KEMANUSIAAN
Pengertian Bantuan Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional
Bantuan kemanusiaan adalah bantuan yang berikan
kepada para korban bencana untuk kemanusiaan.
Bantuan kemanusiaan dapat berupa bantuan pangan
pokok dan air bersih, bantuan penampungan dan
tempat hunian sementara, bantuan sandang, bantuan
pelayanan kesehatan termasuk obat-obatan dan
tenaga medis, bantuan pelayanan psikososial,
rehabilitasi dan rekontruksi. Bantuan kemanusiaan
diberikan untuk menanggulangi bencana. Bantuan
kemanusiaan berasal dari pemerintah, masyarakat,
negara-negara asing dan organisasi-organisasi
internasional.
Pemberian bantuankemanusiaan oleh negara-negara
asing dan organisasi-organisasi internasional dapat
juga bertentangan dengan hukum internasional
karena melanggar prinsip kedaulatan dan prinsip non
intervensi yang terdapat dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Menurut hukum internasional
bantuan kemanusiaan diberikan berdasarkan Guiding
Principles on Internal Displacement dan merupakan
kewajiban internasional karena sesuai dengan hak-hak
yang terdapat dalam Universal Declaration of human
rights.
para ahli di bidang hubungan internasional telah mulai
memfokuskan perhatiannya pada netralitas dalam
kaitannya dengan bantuan kemanusiaan. Minat mereka
berhubungan erat dengan bagian yang menguntungkan di
mana semua hal kemanusiaan dianggap dan, lebih dari itu,
untuk pengembangan koordinasi tindakan kemanusiaan
dalam sistem PBB. Pemikiran mereka kadang-kadang
menyimpang melampaui batas-batas ketentuan sebenarnya
bantuan untuk menutupi segala sesuatu yang dimaksudkan
untuk melindungi individu dari ancaman terhadap
hidupnya, integritas fisik dan martabat. Dilihat dari sudut
itu, netralitas adalah divestasi makna hukum dan menjadi
kriteria untuk membedakan antara berbagai bentuk
tindakan internasional Bantuan kemanusiaan yang
diberikan oleh suatu negara asing dengan melibatkan
militer mereka umumnya tidak diatur dalam suatu
perjanjian internasional.
Namun demikian terdapat beberapa Negara yang
mensyaratkan bahwa keberadaan militer mereka di
wilayah Negara lain harus dilengkapi dengan suatu
perjanjian internasional yang dikenal dengan Status of
Forses Agreement (SOFA). Dalam hal ini, yang diatur
dalam SOFA tersebut bukanlah bantuan
kemanusiaannya tetapi status hokum terhadap
kehadiran personil militer dan sipil asing di wilayah
suatu Negara. Ciri yang menonjol dari SOFA adalam
pemberian status kepada personil militer dan sipil
asing sesuai dengan status dari staf administrasi dan
teknis misi diplomatic yang diatur di dalam Konvensi
Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kita
memerlukan bantuan dari luar negeri, baik
dari Negara-negara sahabat maupun
organisasi Internasional. Bantuan dari
Negara-negara lain biasanya datang dari
pihak militer dikarenakan ketersediaan
peralatan operasional lapangan yang relative
baik dan siap digunakan serta personil yang
memadai baik dari segi fisik, mental dan
mobilitas dan organisasi serta rantai
komando yang baik.
Walaupun telah ada SOFA sebagai landasan hukum
dalam penerapan bantuan militer asing, akan tetapi
Negara Indonesia juga harus tetap mempunyai suatu
bentuk Undang-undang yang mengatur tentang
bantuan militer asing. Hal ini untuk lebih menjaga
kedaulatan Negara kita, walaupun dengan alasan
kemanusiaan tetapi belum tentu alasan itu
sepenuhnya benar. Ada kemungkinan juga dalam
melakukan misi kemanusiaan itu, militer asing juga
melakukan kegiatan mata-mata dan hal ini yang perlu
diwaspadai.
