(12.000 x 70.000)
(12.000 x 20.000)
Tabel Laporan Laba Rugi dengan Metode Absorption Costing dan
Variabel Costing (dalam ribuan Rupiah)
– Pada absorption costing, persediaan yang belum terjual pada akhir tahun (persediaan
akhir) menjadi pengurang harga pokok penjualan. Dengan kata lain, persediaan akhir
masih tercatat pada nilai persediaan yang tercantum dalam aset. Padahal, dalam
angka persediaan akhir tersebut terkandung dua unsur nilai yaitu
biaya produksi variabel sebesar Rp270.000.000 (Rp90.000 × 3.000 unit) dan biaya
produksi tetap sebesar Rp108.000.000 (Rp36.000 × 3.000 unit).
– Pengakuan biaya produksi tetap sebesar Rp108.000.000 sebagai persediaan ini dirasa
tidak bermanfaat karena biaya ini sudah terjadi dan akan terjadi pula pada periode
selanjutnya.
– Pada variable costing, karena yang menjadi pengurang pendapatan hanyalah biaya
yang bersifat variabel, maka persediaan akhir yang dikeluarkan
dari harga pokok penjualan adalah senilai biaya produksi variabelnya saja. Semua
biaya yang bersifat tetap akan tetap mengurangi margin kontribusi untuk
menghasilkan laba operasi.
– Dari ilustrasi Laporan Laba Rugi yang disusun berdasarkan variable
costing pada Tabel diatas menunjukkan bahwa biaya produksi tetap
sebesar Rp432.000.000 akan mengurangi margin kontribusi
sehingga laba operasi yang disusun berdasarkan variable costing lebih
kecil dari laba operasi yang disusun berdasarkan absorption costing.
– Selisih sebesar Rp108.000.000 (Rp36.000 × 3.000 unit) ini merupakan
biaya produksi tetap pada persediaan akhir yang dibebankan pada
periode terjadinya di periode terjadinya di laporan laba rugi pada
metode variable costing, namun dicatat sebagai komponen persediaan
akhir di laporan posisi keuangan pada metode absorption costing.
Tabel Perbedaan Perlakuan Biaya Produksi Tetap dan Variabel pada
Metode Absorption Costing dan Metode Variable Costing
C. Kelemahan dan Kelebihan Absorption Costing dan Variabel
Costing
Kelebihan Absorption Costing Kelebihan Metode Variable Costing
Metode ini mampu melakukan penundaan dalam Biasa dipakai untuk pengendalian biaya
beban biaya overhead ketika produk belum laku sebab variable costing membagi biaya tetap
terjual di pasaran. menjadi dua golongan, yaitu discretionary fixed
cost dan committed fixed cost.
Dalam metode absorption costing, harga • Walaupun bisa membagi biaya, tetapi untuk
jual akan menjadi lebih tinggi daripada melakukannya terbilang sulit.
menggunakan metode variable costing. • Variable costing sering dianggap tidak sesuai
Hal tersebut dikarenakan, metode full dengan prinsip akuntansi sehingga bisa
costing menganggap konsumen rela menyebabkan turun naiknya laba jika terjadi
membayar berapa pun untuk membeli perubahan dalam penjualan.
barang yang diinginkannya.Metode ini • Variable costing tidak akan cocok jika
cocok untuk bisnis yang bergerak dalam diaplikasikan di perusahaan musiman.
bidang produksi bahan pokok masyarakat • Biaya overheadnya tidak bisa dimasukkan
umum. sehingga nilai persediaan akan menjadi lebih
rendah bersamaan dengan modal kerjanya.
DISKUSI
SOAL 1
Manakah yang lebih baik menggunakan variable costing atau full
costing ?
Tergantung kebutuhan dari perusahaan. Apabila perusahaan tersebut
membutuhkan analisa yang lebih mendalam dan mengetahui kondisi
sesungguhnya dari perusahaan, ada baiknya perusahaan menggunakan
variable costing untuk mengambil keputusan. Tetapi ketika yang
dibutuhkan oleh perusahaan adalah untuk pelaporan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku perusahaan wajib menggunakan absorption
costing karena telah sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku.
SOAL 1
Jelaskan persamaan dan perbedaan variable costing dan full
costing !
SOAL 2
Berikut disajikan data dari PT.ABC, berdasarkan data dibawah ini susunlah laporan laba rugi dengan
metode variable costing dan metode full costing
Keterangan lain :
1. Penjualan Rp110
2. Beban pemsaran variable Rp2
3.Beban pemasaran tetap Rp3
4. Beban adm dan umum variable Rp2
5 Beban adm dan umum tetap Rp3
6. Beban pajak Rp3
Laporan laba rugi