Anda di halaman 1dari 20

TUGAS

ADMINISTRASI PERTANAHAN

NAMA : DIAN TRI WAHYUNI


STAMBUK : 217 101 027
Sejarah Hukum Agraria

Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi


2 (dua), yaitu:
1. Hukum Agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka
bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24
September 1960 dan
2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya
UUPA.
LANJUTAN

Dari konsideran UUPA di bawah kata ”menimbang”, dapat diketahui


beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai
berikut :
1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun
berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan
sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan
rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini
serta pembangunan semesta
2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya
hokum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat
3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.
LANJUTAN

Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan
sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun 1870
Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie). VOC didirkan pada
tahun 1602 – 1799 sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari
persaingan antara pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat
Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :
1) Contingenten.
2) Verplichte leveranten.
3) Roerendiensten.
LANJUTAN

Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816). Pada masa Rafles
semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom
government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak bumi.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut
:
a) Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan
kepada kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa
yang wajib dibayar oleh tiap petani.
b) Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan
tanah oleh para petani. Jika hal itu diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak
tanah.
c) Praktik pajak tanah menjungkir balikan hukum yang mengatur tentang pemilikan tanah
rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepala desa. Seharusnya luas pemilikan tanahlah
yang menentukan besarnya pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan
pajak tanah itu justru berlaku yang sebaliknya.
LANJUTAN
Sejarah Penyusunan UUPA.
Perjalaanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh Lima Panitia
rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta, Panitia Rancangan
Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan Sadjarwo.
A. Dasar Hukum. Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948
tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo,
Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini bertugas anatara lain :
1) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum
tanah pada umumnya;
2) Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia Republik
Indonesia;
3) Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama tentang
tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara
yang merdeka;
4) Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.
LANJUTAN

B. Asas-asas yang Menjadai Dasar Hukum Agraria Indonesia.


Asas-asas yang akan merupakan dasar- dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :
1) Meniadakan asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;
2) Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yangdapat dibebani
hak tanggungan;
3) Mengadakan penyelidikan terutama di negara tetangga tentang kemungkinan pemberian
hak milik atas tanah kepaa orang asing;
4) Perlu diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi para petani keciluntuk dapat
hidup layak untuk Jawa 2 hektar;
5) Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan untuk pulau Jawa
10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang di luar Jawa masih diperlukan
penelitian lebih lanjut;
6) Perlu diadkan regidsrasi tanah milik dan hak-hak lainnya
LANJUTAN

• ORDE BARU
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan
pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan
ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber
daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967
yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun
1958.Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai
peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan
ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru.
LANJUTAN

• ORDE REFORMASI
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan
dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan
kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan
dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria)
dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian
dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-
peraturan sebelumnya. Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
redistribusi tanah pun kembali diagendakan.
Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah
tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin.
Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani
perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah
telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.
KONSEP HUKUM AGRARIA & HUKUM TANAH

• Pengertian Hukum Agraria


Hukum Agraria pasti berbicara tentang hukum soal tanah, demikian
kebanyakan kita berpikir mengenai agraria yang sering
diperbincangkan. Karena istilah agraria memang identik dengan
persoalan tanah. Demikian pula dengan hukum agraria. Ketika
mendengarnya kita langsung menyamakan dengan pengaturan atas
tanah berdasarkan peraturan yang ada. Dan hal ini tidak sepenuhnya
salah ketika mengidentikkan hukum tentang tanah dengan hukum
agraria.
LANJUTAN

Konsepsi Hukum Agraria


Hukum agraria diindonesia menggunakan berbagai azas antara lain:
1. Hukum agraria berarsaskan nasionalisme
2. hukum agrarian berazaskan hokum adat
3. Hukum agraria berazaskan dikuasai oleh negara
4. Hukum agraria berazaskan fungsi social
5. Hukum agraria berazaskan gotong royong
LANJUTAN

Pengertian Hukum Tanah


Tanah Sebagai Bagian Dari Bumi. Disebutkan Dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA Yaitu Atas Dasar Hak
Menguasai Dari Negara Sebagai Yang Dimaksud Dalam Pasal 12 Ditentukan Adanya Macam-macam Hak
Atas Permukaan Bumi Yang Disebut Tanah, Yang Dapat Diberikan Kepada Dan Dipunyai Oleh Orang-
orang, Baik Sendiri Maupun Bersama-sama Dengan Orang Lain, Serta Badan Hukum. Dengan Demikian,
Jelaslah Bahwa Tanah Dalam Pengertian Yuridis Adalah Permukaan Bumi, Sedangkan Hak Atas Tanah
Adalah Hak Atas Sebagian Tertentu Permukaan Bumi, Yang Berbatas, Berdimensi Dua Dengan Ukuran
Panjang Dan Lebar.
Pembentukan Hukum Tanah Nasional Dengan Dasar Hukum Adat Yang Digunakan Adalah Konsepsi
Dan Asas-asasnya. Asas-asas Hukum Adat Yang Digunakan Dalam Hukum Tanah Nasional Antara Lain :
1. Asas Religiusitas (Pasal 1 UUPA);
2. Asas Kebangsaan (Pasal 1, 2 Dan 9 UUPA);
3. Asas Demokrasi (Pasal 9 UUPA);
4. Asas Kemasyarakatan, Pemerataan Dan Keadilan Sosial (Pasal 6, 7, 10, 11 Dan 13 UUPA);
5. Asas Penggunaan Dan Pemeliharaan Tanah Secara Berencana (Pasal 14 Dan 15 UUPA); Dan
6. Asas Pemisahan Horisontal Tanah Dengan Bangunan Dan Tanaman Yang Ada Di Atasnya.
LANJUTAN

Hukum tanah nasional yang diatur dalam UUPA merupakan dasar


mengadakan kesatuan dan kesederhanaan di bidang hukum pertanahan.
UUPA yang disusun sesuai dengan jiwa dan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia, mencabut beberapa peraturan hukum agraria warisan
penjajah Belanda. UUPA juga mengatur berbagai hak-hak yang dapat
dipunyai oleh orang-orang, badan maupun persekutuan yang ada di
Indonesia. Negara yang merupakan organisasi kekuasaan seluruh rakyat
mempunyai hubungan dengan tanah berupa hak menguasai negara.
Keberadaan hak ulayat tetap diakui sepanjang masih ada dan sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara. UUPA memberikan
kewenangan kepada orang atau badan hukum untuk menguasai tanah
dengan diberikan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau
hak pakai.
Hubungan Politik Hukum Agraria

1. Bagaimana pengaruh politik terhadap hukum agraria?


2. Karena Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai
kebijaksanaan Hukum (legal policy)
3. Hukum tdk dapat dipandang sebagai pasal yang bersifat das sollen
(keharusan) melainkan das sein (kenyataan) ditentukan oleh politik
• pergeseran dari hanya membicarakan ttg tanah sampai pada pengertian
agraria yang lebih luas
• perubahan kebijakan ini diikuti dengan perubahan politik dalam
kepemimpinan dari zaman demokrasi terpimpin DAN awal 1960
melalui hadirnya UUPA
HAK ATAS TANAH
Jenis hak atas tanah berasal bekas hak barat:
1. Hak Eigendom
Mengenai konversinya, hak eigendom dapat diatur sebagai berikut:
1) Hak milik, Apabila hak eigendom atas tanah yang ada sejak berlakunya Undang-undang Pokok
Agraria menjadihak milik setelah memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam pasal 21
2) Hak guna bangunan, Apabila hak eigendom itu kepunyaan orang asing, seorang warga
NEGARA yang disamping kewarganegaraannya asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk
oleh pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 2, sejak berlakunya Undang-
undang ini menjadi Hak Guna Bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1 dengan jangka waktu
20 tahun
3) Hak Pakai, Apabila hak eigendom itu kepunyaan negeri asing yang dipergunakan untuk
keperluan rumah kediaman, Kepala perwakilan dan Gedung Kedutaan sejak mulai berlakunya
undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1 yang akan berlangsung
selama tanahnya yang dipergunakan untuk keperluan di atas
4) Tidak dikonversi/ dihapus, Apabila hak eigendom tersebut dalam ayat 3 pasal 1 ini, dibebani
dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom
tersebut dan pemegang hak postal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri Agraria
LANJUTAN

