Anda di halaman 1dari 12

Kelompok 1

Yutricha Salsabila Fauzi (1818012033)


Andika Ridwan Nugraha (1918012031)
Made Ayu Purnama Sari (1918012006)
Devi Mutiara Jasmine (1918012025)

Perceptor
dr. Muhammad Yusran, M.Sc., Sp.M (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG
2020
TABLE OF CONTENTS

Background Discussion

01 03
Case Presentation

02
BACKGROUND
• Scleral buckling umumnya dilakukan pada
kasus ablasio retina regmatogen
• Salah satu komplikasi dari prosedur ini
adalah ekstrusi (reaksi penolakan) dari
explant silikon
• Mekanisme hipotesis yang mendasari
infeksi pada buckle adalah adanya lapisan
glycocalyx (biofilm) yang menyelimuti
material explant yang mencegah penetrasi
antibiotik sekuestrasi terhadap invasi
mikroba patogen
• Seri kasus ini mendeskripsikan pasien
dengan konjungtivitis kronik akibat
infeksi pada scleral buckling
CASE PRESENTATION

Pasien A
Wanita 73 tahun, perokok, dengan riwayat penyakit Basedow, dislipidemia,
rinosinusitis kronis dan miopia berat. Glaukoma sejak usia 20 tahun diobati
dengan brinzolamide, timolol dan bimatoprost. Riwayat operasi katarak
pada tahun 2002, ablasio retina diobati dengan operasi scleral buckling pada
Agustus 2018. Pada tanggal 25 Maret, pasien datang dengan keluhan rasa
sakit, grittiness, dan discharge mukopurulen terus menerus di mata
kanannya. Pasien memiliki riwayat infeksi pneumonia pada Desember
2018 yang diobati dengan steroid dan diikuti konjungtivitis pada mata
kanan dirawat oleh spesialisnya dengan kombinasi antibiotik dan steroid
tetes mata. Pada pemeriksaan biomikroskopi terbukti edema kelopak mata
dan eritema, hiperemia konjungtiva yang signifikan, discharge
mukopurulen.
CASE PRESENTATION

Dua sampel sekresi konjungtiva dikumpulkan dan dikirim untuk


penyelidikan mikrobiologis dan pasien diresepkan terapi dengan:
intramuskuler ceftazidime 1g (satu suntikan dua kali sehari), obat tetes mata
ofloxacin 0,3% (satu tetes enam kali sehari), natrium hyaluronate 0,5% obat
tetes mata (satu tetes enam kali sehari); jaringan obat natrium hipoklorit
telah digunakan untuk mencegah tumpukan sekresi pada kelopak mata. Dua
hari kemudian polanya tidak berubah. Hasil laboratorium mendeteksi
infeksi Pseudomonas aeruginosa yang sensitif terhadap ceftazidime dan
gentamicine. Tetes ofloxacin diganti dengan salep gentamisin 0,3%.
Seminggu kemudian pasien direncanakan untuk scleral wash dengan
gentamisin.
CASE PRESENTATION

Untuk mengevaluasi keterlibatan periorbital pasien direncanakan untuk nuclear


magnetic resonance (NMR) yang menggambarkan tumefaksi dari kelenjar
lakrimal omolateral dan otot rektus lateral di dekat insersi bulbar, penebalan
phlogistic maxillar mukosa sinus di kedua sisi, terutama di sisi atas dari sinus
kanan dan selulitis preseptal dan orbital.
Selama pemeriksaan pra operasi, pasien mengalami beberapa episode diare; untuk
alasan ini pasien dikultur pada tanggal 24 April dan terdeteksi keberadaan toxin
dari Clostridium difficile. Pasien dikonfirmasi dengan diagnosis kolitis dan
dirawat di departemen penyakit menular rumah sakit untuk perawatan. Setelah
bakteri telah dieradikasi, pasien menjalani operasi pengangkatan buckle pada 4
Mei. Eksplan silikon dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologis dan terkonfirmasi
keberadaan P. aeruginosa. Pasien diberi terapi dengan ceftazidime, gentamicine,
netilmicin dan deksametason selama 2 minggu.
CASE PRESENTATION

