Anda di halaman 1dari 126

Hidung

Oleh :
Alfisanatin
Janet Riani Himber
Nurfitria
Romeo R. J. Wamafma
PEMBIMBING :
D R . A G U S T I N A P E T R O N E L L A , S P. T H T- K L
ANATOMI HIDUNG

 HIDUNG LUAR (Nasus eksternus):


 Pangkal hidung
 Batang hidung
 Ala nasi
 Kolumela
 Nares anterior
 HIDUNG DALAM (Nasus internus):
 Rongga hidung
 Septum nasi
 SINUS PARANASALES:
 Sinus frontalis
 Sinus maksilaris
 Sinus ethmoidalis
 Sinus sphenoidalis
HIDUNG LUAR (Nasus
ANATOMI HIDUNG Externus)

Hidung luar berbentuk


piramid dengan bagian-
bagiannya dari atas ke
bawah:
Ala Nasi
Pangkal Hidung
1. Pangkal hidung
(bridge)/ Radix Nasi
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung /
Kolumela Apex Nasi
Dorsum Nasi
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung
(nares anterior)

Nasal Tip Lubang Hidung


HIDUNG DALAM

Os frontalis
Os nasale

Konka media

Konka inferior

Septum nasi Os maxillaris

Cavum nasi

created by rolanda
ANATOMI HIDUNG

Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat


rongga sempir yang disebut meatus. Terdapat 3
meatus, yaitu:
 Meatus inferior  muara duktus nasolakrimalis
 Meatus medius  muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior
 Meatus superior  muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid
Septum Nasi

Septum nasi menopang dorsum nasi dan


membagi 2 cavum nasi.
Septum nasi terdiri atas 2 bagian:
 Bagian posterior terdiri dari tulang:
perpendikularis os etmoidalis, vomer
 Bagian anterior terdiri dari tulang rawan:
kartilago quadrangularis
Kompleks Osteomeatal (KOM)
 Merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea.
 Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah:
- prosesus ursinatus
- Infundibulum etmoid
- hiatus semilunaris
- bula etmoid
- agger nasi
- resessus frontal
Inervasi Hidung

 Dibagi 3  olfaktorius, saraf sensoris dan saraf


autonom

 Saraf olfaktorius  N.kranialis I

 Saraf sensoris  oleh cabang-cabang N.trigeminus:


cabang pertama N. Opthalmicus(V1), cabang ke 2 N.
Maxillaris(V2), dan Cabang ke 3 N. Mandibularis
(V3)

 Saraf autonom cabang dari ganglion


splenopalatina
VASKULARISASI
PADA SEPTUM
NASAL

 Pada bagian anterior septum, terdapat anastomosis dari a.sphenopalatina, a. palatina mayor, a. labialis sup. Dan a.etmoidalis
anterior yang membentuk PLEKSUS KIESSELBACH atau Little Area, pleksus ini terletak superfisial sehingga menjadi
sumber perdarahan yang tersering pada epistaksis anterior.
 Pada bagian posterior, terdapat pleksus woodruff yang dibentuk oleh anastomosis dari a.sfenopalatina, a.nasalis posterior
dan a. fareingeal asendens.
Anatomi Sinus Paranasalis

Golongan anterior, terdiri dari: Golongan posterior, terdiri dari:


• Sinus maksilaris, sinus etmoidalis ant, sinus frontalis • Sinus etmoidalis posterior, sinus sfenoidalis
• Ostia dari sinus ini didapati dalam meatus medius • Ostia dari sinus ini didapati dalam meatus superior
• Pus dalam meatus medius mengalir ke vestibulum nasi • Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
FISIOLOGI
PENCIUMAN
Rambut hidung berfungsi untuk Selaput lendir berfungsi tempat
Lubang hidung berfungsi untuk
menyaring udara yang masuk menempelnya kotoran dan
keluar masuknya udara.
ketika bernapas sebagai indra pembau.

Serabut saraf berfungsi Saraf pembau (silia) berfungsi


mendeteksi zat kimia yang ada mengirimkan bau-bauan yang ke
dalam udara pernapasan. otak.
Fungsi Fisiologi Hidung

Refleks
Respirasi Fonetik
Nasal

Statik &
Penghidu
Mekanis
Fisiologi
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat
bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa- apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain 1:
 Sebagai Pengatur Kondisi Udara
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi.
Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus
dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada
tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
 Sebagai Penahan Suhu (Thermal Insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu
rongga hidung yang berubah- ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus- sinus yang besar tidak terletak di
antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.
Fisiologi
 Membantu Keseimbangan Kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam
sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini
dianggap tidak bermakna.
 Membantu Resonasi Suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada
yang berpendapat bahwa posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang
efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan- hewan tingkat rendah.
 Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara
Fungsi ini berjalan bila tidak ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau
membuang ingus.
 Membantu Produksi Mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan mukus yang dihasilkan oleh
rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
Mekanisme Kerja Indera Penciuman

Rangsang (bau) masuk ke dalam lubang hidung melakui udara kemudian disaring oleh bulu-bulu hidung.
Udara yang mengandung kotoran akan dibersihkan dan kotoran yang menempel di hidung akan
mengendap menjadi kotoran hidung.

Udara yang mengandung rangsangan bau ini masuk ke dalam epitelium olfaktori

Rangsangan bau menggetarkan mukosa olfaktori yang berbentuk seperti cairan atau mukus, dan
kemudian menggetarkan saraf olfaktori.

Rangsangan yang menggetarkan saraf olfaktori tadi disampaikan ke Talamus menuju Hipotalamus yang
berada di otak.

Otak daerah olfaktori Hipotalamus Talamus (korteks serebrum) akan menangkap bau lalu
menerjemahkannya berdasarkan memori atau menghadirkan memori baru dalam otak untuk digunakan
ketika suatu saat nanti mencium bau yang sama.
PEMERIKSAAN HIDUNG
Teknik Pemeriksaan

Anamnesa
Pemeriksaan luar
Rhinoskopi Anterior
Rhinoskopi Posterior
Transluminasi
Pemeriksaan Radiologik
Anamnesis
Sumbatan
Hidung

Sekret di
Gangguan
Hidung dan
Penghidu
Tenggorok
Keluhan
Utama
Perdarahan
Bersin
dari Hidung

Rasa nyeri di
daerah muka
dan kepala
Anamnesis
1. SUMBATAN 2. SEKRET DI 3. BERSIN
HIDUNG HIDUNG

Apakah keluhan ini terus Bersin yang


menerus ? Apakah pada satu atau berulang-ulang 
Hilang timbul ? kedua rongga hidung alergi hidung
Bergantian ?

Konsistensi : encer,
Adakah riwayat kontak bening, kental, nanah,
dengan bahan alergen ? bercampur darah

Apakah mulut dan


tenggorokan terasa
kering ?
4. Rasa nyeri di 6.
5. Perdarahan
daerah muka dan Gangguan
dari hidung
kepala penghidu

Nyeri di daerah
dahi, pangkal Hiposmia
hidung, pipi dan Berasal dari
tengah kepala  bagian anterior
Sinusitis atau posterior
Anosmia
Rasa nyeri atau Berasal dari satu
rasa berat atau dua hidung
dapat timbul bila Parosmia
menundukkan
kepala dan
berlangsung Frekuensi
dalam beberapa Kakosmia
hari
Pemeriksaan
Pemeriksaan dari luar

Rinoskopi anterior

Rinoskopi Posterior

Transluminasi

Radiologik
Pemeriksaan Dari Luar

 Bentuk luar hidung diperhatikan


 Pembengkakan
 Krepitasi tulang hidung /rasa nyeri tekan
Rinoskopi Anterior

Alat :
 Lampu kepala
 Spekulum hidung
 Pinset bayonet
 Xylocain spray
 Tampon kapas
Cara pemeriksaan

 Spekulum dimasukkan kedalam lubang hidung dengan hati-hati dan dibuka setelah spekulum
berada di dalam hidung.

 Saat mengeluarkannya jangan di tutup agar bulu hidung tidak terjepit.

 Vestibulum hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, konka
superior sertameatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus diperhatikan.
 Kadang-kadang rongga hidung menjadi sempit karena adanya edema mukosa.

 Pada keadaan seperti ini untuk melihat organ dengan jelas perlu dimasukkan
tampon kapas adrenalin pantokain.
Rinoskopi Posterior

Alat :
 Lampu kepala
 Spatel lidah
 Kaca nasofaring
 Bunsen & spiritus
Cara Pemeriksaan

 Sebelum kaca dimasukkan , suhu kaca dites dahulu dengan menempelkannya pada kulit belakang
tangan kiri pemeriksa.

 Pasien diminta membuka mulut, lidah dua pertiga anterior ditekan dengan spatula lidah.

 Pasien bernapas melalui mulut agar uvula terangkat ke atas dan kaca nasofaring yang menghadap
ke atas dan kaca nasofaring yang menghadap ke atas dimasukkan melalui mulut, ke bawah uvula
dan sampai nasofaring.
 Setelah kaca berada pada nasofaring pasien diminta bernapas melalui hidung, uvula akan turun
kembali dan rongga nasofaring terbuka.

 Mula-mula diperhatikan bagian belakang septum dan koana. Kemudian kaca diputar ke lateral
sedikit untuk melihat konka superior, konka media dan konka inferior serta meatus superior dan
meatus media.

 Kaca diputar lebih ke lateral sehingga dapat diidentifikasi torus tobaius, muara tuba Eustachius
dan fosa Rossenmuler, kemudian kaca diputar ke sisi lainnya.
Pemeriksaan Transluminasi

 Pada pemeriksaan transluminasi sinus maxilla dan sinus frontal, dipakai lampu khusus sebagai
sumber cahaya dan dilakukan di ruangan yang gelap.

 Transluminasi sinus maxilla dilakukan dengan memasukkan sumber cahaya ke rongga mulut
dan bibir dikatupkan sehingga sumber cahaya tidak tampak lagi.

 Setelah beberapa menit tampak daerah infra orbita terang seperti bulan sabit.
 Untuk pemeriksaan sinus frontal, lampu diletakkan di bawah sinus frontal di dekat
kantus medius dan di daerah sinus frontal tampak cahaya terang.
Pemeriksaan Radiologi

• Posisi water
Sinus maksila

Sinus frontalis • Posisi postero anterior


dan etmoid
• Posisi lateral
Sinus sfenoid
Referensi

Soepardi Arsyad Efiaty, 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi VII. Badan Penerbit
FK UI, Jakarta : p.3-4.
Rhinitis Alergi
Rhinitis Alergi

 Rhinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).

 WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantai oleh Ig E.
Patofisiologi

1.    Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.

2.     Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

Alergen • Masuk bersama udara pernapasan


• Misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel, dan
inhalan bulu binatang serta jamur.

Alergen • Masuk ke saluran cerna berupa makanan seperti susu,

ingestan telur, coklat, ikan, udang.

Alergen • Masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,

injektan misal bahan kosmetik atau perhiasan.


Karakteristik Gejala Bersin berulang
Rhinitis Alergi
Hidung tersumbat

Hidung berair

Hidung gatal
How to Diagnose?

Anamnesis

Pemeriksaan
Fisik

Pemeriksaan
Penunjang
Anamnesis

Menanyakan gejala Rhinitis Alergi yaitu:

Serangan bersin berulang (khas)

Rinore yang encer dan banyak

Hidung tersumbat

Hidung dan mata gatal kadang-kadang disertai lakrimasi


Pemeriksaan fisik
Rhinoskopi Anterior
Tampak mukosa udem

Basah

Berwarna pucat atau livid

Sekret encer yang banyak

Bila persisten, mukosa inferior tampak


hipertrofi
Gejala Spesifik lain pada anak

 Allergic Shinner : Terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata karena statis
venasekunder akibat obstruksi hidung

 Allergic Sallute : Menggosok-gosok hidungkarena gatal dengan punggung tangan

 Allergic Crease : Timbul garis melintangdi doersum nasal bagian sepertiga bawah
Allergic Crease

Allergic Sallute
Pemeriksaan Penunjang

• Hitung eosinofil
In Vitro •

Pemeriksaan Ig E Total
Pemeriksaan Sitologi sekret hidung

• Tes cukit kulit


• Uji intra kutan
• Skin End-point Titration
In Vivo • Uji alergi makanan atau dikenal intracutaneus
Provocative Dilutional Food Test
• Diet eliminasi dan provokasi
Penatalaksanaan

1. Terapi paling ideal adalah dengan menghindari kontak


dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Terapi Medikamentosa

1. H1-antagonist, • Cetrizin 10mg, 1x1


generasi 2 • Loratadin 10mg, 1x1

• Pemakaian secara topikal hanya boleh beberapa hari


2. Decongestan untuk menghindari rinitis medikamentosa

• Beklometason
3. Kortikosteroid • Budesonid
• Flunisolid

4. Anti Leukotriene • Zafirlukast


3. OPERATIF
• Tindakan konkotomo parsial
• Konkoplasti

4. IMUNOTERAPI
• Pada alergi inhalan yang berat dan sudah berlangsung lama serta
pengobatan lain tidak emmberikan hasil yang memuaskan yaitu dilakukan
secara intradermal dan sublingual
KOMPLIKASI

Polip hidung

Otitis media

Rinosinositis
RINITIS VASOMOTOR
Keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat
(kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin,
klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan)

Rinitis Vasomotor

Disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor


rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga
non-allergic perennial rhinitis
Faktor pencetus

Asap/rokok
Bau yang menyengat
Parfum
Minuman beralkohol
Makanan pedas
Udara dingin
Pendingin dan pemanas ruangan
Perubahan kelembaban
Perubahan suhu luar
Kelelahan
Stres dan emosi
Etiologi & Patofisiologi


Simpatis : vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung
Neurogenik (disfungsi ●
Parasimpatis : vasodilatasi dan peningkatan sekresi hidung
sistem otonom)

Ketidak seimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung dengan bertambahnya
aktivitas parasimpatis


Rangsangan thd saraf sensoris serabut C meningkat - peningkatan
Neuropeptida pelepasan neuropeptida - peningkatan permeabilitas vaskular dan
sekresi kelenjar


No tinggi dan persisten – rusak/nekrosis epitel – peningkatan
Nitrik oksida reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks vaskular dan
kelenjar mukosa hidung

Trauma ●
Komplikasi jangka panjang dari trauma hidung
Gejala Klinik

Golongan bersin (sneezers)


Gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan terapi antihistamin dan
glukokortikosteroid topikal

Golongan rinore (runners)


Gejala dapat diatasi dengan pemberiaan antikolinergik topikal

Golongan tersumbat (blockers)


Kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal
dan vasokonstriktor oral
Diagnosis

Pemeriksaan rinoskopi anterior


Diagnosis umumnya ditegakkan tampak gambaran khas berupa edema
dengan cara eksklusi yaitu mukosa, konka berwarna merah gelap
menyingkirkan adanya rinitis atau merah tua atau pucat, permukaan
infeksi, alergi, okupasi, hormonal konka dapat licin atau berbenjol-
dan akibat obat benjol, sekret mukoid, biasanya sedikit
atau serosa dan banyak jumlahnya

Pemeriksaan laboratorium
dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Kadar
IgE spesifik tidak meningkat, tes
cukit kulit basanya negatif
Penatalaksanaan

Menghindari stimulus/faktor pencetus

Pengobatan Simtomatis

Dekongestan oral

Cuci hidung dengan garam larutan fisiologis

kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3

Kortikosteroid topikal 100-200 mikrograml – kasus rinore yang berat dapat ditambahkan antikolinergik topikal

Terapi operatif

Bedah beku

Elektrokauter

Konkotomi parsial konka inferior

Neurektomi n.vidianus
RHINITIS ATROFI
Definisi


Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka.

Secara klinis: Mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering  terbentuk krusta yang berbau busuk

Faktor Predisposisi


Wanita >> sering terkena ; terutama usia dewasa muda.

Faktor lingkungan : sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk.

Faktor psikis : cemas, stress/tegang, emosi

Etiologi


Infeksi bakteri gram negatif kuman spesifik (Klebsiella Ozaena). Kuman lainnya: Stafilokokus, streptokokus, dan pseudomonas aeruginosa.

Defisiensi FE

Defisiensi Vitamin A

Sinusitis kronik

Kelainan hormonal

Penyakit kolagen (autoimun)
Klasifikasi Rhinitis Atrofi berdasarkan gejala klinis oleh dr. Spencer
Watson (1875)

Ringan Pembentukan krusta yang tebal



Mudah ditangani dengan irigasi

Sedang Anosmia


Rongga hidung yang berbau

Rhinitis atrofi yang disebabkan o/ sifilis

Berat


Ditandai o/ rongga hidung yang sangat berbau

Disertai destruksi tulang
DIAGNOSIS

ANAMNESIS

PEMERIKSAAN FISIK
- Napas berbau
- Ingus kental berwarna hijau PEMERIKSAAN PENUNJANG
Didapatkan rongga hidung sangat
- Gangguan penghidu
lapang, konka inferior dan media Histopatologik
- Sakit kepala - Biopsi Konka Media
menjadi hipertrofi atau atrofi 
- Hidung tersumbat Pemeriksaan Mikrobiologi Dan
ada secret purulent dan krusta
Resistensi Kuman
yang berwarna hijau
Ct Scan Sinus Paranasal
Tatalaksana
Pengobatan Konservatif Operatif
 Antibiotik spektrum luas  Jika 4-6 minggu tidak ada perbaikan dengan pengobatan
konservatif  Operasi
- Dosis adekuat
 Teknik operasi:
- Lama pengobatan bervariasi
tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa - Operasi penutupan lubang hidung atau
secret purulent kehijauan penyempitan lubang hidung dengan implantasi atau dengan
 U/ menghilangkan bau busuk akibat hasil proses
jabir osteoperiosteal.
infeksi serta secret purulent dan krusta  Obat  Tindakan ini diharapkan akan mengurangi turbulensi udara dan
cuci hidung (irigasi). pengeringan secret, inflamasi mukosa berkurang, sehingga
Larutan yang digunakan bersifat hipertonik  mukosa akan kembali normal.
NaCl, Na4Cl, NaHCO3  Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) sering dilakukan pada
 Dapat diberikan preparat vitamin A 3x50.000 unit kasus rhinitis atrofi
dan preparat Fe selama 2 minggu. - Dengan dilakukan pengangkatan sekat-sekat tulang yang
mengalami osteomyelitis, diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi
ventilasi dan drenase sinus kembali normal, sehingga terjadi
regenerasi mukosa
Sinusitis
Sinus Maksilaris
• Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus.
• Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apeksnya
pada pars zygomaticus maxillae

Sinus Ethmoidalis
• Terbentuk pada usia fetus bulan IV. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang
kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis.
• Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan
mata
Sinus Frontalis
• Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.
• Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
• Volume pada orang dewasa ± 7cc.
• Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).

Sinus Sfenoidalis
• Terbentuk pada fetus usia bulan III
• Terletak pada corpus, alas dan Processus os
sfenoidalis.
• Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
Pengatur kondisi udara

Thermal insulators

Membantu keseimbangan kepala

Membantu resonansi suara

Peredam perubahan tekanan udara

Membantu produksi mucus


Definisi

 
Sinusitis yang disertai atau dipicu oleh rinitis disebut sebagai, rinosinusitis.
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps
(2012), rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala
Data DEPKES RI tahun 2003:
Penyakit Hidung dan sinus berada diurutanke-25
dari 50 penyakit peringkat utama atau sekita
102.817 penderita rawat jalan.
Sinus yang paling sering terkena adalah sinus
maksila
Etiologi
• MIKROORGANISME
• ALERGI
• KELAINAN ANATOMI
• IMUNITAS
• LINGKUNGAN
Patofisiologi
Organ yang Ostium
membentuk KOM tersumbat transudasi
udem

Inflamasi
berlanjut Sekret purulen

hipoksia Perubahan mukosa


menjadi kronik
Kriteria Diagnosis Sinusitis


● OBTRUKSI HIDUNG

● POST NASAL DRIP (PND)
SAKIT KEPALA
GEJALA MAYOR


● NYERI / RASA TERTEKAN WAJAH

● HIPOSMIA/ANOSMIA

● SEKRET PURULEN


● DEMAM

● HALITOSIS

● BATUK DAN IRITABILITAS
GEJALA MINOR ●



NYERI KEPALA
DEMAM

● NYERI GIGI

● OTALGIA
Kriteria Diagnosis Sinusitis

1 Mayor
2 Mayor
2 Minor
Diagnosis

 Pemeriksaan rhinoskopi anterior dan posterior

 Pemeriksaan penunjang

 Transluminasi

 Pemeriksaan radiologi : foto water menunjukkan gambaran air


fluid level
Prinsip penatalaksanaan

 Pengobatan

 Pencegahan infeksi

 Memperbaiki ostium

 Memperbaiki fungsi mukosiliar

 Menekan proses inflamasi pada mukosa saluran nafas

 Pada kasus-kasus kronis atau rekuren penting juga menyingkirkan faktor-faktor


iritan lingkungan
Sinusitis Akut

 Antibiotik selama 10-14 hari

 Antibiotik yang diberikan golongan penisilin

 Diberikan juga dekongestan lokal

 Analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri


Sinusitis Kronik

 Antibiotik diberikan selama sekurang-kurangnya 2 minggu

 Untuk sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus

 Sinusitis etmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian


proetz
Operatif
Radikal

 Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc

 Sinus etmoid dengan etmoidektomi

 Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi killian

Non radikal

 Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) / FESS


Pencegahan

 Jangan sampai terkena infeksi saluran nafas

 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cukup istirahat dan


konsumsi makanan dan minuman yang memiliki nilai nutrisi baik
dan berolahraga secara teratur
Komplikasi

 Abses orbita

 Meningitis dan abses cerebri

 Bronkhitis dan pneumonia

 Radang telinga
Corpus Alienum
Hidung
PENDAHULUAN

 Benda asing di hidung adalah benda yang


berasal dari luar atau dalam tubuh yang
dalam keadaan normal tidak ada pada
hidung
PENDAHULUAN

 Kasus benda asing di hidung paling sering terjadi pada


anak, terutama pada usia 1 - 4 tahun.

 Pada usia ini anak cenderung mengeksplorasi tubuhnya,


terutama daerah yang berlubang, termasuk hidung.

 Lokasi yang paling umum biasanya di konka anterior atau


di bawah konka inferior.
Patofisiologi

 Masuknya benda asing  menyumbat rongga hidung  menimbulkan gejala


Etiologi
 Benda asing pada hidung umumnya dijumpai
pada anak-anak
 Bisa berupa :
- benda mati (peluru, biji-bijian, manik)
- benda hidup (lalat, lintah, larva)
Faktor Predisposisi
 Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing
di hidung antara lain :
 Faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi sosial
dan tempat tinggal)
 Kegagalan mekanisme proteksi normal (keadaan tidur,
kesadaran menurun, alkoholisme dan epilepsi), ukuran, bentuk
serta sifat benda asing serta faktor kecerobohan.
Klasifikasi Benda Asing

Benda asing eksogen


Benda asing endogen
Gejala dan Tanda

 Discharge nasal yang kental dan kuning


 Bau busuk dari hidung
 Kesulitan bernapas
 Gatal dan nyeri hidung
 Epistaksis berulang
 Sakit kepala
Diagnosis

 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
Anamnesis
Gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat, rinore
unilateral dengan cairan kental dan berbau. Kadang-
kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis dan bersin.
Pemeriksaan fisik
Tampak edema dengan inflamasi mukosa hidung unilateral
dan dapat terjadi ulserasi. Benda asing biasanya tertutup
oleh mukopus, sehingga sering disangka sinusitis .
 Pasien harus dalam keadaan imobilisasi agar memudahkan
pemeriksaan, hampir seluruh kasus benda asing pada hidung tidak
memerlukan pemeriksaan penunjang. Namun terdapat pengecualian
pada kasus benda asing berjenis metal yang memberikan gambaran
radiolusen pada foto X-Ray
3. Diagnosis banding
Diagnosis banding untuk obstruksi hidung unilateral antara lain:
 Sinusitis

 Polip

 Tumor

 Upper respiratory infection (URI)


 Atresia koana unilateral
 Tumor hidung
 Abses

 Hematoma septum

Diagnosis banding bisa juga kita pikirkan dari benda asing yang tersering ditemukan
yaitu sisa makanan, permen, manik-manik dan kertas.
Terapi

 Prosedur Removal dilakukan jika objek dapat dilihat


- Instrumen, seperti forceps atau klem
- Foley kateter, jika benda asing halus dna tidak
menutup hidung secara total
 Antibiotik diberikan untuk membantu mencegah atau mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri
 Analgesik
 Pembedahan dilakukan jika benda asing letaknya sangat dalam
Komplikasi

 Pendarahan
 Sinusitis
 Otitis media akut
 Perforasi septum nasal
 Selulitis periorbital
 Meningitis
 Epiglottitis akut
 Tetanus
Prognosis

 Prognosis baik jika segera dilakukan tindakan untuk membebaskan rongga hidung
dari benda asing
EPISTAKSIS
Definisi

 Epistaksis adalah perdarahan dari hidung


 lokal
 sebab umum (kelainan sistemik).

 Epistaksis  Suatu Tanda , BUKAN suatu Penyakit !!!!


Pendarahan Hidung

 Bagian atas  a. etmoidalis anterior & posterior


 Bagian bawah  ujung a. palatina mayor & a. sfenopalatina
 Bagian depan hidung  cabang-cabang a. facialis
 Bagian depan septum  Pleksus Kiesselbach (Little’s area)
 Drainase vena  melalui v. oftalmika, v. fasialis anterior, v. sfenopalatina.
Pendarahan Hidung

1. anterior ethmoidal (ophthalmic)


2. posterior ethmoidal (opththalmic)
3. sphenopalatine (maxillary)
4. greater palatine (maxillary)
5. branch of superior labial (facial)
Etiologi
 Penyebab Lokal
 Trauma (mengorekhidung atau corpus alienum)
 ISPA, alergi, polip hidung, post operasi, tumor
 Kelainan pembuluh darah (lokal), Infeksi lokal
 Perubahan udara / tek. Atmosfer
 Penyebab sistemik
 Hipertensi, hemofilia, leukimia, limfoma,
 polisitemia vera, trombositopenia,
 von Willebrand’s disease, penyakit hati,
 defisiensi vit K, kemoterapi, terapi
 antikoagulan
Sumber Perdarahan
1. Epistaksis Anterior
 Pleksus Kisselbach atau a. etmoidalis anterior

 Perdarahan ringan & dapat berhenti sendiri

2. Epistaksis Posterior
 A. etmoidalis posterior atau a. sfenopalatina

 Perdarahan lebih berat & tidak dapat berhenti sendiri

 Sering ditemukan pada pasien hipertensi, arteriosklerosis, atau


penyakit kardiovaskuler
Penanganan Epistaksis
 Anamnesis

 Keadaan umum, nadi, pernapasan & tekanan darah


 Pemeriksaan fisik  cari sumber perdarahan
 Hentikan perdarahan
 Pemeriksaan penunjang jika perlu
Anamnesis
 Anamnesa yang lengkap sangat diperlukan, meliputi:
 Riwayat epistaksis sebelumnya.
 Lokasi perdarahan, apakah darah mengalir keluar dari hidung depan atau mengalir
ke tenggorokan (dalam posisi duduk)
 Lama perdarahan dan frekuensinya
 Kecenderungan perdarahan
 Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
 Penyakit hipertensi, DM, penyakit hati
 Trauma hidung yang belum lama
 Penggunaan antikoagulan, aspirin, fenilbutazon
Pemeriksaan fisik

 Alat-alat dalam pemeriksaan epistaksis yaitu lampu kepala, spekulum hidung, dan
suction.
 Posisi pasien dapat duduk, setengah duduk atau berbaring dengan kepala
ditinggikan
 Anak  dipangku, tangan dan badan dipeluk dan kepala dipegangi (fiksasi)
Prinsip Tatalaksana Epistaksis

 Menghentikan perdarahan
 Mencegah komplikasi
 Mencegah berulangnya epistaksis
Mencari Sumber Perdarahan
 Bersihkan hidung
 Pasang tempon sementara
 Kapas + adrenalin (1/5.000 – 1/ 10.000) + pantocain (atau lidocain 2%)
 Dapat menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri
 Dibiarkan 10-15 menit
 Nilai sumber perdarahan
Perdarahan Perdarahan
Anterior Posterior

Sulit diatasi

Menekan hidung dari luar ●
Tampon Bellocq (tampon

Kaustik dgn lar. AgNO3 25-
posterior)
30% + krim AB ●
Kateter Folley

Pemasangan tampon anterior ●
Kauterisasi
selama 2X24 jam ●
Ligasi a. sfenopalatina
Tampon Anterior
Tampon Bellocq
Tampon Hidung Posterior
 Pasang tampon yg dpt dioleskan antibiotik  Kateter ditarik kembali melalui hidung
topikal  << insiden infeksi sampai benang keluar & dpt ditarik

 Tampon (kasa padat bentuk kubus / bulat  Dorong tampon dgn jari agar dpt melewati
dgn diameter 3 cm) diikat oleh 3 utas palatum mole masuk ke nasofaring.
benang, 2 buah di satu sisi dan sisanya di  Kedua benang yg keluar dr hidung  diikat
sisi berlawanan. pd sebuah gulungan kasa di depan nares
 Masukkan kateter karet dr hidung sampai anterior.
orofaring & tarik keluar dari mulut  Benang lain yg keluar dr mulut  diplester
 Pada ujung kateter dikaitkan 2 benang dgn longgar pd pipi pasien.
tampon
Kateter Folley
 Kateter Folley no. 14 dgn suatu kantung 15 cc yg dimasukkan
transnasal  dikembangkan dan ditarik rapat pada koana
posterior.

 Penderita harus dirawat inap di rumah sakit

 Diet cair

 Diberikan antibiotik broadspektrum (karena putusnya pola


drainase hidung dan sinus.

 Pasien harus tidur dengan kepala ditinggikan 450


Blok Ganglion Spenopalatinum
 Bersifat diagnostik & terapeutik

 Injeksi 0,5 ml xilocain 1 % dgn epinefrin secara berhati-hati ke dlm kanalis


palatina mayor  vasokonstriksi a. Spenopalatina & memberikan efek
anestesia untuk pemasangan tampon posterior.

 Bila perdarahan berasal dari cabang arteri spenopalatina  epistaksis akan


segera berkurang dlm beberapa menit.

 Jika injeksi tdk memberi efekepistaksis mungkin berasal dr a.


Etmoidalis posterior.
Komplikasi
1. Akibat epistaksis 2. Akibat pemasangan tampon

a). Perdarahan hebat a). Rino-sinusitis

- aspirasi darah ke dlm sal. napas bawah b). Otitis media


- syok c). Bloody tears
- anemia
d). Hemotimpanum
- gagal ginjal
e). Laserasi palatum Mole/sudut bibir
b). Turunnya tek. darah
f). Nekrosis mukosa hidung/septum
- hipotensi

- hipoksia
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai