Anda di halaman 1dari 13

SOSIOLOGI HUKUM KELUARGA

KELOMPOK : 10

Ahmad Rabani : 180102010428


Ratna Dila:180102010421
Padli Alamsyah:180102010286
BAB VI
TELAAH PISAU ANALISIS SOSIOLOGI HUKUM DALAM BERBAGAI WACANA
A.) BEBERAPA PEMIKIRAN ANATOMI PARADIGMA DAN REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
Di era reformasi saat ini merupakan momentum yang sangat tepat untuk dilakukan berbagai ide
.
pemikiran dan tindakan sebagai lahan pengkajian “laboratorium” segala multidisiplin ilmu
pengetahuan. Analisis yang dilakukan sangat berharga bagi dibangunnya khazanah ilmu pengetahuan
di Indonesia. Melakukan kontemplasi atas segala permasalahan yang telah terjadi di Era Orde Baru dan
memprediksi berbagai hal termasuk mengantisipasi keadaan masa mendatang adalah perbuatan yang
wajib kita lakukan. Bergulirnya reformasi yang menginginkan perubahan secara total di semua aspek
kehidupan berbangsa bukanlah pekerjaan yang mudah disebabkan kekompleksitasan masalah yang
“dihadapi reformasi itu sendiri”. Untuk itu sejak awal sebaiknya kita telah mempersiapkan konsep yang
jelas dan disepakati secara bersama sehingga dapat memperkecil kemungkinan konflik yang terjadi
akibat belum siapnya konsep reformasi.
Reformasi di segala aspek dimulai adanya issues sentral seperti demokrasi/demokratisasi,
transparansi, partisipasi, moral/moralisasi, liberalisasi, HAM, akuntabilitas, ekonomi/efisiensi/
kompetisi, monopoli, feodalisme, globalisasi, serta profesionalisme SDM. Issues central menjadikan
potret masyarakat menjadi sakit, oleh karena antara bidang sosial, politik, ekonomi dan hukum terjadi
kerusakan selama tiga dasawarsa dan bau akhir-akhir ini terakumulasi secara kompak utamanya disulut
masalah krisis ekonomi serta moneter dan berakhir dengan krisis kepercayaan. Berpijak dari persoalan
mendasar tersebut maka tuntutan reformasi bertolak pada adanya kesadaran bahwa telah terjadi suatu
distorsi yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh penyelewengan konstitusional dan moral.
Dalam berbagai diskusi ilmiah Prof. Satjipto Rahardjo memaparkan
beberapa pandangan di seputar Reformasi Hukum sebagai berikut:

1. Reformasi dimulai adanya Potret Masyarakat dalam Keadaan Sakit : bidang sosial penyakitnya berupa :
feudalistic, communal, disusul bidang politik dengan penyakit : hegemonial, authoritarian, stability,
centralism, selanjutnya pernyakit di bidang ekonomi berupa : rent-seeker, crony capitalism,
monopolistic, oligopolistic, dependent capitalism, technologyness, ersatz capitalism, penyakit bidang
hukum berupa : semi authoritarian, state generated, state dominated. Berkaitan dengan kondisi hukum
dalam suasana kacau (disorder) akhir-akhir ini maka patutlah disimak pernyataan Prof.Satjipto Rahardjo
disebutkan bahwa : dalam suasana “normal”, hukum itu berlaku, dipatuhi, dan pelanggaran dikenai
penalti. Ada batas yang jelas antara hukum di seberang sini dan kekacauan di seberang yang lain. Pada
saat-saat seperti itu, kita tidak menyadari bahwa setiap hari sebetulnya hukum itu selalu menjalani
referendum atau selalu diuji oleh masyarakatnya. Baru dalam keadaan kacau seperti sekarang ini
disadari, berlakunya hukum itu tidak gratis atau dengan sendirinya (taken for granted).
2. Reformasi harus jelas siapa objek dan subjeknya. Dalam reformasi hukum bidang yang perlu direform
adalah segi fundamental hukum (legislasi, peradilan dan penegakan) serta sistem hukum (substansi,
struktur dan kultur)
.
3. Reformasi hukum dimulai adanya Crisis of law : When law solution to social problems fail to satisfy.
Law’s Role in-situ society has become problematic
4. Reformasi adalah perubahan paradigmatik dari paradigma lama ke paradigma baru. Pandangan lama merupakan satu
kesatuan yang kompleksitas terdiri atas : kekuasaan-kekuatan, monolitik, sentralistik, stabilitas, pertumbuhan
(pembangunan sebagai ideologi). Sedangkan paradigma baru berciri-ciri : pluralitas, moral, demokratis, civility
(masyarakat madani/warga) dan profesional.
5. Reformasi harus mempunyai visi yang jelas, jika fokusnya hanya menyempit pada pemberantasan KKN maka sesuatu
yang penting (paradigma baru) tidak akan tercapai.
6. Proses reformasi harus terdapat rambu-rambu agar tidak melenceng dari cita-cita yang diinginkan. Sehingga eophoria
reformasi ini dapat terkendalikan dengan baik.
7. Point reformasi hukum yang utama adalah mengatasi Paradigma Kekuasaan sehingga hukum dapat bekerja lebih otentik.
Point reformasi hukum yang utama adalah mengatasi Paradigma Kekuasaan sehingga hukum dapat bekerja lebih otentik.
8. Posisi Indonesia yang bereformasi menghadapi tantangan dan lingkungan reformasi secara internasional/global
menghadapi : APEC, tahun 2020, WTO, HAMBATAN dan Lingkungan Hidup. Selain itu juga menghadapi “People
Power” di bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan moral.
9. Keberhasilan reformasi hukum akan menghasilkan masyarakat egalitarian, menerima pluralisme, yang mengarah pada
otensitas dan otonomi hukum. Jika gagal masih berorientasi pada konsentrasi kekuasaan, disproporsional, situasi politik
monopolitik yang mengarah pada kootopsi hukum oleh kekuasaan.
B.) Hukum: Antara Das Sollen dan Das Sein
1. Kesadaran Hukum Masyarakat Sebagai Basis Penegakan Hukum
● Pengertian kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto adalah : Kesadaran hukum
sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum
.
yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai
tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam
masyarakat yang bersangkutan.
●Sudikno Mertokusumo juga mempunyai pendapat tentang pengertian Kesadaran Hukum.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa : Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang
seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama
terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang
lain.
●Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul Scholten
menyatakan bahwa : Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa
hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana
kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
dilakukan.
●Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara
ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan
dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan oleh masyarakat luas.
● Mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya mempertanyakan juga aspek
penegakan hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh Soerjono Soekanto tentang kesadaran dan kepatuhan
hukum di tahun 1982, membuka pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam
mematuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan secara konsekuen dalam komunitas
/hubungan masyarakat, berbangsa, bernegara, bahkan berpolitik.
●Tidak dapat diabaikan bahwa salah satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum masyarakat adalah
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat itu sendiiri. Faktor kesadaran hukum sangat memainkan
peranan yang penting bagi suatu masyarakat berhubung faktor tersebut mempunyai korelasi langsung dengan
kuat atau lemahnya faktor kepatuhan hukum masyarakat. Semakin lemah tingkat kesadaran hukum masyarakat,
semakin lemah pula kepatuhan hukumnya. Sebaliknya, semakin kuat kesadaran hukumnya, semakin kuat pula
faktor kepatuhannya. Sehingga proses perkembangan dan efektivitas hukum dapat dirasakan langsung oleh
masyarakat.
●Kepatuhan hukum pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang
berlaku sebagai aturan (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama dimana kesetiaan diwujudkan
dalam bentuk perilaku yang senyatanya patuh pada hukum (antara das sein dan das sollen dalam fakta adalah
sama).
2. Supremasi Hukum dalam Proses Reformasi
.
● Menandai berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasi. Kini, apa yang terjadi das sein,
setelah 22 tahun era Reformasi bergulir dengan cita-citanya das sollen ?
● Dalam rangka penegakan supremasi hukum, negara telah membentuk MK melalui UU No 24 Tahun
2003 yang diperbarui dengan UU No 8 Tahun 2011 tentang MK, dan KY melalui UU No 22 Tahun 2004
yang diperbarui dengan UU No 18 Tahun 2011 tentang KY, di samping MA yang sudah lebih dulu ada
dengan UU No 14 Tahun 1985 yang diperbarui dengan UU No 5 Tahun 2004 tentang MA.
● Dalam praktiknya, supremasi hukum masih jauh panggang dari api, karena penegakan hukum masih
bernuansa politis sesuai selera atau kepentingan pemegang kuasa, baik di legislatif, yudikatif dan
terutama di eksekutif. Penegakan hukum belum sepenuhnya berpihak pada kebenaran dan keadilan. Pun,
masih ada oknum-oknum penegak hukum nakal.
● Das sein selama era Reformasi masih jauh dari das sollen atau yang dicita-citakan para mahasiswa. Bila
dipadatkan, cita-cita gerakan Reformasi adalah terwujudnya keadilan dan kemakmuran. Keduanya
sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Inilah tantangan kita bersama sebagai bangsa. 
3. Supremasi Hukum diawali dari karantina Moralitas Hakim Agung