2. Hak Opstal
Pasal 1 Indonesia ketentuan konversi UUPA menentukan Hak opstal dan hak erfpacht untuk
perumahan yang ada pada pada mulai berlakunya UUPA, sejak saat tersebut menjadi hak guna
bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan
erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun Dengan demikian maka hak opstal itu
dikonversi munjadi hak guna bangunan menurut pasal 35 ayat 1 UUPA dalam jangka waktu
sisa waktu dari hak opstal sejak tanggal 24 September tersebut, dengan ketentuan maksimum
20 tahun hak opstal yang sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1960 tidak
dikonversi. Jadi dengan demikian, maka bekas yang punya hak opstal dapat mengajukan
permohonan hak baru3. Hak Erfpacht
3. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
1) Konversi hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
2) Pelaksanaan konversi bekas hak barat c.2 hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar
LANJUTAN

4. Hak Gebruik
Hak-hak gebruik sejak berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 sesuai
dengan pasal VI ketentuan konversi UUPA dikonversi menjadi hak pakai,
sebagaimana dimaksud pasal 41 ayat 1
UUPA.
5. Bruikleen
Konversi VI ketentuan konversi UUPA menentukan: Hak-hak atas tanah yang
memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam
pasal 41 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah yang ada pada
mulai berlakunya UU ini, yaitu hak Vruchtgebruik, genggam bauntuik, anggaduh,
bengkak, lungguh, pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga.
MEKANISME TANAH

Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan lembaga pemerintahan yang bertugas untuk
melaksanakan dan mengembangkan administrasi pertanahan. Dalam melaksanakan tugas tersebut,
penyelesaian masalah pertanahan merupakan salah satu fungsi yang menjadi kewenangan BPN.
Penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi oleh BPN perlu dilandasi dengan kewenangan-
kewenangan yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Bahwa dalam rangka
menetapkan langkah dan arah dalam menangani dan menyelesaikan sengketa, konflik dan perkara
Pertanahan secara efektif telah ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kebijakan dan Strategi Kepala BPN Republik Indonesia Menangani
dan Menyelesaikan Sengketa, Konflik dan Perkara Pertanahan Tahun 2009, dimana sistem
penanganan masalah Pertanahan dengan berpedoman kepada Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan. Salah satu metode penyelesaian kasus pertanahan ditetapkan melalui Mediasi dimana
mekanisme Pelaksanaan Mediasi diatur di dalam Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor : 05/JUKNIS/D.V/2007 (Keputusan Kepala BPN Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2007) tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi yang dikeluarkan di Jakarta pada
tanggal 31 Mei 2007.
LANJUTAN

Penanganan masalah pertanahan melalui lembaga mediasi oleh BPN biasanya


didasarkan dua prinsip utama, yaitu:
a. Kebenaran-kebenaran formal dari fakta-fakta yang mendasari permasalahan yang
bersangkutan;
b. Keinginan yang bebas dari para pihak yang bersengketa terhadap objek yang
disengketakan.
Sebagai mediator, BPN mempunyai peran membantu para pihak dalam
memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari hal-hal yang
dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi,
mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi,
penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan mengatur pengungkapan
emosi.
KESIMPULAN

Kita sebagai warga negara sangat merindukan upaya-upaya untuk


menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan paham konstitusionalisme yang
sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha mewujudkan
keadilan agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang
berarti dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah, kekayaan alam dan wilayah hidup warga pedesaan dan
pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian lainnya
atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam dan wilayah
hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai