Anda di halaman 1dari 90

PRINSIP DASAR DAN

TEKNIK ANESTESI
Pembimbing: Djoni Kusumah Pohan dr., Sp.An., M.Kes
Oleh:
Rachmia Utari 4151131523
Dini Anggraeni4151131516
Rifqy Wahyu 4151131518
Silvia Andina Yelsi 4151131519
Galuh Ajeng Savira 4151131520
Hardiansah Saefuddin 4151131532
Putrie Nurdianti 4151131529
BAB I. PENDAHULUAN
O Anestesi berasal dari bahasa Yunani. An “tidak, tanpa”
dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”.
Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika dilakukan tindakan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh

O Istilah anestesi menggambarkan keadaan tidak sadar


yang bersifat sementara, karena anestesi adalah
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip Anestesi: Konsep Dasar Anestesi

1. Pelayanan anestesi, analgesi, sedasi  aman, efektif,


manusiawi, memuaskan pasien yang menjalani pembedahan,
prosedur medik atau trauma yang menyebabkan  nyeri,
kecemasan, dan stres psikis lainnya.
2. Menunjang fungsi vital tubuh terutama jalan nafas,
pernafasan, peredaran darah, dan kesadaran pasien 
mengalami gangguan / ancaman jiwa karena prosedur medik,
trauma atau penyakit lain.
3. Reanimasi & resusitasi jantung, paru, otak pada kegawatan
mengancam jiwa dimanapun pasien berada (ruang gawat
darurat, kamar bedah, ruang pulih sadar, ruang intensif/ICU).
4. Jaga keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, dan
metabolisme tubuh pasien yang mengalami gangguan /
ancaman jiwa karena menjalani prosedur medik, trauma
atau penyakit lain.
5. Atasi masalah nyeri akut di RS (nyeri akibat pembedahan,
trauma maupun nyeri persalinan).
6. Menanggulangi masalah nyeri kronik dan nyeri
membandel
7. Memberikan bantuan terapi pernafasan
2.2 Trias Anestesi

1. Hipnotik
2. Analgetik
3. Relaksasi Otot
1. Hipnosis

Induksi: suntikan intravena  short acting barbiturate,


misal: pentothal atau methohexitone, propanidid, diazepam
(valium), gamma OH, dan kombinasi obat-obat tersebut.

Tidur & amnesia dapat diinduksi dengan Inhalasi gas yaitu:


a. Open drop method: anestesi yang mudah menguap
Diteteskan pada kapas yang diletakkan didepan hidung
penderita sehingga kadar zat anestesik yang dihisap tidak
diketahui.
Boros  zat anestesi menguap ke udara terbuka.
b. Semi open drop method : = open drop, (gunakan
masker u/ kurangi zat anestesi)
c. Semi close method : udara yang dihisap diberikan
bersama oksigen murni yang dapat ditentukan
kadarnya  dilewatkan pada vap nizer, kadar
zat anestesik dapat ditentukan.
d. Close method, =semi close method : udara
ekspirasi dialirkan melalui NaOH yang dapat
mengikat CO2,  udara yang mengandung
anestesik dapat digunakan lagi.
2. Analgesi
O2 atau N2 O ditambah: siklopropane,
triklorotilene, etner, halothane, methosiflurane,
atau ethrane.

Obat yang sering digunakan :


Golongan narkotika analgetik  pethidin, morfin,
fentinil, dll (IV). Pemilihan obat tergantung :
keadaan penderita, kebiasaan anestesis.
3. Relaksasi Otot

Mutlak diperlakukan  pembedahan lancar.


Sifat relaksasi tergantung jenis pembedahan : relaksasi ringan
(simple relaksasi) sampai relaksasi sempurna (full paralisis).
Obat-obat : succinylcholine, atracurium,vecoronium,
rocuronium, pancuronium.

Untuk memenuhi trias anestesi  pemberian anestesi yang


dalam.
Efek samping anestesi yang dalam:
gangguan metabolisme karbohidrat, depresi fungsi ginjal dan
hepar, depresi miokard & sirkulasi serta gangguan
homeostasis dan depresi pernapasan.
2.3 Teknik Anestesi
2.3.1 Anestesi Umum
O Anestesi umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel.

O Komponen anestesi umum yang ideal


menghasilkan efek sedatif, analgesia, dan
relaksasi otot.
O Indikasi anestesi umum:

• bayi dan anak kecil


• dewasa yang lebih menyukai anestesi umum
• prosedur pembedahan luas
• pasien dengan kelainan/penyakit mental
• pembedahan yang berlangsung lama
• pasien dengan riwayat keracunan atau terjadi reaksi
alergi dengan obat-obatan anestesi lokal
• pasien dengan perawatan antikoagulan
2.3.1.1 Penilaian & persiapan pra-anestesi:

• Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk


mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi
biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
• Kunjungan pra-anestesi pada bedah elektif umumnya
dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada
bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
• Persiapan pasien yang diperlukan diantaranya yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.
O Anamnesis:

• Identitas pasien
• Riwayat penyakit sistemik (DM, hipertensi, kardiovaskular, TB,
asma)
• Riwayat pbat-obatan yang sedang atau telah digunakan dan
mungkin menimbulkan reaksi interaksi dengan obat-obat
anestetik
• Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu
seperti kesulitan pulih sadar dan perawatan intensif pasca bedah
• Kebiasaan sehari-hari pasien, seperti merokok dan minum
alkohol, atau obat-obatan
• Riwayat alergi
• Riwayat penyakit keluarga
O Pemeriksaan fisik

• Pemeriksaan BB, TB, tanda vital


• Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
lidah relatif besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi.
• Leher pendak dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskoi intubasi.
• Pemeriksaan rutin lain secara sistemik tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
• Pemeriksaan persarafan, parase, hemiparase
O Pemeriksaan Laboratorium

• Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi


yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
dicurigai
• Pada pasien sehat untuk bedah minor, diperlukan
pemeriksaan darah rutin dan urinalisis
• Pada pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
O Klasifikasi pasien

The American Society of Anesthesiologist (ASA)


• Kelas I: pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain
penyakit yang akan di operasi.
• Kelas II: pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang
selain penyakit yang akan di operasi.
• Kelas III: pasien dengan penyakit sistemik berat tetapi belum mengancam jiwa
selain penyakit yang akan di operasi.
• Kelas IV: pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat
• Kelas V: pasien dalam kondisi sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin
saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar
• Kelas VI: pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya
akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang
membutuhkan.

Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.


2.3.1.2 Masukan oral

• Untuk meminimalkan terjadinya regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan
napas maka pasien harus dipuasakan sebelum induksi
anastesia. Pada pasien dewasa puasa 6-8 jam. Anak
kecil puasa 4-6 jam. Bayi puasa 3-4 jam
• Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman air putih atau teh manis
diperbolehkan sampai 3 jam. Untuk keperluan obat,
air putih dalam jumlah terbatas diperbolehkan 1 jam
sebelum induksi.
2.3.1.3 Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi


anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan
bangun dari anesthesia diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anestesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi refleks yang membahayakan
Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain
:
• Gol. Antikolinergik
Atropin
• Gol. Hipnotik – sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital)
• Gol. Analgetik narkotik
Morfin
Pethidin
• Gol. Transquilizer
Diazepam (Valium)
2.3.1.4 Induksi anestesi umum

Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat


pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan secara
intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal.
O Induksi Intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan


digemari apalagi sudah terpasang jalur vena, karena
cepat dan menyenangkan. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati perlahan-lahan,
lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan
dalam kecepatan antara 30 – 60 detik. Selama induksi
anestesia pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah
harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
O Obat yang Biasa Digunakan

- Tiopental (tiopeton, pentotal) diberikan secara intravena dengan


kepekatan 2,5% dan dosis antara 3 – 7 mg/kgBB. Pada anak dan
manula digunakan dosis rendah, dewasa muda digunakan dosis
tinggi.
- Propofol (recofol, diprivan) diberikan secara intravena dengan dosis 2
– 3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena menyebabkan nyeri,
sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1
mg/kgBB secara intravena.
- Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB. Pasca
anestesia ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu
sebelumnya dianjurkan menggunakan sedativa seperti midasolam
(dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan
darah tinggi (>160mmHg). Ketamin menyebabkan tidak sadar tapi
dengan mata terbuka.
O Induksi Intramuskular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat


diberikan secara intramuskular dengan dosis 5 – 7
mg/kgBB dan setelah 3 – 5 menit pasien tidur.
O Induksi Inhalasi

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan


(fluotan) atau sevofluran. Induksi ini dikerjakan pada
bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau
pada dewasa yang takut disuntik. Induksi dengan
sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi
sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan konsentrasi
dipertahankan sesuai kebutuhan.
O Induksi Per Rektal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan


tiopental atau midazolam.
O Induksi Mencuri

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur.


Untuk yang sudah ada jalur vena tidak ada masalah,
tetapi pada yang belum terpasang jalur vena, harus
dikerjakan dengan hati-hati supaya pasien tidak
terbangun. Induksi mencuri inhalasi dilakukan dengan
cara sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka
pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter,
sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita
tempelkan.
2.3.1.5 Stadium anestesi

Berguna untuk menentukan kapan penderita bisa dioperasi. Bila


dilakukan dengan ether, maka stadium anestesi yang disesuaikan dengan
guedel sign adalah :
1. Stadium I
Stadium analgesia/stadium disorientasi yaitu mulai dari induksi (pemberian
zat anestetik) sampai hilangnya kesadaran.
2. Stadium II
Stadium eksitasi/stadium delirium dari mulai hilangnya kesadaran hingga
nafas jadi teratur.
3. Stadium III
Stadium operasi atau pembedahan, dari mulai nafas reguler hingga
paralisis respirasi (hilangnya pernafasan spontan).
4. Stadium IV
Stadium overdosis dari paralisis diafragma hingga apneu dan meninggal.
Pada stadium ini semua refleks negatif dan pupil dilatasi.
2.3.1.6 Kontraindikasi

O Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum


yaitu gagal jantung derajat III-IV, AV blok derajat II
dan total (tidak ada gelombang P).
O Sedangkan kontraindikasi relatif berupa hipertensi
berat/tak terkontrol (diastolik >110 mmHg), DM tak
terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA.
O Kontraindikasi anestesi umum juga tergantung pada
efek farmakologi pada organ yang mengalami
kelainan
2.3.1.7 Komplikasi anestesi umum

Selama induksi
O Kesalahan teknik dalam punksi vena
O Kesalahan teknik intubasi
O Batuk dan spasme laring
O Muntah
Selama narkose dan operasi

a.Gangguan airway
obstruksi saluran napas akut lain selama atau segera setelah
induksi anestesi.
b.Komplikasi sistem kardiovaskular
Hipotensi, hipertensi, aritmia
c.Komplikasi saluran pencernaan
Muntah, regurgitasi, distensi.
d.Komplikasi lain
Kornea mata luka karena masker/kap/duk operasi, retensi
urin, hipotermi, menggigil (peningkatan suhu tubuh), gelisah
setelah anestesi dan sadar selama operasi.
2.3.1.8 Pemulihan pasca anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan, setelah
dilakukan operasi terutama yang menggunakan anestesi
umum, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di
Recovery Room (RR).
1. Aldrete Score
2. Steward Score (anak-anak)
1. Aldrete Score
Jika jumlahnya >8, maka penderita dapat dipindahkan ke
ruangan.
O Nilai warna: merah muda (2), pucat (1), sianosis (0)
O Pernapasan: dapat bernapas dalam dan batuk (2), dangkal
namun pertukaran udara adekuat (1), apnea atau obstruksi (0)
O Sirkulasi: tekanan darah menyimpang <20% dari normal (2),
tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal (1), tekanan
darah menyimpang >50% dari normal (0)
O Kesadaran: sadar, siaga dan orientasi (2), bangun namun
cepat kembali tertidur (1), tidak berespons (0)
O Aktivitas: Seluruh ekstremitas dapat digerakkan (2), dua
ekstremitas dapat digerakkan (1), tidak bergerak (0)
2. Steward Score (anak-anak)
Jika jumlahnya> 5, penderita dapat dipindahkan
ke ruangan.
O Pergerakan: gerak bertujuan (2), gerak tak bertujuan
(1), tidak bergerak (0)
O Pernafasan: batuk, menangis (2), pertahankan jalan
nafas (1), perlu bantuan (0)
O Kesadaran: menangis (2), bereaksi terhadap rangsangan
(1), tidak bereaksi (0)
2.3.2 Anestesi Lokal
 Menghasilkan blokade konduksi atau blokade kanal
Na pada dinding saraf secara sementara terhadap
rangsang transmisi sepanjang saraf
 Anestesi lokal yang ideal:
 poten
 bersifat sementara
 tidak menimbulkan reaksi lokal, sistemik atau
alergi
 short acting
 ekonomis.
2.3.2.1 Mekanisme kerja anestesi lokal
Golongan
Metabolisme
ester oleh enzim
kolinesterase di
(co: plasma
Golongan prokain)
anestesi
lokal Golongan
amide Metabolisme
oleh enzimatis
(co: lidokain, di hepar
bupivakain)
2.3.2.2 Komplikasi anestesi lokal