Definisi Bantuan Kemanusiaan yang
Netral
1. Bantuan netral adalah bantuan yang validitasnya
didasarkan pada hukum humaniter internasional. Pasal 70
Protokol I dan Pasal 18, ayat 2 Protokol II menyebutkan dua
persyaratan yang terkait erat dengan netralitas, yaitu,
ketidakberpihakan dan non-diskriminasi. Selain itu,
netralitas dipandang sebagai prinsip hukum kemanusiaan,
yang menunjukkan, antara lain, bahwa bantuan
kemanusiaan tidak pernah campur tangan dalam konflik.
2. Hanya bantuan yang secara eksklusif bersifat kemanusiaan
adalah netral. Berbeda dengan Pasal 70 Protokol I, maka
Pasal 18, ayat 2 Protokol II tidak memuat rujukan tentang
campur tangan tetapi ketentuan ini menyatakan bahwa
tindakan bantuan haruslah "secara eksklusif bersifat
kemanusiaan.
3. Bantuan netral hanya terbatas pada tujuan murni dalam praktek
Palang Merah. Dalam putusannya atas kasus kegiatan militer dan
paramiliter di wilayah Nikaragua dan yang melawan Nikaragua,
Mahkamah Internasional berpandangan bahwa jika pemberian
bantuan kemanusiaan adalah untuk menghindari kecaman
sebagai intervensi dalam urusan internal Negara lain, maka hal itu
harus tidak hanya dibatasi pada tujuan murni sebagaimana
praktek dari Palang Merah, yaitu untuk mencegah dan
meringankan penderitaan, serta melindungi kehidupan dan
kesehatan manusia, menjamin penghormatan terhadap manusia,
namun juga yang terpenting adalah bahwa bantuan tersebut
diberikan tanpa membeda-bedakan bagi semua membutuhkan.
4. Agar netral, bantuan harus ditujukan untuk meringankan
penderitaan individu, dipandu hanya oleh kebutuhan mereka, dan
memberikan prioritas kepada kasus yang paling mendesak dari
marabahaya. Bahwa persyaratan yang ditetapkan terutama oleh
prinsip ketidakberpihakan dari Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional.
Masyarakat internasional sebaiknya, menetapkan
pendiriannya tentang bantuan yang diberikan
sehubungan dengan operasi bersenjata yang dilakukan
atau disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertanyaan yang dipermasalahkan adalah apakah
bantuan yang diberikan melalui sebuah operasi yang
tidak selalu memenuhi kriteria abstain tetap dapat
dianggap sebagai netral. Karena hal ini masih
dipertimbangkan, tampaknya dapat diterima bahwa
bantuan yang dilindungi oleh pasukan PBB yang
menggunakan kekuatan terhadap satu atau lebih dari
pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata tidak bisa
netral.
Maka, masih harus ditetapkan apakah bantuan
didistribusikan oleh militer, polisi atau unit sipil yang
terlibat dalam operasi koersif, atau dalam operasi
pemeliharaan perdamaian dengan atau tanpa
kekuasaan koersif, dapat dianggap sebagai netral.
Andai kata demikian, unsur tersebut di atas
menunjukkan bahwa netralitas yang diterapkan pada
bantuan kemanusiaan merupakan gagasan otonom
yang tidak tergantung pada sifat dari badan yang
terlibat dalam kegiatan yang termasuk dalam
pengertian "bantuan kemanusiaan".
Pengertian dan Status Pengungsi
Menurut Konvensi 1951
Berdasarkan konvensi tahun 1951, bahwa pengungsi adalah
orang-orang yang berada diluar negaranya dan terpaksa
meninggalkan Negara mereka karena adanya peristiwa
yang terjadi sebelum tanggal 1 januari 1951 dan adanya rasa
takut yang sangat akan persekusi karena alasan ras, agama,
kebangsaan , keanggotaan pada kelompok social tertentu
ataupun karena pendapat politik yang dianut mereka. Bagi
yang tidak memiliki warga Negara, mereka berada diluar
Negara dimana mereka bertempat tinggal sebelumnya,
sebagai akibat dari suatu peristiwa, dan tidak dapat atau
karena adanya rasa takut yang sedemikian rupa dan tidak
bermaksud untuk kembali ke Negara tersebut.
Dijumpai adanya rasa takut yang sangat akan
penganiayaan berdasarkan ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan pada salah satu organisasi social ataupun
karena pendapat politiknya dijadikan dasar bagi
UNHCR untuk menentukan apakah seseorang itu
termasuk dalam kategori pengungsi atau tidak.
Selanjutnya konvensi tahun 1951 juga mengatur
tentang ‘The exclusions clauses’ dan the cessasion
clauses. Suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
diberikan status pengungsi yang termasuk dalam ‘the
exclusions clauses’ yaitu mereka-mereka yang telah
memenuhi criteria sebagai pengungsi namun mereka
tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan
perlindungan.
Mereka yang termasuk kategori ini adalah:
1.Orang-orang yang telah menerima perlindungan atau
bantuan dari badan-badan atau lembaga-lembaga lain.
Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) selain dari UNHCR.
2. Orang-orang yang telah menikmati hak dan kewajiban yang
sama seperti warga Negara di Negara dimana ia tinggal.
3. Orang-orang yang telah melakukan kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan.
4. Orang-orang yang telah melakukan pelanggaran yang serius
terhadap hukum Negara-negara common law sebelum
mengajukan permohonan ke Negara lain untuk
mendapatkan suaka (asylum) ataupun;
5. Orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi
merupakan perangkat internasional HAM atau
International Human Rights Instruments. Adanya
instrumen internasional itu merupakan salah satu
aspek dalam memajukan perlindungan HAM. Hal ini
antara lain disebabkan oleh kondisi, bahwa negara
mempunyai peran yang besar dalam menyuarakan
kepentingan nasional pada saat proses negosiasi dan
penyusunan suatu perangkat internasional hak asasi
manusia serta pada saat proses transformasi perangkat
tersebut ke dalam hukum nasional yang mengikat
melalui ratifikasi atau aksesi.
Perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya
merupakan tanggung jawab setiap negara. Masalah
perlindungan kepada pengungsi dan atau pencari
suaka merupakan masalah klasik yang telah menjadi
isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad
negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi
warga asing yang menjadi korban penindasan atau
kekerasan di wilayah tempat tinggalnya. Tradisi
kemanusiaan semacam ini pada abad ke 21
dilembagakan ke dalam sebuah Konvensi
Internasional tentang pengungsi.
Prinsip-prinsip Dasar Bantuan
Kemanusiaan dan Pengungsi
Prinsip-prinsip dasar dalam memperlakukan
pengungsi secara internasional. Dasar perlakuan yang
sederajat atas pengungsi dimana saja mereka tinggal
di suatu Negara. Menjadi naif, jika perbincangan
tentang pengungsi hanya didasarkan pada Al-Qur’an.
Konsekuensinya, adalah yang paling relevan justru
bagaimana Al-Qur’an atau Hadist sebagai sumber
hukum dalam Islam memandang konsep-konsep yang
umum tentang tolong menolong atas persoalan
bencana kemanusiaan (human disaster), baik terjadi
sesama keluarga, suku, antar bangsa dan negara dan
juga antar umat manusia berbeda bangsa dan agama.
Prinsip-prinsip dasar Islam tersebut berlaku universal
bagi upaya melindungi pengungsi. Islam sangat peduli
untuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan
taqwa dan tidak tolong menolong untuk dosa dan
permusuhan (QS Al-Maidah : 2). Islam sangat peduli
untuk berdialog dan membuat kesepakatan
perdamaian global untuk masyarakat yang berbeda
bangsa dan agama (QS Ali-Imran : 64). Terutama
Islam menolak ajaran cinta tanah air yang membabi
buta. Sebab, Islam sangat peduli umatnya untuk hijrah
jika di suatu tempat tidak berkembang. Hijrah atau
migrasi menjadi wajib jika penistaan suatu kaum atas
umat yang lain menimbulkan nestapa bagi umat
manusia.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pengungsi
adalah orang-orang yang secara sosial, ekonomi, dan
politik berada dalam situasi tertekan (opressed people),
merasa terancam, sangat ketakutan (well prosecuted), dan
tidak boleh dipaksa untuk dikembalikan ke tanah airnya.
Kondisi mereka yang tertekan tersebut, bisa disebabkan
karena peperangan, Pemerintahan otoritas, atau juga
karena sebab lain mendorong Negara-negara Islam untuk
mengambil kepedulian dan tanggung jawab. Sikap
demikian ini timbul, karena ajaran Islam mewajibkan
untuk saling tolong menolong atas dasar kebajikan dan
bukan permusuhan. Dari segi HAM, ajaran Islam jauh
lebih menempatkan umat manusia sebagai makhluk
mulia, sehingga menolong menyelamatkan seorang nyawa
masih sama intinya dengan menyelamatkan semua
manusia di muka bumi.
Secara reciprocity, umat Islam memiliki etos menolong.
Setiap pertolongan yang mengarah kebaikan kepada
orang lain, ia akan dimudahkan urusannya oleh Allah
SWT (Fa inna ma'al 'usri yusra). Etos pertolongan
tersebut menjadi kewajiban individual, baik bersifat
moral atau hukum, bilamana ketika terjadi (Man ro’a
minkum munkaron. jika kau melihat kemungkaran. fal
yughoyyiru biyadihi. maka ubahlah dengan tanganmu).
Barangsiapa tidak mampu dengan tangan (kekuasaan),
maka dengan lisan (kontak-nasihat). Dengan upaya
untuk mencegah timbulnya pengungsi, maka modus
vivendi yaitu peperangan sebab penyebab timbulnya
pengungsi harus segera di minimalisir. Sebab, Islam
mengutamakan jalan keluar penyelesaian sengketa
apapun lebih memilih cara-cara secara damai,
perundingan dan kesepakatan.
Ajaran Islam Universal salah satunya adalah
konsep hijrah atau migration. Dalam sejarah
perjuangan Nabi Muhammad SAW dengan
sahabatnya, awal kemenangan secara diplomatis
ajaran Islam adalah melakukan hijrah ke Thaif.
Tujuan dari hijrah (pindah) tempat tersebut,
langkah strategis, suatu pengelakan dari
peperangan terbuka, dikala belum memiliki
kekuatan yang berhadapan dengan kekuasaan
Quraisy yang sangat kuat. Bila pun, Nabi dan
sahabatnya ketika itu (650 M) berani, dan
melakukan perlawanan, namun kekalahan yang
menimpa (tanpa memprioritaskan hijrah) adalah
cara yang salah.
Universal Islamic Declaration of Human Rights yang
diadopsi oleh Dewan Islam Eropa 19 September 1981, telah
menunjukan adanya kompromi yang toleran, untuk
mengakui persamaan-persamaan disatu pihak, dan
menerima perbedaan dasar yang memang menuntut untuk
saling menghormati. Misalnya, dalam Konsiderans
Deklarasi, Negara-negara Muslim dengan jelas
menyarankan proses pembuatan perjanjian selain pada
kekuatan intelektualitas, juga dasar-dasar Al-Qur’an dan
Sunnah. Konsekuensinya, umat manusia bukan
merupakan pusat atori pembuat peraturan hukum dan
HAM, melainkan berfungsi sebagai representasi Tuhan di
muka bumi. Kepatuhan umat manusia, bukan ditentukan
oleh rasa ‘curiousity’, ingin tahu, tetapi ada tidaknya
informasi awal dari Tuhan yang kemudian dilembagakan
dengan tujuan mensejahterakan dan memakmurkan
kehidupan di muka bumi.
Keterbatasan yang terjadi di berbagai negara
tersebut, adalah benar bahwa bukan saja timbul
karena persoalan lemahnya kesadaran untuk
mengadopsi hukum internasional, tetapi juga
berbagai faktor lainnya. Roberta Kohen dan
Francis M Deng, melakukan analisis dari segi
hukum bahwa persoalan pengungsi internasional
dan pengungsi domestik dihadapi bebeberap
persoalan antara lain faktor ketimpangan norma
hukum (normative gaps), ketimpangan dalam arti
penerapannya (applicablity gaps), ketimpangan
karena ratifikasi. Secara khusus bahwa keempat
problem tersebut sangat kompleks ketika
dihadapkan pada persoalan pengungsi domestic.
Penyebab Timbulnya Pengungsi
Para Pengungsi dan Pengungsi internal
meninggalkan rumah serta negaranya karena mereka
tidak memiliki pilihan lain kecuali meninggalkan
tanak kelahiranya. Mereka terpaksa keluar oleh
berbagai macam alasan seperti perang, bencana alam,
krisis lingkungan dan kemiskinan. Penyebab lain yaitu
karena pemerintah mereka tidak mau atau tidak bisa
memberikan perlindungan mendasar ataupun
terhadap pelanggaran berat ham. Apapun alasanya,
pengungsi dan IDP meninggalkan rumah mereka
karena takut akan keselamatan nyawa diri sendiri dan
keluarga.
Ada beberapa penyebab yang menjadikan mereka sebagai
Pengungsi dan IDP:
I. Pertama, berdasarkan hukum pengungsi internasional,
pengungsi adalah seseorang yang mencari suaka di negara
lain karena perang dan kekerasan atau karena takut akan
ancaman penyiksaan. PBB mengakui penyiksaan karena :
a. Ras digunakan dalam arti luas dan termasuk kelompok
etnis dan sosial keturunan umum.
b. Agama dalam arti luas, termasuk identifikasi terhadap
kelompok yang cenderung memiliki kebudayaan dan
kepercayaan yang sama, maupun cara aktif beribadah.
c. Kebangsaan termasuk individual kebangsaan dan
ancaman penganiayaan etnik, bahasa dan kelompok
budaya dalam sebuah komunitas mungkin dilakukan
sebagai bentuk nasionalisme.
d. Kelompok sosial tertentu mengacu pada orang-orang
yang berbagai latar belakang yang sama, kebiasaan atau
status sosial. Kategori ini sering tumpang tindih dengan
penganiayaan berdasarkan salah satu dari 4 alasan yang
lainya. Telah diterapkan untuk keluarga kapitalis,
pemilik tanah, homoseksual, pengusaha dan mantan
anggota militer.
e. Pandangan politik mengacu pada ide-ide tidak
ditoleransi oleh pemerintah. Termasuk pendapat kritis
terhadap kebijakan dan metode pemerintah.Individu
yang menyembunyikan pendapat politiknya sampai
setelah melarikan diri dari negara mereka, mereka baru
bisa diberikan status pengungsi jika mereka dapat
menunjukkan bahwa pandangan mereka cenderung
akan mengakibatkan penganiayaan jika mereka kembali
ke rumah.
II. Kedua, perang dan etnik, kekerasan agama dan
suku mengarah kepada penyebab mengapa pengungsi
meninggalkan negara mereka. Ketiga, peta
menunjukkan dimana bencana alam yang disebabkan
perubahan iklim yang terjadi memungkinkan
timbulnya pengungsi. Walaupun mereka tidak
memenuhi definisi pengungsi yang sudah ditentukan
dalam konvensi PBB. Orang -orang yang mengungsi
dikarenakan efek perubahan ikllim disebut dengan
istilah climate refugeesor yaitu pengungsi yang timbul
sebagai perubahan iklim. Istilah pengungsi
lingkungan juga sering digunakan dan terdapat sekitas
25 Juta orang yang saat ini termasuk dalam jeni
spengungsi tersebut.
III. Ketiga, ancaman keamanan terjadi ketika adanya agresi.
Pengungsi digunakan dan di rekrut sebagai pejuang dan
bantuan kemanusiaan akan diarahkan pada bantuan
pengungsi dan sangat jarang digunakan untuk mendanai
pembelian senjata. Sehingga para penggungsi ini merasa
terancam dan memilih untuk berpindah tempat.