Anda di halaman 1dari 84

PENGUNGSI SEBAGAI DAMPAK BENCANA

KEMANUSIAAN
Pengertian Bantuan Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional
Bantuan kemanusiaan adalah bantuan yang berikan
kepada para korban bencana untuk kemanusiaan.
Bantuan kemanusiaan dapat berupa bantuan pangan
pokok dan air bersih, bantuan penampungan dan
tempat hunian sementara, bantuan sandang, bantuan
pelayanan kesehatan termasuk obat-obatan dan
tenaga medis, bantuan pelayanan psikososial,
rehabilitasi dan rekontruksi. Bantuan kemanusiaan
diberikan untuk menanggulangi bencana. Bantuan
kemanusiaan berasal dari pemerintah, masyarakat,
negara-negara asing dan organisasi-organisasi
internasional.
Pemberian bantuankemanusiaan oleh negara-negara
asing dan organisasi-organisasi internasional dapat
juga bertentangan dengan hukum internasional
karena melanggar prinsip kedaulatan dan prinsip non
intervensi yang terdapat dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Menurut hukum internasional
bantuan kemanusiaan diberikan berdasarkan Guiding
Principles on Internal Displacement dan merupakan
kewajiban internasional karena sesuai dengan hak-hak
yang terdapat dalam Universal Declaration of human
rights.
para ahli di bidang hubungan internasional telah mulai
memfokuskan perhatiannya pada netralitas dalam
kaitannya dengan bantuan kemanusiaan. Minat mereka
berhubungan erat dengan bagian yang menguntungkan di
mana semua hal kemanusiaan dianggap dan, lebih dari itu,
untuk pengembangan koordinasi tindakan kemanusiaan
dalam sistem PBB. Pemikiran mereka kadang-kadang
menyimpang melampaui batas-batas ketentuan sebenarnya
bantuan untuk menutupi segala sesuatu yang dimaksudkan
untuk melindungi individu dari ancaman terhadap
hidupnya, integritas fisik dan martabat. Dilihat dari sudut
itu, netralitas adalah divestasi makna hukum dan menjadi
kriteria untuk membedakan antara berbagai bentuk
tindakan internasional Bantuan kemanusiaan yang
diberikan oleh suatu negara asing dengan melibatkan
militer mereka umumnya tidak diatur dalam suatu
perjanjian internasional.
Namun demikian terdapat beberapa Negara yang
mensyaratkan bahwa keberadaan militer mereka di
wilayah Negara lain harus dilengkapi dengan suatu
perjanjian internasional yang dikenal dengan Status of
Forses Agreement (SOFA). Dalam hal ini, yang diatur
dalam SOFA tersebut bukanlah bantuan
kemanusiaannya tetapi status hokum terhadap
kehadiran personil militer dan sipil asing di wilayah
suatu Negara. Ciri yang menonjol dari SOFA adalam
pemberian status kepada personil militer dan sipil
asing sesuai dengan status dari staf administrasi dan
teknis misi diplomatic yang diatur di dalam Konvensi
Wina tahun 1961 mengenai Hubungan Diplomatik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kita
memerlukan bantuan dari luar negeri, baik
dari Negara-negara sahabat maupun
organisasi Internasional. Bantuan dari
Negara-negara lain biasanya datang dari
pihak militer dikarenakan ketersediaan
peralatan operasional lapangan yang relative
baik dan siap digunakan serta personil yang
memadai baik dari segi fisik, mental dan
mobilitas dan organisasi serta rantai
komando yang baik.
Walaupun telah ada SOFA sebagai landasan hukum
dalam penerapan bantuan militer asing, akan tetapi
Negara Indonesia juga harus tetap mempunyai suatu
bentuk Undang-undang yang mengatur tentang
bantuan militer asing. Hal ini untuk lebih menjaga
kedaulatan Negara kita, walaupun dengan alasan
kemanusiaan tetapi belum tentu alasan itu
sepenuhnya benar. Ada kemungkinan juga dalam
melakukan misi kemanusiaan itu, militer asing juga
melakukan kegiatan mata-mata dan hal ini yang perlu
diwaspadai.
Definisi Bantuan Kemanusiaan yang
Netral
1. Bantuan netral adalah bantuan yang validitasnya
didasarkan pada hukum humaniter internasional. Pasal 70
Protokol I dan Pasal 18, ayat 2 Protokol II menyebutkan dua
persyaratan yang terkait erat dengan netralitas, yaitu,
ketidakberpihakan dan non-diskriminasi. Selain itu,
netralitas dipandang sebagai prinsip hukum kemanusiaan,
yang menunjukkan, antara lain, bahwa bantuan
kemanusiaan tidak pernah campur tangan dalam konflik.
2. Hanya bantuan yang secara eksklusif bersifat kemanusiaan
adalah netral. Berbeda dengan Pasal 70 Protokol I, maka
Pasal 18, ayat 2 Protokol II tidak memuat rujukan tentang
campur tangan tetapi ketentuan ini menyatakan bahwa
tindakan bantuan haruslah "secara eksklusif bersifat
kemanusiaan.
3. Bantuan netral hanya terbatas pada tujuan murni dalam praktek
Palang Merah. Dalam putusannya atas kasus kegiatan militer dan
paramiliter di wilayah Nikaragua dan yang melawan Nikaragua,
Mahkamah Internasional berpandangan bahwa jika pemberian
bantuan kemanusiaan adalah untuk menghindari kecaman
sebagai intervensi dalam urusan internal Negara lain, maka hal itu
harus tidak hanya dibatasi pada tujuan murni sebagaimana
praktek dari Palang Merah, yaitu untuk mencegah dan
meringankan penderitaan, serta melindungi kehidupan dan
kesehatan manusia, menjamin penghormatan terhadap manusia,
namun juga yang terpenting adalah bahwa bantuan tersebut
diberikan tanpa membeda-bedakan bagi semua membutuhkan.
4. Agar netral, bantuan harus ditujukan untuk meringankan
penderitaan individu, dipandu hanya oleh kebutuhan mereka, dan
memberikan prioritas kepada kasus yang paling mendesak dari
marabahaya. Bahwa persyaratan yang ditetapkan terutama oleh
prinsip ketidakberpihakan dari Gerakan Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional.
Masyarakat internasional sebaiknya, menetapkan
pendiriannya tentang bantuan yang diberikan
sehubungan dengan operasi bersenjata yang dilakukan
atau disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertanyaan yang dipermasalahkan adalah apakah
bantuan yang diberikan melalui sebuah operasi yang
tidak selalu memenuhi kriteria abstain tetap dapat
dianggap sebagai netral. Karena hal ini masih
dipertimbangkan, tampaknya dapat diterima bahwa
bantuan yang dilindungi oleh pasukan PBB yang
menggunakan kekuatan terhadap satu atau lebih dari
pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata tidak bisa
netral.
Maka, masih harus ditetapkan apakah bantuan
didistribusikan oleh militer, polisi atau unit sipil yang
terlibat dalam operasi koersif, atau dalam operasi
pemeliharaan perdamaian dengan atau tanpa
kekuasaan koersif, dapat dianggap sebagai netral.
Andai kata demikian, unsur tersebut di atas
menunjukkan bahwa netralitas yang diterapkan pada
bantuan kemanusiaan merupakan gagasan otonom
yang tidak tergantung pada sifat dari badan yang
terlibat dalam kegiatan yang termasuk dalam
pengertian "bantuan kemanusiaan".
Pengertian dan Status Pengungsi
Menurut Konvensi 1951
 Berdasarkan konvensi tahun 1951, bahwa pengungsi adalah
orang-orang yang berada diluar negaranya dan terpaksa
meninggalkan Negara mereka karena adanya peristiwa
yang terjadi sebelum tanggal 1 januari 1951 dan adanya rasa
takut yang sangat akan persekusi karena alasan ras, agama,
kebangsaan , keanggotaan pada kelompok social tertentu
ataupun karena pendapat politik yang dianut mereka. Bagi
yang tidak memiliki warga Negara, mereka berada diluar
Negara dimana mereka bertempat tinggal sebelumnya,
sebagai akibat dari suatu peristiwa, dan tidak dapat atau
karena adanya rasa takut yang sedemikian rupa dan tidak
bermaksud untuk kembali ke Negara tersebut.
Dijumpai adanya rasa takut yang sangat akan
penganiayaan berdasarkan ras, agama, kebangsaan,
keanggotaan pada salah satu organisasi social ataupun
karena pendapat politiknya dijadikan dasar bagi
UNHCR untuk menentukan apakah seseorang itu
termasuk dalam kategori pengungsi atau tidak.
Selanjutnya konvensi tahun 1951 juga mengatur
tentang ‘The exclusions clauses’ dan the cessasion
clauses. Suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat
diberikan status pengungsi yang termasuk dalam ‘the
exclusions clauses’ yaitu mereka-mereka yang telah
memenuhi criteria sebagai pengungsi namun mereka
tidak membutuhkan atau berhak untuk mendapatkan
perlindungan.
Mereka yang termasuk kategori ini adalah:
1.Orang-orang yang telah menerima perlindungan atau
bantuan dari badan-badan atau lembaga-lembaga lain.
Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) selain dari UNHCR.
2. Orang-orang yang telah menikmati hak dan kewajiban yang
sama seperti warga Negara di Negara dimana ia tinggal.
3. Orang-orang yang telah melakukan kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, kejahatan terhadap
kemanusiaan.
4. Orang-orang yang telah melakukan pelanggaran yang serius
terhadap hukum Negara-negara common law sebelum
mengajukan permohonan ke Negara lain untuk
mendapatkan suaka (asylum) ataupun;
5. Orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi
merupakan perangkat internasional HAM atau
International Human Rights Instruments. Adanya
instrumen internasional itu merupakan salah satu
aspek dalam memajukan perlindungan HAM. Hal ini
antara lain disebabkan oleh kondisi, bahwa negara
mempunyai peran yang besar dalam menyuarakan
kepentingan nasional pada saat proses negosiasi dan
penyusunan suatu perangkat internasional hak asasi
manusia serta pada saat proses transformasi perangkat
tersebut ke dalam hukum nasional yang mengikat
melalui ratifikasi atau aksesi.
Perlindungan terhadap pengungsi pada dasarnya
merupakan tanggung jawab setiap negara. Masalah
perlindungan kepada pengungsi dan atau pencari
suaka merupakan masalah klasik yang telah menjadi
isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad
negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi
warga asing yang menjadi korban penindasan atau
kekerasan di wilayah tempat tinggalnya. Tradisi
kemanusiaan semacam ini pada abad ke 21
dilembagakan ke dalam sebuah Konvensi
Internasional tentang pengungsi.
Prinsip-prinsip Dasar Bantuan
Kemanusiaan dan Pengungsi
Prinsip-prinsip dasar dalam memperlakukan
pengungsi secara internasional. Dasar perlakuan yang
sederajat atas pengungsi dimana saja mereka tinggal
di suatu Negara. Menjadi naif, jika perbincangan
tentang pengungsi hanya didasarkan pada Al-Qur’an.
Konsekuensinya, adalah yang paling relevan justru
bagaimana Al-Qur’an atau Hadist sebagai sumber
hukum dalam Islam memandang konsep-konsep yang
umum tentang tolong menolong atas persoalan
bencana kemanusiaan (human disaster), baik terjadi
sesama keluarga, suku, antar bangsa dan negara dan
juga antar umat manusia berbeda bangsa dan agama.
Prinsip-prinsip dasar Islam tersebut berlaku universal
bagi upaya melindungi pengungsi. Islam sangat peduli
untuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan
taqwa dan tidak tolong menolong untuk dosa dan
permusuhan (QS Al-Maidah : 2). Islam sangat peduli
untuk berdialog dan membuat kesepakatan
perdamaian global untuk masyarakat yang berbeda
bangsa dan agama (QS Ali-Imran : 64). Terutama
Islam menolak ajaran cinta tanah air yang membabi
buta. Sebab, Islam sangat peduli umatnya untuk hijrah
jika di suatu tempat tidak berkembang. Hijrah atau
migrasi menjadi wajib jika penistaan suatu kaum atas
umat yang lain menimbulkan nestapa bagi umat
manusia.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pengungsi
adalah orang-orang yang secara sosial, ekonomi, dan
politik berada dalam situasi tertekan (opressed people),
merasa terancam, sangat ketakutan (well prosecuted), dan
tidak boleh dipaksa untuk dikembalikan ke tanah airnya.
Kondisi mereka yang tertekan tersebut, bisa disebabkan
karena peperangan, Pemerintahan otoritas, atau juga
karena sebab lain mendorong Negara-negara Islam untuk
mengambil kepedulian dan tanggung jawab. Sikap
demikian ini timbul, karena ajaran Islam mewajibkan
untuk saling tolong menolong atas dasar kebajikan dan
bukan permusuhan. Dari segi HAM, ajaran Islam jauh
lebih menempatkan umat manusia sebagai makhluk
mulia, sehingga menolong menyelamatkan seorang nyawa
masih sama intinya dengan menyelamatkan semua
manusia di muka bumi.
Secara reciprocity, umat Islam memiliki etos menolong.
Setiap pertolongan yang mengarah kebaikan kepada
orang lain, ia akan dimudahkan urusannya oleh Allah
SWT (Fa inna ma'al 'usri yusra). Etos pertolongan
tersebut menjadi kewajiban individual, baik bersifat
moral atau hukum, bilamana ketika terjadi (Man ro’a
minkum munkaron. jika kau melihat kemungkaran. fal
yughoyyiru biyadihi. maka ubahlah dengan tanganmu).
Barangsiapa tidak mampu dengan tangan (kekuasaan),
maka dengan lisan (kontak-nasihat). Dengan upaya
untuk mencegah timbulnya pengungsi, maka modus
vivendi yaitu peperangan sebab penyebab timbulnya
pengungsi harus segera di minimalisir. Sebab, Islam
mengutamakan jalan keluar penyelesaian sengketa
apapun lebih memilih cara-cara secara damai,
perundingan dan kesepakatan.
Ajaran Islam Universal salah satunya adalah
konsep hijrah atau migration. Dalam sejarah
perjuangan Nabi Muhammad SAW dengan
sahabatnya, awal kemenangan secara diplomatis
ajaran Islam adalah melakukan hijrah ke Thaif.
Tujuan dari hijrah (pindah) tempat tersebut,
langkah strategis, suatu pengelakan dari
peperangan terbuka, dikala belum memiliki
kekuatan yang berhadapan dengan kekuasaan
Quraisy yang sangat kuat. Bila pun, Nabi dan
sahabatnya ketika itu (650 M) berani, dan
melakukan perlawanan, namun kekalahan yang
menimpa (tanpa memprioritaskan hijrah) adalah
cara yang salah.
 Universal Islamic Declaration of Human Rights yang
diadopsi oleh Dewan Islam Eropa 19 September 1981, telah
menunjukan adanya kompromi yang toleran, untuk
mengakui persamaan-persamaan disatu pihak, dan
menerima perbedaan dasar yang memang menuntut untuk
saling menghormati. Misalnya, dalam Konsiderans
Deklarasi, Negara-negara Muslim dengan jelas
menyarankan proses pembuatan perjanjian selain pada
kekuatan intelektualitas, juga dasar-dasar Al-Qur’an dan
Sunnah. Konsekuensinya, umat manusia bukan
merupakan pusat atori pembuat peraturan hukum dan
HAM, melainkan berfungsi sebagai representasi Tuhan di
muka bumi. Kepatuhan umat manusia, bukan ditentukan
oleh rasa ‘curiousity’, ingin tahu, tetapi ada tidaknya
informasi awal dari Tuhan yang kemudian dilembagakan
dengan tujuan mensejahterakan dan memakmurkan
kehidupan di muka bumi.
Keterbatasan yang terjadi di berbagai negara
tersebut, adalah benar bahwa bukan saja timbul
karena persoalan lemahnya kesadaran untuk
mengadopsi hukum internasional, tetapi juga
berbagai faktor lainnya. Roberta Kohen dan
Francis M Deng, melakukan analisis dari segi
hukum bahwa persoalan pengungsi internasional
dan pengungsi domestik dihadapi bebeberap
persoalan antara lain faktor ketimpangan norma
hukum (normative gaps), ketimpangan dalam arti
penerapannya (applicablity gaps), ketimpangan
karena ratifikasi. Secara khusus bahwa keempat
problem tersebut sangat kompleks ketika
dihadapkan pada persoalan pengungsi domestic.
Penyebab Timbulnya Pengungsi
Para Pengungsi dan Pengungsi internal
meninggalkan rumah serta negaranya karena mereka
tidak memiliki pilihan lain kecuali meninggalkan
tanak kelahiranya. Mereka terpaksa keluar oleh
berbagai macam alasan seperti perang, bencana alam,
krisis lingkungan dan kemiskinan. Penyebab lain yaitu
karena pemerintah mereka tidak mau atau tidak bisa
memberikan perlindungan mendasar ataupun
terhadap pelanggaran berat ham. Apapun alasanya,
pengungsi dan IDP meninggalkan rumah mereka
karena takut akan keselamatan nyawa diri sendiri dan
keluarga.
Ada beberapa penyebab yang menjadikan mereka sebagai
Pengungsi dan IDP:
I. Pertama, berdasarkan hukum pengungsi internasional,
pengungsi adalah seseorang yang mencari suaka di negara
lain karena perang dan kekerasan atau karena takut akan
ancaman penyiksaan. PBB mengakui penyiksaan karena :
a. Ras digunakan dalam arti luas dan termasuk kelompok
etnis dan sosial keturunan umum.
b. Agama dalam arti luas, termasuk identifikasi terhadap
kelompok yang cenderung memiliki kebudayaan dan
kepercayaan yang sama, maupun cara aktif beribadah.
c. Kebangsaan termasuk individual kebangsaan dan
ancaman penganiayaan etnik, bahasa dan kelompok
budaya dalam sebuah komunitas mungkin dilakukan
sebagai bentuk nasionalisme.
d. Kelompok sosial tertentu mengacu pada orang-orang
yang berbagai latar belakang yang sama, kebiasaan atau
status sosial. Kategori ini sering tumpang tindih dengan
penganiayaan berdasarkan salah satu dari 4 alasan yang
lainya. Telah diterapkan untuk keluarga kapitalis,
pemilik tanah, homoseksual, pengusaha dan mantan
anggota militer.
e. Pandangan politik mengacu pada ide-ide tidak
ditoleransi oleh pemerintah. Termasuk pendapat kritis
terhadap kebijakan dan metode pemerintah.Individu
yang menyembunyikan pendapat politiknya sampai
setelah melarikan diri dari negara mereka, mereka baru
bisa diberikan status pengungsi jika mereka dapat
menunjukkan bahwa pandangan mereka cenderung
akan mengakibatkan penganiayaan jika mereka kembali
ke rumah.
II. Kedua, perang dan etnik, kekerasan agama dan
suku mengarah kepada penyebab mengapa pengungsi
meninggalkan negara mereka. Ketiga, peta
menunjukkan dimana bencana alam yang disebabkan
perubahan iklim yang terjadi memungkinkan
timbulnya pengungsi. Walaupun mereka tidak
memenuhi definisi pengungsi yang sudah ditentukan
dalam konvensi PBB. Orang -orang yang mengungsi
dikarenakan efek perubahan ikllim disebut dengan
istilah climate refugeesor yaitu pengungsi yang timbul
sebagai perubahan iklim. Istilah pengungsi
lingkungan juga sering digunakan dan terdapat sekitas
25 Juta orang yang saat ini termasuk dalam jeni
spengungsi tersebut.
III. Ketiga, ancaman keamanan terjadi ketika adanya agresi.
Pengungsi digunakan dan di rekrut sebagai pejuang dan
bantuan kemanusiaan akan diarahkan pada bantuan
pengungsi dan sangat jarang digunakan untuk mendanai
pembelian senjata. Sehingga para penggungsi ini merasa
terancam dan memilih untuk berpindah tempat.

IV. Keempat, krisis ekonomi dan kemiskinan. Pengungsi


dipaksa meninggalkan negaranya karena krisis ekonomi di
negaranya sehingga mengakibatkan sulitnya perolehan
pekerjaan dan uang guna menghidupi keluarga. Ketika
mereka merasa putus asa dan merasa sudah tidak ada
harapan lagi, dan tanpa adanya upaya dari pemerintah
untuk memberikan bantuan, mereka memutuskan untuk
menjadi pengungsi dan pindah ke negara lain yang dapat
memberikan mereka kehidupan yang lebih baik,
lingkungan yang damai dan perhatian pemerintah dalam
kehidupanya.
V. Kelima, manusia perahu adalah Istilah manusia
perahu yang umum digunakan pada tahun 1970an
ketika terjadi eksodus besar-besaran oleh pengungsi
Vietnam sehubungan dengan adanya perang Vietnam.
Manusia perahu merupakan cara migrasi yang banyak
digunakan oleh orang-orang Kuba, Haiti, Maroko,
Vietnam atau Albania. Mereka mempertaruhkan
nyawanya dalam kapal berbahaya dan penuh sesak
untuk menghindari penindasan dan kemiskinan di
negara asal mereka. Hal yang terjadi sebagai efek
perang Vietnam membuat orang – orang di Kamboja,
Laos dan terutama Vietnam menjadi pengungsi pada
akhir tahun 1970an dan 1980. Pada tahun 2001, 353
pencari suaka berlayar dari Indonesia menuju
Australia dan tewas ketika kapal mereka tenggelam.
Adapun beberapa alasan-alasan terjadinya pengungsi
internal:
1. Pertama, konflik bersenjata internasional (perang
antara pasukan bersenjata minimal antar adua negara,
perang melawan gerakan pembebasan nasional juga
termasuk dalam konflik internasional) dan konflik
bersenjata non-internasional (perang dalam sebuah
wilayah negara antara pasukan bersenjata dan
kelompok bersenjata terorganisir, atau antara sesame
faksi kelompok bersenjata).
2. Kedua, situasi kekerasan, terjadinya konflik bersenjata yang
singkat. Banyak pengungsi internal hidup dalam situasi
ketegangan atau ganguan internal merujuk pada situasi
singkat konflik bersenjata. Tetapi, melibatkan penggunaan
kekerasan dan tindakan represif lainnya oleh agen-agen
pemerintah untuk memelihara atau memulihkan ketrtiban
umum. Contoh gangguan dan ketegangan antara lain
kerusuhan, demonstrasi tanpa rencana yang matang,
kekerasan sporadis yang menentang pihak berwenang
dengan senjata atau oleh kelompok bersenjata dan konflik
kekerasan etnis yang tidak sepenuhnya konflik bersenjata.
Situasi ketegangan internal serius melibatkan jenis
pelanggaran hak asasi manusia tertentu seperti penahanan
skala besar, dan tindakan berskala besar lainnya dalam
membatasi kebebasan individu, penahanan administratif
dan penetapan tempat tinggal, tahanan politik dalam jumlah
besar, dan kemungkinan adanya perlakuan buruk atau
kondisi tidak manusiawi selama proses penahanan.
3. Ketiga, Pelanggaran hak asasi manusia, termasuk
didalamnya pelanggaran dilakukan pemerintah
terhadap hak-hak yang dijamin oleh hukum hak asasi
manusia baik nasional, regional maupun
internasional. Tindakan kelalaian yang dilakukan oleh
negara sehingga mengakibatkan kegagalan untuk
melaksanakan kewajiban hukum terhadap hak asasi
manusia. Orang dapat berargumentasi bahwa konsep
"penganiayaan" biasanya digunakan dalam konteks
pengungsi, bertepatan setidaknya sebagian dengan
situasi pelanggaran hak asasi manusia : ancaman
terhadap nyawa dan kebebasan karena ras, agama,
kebangsaan, pandangan politik atau keanggotaan
terhadap kelompok sosial tertentu.
4. Keempat, Bencana, yang dapat berasal dari alam atau
ulah tangan manusia. adalah kekeringan. banjir,
gempa bumi atau angin topan, bencana nuklir atau
kelaparan. Korban bencana terangkum dalam definisi
sebagai salah satu korban diskriminasi dan
pelanggaran ham yang lainya karena kepindhan
mereka yang diakibatkan oleh bencana ke daerah yang
mengakibatkan mereka menjadi kaum minoritas.
Bencana alam atau bencana ulah tangan manusia juga
termasuk didalamnya karena dalam beberapa kasus
pemerintah merespon dengan melakukan tindakan
diskriminasi atau mengacuhkan kelompok korban
tertentu karena alasan politik, etnik atau dengan
melanggar hak mereka dengan cara lain.
5. Kelima, kemungkinan penyebab yang lain bisa
muncul seperti ketika terjadi perkembangan skala
besar dalam pembuatan bendungan air tanpa adanya
upay apemerintah untuk memberikan tempat tinggal
atau memberikan ganti rugi mereka yang harus
pindah. Proyek pengenmabngan skala besar
disebutkan dalam Guiding Principle 6 (kasus arbitrase
pengungsi).
Dapat disimpulkan bahwa diantara pengungsi
memiliki alasan yang hampir sama dengan mereka
meninggalkan tempat tinggalnya. Adapun perbedaan
antara Pengungsi dengan Pengungsi internal
perbedaan diantaranya, yaitu:

Pengungsi adalah “seseorang yang memiliki ketakutan


yang beralasan akan memperoleh penganiyayaan
dikarenakan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
dalam kelompok sosial atau pendapat kelompok
tertentu, berada di luar negara kebangsaannya, dan
tidak dapat atau memiliki ketakutan tersebut, tidak
mau meminta perlindungan dari negaranya tersebut”.
(Konvensi 1951 Pasal 1A(2)).
a. Persyaratan untuk menjadi pengungsi berdasarkan
Konvensi 1951 sangat terbatas dan jelas, yaitu harus
ada ketakutan yang beralasan dan ketakutan ini harus
berkaitan dengan salah satu alasan yang sudah
disebutkan. Sedangkan definisi pengungsi internal
jauh lebih luas dan juga memasukan bencana alam
serta bencana akbiat ulah manusia didalamnya.
b. Seorang dinyatakan sebagai pengungsi ketika dirinya
telah memasuki batas wilayah suatu negara,
sedangkan pengungsi internal masih berada dalam
wilayah negaranya.
c. Status hukum pengungsi diatur dalam dokumen
hukum internasional, dalam pengungsi internal tidak
terdapat dokumen mengikat yang menyatakan
statusnya sebagai pengungsi internal.
Status pengungsi memberikan hak kepada pemegang
status tersebut, sedangkan menjadi seorang pengungsi
internal tidak akan memberikan hak tambahan lainya yang
melekat. Seorang pengungsi internal memiliki hak yang
sama dengan penduduk sipil lainya.
Definisi seorang pengungsi ataupun pengungsi internal
tidak mencakup orang yang bermigrasi karena alasan
ekonomi. Namun, orang-orang yang terpaksa
meninggalkan rumah mereka karena ketidakadilan
ekonomi dan dijadikan kelompok marginal akan
berdampak sebagai pelanggaran sistematis terhadap hak
ekonomi dan dapat dimasukan ke dalam kriteria sebagai
pengungsi. Dibalik langkah-langkah ekonomi yang
mempengaruhi kehidupan seseorang mungkin ada tujuan
ras, agama atau politik atau niat diarahkan terhadap
kelompok tertentu.
Kasus pengungsi terjadi di banyak negara di dunia ini.
Salah satunya terjadi di Burma, yang bertanggung jawab
atas sejumlah besar pengungsi dan pengungsi internal
di salah satu daerahnya. Diantara mereka yang telah
meninggalkan negaranya, ada sejumlah 15.000
pengungsi berkemah di sembilan tempat penampungan
sementara di sepanjang perbatasan Thailand-Burma.
Ratusan ribu lainnya berupaya melakukan gerakan
pengungsi bawah tanah menuju Thailand, dan puluhan
ribu lainnya melakukan hal yang sama ke Malaysia. Di
samping itu, kampanye baru-baru ini oleh militer
Burma (Tatmadaw), dalam aliansi dengan kekuatan
barunya yaitu milisi lokal etnis perbatasan, Democratic
Karen Buddhist Army (DKBA), telah mendorong aliran
terbesar pengungsi Karen ke Thailand sejak tahun 1997.
Pada bulan Juni sendiri diperkirakan 4.000 Karen
membanjiri Thailand, pada bulan Juli, pasukan
pergerakan di Kokang dilaporkan mengakibatkan
37.000 etnis Cina mencari tempat mengungsi ke
daerah perbatasan Cina, Provinsi Yunnan. Dalam
kasus sebelumnya, pemerintah Thailand bergerak
dengan cepat berkonsolidasi dengan para pengungsi
yang baru berdatangan danmenempatkanya di dua
tempat penampungan sementara serta mengijinkan
organisasi non-pemerintah lokal maupun
internasional untuk memberikan bantuan
kemanusiaan karena mereka masih menunggu
pendaftaran dan peninjauan status pengungsi mereka.
Di lain pihak pemerintah China tidak memberikan
respon yang jelas hingga saat ini.
Kasus lainya mengenai pengungsi dan pengungsi internal
adalah Irak, yang menjadi pusat perhatian komunitas dunia
saat ini. Saat ini, ada 2 juta pengungsi Irak yang tinggal di
luar negeri dan lain hampir 2 juta pengungsi di dalamnya.
beberapa menjadi pengungsi di abad ke-20 sebagai akibat
dari perang Iran-Irak dan perang Teluk pertama, yang lain
oleh invasi Amerika tahun 2003 dan sisanya korban konflik
yang berkelanjutan. Termasuk didalamnya warga Irak, warga
negara asing yang telah telah berada di negara itu dan
bekerja di industri minyak dan pengungsi Palestina yang
keluarganya terdiri dari Irak-Palestina sudah telah
mengungsi satu kali atau lebih di wilayah tersebut. Menurut
institusi Brookings, jumlah pencari suaka menurun 10%
secara global pada tahun 2005-2006, pencari suaka Irak
bertambah 77%. Angka menunjukkan bahwa 15-22%
populasi Irak termasuk pengungsi internasional atau
internal, dan Irak diperkirakan sebagai pemohon suaka
terbesar kepada 50 negara-negara industri di dunia saat ini.
Status Pengungsi Dalam HAM
Internasional
Pengungsi merupakan salah satu subyek penting dalam
hukum internasional. Identitas tersebut sudah ada sejak
dahulu ketika manusia mengembangkan kelompok
komunitasnya menjadi sebuah negara. Fenomena
pengungsi kini menjadi hal yang penting sejak
perkembangan global dan hak asasi. Keberadaan pengungsi
tidak boleh diangap remeh dan harus dihormati oleh
semua negara di dunia. Terlebih lagi semenjak hukum
internasional mengakui akan hak mereka sehingga timbul
kewajiban untuk menjaga dan memberikan bantuan
kemanusiaan kepadanya. Semenjak Perang Dunia II,
jumlah pengungsi meningkat secara besar dan meluas di
sepanjang Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Australia.
Pengungsi adalah sekelompok orang yang diakui
statusnya sebagai individu yang memiliki hak penuh
sebagai manusia normal dalam kebutuhan dasar,
makan, minum, pakaian, perumahan, kesehatan dan
lapangan kerja. Mereka memiliki hak dan kewajiban
yang dijamin oeleh hukum internasional. Namun,
pada kenyataanya terdapat berbagai pelanggaran
terhadap hak dan kewajiban yang melekat pada diri
pengungsi ini. Konvensi tahun 1951 tentang Komisi
Tinggi Pengungsi PBB (United Nations for High
Commission on Refugee) mengupayakan
perlindungan dan penghormatan terhadap hak dan
kewajibannya dan mencoba membantu meraih
penghidupan lebih baik sebagai individu.
Continue…
Pengungsi pada umumnya berasal dari negara yang
mengalami konflik sosial, ekonomi dan politik seperti
Afrika Tenggara, Eropa Tengah, Timur Tengah dan
beberapa negara di Afrika Selatan dan Asia. Timbul
sebuah kewajiban moral yang berlatarbelakang rasa
kebersamaan sebagai sesame manusia untuk
membantu para pengungsi yang hak dan kewajibanya
tidak terpenuhi.
Ratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967, harus
dilakukan dalam bentuk Undang-undang sebenarnya
sejalan dengan apa yang dituntut dalam konvensi itu.
Konvensi tersebut mengatur perlindungan HAM, hak
asasi rakyat, oleh karena itu juga memerlukan keikut
sertaan atau persetujuan rakyat. Sehubungan dengan
hal ini maka pembuatan dan pengesahan suatu
perjanjian internasional harus dilakukan dengan
dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan
instrumen-instrumen perundang-undangan yang jelas
pula. Sejak diundangkannya Undang-undang No. 24
Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional,
Lembaran Negara No.185 Tambahan Lembaran Negara
No.4012, maka ketentuan inilah yang dipakai sebagai
dasar hokum Pemerintah Indonesia dalam membuat
dan mengesahkan suatu perjanjian internasional.
Pemerintah Indonesia dapat melakukan reservasi
terhadap ketentuan pasal 13, 14, 17 Konvensi yang
mewajibkan negara untuk memberi perlakuan yang
sama kepada pengungsi dan warga negara sendiri serta
orang lain yang tinggal di wilayahnya mengenai hak
milik atas barang bergerak, tidak bergerak,
perumahan, pekerjaan, dan lain-lain. Pertimbangan
untuk mereservasi pasal-pasal tersebut adalah bagi
negara berkembang seperti Indonesia menyediakan
fasilitas bagi warga negaranya sendiri saja masih sulit
untuk dipenuhi, apalagi harus memberikan
pelaksanaan hal tersebut kepada pengungsi.
Sikap menjadi pihak dalam Konvensi ini sekaligus
menunjukkan kesungguhan bangsa Indonesia dalam usaha
internasional memperjuangkan penghargaan martabat
manusia termasuk di dalamnya persoalan pengungsi.
Dengan menyatakan pengesahan pada Konvensi, maka
Pemerintah Indonesia terikat dengan kewajiban
internasional yang timbul dari Konvensi ini, yaitu
menerima prosedur penyidikan oleh Komisi yang dibentuk
berdasarkan Konvensi. Sehingga keterikatan pada Konvensi
tidak hanya sekedar reporting obligation, tetapi secara utuh
dapat menerimanya, termasuk menerima prosedur
penyidikan oleh Komisi sebagaimana diatur dalam pasal 35
Konvensi. Pasal 35 Konvensi tersebut menyatakan bahwa,
Komisariat Tinggi mengawasi penerapan instrumen
internasional oleh negara pihak, dan Negara pihak harus
memberi kemudahan bagi pelaksanaan tugas Komisariat
Tinggi tersebut.
Dengan menerima pengawasan dari Komisariat
Tinggi tersebut, tidaklah dapat diartikan bahwa suatu
negara menyerahkan state sovereignty kepada
komunitas internasional, karena hak dalam konvensi
ini masuk dalam kategori non derogable human rights,
karena di dalamnya menyangkut hak untuk hidup
(hak atas kehidupan), dan hak atas keselamatan
(perlindungan). Keadaan darurat atau demi
kepentingan stabilitas politik tidak boleh menjadi
alasan untuk mengurangi hak hidup, dan hak atas
keselamatan pribadi tersebut. Dalam keadaan yang
bagaimanapun negara harus menghormati kewajiban
tersebut (erga omnes).
Setiap pengungsi berhak mendapatkan perlindungan baik
dalam hukum nasional maupun hukum internasional.
Hak-hak yang dimiliki oleh para pengungsi sama dengan
hak-hak yang dimiliki oleh warga Negara ditempat mereka
mencari perlindungan, seperti hak untuk hidup, hak untuk
tidak mendapatkan penyiksaan, hak untuk mendapatkan
status kewarganegaraan, hak untuk bergerak, hak untuk
mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, hak untuk tidak
dipulangkan secara paksa serta masih banyak hak-hak lain
yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Sejauh hak itu
melekat pada diri mereka sebagai individu manusia, maka
berlaku juga bagi pengungsi. Secara garis besar hak-hak
yang melekat pada diri seorang pengungsi adalah hak-hak
yang menyangkut hak sipil, politik, ekonomi, social dan
budaya, yang berlaku untuk semua orang, warga Negara,
dan juga bukan warga Negara.
Perlindungan Terhadap Pengungsi Internasional
Berdasarkan Konvensi Tahun 1951

Perlindungan yang diatur dalam konvensi 1951 tidaklah


berlaku selamanya. Seorang dinyatakan tidak lagi
berstatus sebagai pengungsi ketika alasan yang
mendasari diberikanya status pengungsi kepadanya
telah hilang atau berakhir. Hal ini dapat terjadi salah
satunya karena para pengungsi secara suka rela kembali
ke negaranya ketika situasi didaerahnya memungkinkan
untuk kembali. Selain iti para pengungsi menjadi
penghuni tetap atau berpindah kewarganegaraan dan
tinggal secara permanen di negara suakanya.
Konvensi 1951 hanya menjamin perlindungan
terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria
sebagai pengungsi. Kriteria tersebut yaitu
meninggalkan tempat tinggal, adanya ancaman yang
membahayakan kehidupan mereka, berada dalam
pengawasan komisi pengungsi, tidak dapat
dipulangkan dan tetap berada di negara tujuan.
Beberapa negara berpendapat bahwa sebagian
besar pencari suaka sebenarnya bukan pengungsi,
tetapi pekerja migran. saat ini diperkirakan hanya 10
sampai 20 % pencari suaka yang diakui berstatus
pengungsi di dalam Negara-negara ini. Pergerakan
pengungsi sekarang ini berbeda dengan mereka yang
mengungsi pada saat setelah Perang Dunia Kedua.
Alasan-alasan untuk meninggalkan Negara mereka
seringkali sangat kompleks dan tidak hanya karena
pengejaran saja. Orang-orang meninggalkan
negaranya karena pertikaian sipil, pelanggaran berat
terhadap hak asasi mereka, serbuan dan pendudukan
oleh pihak asing, kemiskinan, kelaparan, penyakit dan
kekacauan ekologi. Banyak di antara mereka yang
tidak termasuk sebagai pengungsi berdasarkan
definisi PBB.
Beberapa kategori orang yang dianggap tidak pantas
menerima status sebagai pengungsi dan dikecualikan
dalam perlindungan pengungsi. Keadaan ini berlaku
kepada mereka yang secara meyakinkan dicurigai atau
diduga sebagai:
(1). Pelaku kejahatan menentang perdamaian, kejahatan
perang, kejahatan kemanusiaan atau kejahatan besar
non-politik diluar negara mereka mengungsi.
(2). Sekelompok orang yang bersalah atas tindakan yang
bertolak belakang dengan prinsip dan tujuan PBB.
Adapun implikasi dan beberapa hak serta
kewajiban pengungsi terhadap tuan rumah. Dalam
Konvensi 1951 prinsip non-refoulement merupakan
prinsip yang menekankan bahwa seorang pengungsi
tidak seharusnya dikembalikan ke negara dimana dia
menghadapi ancaman serius terhadap nyawa atau
kebebasanya (Pasal 33). Perlindungan ini tidak dapat
diberikan kepada pengungsi yang dianggap
membahayakan keamanan negara, atau sedang
dihukum karena melakukan kejahatan berat, dianggap
sebagai ancaman terhadap masyarakat. Sedangkan
hak – hak lain yang tercantum dalam konvensi 1951
adalah:
a. hak untuk tidak di usir, kecuali dalam keadaan
khusus tertententu (Psl.32);
b. hak untuk tidak dihukum karena secara illegal telah
memasuki wilayah pihak peserta konvensi (Psl.31);
c. hak untuk bekerja (Psl.17-19);
d. hak akan perumahan (Psl.21);
e. hak untuk mendapatkan pendidikan (Psl.22);
f. hak untuk mendapatkan pelayanan publik (Psl.23);
g. hak kebebasan beragama (Psl.4);
h. hak untuk mengakses pengadilan (Psl.16);
i. hak untuk bebas berserikat di dalam wilayah negara
tuan rumah (Psl.26);
j. hak untuk mendapatkan identitas dan dokumen
perjalanan (Psl.27 dan 28).
continue….

Melindungi pengungsi adalah kewajiban negara


untuk mencegah timbulnya sekelompok orang tanpa
kewarganegaraan (stateless). Hal in idapat dilakukan
baik secara individu maupun secara kelompok kepada
subjek yang memenuhi persyaratan dalam konvensi.
Walaupun konvensi 1951 tidak menjelaskan prosedur
khusus dalam menentukan apakan seseorang tersebut
dapat dinyatakan sebagai pengungsi, ketika
penaksiran individu merupakan cara pendekatan yang
dipilih, prosedur apapun itu harus adil dan effisien.
continue…,

Perlakuan yang adil misalnya tidak tidak terdapat


perlakuan yang diskriminatif atau tebang pilih baik
karena alasan agama, ras, suku dan juga
kewarganegaraan Hal ini mewajibkan negara untuk
menunjuk otoritas pusat dengan pengetahuan dan
keahlian untuk menilai aplikasi yang relevan,
memastikan perlindungan prosedural tersedia di
semua tahapan proses dan mengijinkan banding atau
review dari keputusan awal. UNHCR ditugaskan
untuk membantu Negara yang akan melakukan
prosedur tersebut.
continue…

Konsep perlindungan yang diberikan UNHCR


adalah lebih menekankan pada usaha pengembangan
instrument hukum internasional untuk kepentingan
para pengungsi dan memastikan agar mereka
mendapat perlakuan sesuai dengan ketentuan
instrument hukum internasional, khusus yang
berkaitan dengan hak untuk bekerja, jaminan social,
serta hak untuk mendapatkan atau memanfaatkan
fasilitas perjalanan.
Fungsi UNHCR dalam mengambil langkah-langkah
internasional adalah melalui koordinasi, membuat
liaisons (penghubung) dengan pemerintah-
pemerintah, badan khusus perserikatan bangsa-
bangsa, LSM, dan organisasi-organisasi antar
pemerintah. UNHCR mencari penyelesaian yang
permanen terhadap masalah pengungsi melalui
repatriasi sukarela. UNHCR yang melaksanakan fungsi
perlindungan internasional, yaitu mencoba untuk
menjamin penghormatan terhadap hak-hak dasar
pengungsi, termasuk tanggung jawab untuk mencari
suaka, dan menjamin bahwa tidak seorangpun
dikembalikan secara paksa kenegara dimana ia merasa
ketakutan atas penyiksaan. Achmad
Romsan.SH.,MH.,LL,M. dkk, Pengantar Hukum
Pengungsi Internasional
continue…

Instrumen hukum lain yang mendukung konvensi


1951 yaitu beberapa konvensi dan deklarasi. Beberapa
instrument hukum Afrika, Amerika Latin, dan Uni
Eropa yang berkaitan dengan pengungsi. Terdapat
juga badan penting dalam hukum hham internasional
yang mlengkapi hak pengungsi dalam konvensi 1951.
Negara-negara sudah berkomitmen untuk melindungi
hak asasi manusia para pegungsi melalui kewajiban
HAM mereka, minimal hak untuk hidup dan
terlindungi keamanannya.
Prinsip non-refoulement, melarang pemulangan
pengungsi ke daerah dimana kebebasan hidupnya
terancam, didasarkan pada hukum kebiasaan
internasional. Oleh karenanya hal ini mengikat
kepada seluruh negara, tanpa memperhatikan apakah
mereka mengaksesi Konvensi 1951 atau Protokol 1967.
Seorang pengungsi yang mencari perlindungan tidak
boleh dicegah saat mencoba memasuki wilayah
negara, karena hal tersebut dianggap sebagai tindakan
pemulangan.
UNHCR mendapat mandat dari Majelis Umum PBB untuk
mencari perlindungan internasional dan solusi permanen
terhadap permasalahan pengungsi. Badan ini juga
bertanggungjawab dalam mengawasi penerapan Konvensi 1951
oleh negara anggota. Negara anggota diharuskan bekerjasama
dengan UNHCR, serta menyediakan informasi yang relevan
dan juga data statistik. Peran UNHCR sebagai pelengkap
negara dalam berkontribusi memberikan perlindungan
terhadap pengungsi adalah: mempromosikan penerimaan dan
penerapan hukum serta konvensi pengungsi, memastikan
bahwa pengungsi diberlakukan sesuai dengan standar hukum
internasional, memastikan bahwa pengungsi diberikan
perlindungan dan tidak dipaksa untuk kembali ke negara
tempat mereka melarikan diri, mempromosikan prosedur
yang tepat dalam menentukan apakan seseorang dapat
dinyatakan sebagai pengungsi berdasarkan definisi dalam
Konvensi 1951 atau berdasarkan definisi dalam konvensi
regional, dan mencari solusi jangka panjang bagi para
pengungsi.
Melalui Konvensi Jenewa, masyarakat internasional
telah mengamanatkan ICRC untuk mengunjungi
tawanan perang dan warga sipil di internir selama
konflik bersenjata. Sebisa mungkin, ICRC juga
mengunjungi orang yang ditahan dalam situasi
kekerasan lainnya. Kunjungan ICRC terhadap tahanan
bertujuan untuk memastikan bahwa para tahanan,
apapun alasan penangkapan dan penahanan mereka,
diperlakukan dengan bermartabat dan
berperikemanusiaan, sesuai dengan norma dan
standar internasional. Delegasi ICRC bekerjasama
dengan pihak berwenang untuk mencegah
penyalahgunaan dan untuk meningkatkan, baik
perawatan tahanan dan kondisi penahanan mereka.
Continue…

Misi ICRC adalah untuk melindungi kehidupan


dan martabat korban perang dan situasi kekerasan
lainnya, dan untuk menyediakan mereka bantuan.
Salah satu cara di mana ICRC melakukan ini adalah
untuk memastikan penghormatan terhadap hak-hak
masyarakat yang terkena dampak kekerasan, serta
mengingatkan pemerintah dan pihak lain yang terlibat
akan kewajiban hukum mereka menurut IHL dan
IHRL.
Direktur Operasional ICRC telah menyatakan bahwa
pengungsi internal kehilangan tempat tinggal dan sumber
kebiasaan mereka makanan, air, obat-obatan dan uang,
mereka memiliki perbedaan dan sering lebih mendesak
kebutuhan materil. Sebelum ada sistem yang baku secara
internasional untuk mengatasi kebutuhan pengungsi
internal, maka PBB melalui badan UNDPmengusahakan
pendekatan kolaboratif sebagai tanggung jawab untuk
melindungi dan membantu pengungsi. Badan-badan PBB,
yaitu, UNHCR, UNICEF, WFP, UNDP, Komisaris Tinggi
Hak Asasi Manusia, antar-pemerintah organisasi IOM,
ICRC dan LSM Internasional. Koordinasi adalah tanggung
jawab dari Koordinator Bantuan Darurat PBB dan
Koordinator Kemanusiaan di negara yang bersangkutan.
Mereka dibantu oleh Divisi Pemindahan Antar Lembaga
yang didirikan pada tahun 2004 dan bertempat di Kantor
PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).
Status Pengungsi Domestik/Internally
Displaced Person (IDP’s)
Seorang pengungsi internal adalah seseorang yang
terpaksa untuk meninggalkan tempat tinggalnya
karena ancaman penyiksaan atau malapetaka lainya
untuk memperoleh jaminan keselamatan dan
keamanan, namun masih berada di dalam wilayah
negaranya. Mereka sering dianggap sebagai pengungsi
domestik, walaupun mereka tidak memenuhi kriteria
sebagai pengungsi dalam konvensi 1951. Di akhir
tahun 2006 diperkirakan ada sekitar 24,5 juta
pengungsi internal yang tersebar di 52 negara. Jumlah
pengungsi internal terbanyak adalah Afrika dengan
jumlah 11,8 Juta dalam 21 negara.
Guiding Principles on Internal Displaced Person
mendefinisikan pengungsi internal sebagai orang atau
kelompok yang terpaksa atau meninggalkan tempat
tinggal atau daerah tinggal dalam rangka menghindari
efek konflik bersenjata, situasi kekerasan, pelanggaran
ham atau bencana/Natural Disaster alam atau
bencana ulah manusia/Human or Social Disaster dan
mereka yang tidak melewati batas wilayah
internasional sebuah negara.
Pemahaman Pengungsi Domestik ini menekankan pada
2 elemen penting, pertama adanya paksaan dan
pergerakan domestic/internal, yang dalam lapoaran PBB
tersebut tidak hanya menjelaskan definisi pengungsi
internal, namum tapi juga menggambarkan kategori
orang yang membutuhkan bantuan. Laporan PBB
tersebut lebih mengutamakan fleksibilitas dari pada
kepastian hukum seperti halnya dalam kata “khususnya”
menunjukan bahwa alasan-alasan pengungsi internal.
Erin Mooney berpendapat bahwa, data statistic global
mengenai pengungsi internal secara umum hanya
menghitung pengungsi internal yang diakibatkan oleh
konflik dan pelanggaran HAM. Dalam pembelajaran
terbaru menyarankan agar konsep pengungsi internal
ditentukan lebih bersifat khusus, yakni sebatas pada
orang yang mengungsi dikarenakan kekerasan.
Continue…

Dengan demikian, meskipun alasan tak mendalam


pengungsi internal, banyak yang menganggap
pengungsi internal dapat dinyatakan sebagai
pengungsi jika mereka telah melewati batas wilayah
negara, karenanya istilah pengungsi sering diterapkan
pada pengungsi internal.
Negara – negara Pihak dan Kewajiban
Penerima Pengungsi

PBB telah melaporkan bahwa hingga 70% menolak


repatrias dan melakukan upaya untuk tetap kembali
menjadi pengungsi. Dalam pendapatnya Robert
Cohen dalam tulisanya yang dimuat New York Times,
adalah Iran dihuni oleh populasi radikal, elit dalam
diaspora permanen, para inteligensianya yang
tersebar, pupus.
Pertama, Amerika Serikat adalah negara tujuan destinasi
favorit bagi mereka yang mengajukan permohonan ijin
tinggal tetap keluar dari negaranya. Namun pemerintah
Amerika Serikat hanya mengambil sangat sedikit dari
para pemohon ini. Brookings memeperkirakan dari
sekitar 24.000 orang Irak yang terdata oleh UNHCR dan
kedutaan Timur Tengah sebagai yang memenuhi syarat
untuk pemukiman kembali AS, namun hanya 6.000
telah diterima. Sebaliknya, Swedia telah menerima
antara 92% dan 98% dari semua pengungsi / pencari
suaka Irak memenuhi yang syarat.
Kedua, Uni Eropa juga menerapkan kebijakan yang
sama dengan Amerika Serikat dengan memberikan
suaka dalam jumlah rendah, dan sebagai hasilnya
mereka mendapatkan celaan dari masyarakat hak asasi
manusia. Di Uni Eropa, hal ini terkait dengan prosedur
suaka yang lebih panjang untuk daerah di mana pelamar
mencari suaka di setiap negara Uni Eropa harus diproses
di negara Uni Eropa pertama yang mereka masuki.
Untuk Irak, ini biasanya Yunani yang mereka mencapai
melalui Turki. Namun, catatan Yunani pada penanganan
pengungsi Irak dan pencari suaka malah ditahan,
dipulangkan kembali dan dilakukan pembuangan di
pantai Turki. Hasilnya adalah hambatan bagi imigran
Irak.
Sebagian besar pengungsi Irak berhenti di negara
tetangga, biasanya Jordania, Siria dan Lebanon.
Menempatkan beban sosial dan financial kepada
negara-negara tersebut yang sudah menanggung
beban dan juga menjadi tempat mengungsi orang-
orang Palestina. Fakta bahwa beberapa di antara para
pengungsi itu sendiri adalah orang Palestina dan Irak
yang memperumit situasi yang ada. Kebanyakan ahli
melihat negara-negara ini memberikan perlindungan
heroik ketika hanya sedikit saja negara yang bersedia
untuk melakukannya. Suriah sudah menderita
kekeringan, serta kurang mendapat dukungan
internasional karena hubungannya dengan Iran.
Continue..

Lebanon juga sama didera banyak permasalahan dalam


negri, termasuk intrik politik domestik dan perang
yang baru baru saja terjadi dengan Israel dan
menghilangkan dukungan dari Barat. Ironisnya,
pengungsi Irak memiliki potensi untuk mewakili
keuntungan otak bagi negara tuan rumah mereka,
karena banyak migran sangat terampil dan pintar.
Namun, kombinasi ketegangan etnis / sektarian dan
sifat tidak mau pindah mayoritas pengungsi membuat
mereka menjadi masyarakat dengan status kelas bawah.
Permasalahan yang dihadapi Indonesia yang belum
meratifikasi konvensi ini adalah sejauh mana keterikatan
Indonesia dalam memberikan bantuan berupa
perlindungan, perumahan dan fasilitas kesehatan,
pendidikan dan lainya kepada para pengungsi yang singgah
di Indonesia, seperti dalam kasus pulau galang, mengingat
sampai dengan saat ini Indonesia belum merupakan peserta
dalam konvensi 1951 tentang status pengungsi.
Permasalahan yang pertama ini berkaitan erat dengan
kewenangan lembaga-lembaga internasional seperti
UNHCR ataupun ICRC dalam menangani masalah
pengungsi. Permasalahan kedua adalah setelah jatuhnya
rezim soeharto di tahun 1998, banyak sekali terjadi
kerusuhan dalam negeri dan tingginya tuntutan daerah
untuk melepaskan diri dengan pemerintah pusat, telah
menimbulkan kekhawatiran para penduduk dan
menimbulkan gelombang perpindahan penduduk secara
besar-besaran dari suatu provinsi ke provinsi lainnya.
Continue…

Arus perpindahan. penduduk antar daerah yang


terjadi karena kerusuhan dalam bahasa Indonesia
disebut dengan istilah pengungsi. Permasalahan yang
timbul dengan kasus terakhir ini adalah apakah
pengertian pengungsi dalam bahasa Indonesia itu
identik dengan pengungsi seperti yang diatur dalam
konvensi 1951 dan protocol tahun 1967 tentang status
pengungsi. Juga sejauh mana dan lembaga-lembaga
apa saja yang bertanggung jawab untuk menangani
masalah tersebut.
Dampak bagi Pemerintah Indonesia
yang tidak meratifikasi Konvensi 1951

Berdasarkan prinsip Pacta Sunt Servanda, setiap


pihak yang sudah meratifikasi perjanjian tersebut akan
terikat dan memiliki kewajiban hukum untuk
mematuhinya. Indonesia tidak akan terikat pada
peraturan Konvensi 1951 karena belum melakukan
ratifikasi. Tidak ada kewajiban hukum bagi Indonesia
untuk menjaga pengungsi dan menghormati
haknyayang tercantum dalam konvensi, bahkan
Indonesia bisa menolak keberadaan mereka di
wilayahnya.
Pemerintah Indonesia tidak akan memberikan
kesempatan bagi pengungsi untuk bermukim di
wilayahnya, karena tidak ada kewajiban
untukmenghormati hak dan kewajiban
mereka.walaupun tidak ada kewajiban hukum
untukmenjaga mereka, masih terdapat kewajiban
moral untuk memberikan bantuan walaupun tidak
dalam jumlah yang besar sesuai yang diatur dalam
konvensi. Terdapat pasal yang membuat Indonesia
menjadi terikat kepada konvensi ini berdasarkan
kemanusiaan, karena pasal tersebut merupakan Jus
Cogent yaitu pasal 31:
“Negara Peserta Konvensi tidak akan menjatuhkan
hukuman terhadap pengungsi karena masuk secara ilegal
atau muncul, datang langsung dari wilayah di mana
kehidupan atau kebebasan mereka terancam dalam arti
pasal 1, memasuki atau hadir di wilayah mereka tanpa
izin, asalkan mereka hadir sendiri tanpa menghindar dari
pihak berwenang dan menunjukkan alasan yang tepat
untuk masuk secara ilegal.”
“Negara peserta konvensi tidak boleh memberlakukan
batasan ruang gerakbagi pengungsi selain yang
diperlukan dan pembatasan hanya akan diberlakukan
sampai status mereka di negara ini diakui atau mereka
akan masuk ke negara lain. Negara Peserta Konvensi
harus memberikan pengungsi jangka waktu yang wajar
dan semua fasilitas yang diperlukan untuk memperoleh
izin masuk ke negara lain”
Pemerintah Indonesia tidak dapat menerapkan sanksi
kepada para pengungsi walaupun mereka hadir secara
illegal, karena tujuan mereka adalah untuk
menyelamatkan nyawa dari ancaman bahaya.
Tindakan seperti ini dikenal dengan prinsip Non-
refoulement dan sudah menjadi bagian dari kebiasaan
internasional. Seluruh negara di dunia harus
menerimanya sebagai hukum dasar yang berlaku
tanpa adanya penolakan dan hal tersebut menjadi
semakin kuat karena Indonesia telah mengadopsi dan
meratifikasi konvensi hak asasi manusia dan telah
menerapkanya dalam hukum nasional.
Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi
1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, dan
belum memiliki sebuah sistem penentuan status
pengungsi. Dengan demikian, pemerintah
memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk
menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan
untuk menangani permasalahan pengungsi di
Indonesia. Berada diantara negara – negara penerima
pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar
seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara
berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari
pergerakan populasi tercampur (mixed population
movements).
Meskipun jumlah kedatangan baru pencari suaka yang
tinggi telah menjadikan masalah suaka/ migrasi
sebagai salah satu faktor penting dalam bidang
keamanan Negara (385 di tahun 2008; 3,230 pada
tahun 2009; 3,905 pada tahun 2010 dan 4,052 di
tahun 2011, dengan sebagian besar pendatang berasal
dari Afghanistan, Iran, Iraq, Myanmar, Pakistan,
Somalia dan Sri Lanka) pencari suaka dan pengungsi
tetap memperoleh perlindungan atas pemulangan
paksa dan tetap diberikan akses ke UNHCR.
Status Pengungsi Dalam HAM
Internasional
Setiap pengungsi berhak mendapatkan perlindungan baik
dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Hak-
hak yang dimiliki oleh para pengungsi sama dengan hak-hak
yang dimiliki oleh warga Negara ditempat mereka mencari
perlindungan, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak
mendapatkan penyiksaan, hak untuk mendapatkan status
kewarganegaraan, hak untuk bergerak, hak untuk
mendapatkan pendidikan dan pekerjaan, hak untuk tidak
dipulangkan secara paksa serta masih banyak hak-hak lain
yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Sejauh hak itu
melekat pada diri mereka sebagai individu manusia, maka
berlaku juga bagi pengungsi. Secara garis besar hak-hak yang
melekat pada diri seorang pengungsi adalah hak-hak yang
menyangkut hak sipil, politik, ekonomi, social dan budaya,
yang berlaku untuk semua orang, warga Negara, dan juga
Perlindungan Terhadap Pengungsi Internasional
Berdasarkan Konvensi Tahun 1951
Perlindungan yang diatur dalam konvensi 1951
tidaklah berlaku selamanya. Seorang dinyatakan tidak
lagi berstatus sebagai pengungsi ketika alasan yang
mendasari diberikanya status pengungsi kepadanya
telah hilang atau berakhir. Hal ini dapat terjadi salah
satunya karena para pengungsi secara suka rela
kembali ke negaranya ketika situasi didaerahnya
memungkinkan untuk kembali. Selain iti para
pengungsi menjadi penghuni tetap atau berpindah
kewarganegaraan dan tinggal secara permanen di
negara suakanya.
Continue…
Konvensi 1951 hanya menjamin perlindungan
terhadap orang-orang yang memenuhi kriteria
sebagai pengungsi. Kriteria tersebut yaitu
meninggalkan tempat tinggal, adanya ancaman yang
membahayakan kehidupan mereka, berada dalam
pengawasan komisi pengungsi, tidak dapat
dipulangkan dan tetap berada di negara tujuan.

Anda mungkin juga menyukai