC sangat sulit
untuk mengkristal (membutuhkan waktu beberapa hari pada suhu
180°C).
PC memiliki kesetimbangan m.c. pada 0.2% disuhu 25°C dan RH
60% dan 0.9% pada suhu 100°C.
kekurangannya meliputi:
kebutuhannya untuk pengeringan
sebelum proses
suhu proses yang tinggi.
Ketahanan kimianya yang terbatas thd
sejumlah aromatik solvent.
Kebutuhan suhu tinggi dalam proses
resiko degradasi akibat panas yang
diikuti dengan degradasi BM terutama
dengan adanya basa atau pengotor
besi.
Ketahanannya terhadap UV dibatasi
oleh waktu menguning
blending dengan ABS akan
meningkatkan heat distortion T°
ABS dan low T° impact strength
PC. Sehingga dapat digunakan
dalam aplikasi electronic housing
spt. Komputer laptop.
Blending dg PBT akan
meningkatkan ketahanan kimia
PC thd produk petrol dan low T°
impact strengthnya.
Karakteristik proses
Range T° proses: 254 – 271°C (490 – 520°F)
Feed : 249 – 260°C (480 – 500°F)
Transition : 254 – 271°C (490 – 520°F)
Metering : 254 – 271°C (490 – 520°F)
Head : 254 – 271°C (490 – 520°F)
Catatan: PC bersifat higroskopis sehingga membutuhkan pengeringan pada suhu
93.4 – 104°C (200 – 220°F) selama 6-18 jam
Regrind ratio max 50%. Regrind memiliki efek negative pada kekuatan parisonnya.
Regrind material harus dikeringkan sebelum digunakan.
Die swell: 0.8 – 1 : 1 resin tidak memiliki die swell. Akan membutuhkan head yang lebih
besar dibandingkan resin lainnya.
Blow up ratio: tipikal 1:1tergantung pada disain produk dan kecepatan setup.
Hang strength: pada suhu melt memiliki ketegaran yang buruk. Parison support sangat
penting artinya dan top pinch bar akan dibutuhkan.
Shrinkage: 0.203 – 2.23 mm/m
Residence time: material akan terdegradasi dengan cepat bila aliran dihentikan. Jaga
material tetap bergerak. Degradasi akan tetap terjadi meskipun flow tidak dihentikan
menghasilkan garis kuning dan coklat. Penambahan ABS akan meningkatkan
degradasi.
T° mold cooling: 35° -99°C (95 – 210°F). T°↑ untuk memastikan reproduksi tekstur dan
memperbaiki stabilitas dimensi dan pinch edge weld.
Startup: 11°C (20°F) lebih tinggi dari T°normal operasi untuk mereduksi high screw load
akibat material yang dingin. Suhu diturunkan kembali setelah parison yang dikehendaki
terbentuk.
Shutdown: jalankan mesin sampai habis sama sekali. Bilas dengan resin dengan BM
tinggi
Resin dan
Karakteristik
Styrene Based
Resin
ABS terpolymer
Disintesa dari tiga jenis monomer: Acrylonitrile, Butadiene dan
styrene.
Metode yang digunakan adalah grafting baik pada polybutadiene
latex atau grafting dua monomer yang dilanjutkan dengan blending.
Fleksibilitasnya diatur dari rasio ketiga monomernya.
Acrylonitrile memberikan kontribusi pada heat resistance,strength
dan chemical resistance
Butadiene memberikan higher impact strength, toughness, low
T°property retention, flexibility.
Styrene berkontribusi pada rigidity, glossy finish dan kemudahan
prosesing.
Ukuran partikel dan distribusinya akan berpengaruh pada sifat fisik
dan mekanik. Rata-rata ukuran partikel akan mengontrol sifat impact,
melt visco dan parameter penampilan (gloss, opasitas, kemampuan
pewarnaan)
ABS terpolymer
kelemahan ABS meliputiopasitas, lemahnya
ketahanan cuaca dan flame resistance.
Fire retardant dapat ditambahkan untuk
memperbaikinya atau dengan blending dengan
PVC dengan catatan kemudahannya dalam
proses akan menurun.
ABS memiliki sifat insulasi elektrik yang
baik.dan penerimaan additive, filler dan
reinforcing agent yang baik.
Karakteristik proses
Range T° proses: 198 – 227°C (390 – 440°F)
Feed : 187 – 193°C (370 – 380°F)
Transition : 193 – 221°C (380 – 430°F)
Metering : 193 – 221°C (380 – 430°F)
Head : 193 – 221°C (380 – 430°F)
Catatan: PC bersifat higroskopis sehingga membutuhkan pengeringan
pada suhu 76.7 – 82.2°C (170 – 180°F) selama 4-12 jam
Regrind ratio s/d 100%. Regrind material harus dikeringkan sebelum
digunakan.
Die swell: 1.5 : 1 tergantung pada kecepatan ekstrusi dan head design.
Blow up ratio: 1.5-2:1tergantung pada disain produk .
Hang strength: baik dibandingkan dengan kebanyakan resin. Tergantung pada
T° melt, distribusi berat parison dan paket additive.
Shrinkage: 0.127 – 0.203 mm/m
Residence time: pada T° tinggi akan dihasilkan asap. Material bertahan stabil
hanya dalam waktu singkat. Penurunan suhu ke 121°C (250°F) akan
mengurangi degradasi jika shot weight minimal 80% dari kapasitas head.
T° mold cooling: 23.9° -29.4°C (75 – 185°F). T°↑ menghasilkan reproduksi
tekstur dan parting line weld strength yang lebih baik. Produk desain akan
membutuhkan pengaturan suhu mold halves yang berbeda karena variasi tebal
dinding akibat konfigurasi produk.
SAN Copolymer
Dapat disintesa melalui polimerisasi suspensi, emulsi
atau bulk.
Kandungan acrylonitrile berkisar 20-30%
SAN merupakan linier-amorphous material yang
memiliki ketahanan panas yang lebih baik daripada
PS murni.
Polimer bersifat transparan, tetapi akan menjadi
kuning dengan peningkatan kandungan acrylonitrile.
Seperti ABS, material membutuhkan pengeringan
sebelum proses.
Polystyrene
Disintesa melalui mekanisme polimerisasi radikal bebas, umumnya
berstruktur atactic.
Terdapat dua tipe PS:
GPPS (general purpose PS), polimer styrene sederhana, getas,
transparan, non-crystalline dengan Tg 100°C
HIPS (high impact PS), polimer styrene dengan penambahan
komponen rubber (gel) menghasilkan polimer yang liat
Dengan memanfaatkan Ziegler-Natta catalyst dan kombinasinya dengan
MAO (methylalumoxane) dihasilkan iPS dan sPS, yang memiliki Tm yang
tinggi (238-241°C iPS dan 270-275°C sPS), bersifat crystalline, memiliki
ketahanan panas yang tinggi, chemical resistance, water / steam resistance;
selain memiliki karakter seperti pada aPS /GPPS.
Berbagai metode proses polimer spt IM dan sheet forming dapat digunakan
dengan cara yang sama seperti thermoplastik yang lain.
Kekuatan mekanis sPS dapat diperbaiki dengan orientasi biaxial
sebagaimana polimer crysalline lainnya.
Polystyrene
Karakter PS:
Transparan
BD rendah
Relative high modulus
Excellent electrical properties
Low cost
Kemudahan dalam proses
Brittle
Ultimate elongation hanya 2-3%
Low shrinkage: 0.004-0.005 mm/mm
High dimensional stability
Resin dan Karakteristik
Polyethylene
Terephtalate
General properties
CSD High-barrier container
High Tm, moderate Sp, Tg: 80°C
High strength film
High clarity amorphous state, colorless
Crystallisable
Excellent strength, good creep resistance
(crystallised), excellent chemical resistance
Excellent Gas barrier packaging for sensitive
foodstuffs
Worldwide food approval
Low taint
Polimerisasi dan Proses
Pembuatan
Dikenal juga sebagai poly(oxyethylene
oxyterephthaloyl). Merupakan material hasil
polimerisasi kondensasi dari asam terepthalate dan
MEG, dengan reaksi
nHOOCC6H4COOH + (n+1)HOCH2CH2OH
HOCH2CH2O(OCC6H4COOHCH2CH2O)nH
Terdapat tiga jalur reaksi yang bisa digunakan:
ester interchange dimethylterephtalate & MEG
Direct esterification terephtalic acid & MEG
Reaction of EO-PTA oligomeric precursor & MEG
Sintesa melalui proses ester interchange dengan
perbanidngan ester : MEG = 1:2, menggunakan katalis
metal alkanoate (mis. Mn, Co, Zn, Ca acetate),dengan
heat stabilizer: phosphorous compound (mis. Phosphoric
acid), A.O. phosphate pada suhu awal 160°C pada tahap
satu, naik ke 230°C pada tahap dua.
Metode esterifikasi langsung dari asam dan glikol
berlangsung tanpa / dengan penggunaan katalis (metal
alkoksida dr Ti, Pb dan antimony pada range suhu reaksi:
260-290°C pada kondisi vakum (< 2-5 mbar), dengan
perbandingan MEG:PTA = 1.2:1
Secara umum, PET yang dibuat dari esterifikasi langsung
asam terephthalat mengandung lebih banyak diethylene
glycol yang akan menurunkan kekuatan mekanis dan Tm
juga ketahanan thd oksidasi karena panas dan stabilitas
thd UV.
Dari sisi proses terdapat metode yang digunakan: Melt
process dengan kandungan acetaldehyde < 50 ppm dan
solid state polimerisation (SSP) yang menggunakan
polimer precursor yang dihasilkan dari melt process,
menghasilkan PET dengan kandungan acetaldehyde yang
jauh lebih rendah (<2 ppm).
Derajad kristalisasi dan arah axis crystallite
mengatur keseluruhan sifat fisik resin.
Kadar crystalline yang terkandung ditentukan
dari BD resin menggunakan DSC. Amorphous PET
memiliki BD 1.333 g/cm³, PET kristal 1.455
g/cm³.
Dengan tidak adanya nucleating agent dan
plasticizer, PET mengkristal dengan sangat
lambat. Kristalisasi dapat diinduksi secara
mekanis. Penempatan ester yang terikat secara
langsung pada komponen aromatik dari rantai
utama memiliki arti bahwa PET dengan rantai
reguler lurusnya memiliki kelenturan cukup untuk
membentuk kristal yang diinduksi melalui stress
dan mencapai orientasi molekuler yang cukup
untuk membentuk film yang kuat dan stabil thd
panas.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Struktur
PET bisa memiliki bentuk amorphous dan crystalline,
tergantung dari struktur molekul dan thermal hystory yang
dimilikinya.
Struktur PET didasarkan pada pengulangan unit
monooxyethylene terephtalate.
Kombinasi dari unit terephtaloyl yang aromatik dan
ethylene glycol yang alifatik menentukan sifat uniknya.
unit aromatik dalam kombinasinya dengan kontribusi dari
ikatan hidrogen antara carbonyl oxygen dan grup hidrogen
dari ethylene menghasilkan molekul dengan rigiditas yang
baik dan modulus tinggi.
grup carboxyl pada ikatan C-C ethylene dapat menempati
konformasi sis atau trans. Pada posisi amorphous, molekul
lebih banyak dalam bentuk sis, yang pada saat kristalisasi
molekul akan bertransformasi ke konfigurasi trans. Molekul
polyester juga dapat mengambil konfigurasi trans saat
diorientasikan.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Morfologi
Strength, durability, cohesion, gas barrier, heat setting
diasosiasikan dengan area crystalline.
Area non crystalline bertanggung jawab pada extensibility,
recovery, toughness dan difusi.
Arrangement yang dikehendaki adalah molekul pada komposisi
dimana energi bebasnya minimum.
status energi bebas pada suhu tinggi, dimana mobilitas molekular
terlalu tinggi untuk melakukan ikatan intermolekular yang efektif,
adalah pada posisi amorphous.
Pada suhu yang lebih rendah, molekul menjadi kurang mobile dan
perapatan area yang berdekatan dari berbagai molekul terjadi
untuk meminimalkan energi bebas.
Area amorphous bisa menjadi pelemah sifat dari struktur
crystalline (misal: creep dan barrier) akibat adanya dislokasi.
Injection moulded articles (spt mis. Preform) pada dasarnya
bersifat amorphous.Peningkatan stress akan mengembangkan
level orientasi secara nyata sejajar dengan arah stretching yang
memberikan kontribusi pada kekuatan artikel.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Pada stretch ratio yang lebih tinggi,
pergerakan rantai memberikan
kontribusi pada pemanasan lokal dan
terjadi kristalisasi tambahan. Kristal
ini dapat meningkatkan kestabilan
panas ke dalam sistem dan akan
mempengaruhi derajad shrinkage
yang terjadi pada suhu yang lebih
tinggi, namun demikian level
kristalisasi tidak cukup memberikan
stabilitas dimensi di atas Tg.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Orientasi
Dalam prakteknya, stretching
performance PET tergantung dari:
Temperatur
BM
Strain rate
Kristalisasi
Kelembaban
Type dan komposisi co-polimer
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Orientasi
Pada suhu rendah, stress meningkat tajam sampai ke yield
point dan kemudian turun kembali sejalan terbentuknya
molekul polyester. Dibawah kondisi ini, kerja yang terlibat
perentangan molekul menimbulkan panas dan peningkatan
suhu pada yield point, menyebabkan penipisan lokal dan
tarikan yang tidak seragam.
Sejalan dengan peningkatan suhu ke kisaran Tg, hasil yang
lebih seragam dan terkontrol dapat diperoleh.
Pada level strain yang lebih tinggi, stress meningkat tajam
kembali.
Untuk menghasilkan baik kekuatan maupun kekerasan
(modulus) sebagaimana dibutuhkan di aplikasi botol,
dibutuhkan pengembangan derajad pengerasan (hardening
/ high orientation) pada saat stretching. Dengan
meningkatnya suhu diatas 110°C, molekul akan mengalir
dengan cepat dan makin tinggi stretch yang dibutuhkan
untuk mencapai strain hardening.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Rendahnya strain hardening direfleksikan dari nilai TS<,
ekstensibilitas>, penyusutan<.
Kondisi proses optimum untuk homopolimer: 85-105°C.
kondisi ini akan berubah jika Tgnya berubah akibat
copolimerisasi.
BM juga memiliki pengaruh yang nyata pada karakter
stretching. Libatan molekular diasosiasikan dengan makin
tingginya BM resin pengaruh restraining pada molekul.
Makin tinggi BM makin tinggi stress yield point, strain
hardening terjadi pada stretch rasio yang lebih rendah.
Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk mengontrol
BM dalam spesifikasi yang ketat.
Makin tinggi strain rate terlihat dengan peningkatan yang
nyata suhu pada strain hardening dan lebih tingginya level
crystallinity produk.
crystallinity ↑ stretch rasio brittle & rigid product.
Struktur, Morfologi dan Orientasi
Air merupakan plasticiser yang baik untuk PET dan akan
menurunkan Tg cukup efektif.
Pada RH↑ (> 90%), Tg akan turun beberapa s/d 20°C.
Level kelembaban pada amorphous resin pada saat stretching akan
sangat mempengaruhi sifat produk yang dibentuk. Hasil
pengaruhnya mirip seperti melakukan stretching pada suhu lebih
tinggi; molekul akan menjadi lebih mobile pada suhu yang lebih
rendah dan resin akan cenderung mengalir daripada strain harden
pada stretch rasio yang dirancang.
Pengaruh co-polimerisasi tergantung pada tipe additive dan jumlah
penambahannya.
Alifatik, glikol dengan rantai yang lebih panjang atau aliphatic
diacid cenderung akan menurunkan Tg dan oleh karenanya beraksi
sebagai plasticiser.
Aromatik, pengaruhnya tergantung pada struktur molekulnya.
Naphtalene 2,6 dicarboxylic acid akan meningkatkan rigidity Tg↑
mobilitas turun T°↑ untuk stretching. Isophtalic acid, yang
beraksi sebagai pengacak rantai menyebabkan kristalisasi dan
strain hardening terhambat setelah stretching molekul memiliki
lebih banyak kebebasan dalam mengalir dibutuhkan stretch rasio
yang lebih tinggi untuk mendapatkan sifat fisik yang baik.
Creep
Creep merupakan karakter penting pada polimer
yang mendapatkan stress dan strain secara
kontinue seperti pada kasus pressurised
containers.
Oriented PET cukup tahan thd creep pada suhu
rendah. Pada suhu mencapai Tg kebutuhan akan
creep (elongation/ tensile stress) meningkat
tajam sejalan dengan turunnya modulus dan
molekul lebih bebas bergerak.
Creep diasosiasikan dengan pergerakan molekul
dalam fasa amorphous, dan peningkatan level
kristalisasi dan/atau orientasi dapat mereduksi
level pergerakan secara nyata
BM & IV
BM dan DBM merupakan sifat dasar yang menentukan aplikasi
penggunaan resin.
Bm dikarakteristikkan dari pengukuran IV dari larutan resin dalam
solvent: ortho-phenol, hexafluoroisopropanol, 60:40
phenol:tetrachloroethane, meta-cresol, trichloroacetic acid,
trifluoroacetic acid, 25:75 ortho-phenol:chloroform
DBM resin akan mempengaruhi sifat prosesingnya.
Rantai pendek resin akan mengatur sifat TS, Impact, kristalisasi.
Mid range molekul akan mempengaruhi IV dan low shear melt flow
rantai panjang molekul berpengaruh pada elastisitas cair, sifat
stretching pada strain hardening dan delaminasi polimer.
Pemahaman DBM didapat dengan teknik HPLC-GPC menggunakan
ortho-phenol sebagai solvent.
Linear PET memiliki Pd (Mw/Mn): 2.3-2.7, sedangkan branched
PET: >3-5, tergantung dari derajad dan tipe percabangan.
Cyclic trimer juga biasa terdapat dalam resin. Dalam melt proses
nilai kesetimbangannya ± 1.2% w/w, dengan kandungan cyclic
yang lebih tinggi < 0.5% w/w.
BM & IV
Dengan SSP, kristalinitas yang tinggi dan masa tinggal
yang lama menurunkan secara nyata kandungan cyclic
trimer.
Pada prosesing, level trimer akan kembali meningkat dan
mencapai nilai kesetimbangan: 0.3-0.5% w/w, terutama
bila waktu tinggal saat leleh lama.
Cyclic trimer memiliki Tm ± 319°C dan tidak volatil,
ditemukan sebagai deposit pada mould.
End Group
PET memiliki hydroxyl dan carboxyl end group.
Pemahaman dan kontrol kesetmbangan end group
sangat penting dalam mengontrol proses pembuatan,
terutama SSP, dan prosesing produknya.
Carboxyl end diketahui mengkatalisa baik reaksi
polimerisasi maupun hidrolisis. Pada Melt Process
dikontrol pada range 30-40% sedangkan di SSP: 25-
35%.
Carboxyl end group dapat mengkatalisa reaksi hidrolisis
pada suhu diatas Tg.
Penggunaan recycled material akan meningkatkan
kandungan carboxyl group yang akan menghasilkan
deposit di mould membuat cacat pada permukaan
produk dan kelemahan pada dinding produk.
Namun demikian, carboxyl end memberikan keuntungan
pada nukleasi dan kristalisasi dengan adanya metal ion.
Sifat Thermal
Sifat thermal penting: Tg, Tc dan Tm.
Resin amorphous memiliki Tg ± 80°C dengan max. Tc:
160°C dan puncak Tm ±250°C.
Resin crystalline SSP tidak memiliki Tg dan Tc dengan
puncak Tm ± 248°C. Peningkatan derajad kristalinitas
meningkatkan Tm >260-300°C yang menyebabkan
makin sulitnya proses moulding.
Instrument yang digunakan dalam pengamatan sifat
thermal: DSC dan DMA.
Tipe dan jumlah copolimer yang digunakan akan
berpengaruh terhadap penurunan Tm ± 2.3°C/mole co-.
Alifatik co-, seperti misalnya DEG, PEG dan asam adipat
akan menurunkan Tg kristalisasi < 100°C dan
meningkatkan flexibilitas. Nmn dmk, CHDM (yang lebih
rigid) sedikit pengaruhnya terhadap Tg.
Sifat Thermal
Aromatik co-, IPA hanya sedikit pengaruhnya pada Tg
sedangkan diacid dari molekul aromatik yang lebih rigid spt.
Misalnya naphtalene 2.6 dicarboxylic acid akan meningkatkan
Tg kristalisasi > 100°C.
Copolimer juga akan berpengaruh terhadap karakter
kristalisasi. PU penambahan copolimer akan menghambat
kristalisasi. Penambahan additive spt branching agent akan
menambah stress selama pendinginan dapat mempertahankan
rate kristalisasi.
Dalam proses pemanasan dari glassy state, kecepatan
kristalisasi juga dipengaruhi oleh tingkat stress yang mungkin
timbul dalam sample selama pendinginan.
Perhatian penuh harus diberikan untuk menjamin bebasnya
sample dari stress.
Kadar air dan carbonyl ends dapat secara nyata
mempengaruhi hasil produksi. oleh karenanya menjadi hal
yang sangat penting untuk mengetahui kadarnya sebelum
proses.
Rheology
Melt Viscosity
Melt visco dan sifat alir polimer dalam kondisi
cair merupakan faktor yang penting baik dalam
polimerisasi maupun dalam prosesing.
Polyester memiliki karakter viscoelastic dan
viskositasnya bergantung pada waktu, suhu,
shear rate, BM-IV, percabangan dan copolimer
yang ada. Efek ini dapat diamati dari karakter
die swell dari polimer yang diekstrusi.
Melt visco diukur dengan instrument: capillary
rheometer, setelah melewati pengeringan
material untuk menekan degradasi hidrolitik.
Rheology
Melt flow
Karakter Melt flow dari berbagai jenis PET akan mengatur cara
prosesnya yang benar.
Dalam extruder, derajad back mixing sepanjang screw barrel dan
keseragaman dari produk ditekan melewati manifold, terutama pada
setiap line splits yang ada, dan hot runner systemnya diatur oleh
sifat elastic polimer.
Produk yang menempel ke dinding dapat memiliki waktu tinggal
yang sangat lama dan dapat terjadi reaksi degradasi yang akan
memberikan efek yang buruk pada produk yang dihasilkan.
Shear heating yang berlebihan dalam line ekstrusi dapat ditekan
dengan mengatur dimensi lini untuk mengakomodasi pengaruh dan
keuntungan dari shear viscosity.
Untuk meningkatkan konsistensi dan mengontrol efek degradasi, spt
mis. Pembentukan acetaldehyde, static mixer dapat digabungkan ke
dalam manifold.
Dalam aplikasi injection molding, mouldability tergantung baik pada
sifat polimer, spt mis. Kecenderungan dinamik kristalisasi, dan
kondisi proses.
Rheology
Karakter rheology dan thermal polimer sebagaimana geometri,
suhu dan kondisi tekanan merupakan hal yang sangat penting.
Sifat flow polimer bergantung tidak hanya pada karakter visco
saat meleleh tetapi juga pada karakter bekuannya saat
pendinginan.
Test yang banyak digunakan untuk mengetahui mouldability
adalah spiral flow test
Karakter flow sangat peka terhadap melt visco dan dipengaruhi
oleh tekanan, suhu mold dan BM.
Kecepatan injeksi dan suhu melt merupakan dua hal yang
berpengaruh terhadap panjang aliran. Panjang aliran akan
meningkat dengan naiknya kecepatan injeksi yang diakibatkan
dari kecepatan shear dalam nozzle yang lebih besar relative
visco turun. Juga memungkinkan cairan memiliki patron aliran
yang lebih luas dalam cavity akibat pemadatan kulit luar
material disisi permukaan mold yang lebih tipis.
Rheology
Moulding shrinkage
Istilah shrinkage dibagi menjadi:
moulding shrinkge, yang merupakan perbedaan dimensi mould cavity
pada 23±2°C dan produk, 24 jam setelah pencetakan.
Post moulding shrinkage, yang merupakan penyusutan lanjutan yang
dapat terjadi jika produk diekspose pada kondisi lingkungan yang
berubah (RH & T°).
Pemilihan yang tepat kondisi proses: T°m, T°mold, tekanan injeksi
dan holding pressure & time akan berpengaruh terhadap
penyusutan
Amorphous PET memiliki penyusutan linier ± 0.45% dan post
mould shrinkage dibawah 50°C dapat diabaikan.
Crystalline PET, density dan shrinkagenya akan berubah tergantung
pada level crystallinity yang ada, yang tergantung pada keberadaan
dan efektivitas nucleating agent yang ditambahkan, sebagaimana
juga sejarah thermal pada saat cair. Direkomendasikan untuk
memperhitungkan toleransi saat pembuatan mold untuk
mengantisipasi perubahan minor terhadap dimensi mold diikuti
dengan trial awal sebelum pembuatan mold selesai.
Serapan kelembaban dan pengeringan
Kadar air
PET polimer memiliki karakter sangat
higroskopis dan akan menyerap air secara
cepat sampai ke tingkat jenuh. Jumlah air
yang diserap tergantung pada kondisi
lingkungan dan tingkat kristalinitas.
Tingkat kandungan air pada amorphous PET
ditemukan proporsional thd tekanan uap air.
Tingkat kristalinitas akan menurunkan level
kadar air yang diserap, proporsional
terhadap volume fraksi amorphous pada
suhu konstan.
Serapan kelembaban dan pengeringan
Pengeringan
Untuk mereduksi derajad hidrolisa akibat kandungan
airnya, sangat dibutuhkan proses pengeringan untuk
mencapai level kelembaban dibawah 25-40 ppm sebelum
proses.
Pengeringan yang efektif direkomendasi pada suhu 140-
180°C selama 4-6 jam dibawah kondisi vakum atau
dehumidified air dengan dew point <-40 s/d -60°C (untuk
IV tinggi). Pada suhu >180°C akan menyebabkan
terjadinya reaksi degradasi yang menyebabkan
pembentukan warna, terutama bila digunakan regrind atau
copolimer yang tidak stabil pada T°tinggi spt poliglikol.
PET dengan tingkat amorphous tinggi spt. PETG harus
dikeringkan pada suhu sekitar Tg selama > 24 jam. Harus
diperhatikan bahwa material tidak terlalu tinggi suhunya
sebelum masuk ke zona metering, jika tidak perlengketan
akan terjadi baik antara pellet dan permukaan yang panas
maupun antar pellet itu sendiri.
Kesetimbangan m.c. amorphous resin
1
0.9
0.8
equilibrium m.c. (%)
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
% RH
Reaksi Degradasi
Degradasi thermal
Terdapat dua mekanisme reaksi yang diduga terlibat dalam
reaksi degradasi thermal:
diinisiasi dari ujung rantai
Pemutusan rantai secara random pada ikatan ester
Kedua mekanisme tsb melibatkan perubahan pada methylene
grup
Kedua mekanisme tersebut akan menghasilkan
acetaldehyde sebagai produk degradasi yang utama lewat
pembentukan intermediate vinyl end, ditemukan baik pada
produk hasil melt proses maupun SSP.
Produk intermediate vinyl end akan membebaskan
acetaldehyde lewat reaksi baik dengan melibatkan hydroxyl
end dan/atau kelembaban.
Pembentukan produk gas lain bisa terjadi selama kondisi
degradasi yang ekstrim. Keberadaan copolimer spt DEG
dan PEG akan memperparah kondisi.
Reaksi Degradasi
Reaksi inisiasi ujung
~OOCC6H4COOCH2CH2OH
~OOCC6H4COOCH=CH2 + H2O
~OOCC6H4COOH + CH3CHO