Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ADMINISTRASI PERTANAHAN
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan
sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun 1870
Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie). VOC didirkan pada
tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari
persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat
Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :
1) Contingenten.
2) Verplichte leveranten.
3) Roerendiensten.
LANJUTAN
Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816). Pada masa Rafles
semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom
government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak bumi.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut
:
a) Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan
kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa
yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b) Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan
tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak
tanah.
c) Praktik pajak tanah menjungkir balikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah
rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah
yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan
pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya.
LANJUTAN
Sejarah Penyusunan UUPA.
Perjalaanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia
rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan
Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
A. Dasar Hukum. Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948
tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo,
Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas anatara lain :
1) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum
tanah pada umumnya;
2) Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik
Indonesia;
3) Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama tentang
tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara
yang merdeka;
4) Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.
LANJUTAN
• ORDE BARU
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan
pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan
ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber
daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967
yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun
1958.Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai
peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan
ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.
LANJUTAN
• ORDE REFORMASI
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan
dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan
kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan
dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria)
dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian
dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-
peraturan sebelumnya. Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
redistribusi tanah pun kembali diagendakan.
Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah
tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin.
Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani
perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah
telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.
KONSEP HUKUM AGRARIA & HUKUM TANAH
2. Hak Opstal
Pasal 1 Indonesia ketentuan konversi UUPA menentukan Hak opstal dan hak erfpacht untuk
perumahan yang ada pada pada mulai berlakunya UUPA, sejak saat tersebut menjadi hak guna
bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan
erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun Dengan demikian maka hak opstal itu
dikonversi munjadi hak guna bangunan menurut pasal 35 ayat 1 UUPA dalam jangka waktu
sisa waktu dari hak opstal sejak tanggal 24 September tersebut, dengan ketentuan maksimum
20 tahun hak opstal yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 tidak
dikonversi. Jadi dengan demikian, maka bekas yang punya hak opstal dapat mengajukan
permohonan hak baru3. Hak Erfpacht
3. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
1) Konversi hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
2) Pelaksanaan konversi bekas hak barat c.2 hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
LANJUTAN
4. Hak Gebruik
Hak-hak gebruik sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 sesuai
dengan pasal VI ketentuan konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai,
sebagaimana dimaksud pasal 41 ayat 1
UUPA.
5. Bruikleen
Konversi VI ketentuan konversi UUPA menentukan: Hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
pasal 41 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada
mulai berlakunya UU ini, yaitu hak Vruchtgebruik, genggam bauntuik, anggaduh,
bengkak, lungguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga.
MEKANISME TANAH
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga pemerintahan yang bertugas untuk
melaksanakan dan mengembangkan administrasi pertanahan. Dalam melaksanakan tugas tersebut,
penyelesaian masalah pertanahan merupakan salah satu fungsi yang menjadi kewenangan BPN.
Penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi oleh BPN perlu dilandasi dengan kewenangan-
kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bahwa dalam rangka
menetapkan langkah dan arah dalam menangani dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara
Pertanahan secara efektif telah ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN Republik Indonesia Menangani
dan Menyelesaikan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan Tahun 2009, dimana sistem
penanganan masalah Pertanahan dengan berpedoman kepada Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan. Salah satu metode penyelesaian kasus pertanahan ditetapkan melalui Mediasi dimana
mekanisme Pelaksanaan Mediasi diatur di dalam Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor : 05/JUKNIS/D.V/2007 (Keputusan Kepala BPN Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2007) tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta pada
tanggal 31 Mei 2007.
LANJUTAN