Anda di halaman 1dari 12

HADITS YANG ADA ILLATNYA

PEMBELAJARAN AL-QURAN DAN HADITS


KELOMPOK 5

• Ahmad Mubinul Hakim (18210007)


• Anggie Pramutya (18210011)
• Ekky Nurfadilah (18210016)
• Elda Nurdiani (18210017)
• Ismi Andini Nurjanah (18210023)
• Muhammad Karom Muharom (18210032)
A. PENGERTIAN ILLAT

Kata ‘illat/'illah (‫ة‬6ّ‫عل‬66‫ ) لا‬adalah bentuk masdar dari kata ‘alla-ya’illu (‫ يعل‬-‫)عل‬,
ّ secara etimologi
berarti sakit, cacat, luka peristiwa yang melenakan seseorang dari kepentingannya. Sedangkan
secara istilah yaitu 1) Suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan
hadis, padahal zhahirnya tidak nampak ada cacat. Dan 2) Cacat yang tersembunyi yang tidak
terlihat secara langsung dalam penelitian terhadap jalur sanad.
B. PERKEMBANGAN TEORI ILLAT DI HADITS

• Ibnu Hajr mengungkapkan bahwa 'illat merupakan jenis disiplin ilmu hadis yang paling kabur (samar) dan
paling jelimet, dan tidak ada yang mengaksesnya kecuali orang yang dianugerahi oleh Allah pemahaman
yang tajam, kapabilitas yang luas, dan pengetahuan yang sempurna mengenai tingkatan-tingkatan perawi
dan kompetensi yang mumpuni mengenai sanad-sanad dan matan-matan.
• Adapun karya tulis (kitab) yang paling monumental dalam disiplin ini adalah:
• "Kitab al-‘Ilal" karya 'Ali ibnu al-Madiniy, syaikh atau guru Imam al-Bukhariy, disusul kemudian oleh
kitab dengan judul serupa karya al- Khallal.
• “‘Ilal al-Hadits” karya Ibnu Abi Hatim.
• Konon, Ibnu Hanbal memiliki sebuah kitab mengenai 'illat yang masih berupa manuskrip dengan judul
“Al-‘Ilal wa Ma‘rifah ar-Rijal”.
• “Al-‘Ilal al-Kubra” dan “al-‘Ilal al-Shaghir” karya al-Tirmidziy.
• “Al-‘Ilal al-Waridah fi al-Ahadits al-Nabawiyyah” karya Al- Daruquthniy. Ini merupakan kitab ‘illal yang
paling lengkap dan luas pembahasannya, yang dibukukan oleh muridnya, al-Hafiz Abu Bakr al-Barqaniy.
C. LETAK 'ILLAT DALAM HADÎTS DAN PENGARUHNYA

Klasifikasi 'illat menurut tempat identifikasi dan pengaruhnya, adalah sebagai berikut:

1. ‘illah yang ada dalam sanad dan tidak berefek sama sekali, baik terhadap sanad maupun
matan.

Contohnya, hadîts yang diriwayatkan seorang mudallis dengan model perwayatan ‘an‘anah
(menggunakan kata ‘an dalam periwayatannya). Hadîts seperti ini wajib ditangguhkan status ke-
maqbul-annya; dan jika ditemukan riwayat yang sama dari jalur lain dengan menggunakan model
periwayatan sima‘ (menggunakan kata sami‘tu dalam periwayatannya), maka semakin jelaslah
bahwa ‘illah yang ada dalam hadîts pertama bersifat tidak menciderai.
2. ‘illah yang ada dalam sanad dan menciderai sanad saja, tanpa menciderai matannya.

Contohnya , hadîts yang diriwayatkan oleh Ya’la ibnu ‘Ubaid (dari al-Tanafisiy dari al-
Tsauriy dari ‘Amru ibnu Dinar dari Ibnu ‘Umar dari Rasulullah saw.; beliau bersabda:
(Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar). Di sini, Ya’la keliru dalam menyebut ‘Amru ibnu
Dinar, sebab yang tepat adalah ‘Abdullah ibnu Dinar. Ralat ini merujuk pada riwayat yang
disinyalir oleh para imam yang merupakan sahabat/murid as-Tsauriy, seperti al-Fadhl ibnu
Dukain, Muhammad ibnu Yusuf al- Firyani, dan lain-lain.
3. illah yang ada dalam sanad dan menciderai sanad sekaligus matannya.

