Anda di halaman 1dari 36

HUKUM AGRARIA

Pengertian Hukum Agraria


• Agraria dari asal dari bahasa latin ager dan agrarius.

• Ager berati tanah, agrarius = perladangan,


persawahan, dan pertanian.

• menurut KB Bhs. Indonesia berarti urusan pertanian


atau tanah pertanian, urusan kepemilikan tanah.
Menurut Boedi Harsono :
Hukum tanah adalah keseluruhan ketentuan –
ketentuan hukum, ada yang tertulis ada pula yang
tidak tertulis, yang semuanya mempunyai objek
pengaturan yang sama, yaitu hak – hak penguasaan
atas tanah sebagai lembaga – lembaga hukum dan
sebagai hubungan – hubungan hukum kongkret,
beraspek publik dan perdata yang dapat disusun dan
dipelajari secara sistematis, hingga keseluruhannya
menjadi satu kesatuan yang merupakan satu sistem.
RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA

1. Mengatur hubungan hukum antara bangsa, dan


warga perorangan dengan bidang keagrariaan.
2. Mengatur status bidang keagrariaan (tanah).
3. Mengatur perbuatan hukum dari WN/perorangan
yang menyangkut bidang keagrarian (tanah).
SUMBER HUKUM AGRARIA
Sumber hukum tertulis :

a. UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3


b. Undang – Undang No.5 Tahun 1960,
c. Peraturan pelaksananya PP No.10 Th.1961 yg diganti pp 24 th. 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
d. Peraturan yg bkn plaksanaan UUPA, stelah 2 sep 1960 krn suatu mslh yg diatur (UU
51/Prp/1960)
e. Peraturan lama yg utk smentara msh berlaku, berdasarkan ktentuan Pasal2 peralihan.
Sumber hukum tidak tertulis :

a. Kebiasaan baru yg timbul sesudah berlakunya


UUPA, Misal ; yurisprudensi dan praktik agraria
b. Hukum adat yang lama, dengan syarat – syarat
tertentu, yaitu yang cacat – cacatnya telah
dibersihkan.
Sejarah HUKUM AGRARIA
Hukum Agraria secara garis besar
sejarah dibagi menjadi 2 :
1. Hukum Agraria pada masa
penjajahan Belanda.
2. Hukum Agraria pada masa
setelah kemerdekaan.
Ketentuan Agraria pada masa penjajahan Belanda
sangat tidak menguntungkan bagi bangsa Indonesia.
Masa penjajahan / sebelum UUPA terdapat dualisme
hukum tanah yang berlaku,hukum adat dan hukum
barat (Agrarische Wet 1870).
Tahun 1948 Pemerintah berupaya menyusun dasar –
dasar hukum agraria untuk menggantikan ketentuan
yang dibuat pemerintah Belanda di bidang agraria
Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) di sah kan dan
mulai berlaku tanggal 24 September 1960.
Dasar pembentukan Undang Undang Pokok Agraria
dan tujuannya mengacu pada Pasal 3 ayat (3) UUD
1945,

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di


dalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada
Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk
sebesar – besar kemakmuran rakyat.”
Hak menguasai (Psl 2 ayat 2 UUPA) Negara memberi
wewenang untuk ;

a. Mengatur & menyelenggarakan peruntukan,


penggunaan, persediaan & pemeliharaan bumi, air
& ruang angkasa.
b. Menetukan & mengatur hub. Hukum antara
orang2 dgn bumi, air & ruang angkasa
c. Menentukan & mengatur hub. Hukum antara
orang2 & perbuatan2 hukum yg mengenai bumi,air
& ruang angkasa.
Pendapat para ahli tentang Hukum Agraria
Menurut Subekti :
Hukum agraria adalah keseluruhan dari pada
ketentuan – ketentuan hukum, baik hukum perdata,
maupun hukum tata negara, maupun pula hukum tata
usaha negara yang mengatur hubungan – hubungan
antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi,
air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara
dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada
hubungan – hubungan tersebut.
• Menurut Ali Achmad Chomzah
Agraria Secara luas dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA,
meliputi bumi, air dan ruang angkasa.
• - Bumi meliputi bumi, tubuh bumi dibawahnya dan
yang berada dibawah air (Pasal 1 ayat (4) UUPA).
• - Air meliputi perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia (Pasal 1 ayat (5) UUPA)
• - Ruang Angkasa adalah ruang diatas bumi dan air
(Pasal 1 ayat (6) UUPA).
Agraria Secara sempit dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA,
yaitu Tanah
Hukum Agraria bukan hanya merupakan suatu perangkat
bidang hukum, tetapi merupakan suatu kelompok berbagai
bidang hukum, yang masing – masing mengatur hak – hak
penguasaan atas sumber – sumber daya alam tertentu.
Kelompok tersebut terdiri atas :
1. Hukum tanah, yang mengatur hak penguasaan tanah di
permukaan bumi;
2. Hukum air, mengatur penguasaan atas air;
3. Hukum pertambangan, yang mengatur hak penguasaan
atas bahan galian yang dimaksud dalam UU pertambangan.
4. Hukum perikanan,yang mengatur hak – hak penguasaan
kekayaan alam terkandung didalam air;
5. Hukum penguasaan atas tanah negara dan unsur dalam
ruang angkasa, mengatur hak penguasaan atas tanah dan
unsur dalam ruang angkasa Pasal 48 UUPA
Menurut Sudargo Gautama :
Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan
untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang
mempunyai hubungan pula dengan,tetapi tidak melulu
mengenai tanah, misalnya persoalan tentang jaminan
tanah untuk hutang, seperti ikatan kredit (crediet
verband), atau ikatan panen (oogstverband),
“zekerheidssteling”, sewa menyewa antargolongan,
pemberian izin untuk peralihan hak – hak atas tanah
dan barang tetap dan sebagainya, lebih mudah
dicakupkan pada istilah pertama (yaitu hukum agraria)
dari pada istilah kedua (hukum tanah).
Menurut E. Utrecht :
Hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian
Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan
– perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan
memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus
soal – soal tentang agraria, melakukan tugas mereka
itu.
ASAS HUKUM AGRARIA
1. Asas Nasionalisme
2. Asas di kuasai oleh Negara
3. Asas hukum adat
4. Asas fungsi sosial
5. Asas kebangsaan
6. Asas non diskriminasi
7. Asas gotong royong
8. Asas unifikasi hukum
9. Asas pemisahan horizontal
SUMBER HUKUM TANAH DI INDONESIA
1. Hukum Tanah Adat.
2. Kebiasaan
3. Tanah Swapraja
4. Tanah Partikelir
5. Tanah Negara
6. Tanah Garapan
7. Hukum Tanah Belanda
8. Hukum Tanah Jepang
9. Tanah milik perusahaan asing Belanda
10. Tanah – tanah Milik Perseorangan warga
Belanda
11. Surat Izin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit
12. Tanah Bondo deso
13. Tanah Bengkok
14. Tanah Wedi Kengser
15. Tanah Kelenggahan
16. Tanah Pekulen
17. Tanah Res Extra Commercium
18. Tanah Absentee
19. Tanah Oncoran, dan tanah bukan Oncoran.
ALASAN LAHIRNYA UU NO.5 TAHUN
1960
a. Karena hukum agraria yang berlaku sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendi – sendi dari pemerintah jajahan (Belanda), hingga
bertentangan dengan kepentingan negara.
b. Karena akibat politik hukum penjajahan, sehingga hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, yang berlakunya peraturan –
peraturan dari hukum adat disamping peraturan hukum barat,
sehingga menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang
serba sulit. Dan tidak sesuai cita bangsa.
c. Hukum agraria kolonial/penjajahan tidak menjamin kepastian
hukum.
SIFAT HUKUM AGRARIA
- Bersifat Publik
pada isi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

- Bersifat Privat:
1. hak milik atas tanah dapat dialihkan kepada orang lain .
2. Jika beralih karena peristiwa hukum disebut jual beli.
TUJUAN POKOK AGRARIA NASIONAL
1. Meletakkan dasar – dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional
yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat
tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar – dasar untuk mengadakan kesatuan, dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar – dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak – hak atas tanah bagi rakyat keseluruhan.
STRUKTUR HUKUM TANAH NASIONAL

Ketentuan – ketentuan hukum yang mengatur hak – hak penguasaan


atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem, yang disebut Hukum Tanah.
Hukum Tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, ia hanya
mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak – hak
penguasaan atas tanah.
Hukum Tanah sebelum UUPA :

Terdapat dualisme hukum tanah yaitu hukum tanah


adat dan hukum tanah barat (Hukum Belanda).
Pemerintah Swapraja yang membuat hukum atas
tanah sendiri yang berlaku di daerahnya.
Munculah pluralistik hak atas tanah. menjadi 3 hukum
hak atas tanah yang berlaku sebelum UUPA.
Hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA :

1. Hak Eigendom (570 BW) / Eigendom Recht / Hak


Milik
2. Hak Erfpacht (720 BW)/Hak Guna Usaha
3. Hak Opstal (711 BW ) / Hak Numpang Karang/ Hak
Guna Bangunan
4. Hak Gebruik
5. Hak Milik (adat) dan Hak Pakai (adat)
6. Hak Ulayat
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM
AGRARIA
1. Tonggak pertama 1811
2. Tonggak kedua 1830
3. Tonggak ketiga 1848
4. Tonggak ke empat 1870
5. Tonggak ke lima 1960
a. Panitia Yogya 1948
b. Panitia Jakarta 1951
c. Panitia Soewahjo 1956
d. Panitia Soenario 1956
e. Panitia Soedjarwo 1960
Rumusan panitia yogya 1948 :
1. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat
2. Diadakannya peraturan yg memungkinkan adanya hak
perseorangan yg kuat,
3. Diadakannya penyelidikan dahulu dlm peraturan negara
– negara lain,terutama negara tetangga,
4. Perlu ditetapkan luas minimum tanah, untuk jawa
diusulkan 2 ha;
5. Perlu adanya penetapan max. Diusulkan untuk jawa 10
ha,
6. Menganjurkan utk mnerima skema hak tanah yg
diusulkan oleh Sarimin Reksodihardjo
7. Perlu diadakan registrasi tanah milik & hak menumpang
yg penting
Rumusan Panitia Jakarta 1951 ;
1. Mengadakan batas minimum 2 ha. Mengenai hub.
Pembatasan minimum tsb dgn hukum adat terutama
hukum waris perlu diadakan tinjauan lanjut.
2. Ditentukan batas max. 25 ha. utk satu keluarga
3. Yg dapat memiliki tanah pertanian kecil hanya pend.
WNI. Tdk dibedakan WN asli / bukan. Badan hukum
tdk diberi kesempatan utk mengerjakan pertanian
kecil.
4. Utk pertanian kecil diterima bangunan – bangunan
hukum, hak milik, hak usaha, hak sewa & hak pakai.
5. Hak ulayat disetujui utk diatur oleh/ atas kuasa UU
sesuai dgn pokok dasar Negara.
Rumusan Panitia Soewahyo 1956 ;
1. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak
ulayat, yg harus ditundukan pd kep. Umum
2. Asas domein diganti dgn hak kekuasaan Negara
3. Dualisme hukum agraria dihapuskan
4. Hak – hak atas tanah : Hak Milik sbg hak yg terkuat
yg berfungsi sosial. Kemudian Hak Usaha, Hak
Bangunan dan Hak Pakai
5. Hak milik hanya boleh dipunyai oleh WNI. Badan
hukum pd asasnya tidak boleh mempunyai hak
milik.
6. Perlu diadakan penetapan batas max dan min
luas tanah yg boleh dimiliki
7. Tanah pertanian pd asasnya harus dikerjakan dan
diusahakan sendiri oleh pemiliknya;
8. Perlu diadakan pendaftaran dan perencanaan
penggunaan tanah.
TUJUAN UUPA
a. Menciptakan unifikasi hukum Agraria dengan cara :
1. Menyatakan tidak berlakunya lagi peraturan hukum tanah lama;
2. Menyatakan berlakunya hukum tanah Nasional berdasarkan Hukum Tanah
Adat yang tidak tertulis sbg bahan penyusunan Hukum Tanah Nasional;
b. Menciptakan unifikasi hak penguasaan atas tanah melalui
ketentuan konversi.
FUNGSI UUPA
1. Menciptakan unifikasi bidang hukum tanah, dengan
menghapus/menyatakan tidak berlaku lagi peraturan-peraturan Hukum
Tanah yang lama dan menyatakan berlakunya hukum tanah Nasional
yang bersumber pada Hukum Tanah Adat yang tidak tertulis.
2. Menciptakan unifikasi hak-hak perorangan atas tanah yang sudah
dipunyai oleh orang-orang dan badan hukum berdasarkan Hukum
Tanah Adat/Hukum Tanah Barat dengan cara mengubah menjadi salah
satu hak-hak perorangan atas tanah menurut UUPA, berdasarkan
ketentuan konversi dalam diktum kedua UUPA.
3. Meletakan landasan hukum untuk pembangunan Hukum Tanah
Nasional.
UUPA mempunyai dua substansi dilihat dari segi
berlakunya ;

1. Tidak memberlakukan lagi / mencabut Hukum


Agraria Kolonial .
2. Membangun Hukum Agraria Nasional.
Hukum Adat sebagai dasar/sumber utama
pembangunan Hukum Tanah Nasional.
Konsepsi Hukum Adat dapat dirumuskan sebagai
konsepsi yang komunalistik religius, yang
memungkinkan pengusaan tanah secara individual
dengan hak – hak atas tanah yang bersifat pribadi,
sekaligus mengandung unsur kebersamaan. (Pasal 1
ayat (2) UUPA).
Konsepsi, asas – asas dan lembaga – lembaga
hukumnya tersebut dijadikan rumusan yang diangkat
menjadi norma – norma hukum tertulis yang disusun
menurut hukum adat.
Menurut Boedi Harsono :
Hukum tanah baru yang dibentuk dengan
menggunakan bahan – bahan dari hukum adat, berupa
norma – norma hukum yang dituangkan dalam
peraturan perundang – undangan sebagai hukum yang
tertulis, merupakan hukum tanah nasional positif yang
tertulis. UUPA merupakan hasilnya yang pertama.
Hukum adat yg digunakan dalam UUPA adl hukum aslinya golongan
rakyat pribumi, yg merupakan hukum yg hidup dlm bentuk tdk tertulis
dan mengandung unsur – unsur Nasional yg asli, yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan, yg berdasarkan keseimbangan
serta diliputi oleh suasana keagamaan.

Anda mungkin juga menyukai