●Hukum bukan hanya bersifat imperatif atau keharusan (das sollen), tetapi harus dipandang sebagai
subsistem yang dalam kenyataan (das sein) dapat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan
pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. MK sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 yang dirinci dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, mempunyai wewenang menguji UU terhadap UUD 1945. Selain perubahan yang menyangkut
.
kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, UUD 1945
telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan erat dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
(judicative power) yaitu KY.
●Setelah perubahan UUD 1945 maka keberadaan KY terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal
24B ayat (1) UUD 1945. Pasal 24A ayat (3) merupakan mekanisme pencalonan Hakim Agung yang
diusulkan oleh KY kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh
Presiden. Sedangkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah tentang kemandirian serta kewenangan KY
yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
●Bahwa UUD 1945 telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi dibidang
peradilan yaitu dengan lebih mengefektifkan fungsi pengawasan baik pengawasan internal maupun
eksternal kepada Hakim Agung pada MA, Hakim Konstitusi pada MK, dan para Hakim pada semua
lingkungan badan peradilan di Indonesia. Pengawasan internal dilaksanakan oleh organ/badan yang dibentuk
oleh lembaga itu sendiri yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan kepada Hakim. Misalnya
pada MA terdapat Ketua Muda Bidang Pengawasan, sedangkan pengawasan eksternal sesuai ketentuan
UUD 1945 dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY).
●Merupakan fakta hukum, selama ini kewenangan-kewenangan KY dijalankan tanpa ada satu
halangan apapun dan para hakim yang dipanggil oleh KY tidak pernah dilarang oleh MA dan para hakim
yang dinilai oleh KY mungkin tidak menjalankan profesinya dengan baik dan dinilai melakukan
unprofesional conduct telah diusulkan oleh KY sesuai dengan kewenangan yang ada kepadanya. Dari uraian
tersebut di atas, nampak jelas adanya kehendak yang kuat untuk menciptakan kekuasaan kehakiman
yang bebas, merdeka tanpa campur tangan pihak manapun, yang pada gilirannya diharapkan harkat,
martabat dan keluhuran perilaku hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dapat terjaga, sehingga
kedepan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa hukum dapat terwujud dan rasa keadilan pada
masyarakat akan menjadi kenyataan.
F. KETERLIBATAN ILMUAN HUKUM DALAM
DUNIA PROFESI HUKUM
Perkembangan aliran hukum sosiologis, sebagai respon terhadap hukum normatif
yang dianut oleh aliran positivisme hukum, tidak lepas dari peran yang dimainkan
para tokoh yang beraliran sosiologis. Adapun tokoh-tokoh yang dimaksud,
diantaranya adalah:
1. Auguste Comte (1759-1857)
Comte, lahir di kota Montpellier. Ia memulai pendidikannya di Ecole Polytechnique, Paris. Comte
dikenal sebagai filsuf yang menggunakan istilah sosiologi untuk menamai ilmu-ilmu sosial yang
bermetodologi ilmiah. Baginya penelitian sosial dilakukan dengan mengadakan observasi,
eksperimen, komparasi dan penelitian historis. Keempat langkah ini yang akhirnya secara tradisional
menjadi metode penelitian yang sangat khas sosiologis. Data yang diperoleh dari observasi
kemudian diuji berhadapan dengan hukum kodrat alam.
Namun demikian, Comte tidak setia dengan sosiologi dan metode ilmiahnya, karena ia kemudian
merumuskan tahap-tahap perkembangan masyarakat secara a priori yaitu; tahap teologis
(fenomena dijelaskan dengan mengacu pada keberadaan yang lebih tinggi), tahap metafisis
(fenomena dijelaskan dengan mengacu pada entitas yang abstrak sifatnya seperti kodrat atau alam),
dan tahap scientific atau positif, dimana pada tahap ini manusia mulai mengobservasi kedua
fenomena tersebut
2. Eugen Ehrlich (1862-1922)
Ehrlich, lahir di Chernivtsi, Urkaina. Ia adalah seorang yuris yang berpikir mengenai basis
sosial dari hukum. Baginya hukum berasal dari fakta sosial dan bergantung tidak pada otoritas
negara tetapi pada kompulsi-kompulsi yang ada dalam masyarakat, walaupun asosiasi ini memiliki
karakteristik dari kompulsi.
Menurut Ehrlich, sumber hukum yang sebenarnya bukanlah peraturan perundang-undangan
dan juga bukan kasus-kasus tetapi aktivitas dari masyarakat itu sendiri. Ada sebuah hukum yang
hidup dalam masyarakat yang mendasari aturan formal dari sistem hukum yang ada dan menjadi
tugas hakim serta para yuris untuk mengintegrasikan dua macam hukum tersebut. Contohnya,
hukum di bidangperdagangan, walaupun tertulis dalam peraturan perundang-undangan, tatapi ia
selalu berusaha diaktualkan dengan praktek perdagangan yang terjadi di masyarakat. Oleh karena
itu, ia melihat bahwa pusat dari keberadaan hukum adalah masyarakat itu sendiri.
Pernyataan Ehrlich yang populer, sebagaimana dikutip oleh Prasetyo dan Abdul Halim,
yaitu: “The center of gravity of legal development lies not in legislation, nor in juristic science,
nor in judicial decision, but in society itself.” Menurut Ehrlich, perkembangan hukum tidak terdapat
dalam undang-undang, tidak juga dalam ilmu hukum, dan tidak juga dalam putusan pengadilan,
melainkan dalam masyarakat sendiri.
3. Talcott Parsons

Masyarakat menurut Parsons sebagai satu totalitas yang mempunyai dua macam lingkungan, yaitu ultimate

realty dan fisik organik. Masyarakat mengorganisir sedemikian rupa untuk dapat menghadapi dua lingkungan ini. Maka

untuk menghadapi kedua lingkungan tersebut, masyarakat mengorganisir diri ke dalam beberapa sub-sistem yaitu sub

sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya. Menurutnya, sebuah kebebasan tidak dapat diartikan sebagai kebebasan

”behavivoral organism”, tetapi kebebasan itu harus diartikan sebagai kebebasan dalam arti ”social system”.

Berdasarkan argumen di atas, bahwa Parsons, memahami keberadaan individu tidak pernah lepas dari keberadaan

lingkungannya. Olehnya itu kebebasa individu terkait juga dengan lingkungan sosialnya, dalam hal ini, setiap individu

harus mempertimbangkan segala sesuatu sesuai dengan sistem sosialnya.


TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai