Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

TUGAS TERJEMAHAN

“ASPIRASI &
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS”

Nama : Samanuddin Manawari


NIM : 10 777 011
Pembimbing : dr. Sofyan Bulango, Sp.An
ASPIRASI
PENDAHULUAN

Aspirasi pertama kali di kemukakan oleh Sir James Simpson, Ia


menjelaskan mengenai kematian seorang gadis berusia 15 tahun
yang diberi kloroform untuk ekstraksi kuku pada pertengahan
abad ke-19. Simpson beralasan bahwa gadis itu meninggal
karena tersedak sekretnya sendiri.
PENGERTIAN ASPIRASI

Aspirasi adalah masuknya material (benda apapun) dari faring


ke dalam trakea.

Material yang teraspirasi dapat berasal dari lambung,


esophagus, mulut, atau hidung. Material yang dimaksud dapat
berupa partikel seperti makanan atau benda asing, atau cairan
seperti darah, saliva, atau cairan gastrointestinal
FAKTOR RESIKO ASPIRASI

 Usia ekstrim
 Jenis operasi (paling sering pada kasus operasi esophagus,
abdomen bagian atas, atau laparotomi emergensi)
 Makan dalam waktu dekat sebelum tindakan (tidak puasa)
 Keadaan tertentu, karena keterlambatan pengosongan lambung
dan/atau penurunan tonus sfingter esophagus bawah
 Penurunan kesadaran
 Obesitas
 Gangguan jalan napas
 Kontrol motorik yang buruk (penyakit neuromuscular)
 Penyakit esophagus (misalnya scleroderma, akalasia, divertikulum,
divertikulum Zenker)
GAMBARAN KLINIS ASPIRASI

Demam muncul pada lebih dari 90% kasus aspirasi, dan


takipnea serta rales terjadi setidaknya pada 70% kasus. Batuk,
sianosis, dan wheezing terjadi pada 30-40% kasus.
PENANGANAN ASPIRASI

Perawatan suportif tetap menjadi inti dari penanganan.


Suction harus segera dilakukan. Oksigen tambahan dan
pendukung ventilasi harus dilakukan jika terjadi gagal napas.
Pasien dengan gagal napas sering mengalami atelektasis dengan
kolaps alveolus dan berespon terhadap positive end-expiratory
pressure (PEEP). Pasien dengan aspirasi partikel membutuhkan
bronkoskopi untuk membersihkan benda yang menyebabkan
obstruksi.
PENCEGAHAN ASPIRASI

Perhatian utama adalah mengenali pasien yang beresiko.


Pasien harus dipuasakan selama beberapa waktu supaya
lambung dalam keadaan kosong. Pengobatan gastrokinetik
seperti metoklopramid dapat mempercepat pengosongan
lambung dan meningkatkan tonus sfingter esophagus. Sangat
bermanfaat untuk meningkatkan pH lambung dengan golongan
antasida seperti natrium sitrat atau antagonis reseptor H2 yang
mengurangi produksi asam lambung.
PENCEGAHAN ASPIRASI

Berapa lama waktu yang tepat untuk puasa?


 Secara umum, orang dewasa harus puasa (tidak makan
makanan padat) selama 6-8 jam sebelum operasi.
 Ahli anestesi saat ini memperpendek durasi puasa (no oral
ingestion/NPO) dan membolehkan intake air putih 3-4 jam
sebelum operasi. Durasi NPO untuk bayi biasanya 4-6 jam
untuk yang minum formula dan 2-3 jam untuk yang minum air
putih atau ASI.
MORBIDITAS DAN MORTALITAS ASPIRASI

Rata-rata durasi perawatan di rumah sakit adalah 21 hari,


sebagian besar dirawat di ICU. Komplikasi yang sering mulai dari
bronkospasme dan pneumonia hingga sindrom distre
pernapasan akut, abses paru, dan empiema. Rata-rata angka
mortalitas adalah 5%.
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
(PPOK)
PENGERTIAN PPOK

PPOK adalah spectrum klinis yang meliputi emfisema,


bronchitis kronis, dan bronchitis asmatik. Kondisi ini adalah
gangguan yang ditandai dengan peningkatan resistensi progresif
untuk mengalirkan udara pada jalan napas.
Aliran udara yang terbatas (obstruksi) merupakan akibat dari
hilangnya recoil elastis atau obstruksi dari jalan napas konduktif
kecil dan besar (atau keduanya).
Gejala kardinalnya adalah batuk, sesak (dispneu), dan
wheezing.
PERBEDAAN ASMA & BRONCHITIS ASMATIK