Contohnya, hal yang menimpa Abu Usamah Hammad ibnu Usamah al-Kufi, salah seorang perawi tsiqah dari

‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir –salah seorang perawi tsiqah dari Syam-. Konon ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu

Jabir datang ke Kufah dan menyampaikan hadîts di sana, namun Abu Usamah tidak mendengar hadîts ini langsung dari

‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir. Beberapa waktu kemudian, datang ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Tamim – salah

seorang perawi dha‘if dari Syam juga. Abu Usamah mendengarkan hadîts darinya, lalu ia bertanya tentang namanya, dan

dijawab: ‘Abdurrahman ibnu Yazid (saja tanpa menyebutkan nama belakangnya lagi). Abu Usamah mengira bahwa ia

adalah ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir, maka ia menyatakan diri mendapat hadîts darinya dan menisbatkannya apa

yang disampaikan ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Tamim pada ‘Abdurrahman ibnu Yazid ibnu Jabir. Sehingga terdapat

banyak kemunkaran pada riwayat Usamah dari Ibnu Jabir, padahal keduanya tsiqqah. Hal seperti ini hanya bisa diketahui

oleh kalangan kritikus hadîts yang kemudian melakukan pemilahan dan menjelaskannya, misalnya al-Bukhariy, Ibnu Abi

Hatim, dan lainnya.


4. ‘illah yang ada dalam matan dan tidak menciderai matan

contohnya, perbedaan redaksi dalam hadîts-hadîts Shahih al-Bukhariy dan Shahih Muslim. Jika
semuanya bisa dikembalikan pada satu makna (pengertian), maka unsur pencideraannya menjadi
hilang. Misalnya, riwayat Umar yang bercerita bahwa pada masa Jahiliyyah dulu ia pernah
bernazar untuk melakukan i’tikaf selama sehari di Masjidil Haram, maka dalam satu versi Nabi
saw. bersabda: “Pergi dan i’tikaflah sehari!” Namun dalam versi lain, Nabi saw. bersabda, “Pergi
dan i’tikaflah semalam!” Perbedaan redaksi matan “sehari” dan “semalam” menurut Imam an-
Nawawi tidak sampai menciderai matan maupun sanad, karena barangkali Umar bertanya pada
Nabi tentang i’tikaf sehari dan ia ditanya tentang i’tikaf semalam.
5. ‘illah yang ada dalam matan dan menciderai matan maupun sanadnya

Contohnya, hadîts yang diriwayatkan bi al-ma‘na oleh seorang perawi, namun spekulasinya
salah, sebab yang dimaksud oleh lafal hadîts bukan seperti yang ia tulis. Hal tersebut tentu
saja berimplikasi pada kecacatan matan maupun sanad riwayat tersebut. Misalnya, hadîts
dari Jarir ibnu Yazid dari Anas ibnu Malik,dan Ibnu Abi Laila dari Abdul Karim dari Anas
ibnu Malik bahwa Rasulullah saw. berwudhu dengan menggunakan dua liter air. Ini adalah
riwayat bi al-ma‘na yang salah dan dha’if sanadnya, sebab yang shahîh dari Anas adalah
Rasulullah saw. berwudhu dengan satu mud.
6. ‘illah yang ada dalam matan dan hanya menciderai matannya minus sanadnya.

Contohnya, hadîts yang diriwayatkan tunggal oleh Muslim dari narasi Anas dengan redaksi
lugas yang menafikan “Bismillahirrahmanirrahim”. Para kritikus hadîts menilai hadîts
dengan redaksi tersebut ma‘lul mengingat mayoritas ulama’ menyatakan keabsahan
membaca basmalah di awal surah al-Fatihah.
D. FENOMENA 'ILLAT DALAM HADÎTS

• Hadîts diriwayatkan secara mahfuz dari seorang sahabat, namun kemudian diriwayatkan
dari selain shahabat-yang lebih rendah tingkat ke-tsiqah-annya, berdasarkan perbedaan
domisili para perawinya, misalnya riwayat orang-orang Madinah lebih unggul daripada
riwayat orang-orang Kufah. Contoh hadîts Musa ibnu ‘Uqbah dari Abu Ishaq dari ayahnya
secara marfu’:

‫ْيوم ِمائةَ َم َّرٍة‬ ِ ِ َِ ‫ال إنِ ِّي لَ ْست ْغَ ِفراللَّهَ وأَت ْو‬
َْ ‫ب إِلَ ِْيْه في ال‬
ُ ُ َ َ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَ ِِْيْه َو َسلَّ َم ق‬ ِ َ ‫• أ ََّن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
• Hadits ini ma’lûl (terkena 'illah), karena ada versi lain yang diriwayatkan secara mahfuzh
dari jalur Abu Burdah dari al-Agharr al-Muzani al-Madani.
•   Suatu hadîts sudah mahfuz dari seorang sahabat, namun kemudian diriwayatkan dari
seorang tabi’i yang memberikan pernyataan lugas dan mengesankan kesahihan
riwayatnya, padahal hadîts tersebut tidak dikenal dari jalurnya. Contoh, hadîts Zuhair
ibnu Muhammad dari ‘Usman ibnu Sulaiman dari ayahnya, bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. membaca surah al-Thur ketika shalat maghrib. Hadîts ini ma‘lul, karena
ayah ‘Utsman tidak pernah mendengar maupun melihat langsung Rasulullah Saw., akan
tetapi ia meriwayatkannya dari Nafi‘ ibnu Jubair dari Muth‘im dari ayahnya.

Anda mungkin juga menyukai