Komplikasi lokal
• Hematom, edema, abses, gangrene pada lokasi penyuntikan
• Infeksi
• Iskemia jaringan dan nekrosis

Komplikasi sistemik
• Reaksi neurologis dan kardiovaskuler
• Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi
adalah berupa perangsangan sedangkan pengaruh pada pons
dan batang otak berupa depresi
• Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan
darah dan depresi miokardium serta gangguan hantaran
listrik jantung.
2.3.3 Anestesi Regional

Anestesia atau Analgesia Regional dibagi menjadi:


1. Blok sentral (blok neuroaksial):
- blok spinal,
- epidural,
- kaudal.

2. Blok perifer (blok saraf):


- blok pleksus brakialis,
- aksiler,
- analgesia regional intravena,
- dan lain-lainnya.
Anestesi spinal

Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural,


subarachnoid):
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid.

Diperoleh dengan cara:


Menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid.

Teknik ini sederhana, cukup efektif, mudah dikerjakan. 


Indikasi:
• Bedah ekstremitas bawah
• Bedah panggul
• Tindakan sekitar rectum-perineum
• Bedah obstetric-ginekologi
• Bedah urologi
• Bedah abdomen bawah
• Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya
dikombinasi dengan anesthesia umum ringan.
Kontraindikasi absolut:
• Pasien menolak
• Infeksi pada tempat suntikan
• Hipovolemia berat, syok
• Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
• Tekanan intrakranial meninggi
• Fasilitas resusitasi minim
• Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan
anesthesia
Kontraindikasi relatif:
• Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)
• Infeksi sekitar tempat suntikan
• Kelainan neurologis
• Kelainan psikis
• Bedah lama
• Penyakit jantung
• Hipovolemia ringan
• Nyeri punggung kronis
Persiapan anestesi spinal
• Informed consent (izin dari pasien)
Tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui
anestesia spinal.
• Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpa kelainan spesifik (kelainan tulang
punggung dan lain-lainnya)
• Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan
PTT (partial thromboplastine time)
Peralatan anestesi spinal
1. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse
oximeter) dan EKG.
2. Peralatan resusitasi/anesthesia umum
3. Jarum spinal
Jarum spinal denan ujung tajam (ujung bambu
runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal
dengan ujung pensil (pencil point, Whitecare).
Teknik Anestesi Spinal
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien (misal: posisi
dekubitus lateral).
Beri bantal kepala, agar tulang belakang stabil.
Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus
spinosus mudah teraba.
Posisi lain ialah duduk.
2. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4
atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya
berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan
4. Anestetik lokal pada tempat tusukan (misal:
lidokain 1-2% 2-3 ml)
5. Cara tusukan median atau paramedian.
Jarum spinal 22G, 23G atau 25G: dapat langsung
digunakan.
Jarum 27G atau 29G: dianjurkan menggunakan penuntun
jarum (jarum suntik biasa spuit 10cc)
Tusukan jarum introducer kira-kira 2cm ke arah sefal,
masukan jarum spinal dan mandrinenya ke lubang jarum
tersebut.
Jika jarum tajam (Quinkle-Babcock), irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan durameter (posisi tidur miring bevel
mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari
kebocoran cairan yang dapat menimbulkan nyeri kepala
pasca spinal)
Setelah resistensi hilang, mandrin jarum spinal
dicabut dan keluar cairan,
pasang spuit berisi obat dan obat dapat
dimasukan perlahan 0,5 ml/ detik.
Diselingi aspirasi sedikit, untuk menyakinkan
posisi jarum tetap baik. Jika yakin ujung jarum
spinal dalam posisi benar namun cairan tidak
keluar, putar arah jarum 90 derajat, cairan
akan keluar.
Analgesia spinal kontinyu  kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah
perineal, misal: bedah hemoroid dengan
anestesi hiperbarik.
Jarak kulit dengan ligamentum flavum
dewasa: kurang lebih 6 cm.
Komplikasi tindakan
• Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
• Bradikardi
Dapat terjadi tapa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat
blok sampai T-2.
• Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas.
• Trauma pembuluh darah
• Trauma saraf
• Mual-muntah
• Gangguan pendengaran
• Blok spinal tinggi, atau spinal total.
Komplikasi pasca tindakan
O Nyeri tempat suntikan
O Nyeri punggung
O Nyeri kepala karena kebocoran likuor
O Retensio urin
O Meningitis
Anestesi epidural
• Anestesia/analgesia epidural: blokade saraf dengan
menempatkan obat diruang epidural.
Ruang ini berada diantara ligamentum flavum dan duramater.
Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm dan di bagian posterior
kedalaman maksimal pada daerah lumbal.

• Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada


akar saraf spinal yang terletak di lateral. Awal kerja anestesi
epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal, sedangkan
kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.
Isi ruang epidural
O Sakus duralis
O Cabang saraf spinal (spinal nerve roots)
O Pleksus venosus epiduralis
O Arteria spinalis
O Pembuluh limfe
O Jaringan lemak
Indikasi anestesi epidural
• Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah
• Tatalaksana nyeri saat persalinan
• Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak
perdarahan
• Tambahan pada anesthesia umum ringan karena penyakit tertentu
pasien.

Ruang epidural bertekanan negative (<1 atm) kemungkinan karena:


• Pemindahan tekanan negative dari toraks melalui ruang
paravertebralis
• Fleksi maksimal punggung
• Dorongan ke depan saat jarum disuntikkan
• Redistribusi aliran darah serebrospinal.
Penyebaran obat pada anesthesia epidural bergantung:

• Volum obat yang disuntikkan


• Usia pasien (tua minimal, 19 tahun maksimal)
• Kecepatan suntikan
• Besarnya dosis
• Ketinggian tempat suntikan
• Posisi pasien
• Panjang kolumna vertebralis
• Suntikan 10-15 ml obat akan menyebar ke kedua sisi
sebanyak 5 segmen
Teknik Anestesia Epidural
Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan
ruang subarakhnoid.
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia
spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada
ketinggianL3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam,yaitu:
a). jarum ujung tajam (Crawford)
b). jarum ujung khusus (Touhy)
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Tetapi
yang paling populer ialah teknik hilangnya resistensi dan teknik
tetes tergantung.
a. Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik
rendah resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak
kurang lebih 3 ml. setelah diberikan anestetik lokal pda tempat
suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm. kemudian
udara atau NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara terputus-
putus (intermiten) sambil mendorong jarum epidural sampai
terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang
disusul oleh hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum
berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose)
b. Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya
resistensi, tetapi pada teknik ini hanya
menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl
sampai terlihat ada tetes NaCl yang
menggantung. Dengan mendorong jarum epidural
perlahan-lahan secara lembut sampai terasa
menembus jaringan keras yang kemudian disusul
oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural.
Setelah yakin ujung jarum dalam ruang epidural,
dilakukan uji dosis (test dose).
5. Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis
tunggal dilakukan setelah ujung jarum diyakini
berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal
3ml yang sudah bercampur adrenalin 1: 200.000.
kemudian dipehatikan beberapa hal berikut ini :
a. Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan
besar letak jarum sudah benar.
b. Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah
masuk ke ruang subarachnoid karena terlalu dalam.
c. Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%,
kemungkinan obat masuk vena epidural.
6. Cara penyuntikan: setelah diyakini posisi
jarum atau kateter benar, suntikan anestesi
lokal secara bertahap setiap 3-5menit
sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan
dalam ruang epidural mendadak tinggi,
sehingga menimbulkan peninggian tekanan
intrakranial, nyeri kepala, dan gangguan
sirkulasi pembuluh darah epidural.
7. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6
ml/segmen yang tentunya bergantung pada
konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus
dosis dikurangi sampai 50% dan pada wanita
hamil dikurangi 30% akibat pengaruh hormon
dan mengecilnya ruang epidural akibat
ramainya vaskularisasi darah dalam ruang
epidural.
Komplikasi
O Blok tidak merata
O Depresi kardiovaskular (hipotensi)
O Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)
O Mual – muntah.
Anestesi kaudal
Anesthesia kaudal (=anesthesia epidural),
karena kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari
ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis.
Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum
sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog dengan
gabungan antara ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum dan ligamentum flavum.
Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus
venosus, felum terminale dan kantong dura.
Indikasi
O Bedah daerah sekitar perineum, anorektal
misalnya hemoroid, fistula paraanal.

Indikasi kontra
O Seperti anesthesia spinal dan anesthesia
epidural.
Teknik Anestesia Kaudal
1. Posisi pasien telungkup dengan simfisis diganjal
(tungkai dan kepala lebih rendah dari bokong) atau
dekubitus lateral, terutama pada wanita hamil
2. Dapat digunakan jarum suntik biasa atau jarum
dengan kateter vena (venocath, abbocath) ukuran
20-22 pada pasien dewasa
3. Pada dewasa biasanya digunakan volum 12-15 ml
(1-2 ml/segmen)
4. Pada anak prosedur lebih mudah
5. Identifikasi hiatus sakralis diperoleh dengan
menemukan kornu sakralis kanan dan kiri
yang sangat mudah teraba pada penderita
kurus dan spina iliaka superior posterior.
Dengan menghubungkan ketiga tonjolan
tersebut diperoleh hiatus sakralis.
6. Setelah tindakan a dan antiseptik pada daerah
hiatus sakralis, ditusukkan jarum yang mula-
mula 900 terhadap kulit. Setelah diyakini masuk
kanalis sakralis arah jarum diubah 450-600 dan
jarum didorong sedalam 1-2 cm. kemudian
disuntikkan NaCl sebanyak 5 ml secara agak
cepat sambil meraba apakah ada pembengkakan
di kulit untuk menguji apakah cairan masuk
dengan benar di kanalis kaudalis.
Anestesi spinal total

• Anestesia spinal total: anesthesia spinal intrarektal/


epidural yang naik sampai diatas daerah servikal.
Biasanya tidak disengaja, pasien batuk-batuk,
dosis berlebihan, terutama anestesia epidural
dengan posisi pasien yang tidak menguntungkan.
• Tanda-tanda klinis: pasien merasa tangannya
kesemutan, lidah kesemutan, napas berat,
mengantuk lalu tidak sadar, bradikardi & hipotensi
berat, henti napas & pupil mata sangat melebar
(midriasis).
O Henti nafas lebih disebabkan hipoperfusi pusat
kendali nafas.
Timbul segera setelah tindakan atau 30-45
menit kemudian.
Kejadian ini bersifat sementara, tidak segera
ditanggulangi  henti jantung.
Pengenalan dini anestesia spinal total amat
penting agar pertolongan segera dilakukan.
• Tindakan terhadap anestesia spinal total:
– menaikkan curah jantung,
– infuse cairan koloid 2-3 liter,
– menaikkan kedua tungkai,
– kendalikan pernapasan dengan O2 100%
– intubasi trakea, intubasi ini dapat dikerjakan dengan
sangat mudah karena terjadi relaksasi otot
maksimal,
– atropine untuk melawan bradikardi
– efedrin untuk melawan hipotensi.
Anestesi regional intravena

O Analgesia regional intravena (Bier Block):


untuk bedah singkat (45 menit) pada lengan
atau tungkai, biasanya untuk orang dewasa
dan pada lengan.
Prosedur analgesia regional intravena:
1. Pasang kateter vena pada kedua punggung tangan.
Sisi lengan/tangan yang akan dibedah  masukkan
obat anestesi lokal,
sisi lain  masukkan obat-obat yang diperlukan
seandainya timbul kegawatan atau diperlukan cairan
infuse.
2. Eksanguinasi (mengurangi darah) pada sisi lengan
yang akan dibedah  menaikkan lengan dan peras
lengan manual / bantuan perban elastic (eshmark
bandage) dari distal ke proksimal. Untuk mengurangi
sirkulasi darah dan dosis obat.
3. Pasang pengukur tekanan darah pada lengan atas,
bagian proksimal dikembangkan dahulu sampai 100
mmHg diatas tekanan sistolik supaya darah arteri tidak
masuk kelengan dan juga tentunya darah vena tidak
akan ke sistemik. Perban elastic dilepaskan.
4. Suntikkan lidokain atau prilokain 0,5% 0,6ml/kg
(bupivakain tidak dianjurkan, karena toksisitasnya lebih
besar) melalui kateter dipunggung tangan.
Untuk tungkai lewat vena punggung kaki dosis 1-
1.2ml/kg. Analgesia tercapai dalam waktu 5-15 menit
dan pembedahan dapat dimulai.
5. Setelah 20-30 menit atau kalau pasien merasa tidak enak
atau nyeri pada torniket, kembangkan manset distal dan
kempiskan manset proksimal.
6. Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukan
bertahap, buka tutup selang beberapa menit untuk menghindari
keracunan obat.
Pembedahan yang sangat singkat, untuk mencegah keracunan
 sistemik torniket harus tetap dipertahankan selama 30 menit
(memberi kesempatan obat keluar vena menyebar dan melekat
ke seluruh jaringan sekitar).
Untuk tungkai jarang dikerjakan  blok spinal, epidural atau
kaudal (lebih mudah dan aman )
BAB III. KESIMPULAN
 
O Anestesi adalah hilangnya segala sensasi
perasaan panas, dingin, rabaan, kedudukan
tubuh, dan sensasi nyeri dan pemberian anestesi
umum dianggap sempurna apabila memenuhi
Trias Anesteshia berikut: Hipnotis (tidur),
Analgesia, dan Relaksasi Otot
American Society of Anaesthesiologists (ASA) menetapkan
sistem penilaian yang membagi status fisik penderita ke dalam
lima kelompok, yaitu:
O Kelas I: pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia,
O Kelas II: pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
O KelasIII:pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas
O Kelas IV: pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat
O Kelas V: pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.


O Anestesi dibagi tiga golongan besar, yaitu anestesi
umum, anestesi regional, dan lokal.
O Cara pemberian anestesi umum dibagi menjadi 5
cara, yaitu: induksi intravena, induksi intramuskular,
induksi Inhalasi, induksi rektal dan induksi mencuri
O Anestesi regional dibagi menjadi anestesi spinal,
epidural, kaudal, dan intravena.
O Stadium anestesi digunakan untuk
menentukan kapan penderita bisa di operasi,
terdiri dari Stadium I : stadium analgesia /
stadium disorientasi, Stadium II : stadium
eksitasi/stadium delirium, Stadium III :
stadium operasi, dan Stadium IV : stadium
overdosis.
TERIMAKASI
H
diskusi
O Nova: utk SC bisa dilakukan anestesi umum/ regional. Apa
bedanya? Adakah efek utk bayinya? Lebih bagus yang mana
pilihan anestesinya?

- jawab: silvia pada SC bagus dilakukan berupa anestesi spinal,


krn anestesi umum dapat mengenai swar darah plasenta. Di
samping itu anestesi regional juga boleh diindikasikan pada
pasien obs&gyn.
- Dian  bila diberi anestesi umum akan berpengaruh pada
APGAR Score bayi
- Venty  KI absolut pada anestesi spinal yaitu pasien menolak.
- Rifqy  pengaruh ke bayi juga dapat menurunkan perfusi darah
ke bayi sehingga terjadi asfiksia
O Asri: adakah perbedaan antara teknik anestesi pd dewasa
dan pd pediatrik? Apabila ada, apa perbedaannya?
- jawab: rachmia  teknik sering: parenteral, inhalasi.
Regional dan spinal jarang diberikan.
- Galuh: teknik tersering digunakan pada anak yaitu
anestesi inhalasi karena teknik yang lainnya seringnya
anak kurang kooperatif
- - vindi  tergantung pada jenis operasinya. anestesi
umum diindikasikan utk operasi besar, dan regional
untuk blokade bagian ekstremitas bawah.
O Izzat: di lapangan pd saat penyuntikan saat
akan melakukan pemberian analgetik,
bagaimana kita mengetahui jarum telah masuk
ke epidural/masuk ke spinal?
- jawab: putrie teknik utk epidural: loss of
resistance dan teknik hanging drop
Untuk yg spinal: sama dengan
O Melda: dalam jangka waktu berapa lama anestesi
spinal dikatakan gagal? Lalu kapan dilakukan
pengulangan? Saat pengulangan, apakah
menggunakan jenis obat yang sama?
- jawab: dini  gagal apabila dalam 10 menit setelah
pemberian , dan 25 menit setelah pemberian plain
bupivakain.
Hardiansah  lihat dulu penyebab kegagalan,
pastikan sdh masuk subarachnoid, dan lihat dosis
apakah sudah sesuai/belum. Jika gagal akibat kurang
dosis, dapat dilakukan peningkatan dosis.
O Dian: apakah ada ketentuan urutan dalam
pemberian obat anestesi? (Hipnotik, analgetik
dan relaksan)
- rifqy: secara teori diberikan obat hipnotik dulu
(SA atau petidin sampai refleks pd mata hilang),
selanjutnya analgetik, terakhir baru pemberian
muscle relaxan.
O Evameinonda: untuk pemberian dosis pada ibu hamil
saat SC, apakah disesuaikan BB janin, BB ibu atau
seperti apa?
- Jawab: rachmia  disesuaikan dengan BB ibu
dengan ditanyakan terlebih dahulu BB sebelum dan
saat hamil
- Hardiansah  setuju rachmia. Karena pemberian
obat anestesi ditujukan untuk ibu, jadi disesuaikan
dengan BB ibu, tidak BB bayi
O Talitha: terdapat balance anestesi. Kapan diberikan
balance anestesi, atau kapan boleh diberikan 1 jenis
anestesi saja?
- jawab: silviaumumnya anestesi diberikan 1 jenis
saja (mono agent) asalkan memenuhi trias anestesi,
sementara balance anestesi diberikan untuk cegah
respons nyeri pada pasien,
- Asri  balance anestesi utk memperkuat efek dari
obat anestesi, misal efek kerja dari N2O, dan
diberikan muscle relaxan utk menguatkannya.
O Maulana: bagaimana cara menyuntikkan obat pada
anestesi epidural? Apakah secara perlahan atau
boleh secara cepat? Kemudian adakah efeknya?
- jawab: dini  harus secara pelan bertahap 3-5
menit, 3-5 ml sampai dosis tercapai. Efek: TTIK,
ggn sirkulasi epidural
- Silvia  dosis max: 1-6 ml, tetap tergantung
konsentrasi obat. Pada anak dan manula dikurangi
60% karena hormon dan mengecilnya ruang
epidural akibat byk vaskularisasi.

Anda mungkin juga menyukai