ASMA BRONCHITIS ASMATIK


 Gangguan heterogen yang  Terdiri dari obstruksi jalan napas,
ditandai dengan obstruksi jalan batuk kronik produktif, dan
napas reversibel. bronkospasme episodic.
 Onset serangan asma dapat  Dapat disebabkan oleh asma
terjadi secara gradual atau progresif atau bronchitis kronis.
mendadak dan berhubungan  Bronchitis asmatik ireversibel dan
dengan beberap faktor resipitasi obstruksi jalan napas selalu ada
(misalnya latihan, marah, serbuk sepanjang waktu.
bunga, intubasi)
 Setelah terapi, gejala teratasi
secara komplit atau sebagian.
FAKTOR PENYEBAB PPOK

 Merokok
 Paparan pekerjaan: bulu binatang, toluene dan bahan kimia
lainnya, beberapa biji-bijian, dan kapas.
 Paparan lingkungan: polusi udara di area industry (misalnya
sulfur dioksida dan nitrogen dioksida)
 Infeksi berulang: infeksi virus atau bakteri (atau keduanya),
termasuk HIV yang dapat memberikan gambaran seperti
emfisema.
 Faktor genetik dan keturunan
FAKTOR PENYEBAB PPOK

 Merokok
 Paparan pekerjaan: bulu binatang, toluene dan bahan kimia
lainnya, beberapa biji-bijian, dan kapas.
 Paparan lingkungan: polusi udara di area industry (misalnya
sulfur dioksida dan nitrogen dioksida)
 Infeksi berulang: infeksi virus atau bakteri (atau keduanya),
termasuk HIV yang dapat memberikan gambaran seperti
emfisema.
 Faktor genetik dan keturunan
NILAI TES FUNGSI PARU
Tes fungsi paru Normal Emfisema Bronkitis Asma
FVC (kapasitas ≥ 3-4 L Menurun Normal - sedikit Menurun
vital paksa) menurun
FEV1 (volume >2-3 L Menurun Normal - sedikit Menurun
ekspirasi paksa menurun
dalam 1 detik)
TLC (kapasitas 5-7 L Meningkat Normal - sedikit Menurun
paru total) meningkat

RV (volume 1-2 L Meningkat Meningkat Meningkat


residu)
FEF 25-75% 60-70% Menurun Normal - sedikit Menurun
(aliran ekspirasi menurun
paksa)
Hipoksemia/   Di akhir penyakit Di awal penyakit Hanya serangan
hiperkarbia akut
Air trapping   Sedang hingga Sedang, sebagian Ringan,
berat reversibel intermiten
Kapasitas difusi   Menurun Normal - sedikit Normal
menurun
PENGARUH ANESTESI GENERAL DAN OPERASI PADA
FISIOLOGIS PARU

Kapasitas vital (VC) berkurang 25-50% dan volume residu (RV)


menigkat sebesar 13% setelah anestesi general dan prosedur
operasi. Volume ekspirasi cadangan (ERV) menurun 25% setelah
operasi abdomen bagian bawah dan 60% setelah operasi abdomen
bagian atas dan operasi thoraks. Volume tidal (VT) menurun sebesar
20%, dan komplians paru (PC) dan kapasitas fungsional residu (FRC)
menurun sebesar 33%.
Fungsihipoventilasi,
Atelektasis, Paru Perubahan
hipoksemia, pada operasi
dan infeksi paru dapat
VC, ERV, VT,
terjadi. PC, FRC
Perubahan ini membutuhkan minimalMenurun
1-2 minggu untuk
RV Meningkat
pulih.
PENGARUH LOKASI OPERASI PADA
MEKANISME PARU

Insisi abdomen bagian atas dan torakotomi adalah yang paling


besar dalam mempengaruhi mekanisme paru, diikuti operasi
abdomen bagian bawah dan sternotomi.
PENANGANAN UNTUK MENGURANGI RESIKO PARU
PERIOPERATIF

1. Berhenti merokok (Selama 48 jam, 4-6 minggu, 2-3 bulan).


2. Mengoptimalkan terapi farmakologis. Lanjutkan medikasi bahkan hingga hari
operasi.
3. Kenali dan tangani infeksi paru.
4. Maksimalkan nutrisi, hidrasi, dan fisioterapi dada.
5. Melakukan analgetik postoperative yang efektif dapat membuat pasien batuk
dengan efektif, volume tidal lebih besar, dan dipindahkan setelah operasi
lebih cepat.
KEUNTUNGAN ANESTESI REGIONAL PADA PASIEN
PPOK

Anestesi regional, seperti blok ekstremitas dan neuraksial,


menawarkan keuntungan untuk beberapa prosedur operasi dan
merupakan pilihan yang tepat untuk operasi yang melibatkan
ekstremitas, perineum, dan abdomen bagian bawah.
Dengan anestesi regional, pasien dapat bernapas spontan dan tidak
membutuhkan intubasi. Teknik neuraksial yang lebih tinggi dari
dermatom T10 dapat menurunkan batuk yang efektif karena disfungsi
otot abdominal, menyebabkan penurunan klirens sputum dan
atelektasis.
INDUKSI GENERAL ANESTESI PADA PPOK

Induksi anestesi general dapat dilakukan dengan agen induksi


seperti barbiturate, benzodiazepine, opioid, propofol, etomidat,
atau ketamin. Ada agen yang harus hati-hati diberikan yaitu
misalnya morfin sulfat.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN AGEN GENERAL
ANESTESI

Agen volatil (halotan, isofluran, enfluran, sevofluran, dan


desfluran). Semuanya menyebabkan bronkodilasi dan bermanfaat
untuk pasien dengan PPOK. Sebagian besar, terutama desfluran,
sangat cepat dieliminasi dan hanya menghasilkan sedikit depresi
pernapasan postoperative.
Halotan memiliki potensi aritmogenik yang paling tinggi dan
pemberiannya harus sangat hati-hati karena efek
simpatomimetiknya.
PENANGANAN BRONKOSPASME INTRAOPERATIF

1. Berikan oksigen 100% dan ventilasi secara manual dengan


waktu ekspirasi yang cukup.

2. Identifikasi dan koreksi kondisi ini


a. Atasi obstruksi mekanis dengan suction atau memutar pipa
endotrakeal
b. Hilangkan benda asing jika ada
c. Pastikan pipa endotrakeal tidak berhenti di bronkus atau
karina.
PENANGANAN BRONKOSPASME INTRAOPERATIF

Ketika dipastikan terjadi bronkokonstriksi, terapi farmakologis


dapat dimulai. Pilihannya meliputi:
 Memperdalam anestesi dengan agen volatil
 Agonis beta-adrenergik aeorosol melalui pipa endotrakeal
(misalnya albuterol), subkutan (misalnya terbutalin), atau
intravena (misalnya epinefrin atau terbutalin)
 Ketamin intravena atau intramuscular
 Aminofilin intravena
 Lidokain intravena
 Kortikosteroid intravena
APAKAH PASIEN PPOK MEMBUTUHKAN VENTILASI
MEKANIK POSTOPERATIF

Setiap pasien harus ditangani sesuai kondisinya masing-masing.


Pasien yang memiliki PaCO2 istirahat >45-50, FEV1 <1L, FVC <50-
70%, atau FEV1/FVC <50% membutuhkan intubasi dan ventilasi
postoperative, terutama yang menjalani operasi abdomen bagian
atas dan operasi thoraks.
PEMBERIAN ANTAGONIS RESEPTOR H2 PADA PASIEN
PPOK

Ada dua tipe reseptor histamine; stimulasi reseptor H1 yang dapat


menyebabkan bronkokonstriksi, dan stimulasi reseptor H2
menyebabkan bronkodilasi.
Secara teori, pemberian antagonis reseptor H2 dapat menyebabkan
stimulasi reseptor H1 sehingga terjadi bronkokonstriksi. Antagonis
reseptor H2 telah digunakan dengan aman pada pasien PPOK; namun,
pemberiannya harus berdasarkan pertimbangan rasio resiko-benefiti
masing-masing pasien. karena banyak pasien PPOK yang mendapatkan
kortikosteroid, yang dapat memicu gastritis atau ulkus peptic.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gibbs C, Modell J: Management of aspiration pneumonitis. In Miller R (ed) :
Anesthesia, 4 th ed. New York, Churchill Livingstone, 1994, pp 1437-1464.
2. Kallar SK, Everett LL: Potential risks and preventive measures for pulmonary
aspiration: New concepts in preoperative fasting guidelines. Anesth Analg 77:171-
182, 1993.
3. Mecca RS: Postoperative recovery. In Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK (eds): Clinical
Anesthesia, 3 rd ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 1997.
4. Mendelson CL: The aspiration of stomach contents into the lungs during obstetric
anesthesia. Am J Obstet Gynecol 52:191-205, 1946.
5. Rout CC, Rocke A, Gouws E: intravenous ranitidine reduces the risk of acid aspiration
of gastric contents at emergency cesarean section. Anesth Analg 76:156-161, 1993.
6. Vaughan GG, Gryeko RJ, Montgomery MT: The prevention and treatment of
aspiration of vomiting during pharmacosedation and general anesthesia. J oral
Maxillofac Surg 50:874-879, 1992.
7. Warner MA, Warner ME, Weber JG: Clinical significance of pulmonary aspiration
during the perioperative period. Anesthesiology 78:56-62, 1993.
8. Aubier M, Murciano D, Milic-Emili J, et al: Effects of the administration of O2 on
ventilation and blood gases in patients with chronic obstructive pulmonary disease
during acute respiratory failure. Am Rev Respir Dis 122:747-754, 1980.
DAFTAR PUSTAKA
9. Aubier M, Murciano D, Milic-Emili J, et al: Effects of the administration of O2 on
ventilation and blood gases in patients with chronic obstructive pulmonary disease
during acute respiratory failure. Am Rev Respir Dis 122:747-754, 1980.
10. Beckers S, Camu F: The Anesthetic risk of tobacco smoking. Acta Anaesthesiol Belg
42:45-56, 1991.
11. Egan TD, Wong KC: Perioperative smoking cessation and anesthesia: A review. J Clin
Anesth 4:63-72, 1992.
12. Eisenkraft JB, Cohen E, Neustein SM: Anesthesia fot thoracic surgery. In Barash PG,
Cullen BF, Stoelting RK (eds): Clinical Anesthesia, 3 rd ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, 1977.
13. Gateau O, Bourgain J, Gaudy J, Benveniste J: Effects of ketamine on isolated human
bronchial preparations. Br J Anaesth 63:692-695, 1989.
14. Ingram RH: Chronic bronchitis, emphysema, and airways obstruction. In Isselbacher KJ,
Braunwald E, Wilson JD, et al (eds): Harrison’s Principles of Internal Medicine, 13 th ed.
New York, Mcgraw-Hill, 1993, pp 1197-1206.
15. Konrad FX, Schreiber T, Brecht-Kraus D, Georgieff M: Bronchial mucus transport in
chronic smokers and nonsmokers during general anesthesia. J Clin Anesth 5:375-380,
1993.
16. Kroenke K, Lawrence VA, Theroux JF, Tuley MR: Operative risk in patients with severe
obstructive pulmonary disease. Arch Intern Med 152:967-971, 1992.
DAFTAR PUSTAKA

17. Martin RJ: Reexamining theophylline for asthma. Contemp Intern Med 5:8-14,
1993.
18. Moorthy SS, Diedorf SF: Anesthesia for patient with chronic obstructive pulmonary
disease. In Kirby RR, Gravenstein N (eds): clinical Anesthesia Practice. Philadelphia,
W.B. Saunders, 1994, pp 963-968.
19. Pearce AC, Jones RM: Smoking and anesthesia: Preoperative abstinence and
perioperative morbidity. Anesthesiology 61: 576-584, 1984.
20. Pepe PE, Marini JJ: Occult positive end-expiratory pressure in mechanically
ventilated patients with airflow obstruction. Am Rev Respir Dis 126:166-170, 1982.
21. Petty TL: Chronic obstructive pulmonary disease-can we do better? Chest 97:2s-5s,
1990.
22. Petty TL: Definitions in chronic obstructive pulmonary disease. Clin Chest Med
11:363-373, 1990.
23. Ranieri VM, Giuliani R, Cinnella G, et al: Physiologic effects of positive end
expiratory pressure in patients with chronic obstructive pulmonary disease during
acute ventilator failure and controlled mechanical ventilation. Am Rev Respir Dis
147:5-13, 1993.
24. Sassoon CSH, Hassell KT, Mahutte CK: Hyperoxic-induced hypercarbia in stable
chronic obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis 135:907-911, 1987.
DAFTAR PUSTAKA

25. Stock MC: Respiratory function in anesthesia. In Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK
(eds): Clinical Anesthesia, 3rd ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 1997.
26. Stoelting RK, Deirdorf SF, McCammon RL: Obstructive airways disease. In Stoelting
RK, Deirdorf SF, McCammon RL (eds): Anesthesia and Coexisting Disease, 2 nd ed.
New York, Churchill Livingstone, 1988, pp 195-225.
27. Warner MA, Divertie MB, Tinker JH: Preoperative cessation of smoking and
pulmonary complication in coronary artery bypass patients. Anesthesiology 60:380-
383, 1984.

Anda mungkin juga menyukai