Pasien B
wanita berusia 84 tahun dengan riwayat kardiomiopati iskemik hipertensif,
gangguan vena kronis, vaskulopati otak kronis dan dislipidemia dengan herniasi
lemak periorbital. Glaukoma dalam perawatan dengan bimatoprost. Pasien
memiliki riwayat operasi katarak dan Nd: YAG (neodymium-doped yttrium
aluminium garnet) LASER capsulotomy pada mata kanan. Pada tahun 1994,
pasien mengalami ablasio retina di mata kanan ditangani dengan operasi scleral
buckling. Pada hari-hari pertama bulan Juni ia mengeluhkan rasa sakit, edema
periorbital, dan keluarnya mukopurulen di mata kanan. Untuk alasan ini dia
berkonsultasi dengan dokter spesialisnya yang kemudian meresepkan terapi
sistemik amoksisilin dan obat tetes mata levofloksasin. Pada 11 Juni, karena
keluhan menetap, dia datang ke rumah sakit.
CASE PRESENTATION

Pada pemeriksaan biomikroskopi, ditemukan eritema dan edema kelopak mata,


hiperemia konjungtiva yang signifikan, dan discharge mukopurulen. Dua sampel
sekresi konjungtiva telah dikumpulkan dan pasien diresepkan terapi dengan
ceftriaxone 1g (satu suntikan dua kali per hari), levofloxacin (satu tetes sekali
dalam satu jam), tobramycin (satu tetes sekali dalam satu jam), atropin 1% (satu
tetes dua kali per hari), yodium (satu tetes dua kali per hari). Pada 22 Juni pasien
menjalani NMR dan ditemukan flogistik periorbiter dan intraorbiter serta proses
infektif. Hasil sampel mengkonfirmasi infeksi P. aeruginosa, sehingga dilakukan
pengangkatan scleral buckling. Material yang dikumpulkan dikirim untuk
pemerikasaan mikrobiologi dan dengan hasil mendukung diagnosis. Pasien
melanjutkan terapi antibiotik sistemik selama 2 minggu dan mencapai resolusi
lengkap.
DISCUSSION

Pasien A

KONJUNGTIVITIS MANIFESTASI
BAKTERIAL KLINIS
Infeksi pada konjungtiva yang Pada konjungtivitis bakteri dapat
disebabkan oleh bakteri. Penyebab ditemukan tanda dan gejala:
paling sering adalah: Streptococcus
pneumonia, Staphylococcus • Mata merah, rasa berpasir, dan
aureus, Haemophilus influenzae, perih;
Moraxella catarrhalis (Edwar &
Bani, 2017). • Sukar membuka mata terutama
Edema
Sekret kelopak pagi hari
Pada kasus, kedua pasien mukopurulen
mengalami konjungtivitis yang • Umumnya bilateral
disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa. Infeksi ini didapat • Adanya sekret bersifat purulen
akibat dari extrusi pemasangan
scleral buckle. • Edema kelopak, injeksi
konjungtiva

Pasien B
DISCUSSION

● Pada operasi scleral buckling, eksplan silikon dapat berubah posisi dari posisi awal
dan dapat mengekspos konjungtiva sehingga berisiko tinggi infeksi

● Pseudomonas aeruginosa diketahui dapat tumbuh pada permukaan implantasi


biomaterial dan sulit untuk dieradikasi. Biofilm yang dihasilkan menjadi barrier
kuat sehingga dapat memblok penetrasi antibiotik sehingga terjadi multi drug
resistence.

● Pada kasus ini pemberian antibiotik sistemik dan topikal sudah diberikan pada
pasien, namun belum cukup untuk mengeradikasi bakteri, sehingga dilakukan
pengangkatan scleral buckling. Namun tidak semua kasus harus dilakukan prosedur
pengangkatan.

● Studi melalui NMR dapat memonitor kondisi periocular pada pasien dan mencegah
risiko berevolusi ke sistemik.
REFERENCES

● Edwar L, Bani A. 2017. Konjungtivitis. Dalam: Sitorus RS,


Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, penyunting. Buku ajar
oftalmologi. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
THANKS

Anda mungkin juga menyukai