Anda di halaman 1dari 48

WELCOME

TO CLASS!
Kelompok 5
Al-Qur’an sebagai sumber
utama ajaran Islam
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang
diturunkan Allah kepada manusia. Al Quran
diturunkan kepada Nabi Muhammad (SAW)
melalui malaikat Jibril.
Fungsi Al-Qur’an dalam Agama Islam

1. Al-Huda (Petunjuk)
2. Al-Furqon (Pemisah)
3. Al-Asyifa (Obat)
4. Al-mau'izah (Nasihat)
Fungsi Al-Qur’an bagi Kehidupan Manusia

1. Sebagai petunjuk jalan yang lurus


2. Merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad SAW
3. Menjelaskan kepribadian manusia
4. Merupakan penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya
5. Tuntunan dan hukum untuk menjalani kehidupan
Fungsi Al Quran Sebagai Sumber Ilmu

1. Ilmu tauhid
2. Ilmu hukum
3. Ilmu tasawuf
4. Ilmu filsafat Islam
5. Ilmu sejarah Islam
6. Ilmu pendidikan Islam
Kandungan Al-Qur’an
Al-Quran adalah kitab suci agama islam untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia
dari awal diturunkan hingga waktu penghabisan spesies manusia di dunia baik di bumi
maupun di luar angkasa akibat kiamat besar.
Di dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang secara garis
besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta pengertian
atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti sarinya
Akidah
Akidah secara etimologi bermakna kepercayaan dan keyakinan. Adapun kandungan aspek akidah dalam
Al-Qur’an adalah persoalan tauhid bahwa Allah Swt adalah yang maha segala-galanya.
Di samping itu, akidah di dalam Al-Qur’an juga meliputi rukun iman seperti keyakinan terhadap Allah,
malaikat, rasul, kitab, hari kiamat serta qada dan qadar.
"Rasul (Muhammad saw) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), ”Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari
rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, ”Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami,
dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS. al-Baqarah : 285)
Ibadah dan Muamalah
Ibadah (hubungan antara manusia dengan Allah Swt) dan muamalah (hubungan antara
manusia dengan manusia lainnya). Al-Qur’an memberi petunjuk dan tata cara yang
lengkap berkaitan dengan ibadah kepada Allah dan hubungan antar manusia.
Persoalan Hukum
Hukum Allah Swt yang tertuang di dalam Al-Qur’an tentu merupakan hukum yang
paling adil. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus selalu merujuk kepada Al-
Qur’an dalam menetapkan hukum tertentu.
Hal ini sejalan dengan QS. An-Nisa ayat 105 yang artinya, "Sesungguhnya Kami
telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran agar kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang berkhianat."
Sejarah Pembukuan Al-Qur’an
1. Periode Nabi Muhammad SAW
Pada periode ini, Rasulullah SAW menunjuk Zaid bin Tsabit untuk menuliskan wahyu-
wahyu Al-Qur’an yang diterima langsung oleh Rasulullah. Beliau menunjuk Zaid karena
memang dia memiliki bakat yang lebih dalam hal tulis-menulis. Selain ditulis “resmi” oleh
Zaid, para sahabt lainnya pun ada yang menghafal kemudian menuliskannya di pelepah
kurma, tulang-belulang, maupun kulit hewan. Pada zaman itu memang belum di
mushafkan secara utuh karena Rasul masih menunggu wahyu lainnya.
2. Periode Abu Bakar RA
Setelah Rasul wafat, banyak para pengikut nabi yang kembali ke zamn jahiliyah serta
kekafiran. Karena hal itulah pada periode ini terjadi perang Yamamah yang dipimpin oleh Umar
Bin Khatab. Rupanya dalam peperangan tersebut banyak para hafidzah yang syahid. Melihat hal
ini Umar pun mengusulkan pada Abu Bakar agar Al-Qur’an ditulis dijadikan mushaf. Sempat
terjadi penolakn dari Abu Bakar karena takut melanggar, namun akhirnya Umar berhasil
menyakinkan Abu Bakar sehingga ditunjuklah Zaid bin Tsabit dalam proses penulisan dan juga
pengumpulan Al-Qur’an. Setelah selesai dan mengerjakannya dnegan hati-hati, Zaid pun
menyerahkan pada Abu Bakar dan beliau pun menyimpannya sampai wafat dan “diwariskan”
pada Umar Bin Khatab.
3. Periode Umar Bin Khatab
Pada periode ini karena sudah disepakati sebelumnya oleh para sahabat dan juga
pengikut Nabi Muhammad SAW. Maka, tak ada perubahan berarti dalam penyusunan
mushaf. Pada periode ini Umar lebih konsentrasi terhadap perluasan wilayah untuk
menyebarkan agama Islam.
4. Periode Ustman Bin Affan
Karena daerah perluasan wilayah penyebaran agama Islam sudah semakin luas, dlaam periode terjadi
perbedaan dalam qiro’ah atau membaca Al-Qur’an. Dimana pada setiap tempat mengklaim Qiro’ahnya
lah yang tepat. Karena dikhawatirkan terjadi perpecahan, Hufaidzah pun mengusulkan agar Ustman
segera menindaklanjuti perbedaan tersebut.
Usulan tersebut pun akhirnya ditanggapi dengan baik dan dibuatlah lajnah untuk membahas hal
tersebut. Lajnah tersebut dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said
ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits. Ustman Bin Affan memerintahkan kepada Zaid untuk mengambil
Mushaf yang berada dirumah Hafsah dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek yakni dialek
Qurays, mushaf yang asli dikembalikan lagi ke hafsah. Ustman Bin Affan menyuruh Zaid untuk
memperbanyak mushaf yang diperbaruhi menjadi 6 mushaf, yang lima dikirimkan kewilayah islam
seperti Mekkah, Kuffah, Basrah dan Suria, yang satu tersisa disimpan sendiri oleh Ustaman dirumahnya.
Mushaf ini dinamai Al-Imam yang lebih dikenal mushaf Ustmani.
Nilai-nilai Agama
Dalam Berbagai Lingkungan
Lingkungan
Pendidikan
.
1. Kesederhanaan dan Kemurahan hati

1. QS. Al-Isra: 29-30


2. QS. AlFurqan: 67
3. QS. Al-Isra: 26-27

Beberapa ayat di atas menunjukkan bahwa kekikiran merupakan sifat yang tidak terhormat, sikap
moral yang rusak dan jelek. Tetapi penghamburan harta secara berlebih-lebihan merupakan kerusakan
moral yang sama tidak terhormatnya. Maka hendaklah senantiasa menjaga sikap yang sederhana. Al-
Qur’an juga menunjukkan bahwa orang pemurah yang sebenarnya adalah yang ‘membelanjakan
hartanya di jalan Allah karena dorongan keimanan, dan diletakkan pada dasar kesalehan, yang dapat
menjadi pengendali dengan baik. Kedermawanan menurut al-Qur’an adalah sesuatu yang pada
prinsipnya berbeda dengan sikap sombong, menyakiti dan sifat berlebih-lebihan yang begitu diagungkan
oleh kaum Arab pra-Islam
2. Keberanian
1. QS. Al-Anfal: 15-16
2. QS. At-Taubah: 13-15

Keberanian yang dituntut al-Qur’an bukanlah keberanian yang brutal, melainkan keberanian yang
berdasarkan kekuatan dan keyakinan teguh kepada Allah dan hari kiamat. Nabi saw. telah
mengingatkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki keberanian dalam menegakkan kebenaran.
Ibn Abi ‘Adiy menyampaikan kepada kami, dari Sulaiman, dari
Abu Nadrah dari Abu Sa’id berkata, Rasulullah saw. bersabda,
“Janganlah kewibawaan manusia menghalangi salah seorang di
antara kamu untuk berkata benar, apabila dia melihat, atau
menyaksikan, atau mendengarnya.” (Ahmad, hadis no. 10594).
3. Kesetiaan dan Amanah

Kesetiaan (wafa) dan keterpercayaan (amanah) merupakan ciri nilai paling tinggi dan paling nyata pada masyarakat Arab
Islam maupun pra-Islam. Al-Qur’an menyebutkan: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya
mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya
akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri 140 dan barangsiapa menaati janjinya kepada Allah maka Allah akan
memberinya pahala yang besar (QS. Al-Fath: 10) Dan di antara orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di anatara mereka ada (pula) yang menunggu-
nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya), supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar
karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka (QS. AlAhzab: 23-24)
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang setia dan amanah adalah orang yang sepanjang hidupnya teguh memegang
kewajiban-kewajiban perjanjian, atau orang yang memegang teguh kepercayaan yang diberikan kepadanya.
4. Kejujuran

Kejujuran yang terambil dari kata sidq adalah berkata benar. Ciri orang jujur adalah tidak suka bohong, meski demikian
jujur yang berkonotasi positif berbeda dengan jujur dalam arti lugu dan polos yang terkandung di dalamnya konotasi negatif.
Kejujuran termasuk salah satu moral yang diajarkan oleh al-Qur’an: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah kamu bersama-sama orang-orang yang benar (jujur) (QS. At-Taubah: 119). Tetapi bila mereka benar-benar
beriman kepada Allah, niscaya yang demikian lebih baik bagi mereka (QS. Muhammad: 21). Agar Allah memberikan balasan
kepada orang-orang yang jujur karena kejujurannya (QS. Al-Ahzab: 24).
Kejujuran akan mengantarkan seseorang meraih ketenangan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Sedang kedustaan
hanya akan mengantarkan seseorang selalu resah dan tidak percaya diri dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.
5. Kesabaran

Sabar secara etimologis berarti menahan diri baik dalam pengertian fisik ataupun non-fisik, seperti menahan nafsu.
Sabar menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit yang harus diterima dan dihadapi dengan
penuh tanggung jawab. Dalam sabar membutuhkan sikap kokoh, teguh, dan kuat, sehingga pelakunya bukan saja dapat
melindungi diri, tapi juga orang lain, meskipun hal itu sangat berat dan pahit. Imam al-Ghazali dalam Ghafur (2005: 36)
mendefinisikan sabar dengan memilih untuk melakukan perintah agama, ketika datang desakan nafsu. Maksudnya, jika
nafsu menuntut kita untuk berbuat sesuatu, tetapi kita memilih kepada yang dikehendaki oleh Allah, maka di situ ada
kesabaran. Meskipun demikian, sabar tidaklah sama dengan sikap lemah, menyerah, atau pasrah, tetapi merupakan usaha
tanpa lelah atau gigih yang menggambarkan kekuatan jiwa pelakunya 145 sehingga mampu mengalahkan atau
mengendalikan keinginan liar nafsunya.
Lingkungan
Keluarga
.
Nilai keimanan merupakan keyakinan adanya Tuhan yang Esa, yaitu Allah. Orang tua hendaknya mengenalkan iman
pada anak sejak masih kecil, iman merupakan pondasi utama dalam Islam. Keimanan merupakan materi yang wajib
diajarkan pada anak semenjak masih kecil. Selain iman, orang tua juga
harus mengajarkan tata cara beribadah yang baik pada anak, karena buah dari iman adalah ibadah, orang yang beriman
pasti akan melakukan ibadah karena ia sadar bahwa ibadah merupakan perintah dari Allah.
Pembentukan akhlak anak dapat dilakukan dengan bimbingan dan arahan dari orang tua. Keluarga yang menjalani
hidup dengan berlandaskan agama akan lebih mampu membimbing anak menjadi perhiasan yang menyejukkan, terutama
dalam hal akhlak
Lingkungan Kerja
.
1. Kereligiusan didefinisikan sebagai nilai-nilai keislaman yang diterapkan dalam bekerja
2. Usaha merupakan nilai kesabaran dan ketekunan dalam bekerja
3. Kompetisi adalah proses bersaing diantara para karyawan yang dilakukan secara adil sehingga bisa
meningkatkan kualitas pekerjaan mereka
4. Kewajiban kerja merupakan perilaku kerja karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan dengan penuh tanggung
jawab dan secara jujur
5. Kualitas proses kerja adalah yaitu nilai keunggulan seorang karyawan dalam bekerja yang diterapkan dalam
penerapan prinsip ketelitian dan sikap inovatif
6. Kolektivitas (Kebersamaan). Definisi kolektivitas adalah kerjasama antar karyawan di tempat kerja
7. Kesetaraan didefinisikan sebagai keseragaman pada perlakuan tanpa membedakan status
8. Keuntungan adalah kondisi dimana seseorang bisa memperoleh manfaat dengan bekerja baik bagi keluarganya
ataupun masyarakat.
Keanekaragaam Corak
Penafsiran Al-Quran
Arti Corak
Di dalam KBBI disebutkan bahwa kata corak berarti 1) bunga atau gambar (ada yang berwarna-warna) pada
kain (tenunan, anyaman, dan sebagainya). 2) berjenis-jenis warna pada warna dasar (tentang kain, bendera, dan
sebagainya): 3) sifat (paham, macam, bentuk) tertentu. Sayangnya, contoh-contoh penggunaan kata corak di
KBBI tidak ada yang digandengan dengan kata penafsiran.
Dengan demikian, kita belum bisa mengambil maksud yang pasti dari kata corak, kecuali menghubungkannya
dengan jenis, sifat, macam dan bentuk. Jadi, di KBBI kata corak erat hubungannya atau sama dengan jenis, sifat,
macam dan bentuk.
corak penafsiran adalah nuansa atau sifat yang menjadi dominan sebuah penafsiran karena kepribadian
mufassirnya yang dipengaruhi oleh ilmu, pengetahuan, dan kondisi sosial-budaya-politiknya serta orientasi
penafsirannya.
C.Pembagian corak-corak Penafsiran

Corak-corak penafsiran ini biasanya mengikuti trend pemikiran atau trend intelektualisme yang berkembang
saat itu. Satu trend pemikiran dengan trend pemikiran yang lain sangat berkaitan.. Untuk membuat pembagian
atau klasifikasi corak penafsiran bukanlah hal mudah, sebab kita harus mengoleksi seluruh tafsir yang pernah ada
di dunia ini. Namun untuk memudahkan pembahasan, penulis akan mengambil corak-corak penafsiran yang
sudah pernah diklasifikasikan oleh para sarjana al-Qur’an. Pembagian corak-corak penafsiran ini dilakukan secara
arbitrer (semena-mena) tidak didasarkan oleh misalnya waktu (kronologis munculnya corak tersebut) ataupun
lainnya. Dan yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa setiap pengkaji al-Qur’an memiliki pandangannya
sendiri-sendiri dalam melihat karya tafsir (tafsir sebagai produk.)
1. Corak Bahasa (Tafsir Lughawi/Grammatical and
Philological Exegesis)
Penafsiran dengan model corak kebahasaan merupakan ragam penafsiran al-Qur’an pada periode awal. Yang dimaksud dengan
kebahasaan di sini adalah berfokus pada kajian filologi dan ilmu-ilmu gramatikal. Tafsir dengan corak bahasa (Tafsir al-Lughawi),
yang menonjol atau mendominasi biasanya adalah pembahasan tentang saraf dan istiqaq, nahwu, argumen-argumen dari bahasa Arab
(seperti Syair), uslub-uslub bahasa Arab.

Berikut adalah contoh-contoh model corak bahasa dalam penafsiran al-Qur’an:


Ketika menafsirkan firman Allah La> fa>rid} wa la> bikr ‘awa>nun baina z}alik (tidak tua, tidak muda, pertengahan antara itu), al-
Farra menjelaskan bahwa wa al-‘awanah laisa bi na’ti lil al-bikr (kata ‘awan bukanlah sifat dari kata al-bikr, karena yang dimaksud
dengan ‘awan (diantara) itu bukanlah yang sudah uzur (haramah) dan bukanpula yang masih muda (sya>bbah). Kemudian al-Farra
juga menjelaskan kata al-Bikr dengan kasrah huruf ba>’ jika yang dimaksud adalah muda untuk perempuan, namun jika fathah huruf
ba>’nya maka itu perawan untuk unta.
2. Corak Teologis/Kalam
tafsir teologis adalah tafsir yang muatannya mengandung suatu kepentingan subjektifitas penafsir yang sangat mencolok. Dalam
perkembangannya, bias ideologi dari beberapa aliran yang ada pada waktu itu sudah muncul, seperti Sunni, Syiah, Khawarij,
Murjiah, Jabbariyah, dan Qadariyah. Sehingga kebenaran tafsir diukur sesuai dengan aliran teologis tertentu yang cenderung
mengenyampingkan aliran lainnya. Akibatnya, produk tafsir ketika itu tidak bisa terlepas dari almameter penafsirnya.

Berikut adalah beberapa contoh tafsir teologis:


• Fakhruddin Ar-Ra>zi> (w. 1209 M) dalam Mafa>ti>h} al-Ghaib. Ketika menafsirkan surah al-Fatihah ayat ke-6 dan 7

ْ ِّ ‫الضال‬
‫يـ َن‬ َّ َ ‫ْـم ْغ ُض ْو ِب َعل َيْ ِه ْم َوال‬
َ ‫غي ِر ال‬
َ ‫ت َعل َيْ ِه ْم‬ َ َ ‫ين أ‬
َ ‫نع ْم‬ َ ‫ ِص َراطَ ال َّ ِذ‬، ‫يم‬
َ ‫الـم ْستَ ِق‬
ُ ِّ ‫ا ِ ْه ِدنَــــا‬
َ‫الص َراط‬
Al-Razi memahami ayat tersebut sebagai legitimasi atas diangkatnya Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Melalui ayat tersebut,
Abu Bakar dianggap sebagai satu-satunya pihak yang layak untuk menggantikan Muhammad SAW. Tanpa diberi penjelasan lebih
lanjut, hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk menunjukan betapa terlihatnya tendensi al-Razi untuk membela sektenya melalui
penafsiran Quran.
3. Corak Sufi
Corak ini memiliki beberapa sebutan, diantaranya; corak sufi, mystical exegesis, allegorical exegesis, tafsir Isyari (allusion),
tafsir bat}ini, tafsir esoteris, dan juga ta’wil.
Menurutnya, penafsiran corak Sufi adalah corak penafsiran yang dilakukan oleh para Arif-Sufi melalui rasa (zauq) dan sentimen
(rasa yang dalam) yang dibangun melalui latihan batin (riyad}ah) sehingga mampu menyingkap tirai batin dan hati tanpa harus
bergubungan dengan sisi external teks. Metode para sufi itu berbicara dengan lisan-batin dan meninggalkan aspek eksternal
yang biasanya digeluti oleh orang awam. Para sufi itu menafsirkan al-Qur’an dengan secara Isyarat bukan tafsir.

Berikut adalah contoh penafsiran sufistik:


• At-Tustari. Ketika menafsirkan QS. Ar-Rum [30]: 41, zahara al-fasadu fi al-barri wa al-bahri (Telah tampaklah kerusakan di
darat dan laut), At-Tustari mengatakan bahwa Allah membuat bumi/daratan ini sebagai ibarat anggota tubuh manusia,
sedangkan lautan itu sama seperti hati manusia. Lautan, yakni hati memiliki manfaat yang besar (a’amm naf’an) dan juga
lebih berbahaya (akhtar khat}aran)
4. Corak Fiqhi (legal exegesis)
Tafsri fiqhi adalah tafsir al-Qur’an yang di dalamnya banyak sekali menjelaskan tentang hukum-hukum cabang (al-Ah}kam al-
Far’iyyah) hingga nuansa hukumnya itu menjadi dominan, meskipun tafsir ini juga menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara umum.

Berikut adalah beberapa contoh tafsir yang bercorak fiqhi:


• Tafsir al-Khams Mi’ah Ayah fi al-Amr wa an-Nahy wa al-Halalwa al-Haram, karya Muqatil Ibn Sulaiman (w. 150 H). Hukum-
hukum yang disebutkan di dalam kitab ini tidak berdasarkan pada tartib mushaf
• Ahkam al-Qur’a>n karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali ar-Razi atau yang terkenal dengan al-Jassas (305-370 H). Kitab tafsir ini
merupakan kitab penting dalam tafsiri fiqih Hanafiyyah. Kitab ini ditulis berdasarkan tartib mushaf dan tafsir ini ditulsi
berdasarkan asas pengkaitkan ayat-ayat al-Qura’n dengan hukum-hukum fiqih dan banyak membahasa persoalan-persoalan fiqih
furuiyyah.
• Ahkam al-Qur’an karya Muhammad Ibn Abdillah Ibn Muhammad al-Andalusi atau yang terkenal dengan Ibn al-‘Arabi (468-543
H). Kitab ini menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan banyak membahas ayat-ayat hukum.
5. Corak Sosial-Politik-Pergerakan (Adab-ijtima’i-siyasi-
haraki)

Tafsir corak ini adalah tafsir yang berisi tentang perilaku-perilaku manusia, lingkungan dan komunitasnya serta sikap-sikap
sosial dan politik lainnya. Dalam tafsir ini, perilaku manusia dianalisis dan kemudian diarahkan dengan pengunakan piranti-
piranti keilmuan sosial, sejarah, politik dan budaya.
Menurut Abdullah Saeed, tafsir corak politik dikembangkan oleh sarjana Mesir, Sayyid Qutb (w. 1966). Qutb adalah
pemimpin Ikhwanul Muslimin, salah satu gerakan politik Islam di abad 21. Dia dieksekusi mati pada tahun 1966 oleh otoritas
setempat.
Untuk di Indonesia, Islah Gusmian menggolongkan beberapa tafsir masuk dalam corak atau nuansa ini, yakni Tafsir al-Hijri
karya Didin Hafiuddin, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan sebagainya.
6. Corak Sastrawi (Literary) atau Tafsir al-Adabi

Corak Penafsirsan Sastrawi (literary exegesis) ini bisanya dihubungkan oleh tokoh perintisnya, yakni Amin Al-Khuli (w. 1966 M). Amin Al-
Khuli memandang bahwa al-Qur’an merupakan kitab sastra terbesar ( Tujuan metode penafsiran sastra ini adalah menguji dan menemukan makna
al-Qur’an secara utuh yang jauh dari kepentingan individu maupun ideologi. Al-Khuli mengusulkan dua tahap untuk metode ini, yakni dirasah ma
haula al-Qur’an dan dirasah ma fi al-Qur’an nafsih.
Di dalam kitabnya, yang berjudul Min Hadi al-Qur’an Misaliyya la Mazhabiyya, yang bersal dari seri serian di Mesir, al-Khuli memberikan
contoh melalui analisis sejumlah ayat al-Qur’an yang berbicara tentang harta. Di antaranya adalah Q.S. al-Baqarah [2]: 143, 251, 254 dan 268;
QS. Al-Isra’ [17]:7; Q.S. Asy-Syura [42]:19; QS. Az-Zukhruf [43]:32; QS. Al-Ah}qaf [46]:19 dan QS. Al-H}adi>d [57]:7. Dari ayat-ayat tersebut,
al-Khu>li mengambil kata al-Qard (pinjaman bebas tanpa batas waktu yang ditentukan) atau qard}an hasanan, sebagai tema umumnya, yang
secara leksikal berbeda dengan dayn (hutang). Kata al-Qard atau qard hasanan seringkali digunakan did alam al-Qur’an seperti di dalam QS. Al-
Baqarah [2]:245’ QS. Al-Hadid [57]:11 dan 18; dan QS. Al-Mujadilah [58}]:17 dan sebagainya, untuk merepresentasikan harta atau bahkan
kekayaan. Dengan menggunakan metode ini, al-Khuli mulai menafsirkan bahwa qard hasanan yang merepresentasikan istilah umum untuk
kekayaan, mengimplikasikan sosial responsibility seseorang atas harta yang diperolehnya .
7. Corak Feminis

Secara etimologis kata “feminisme” berasal dari kata latin, yaitu femina yang dalam bahasa Inggris diterjemakan
menjadi feminin, artinya memiliki sifat sebagai perempuan. Kemudian kata itu ditambahkan “ism” menjadi feminsm,
yang berarti hal ihwal perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan. Jadi tafsir feminis adalah sebuah
tafsir yang bertujuan untuk menempatkan posisi kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki baik itu dari sisi
normatif-idealis hingga dari sisi historis-empiris.

Berikut adalah beberapa contoh tafsir yang bercorak feminis:


• sebuah karangan yang berjudul Equal Before Allah (Setara di hadapan Allah) yang ditulis oleh Riffat Hassan
8. Corak ‘Ilmi (scientific exegesis)

Tafsir yang bercorak sains ini adalah tafsir yang menilai temuan-temuan ilmiah menurut al-Qur’an. Atau dengan bahasa lain, tafsir
yang mencoba mengkonfirmasi temuan-temuan ilmiah dengan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh sebab itu, tafsir ilmi ini dibangun di atas
asumsi bahwa semua penemuan sains modern telah diantisipasi oleh al-Qur’an dan banyaknya referensi yang membingungkan
tentang sains tersebut bisa ditemukan di dalam ayat-ayat al-Qur’an.

. contoh buku-buku atau kitab tafsir yang menggunakan corak ‘ilmi:


• Kasyf al-Asrar an-Nuraniyyah al-Qur’aniyyah fi ma yata’allaqu bi al-ajram as-Samawiyyah wa al-Ardiyyah wa al-Hayawanat wa
an-Nabatat wa al-Jawahir al-Madaniyyah (1880) dan Tibyan al-Asrar ar-Rabbaniyyah fi an-Nabat wa al-Ma’adin wa al-Khawwash
al-Hayawaniyyah karya Muhammad bin Ahmad Al-Iskandariy at-Tabib.
• Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh (w. 1905 M)
• Al-Jawahir fi tafsir al-Qur’an al-Karim, karya T}anta>wi> Jauhari (w. 1940 M).
5.Dialektika Al-Quran dengan Budaya
• Al-Qur’an merupakan bukti mukjizat yang paling nyata, mulia,
dan agung yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.
Bahkan, Al-Qur’an dianggap sebagai mukjizat yang lebih agung
daripada mukjizat-mukjizat sebelumnya. Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah-nya mengatakan, bukti mukjizat yang paling agung,
paling mulia, dan paling nyata adalah Al-Qur’an yang diturunkan
kepada nabi kita Muhammad SAW. Oleh karena itu, ia
merupakan bukti yang paling nyata, karena antara bukti (dalil)
dengan yang dibuktikan (madlul) menyatu dalam satu entitas.
hubungan antara mukjizat Al-Qur’an dengan budaya adalah mukjizat memang merupakan konsep
kebudayaan yang dirancang, kemudian diwahyukan kepada nabi dan rasul untuk disampaikan kepada
umatnya. Nasr Hamid Abu Zaid, 1987 dalam Mafhum an Nash Dirasah fi Ulum Al-Qur’an menjelaskan
seperti ini; mukjizat dalam konteks wahyu tidak menyimpang dari batas-batas kerangka yang menjadi
karakteristik kebudayaan dimana wahyu tersebut diturunkan. Oleh karena itu, mukjizat Nabi Isa a.s.
adalah menyembuhkan penyakit dan menghidupkan kembali orang yang telah meninggal karena
karakteristik kebudayaan umatnya ketika itu unggul dalam ilmu kedokteran. Nabi Musa a.s. memiliki
keunggulan dalam masalah sihir, tapi kemudian apa yang dimiliki Musa a.s itu pada hakikatnya bukan
sihir. Mukjizat Musa a.s. pun sejenis dengan kepandaian kaumnya kala itu, yaitu mereka sangat maju
dalam bidang sihir.
Senada dengan Nasr Hamid Abu Zaid. Az Zarkasyi, 1972 dalam Al-Burhan fi Ulumil Qur’an
menyatakan demikian; ada alasan (mengapa mukjizat –Al-Qur’an– berupa teks), sebab bangsa
Arab pandai berbahasa dan bersilat lidah, sebagaimana ada alasan bagi munculnya mukjizat Nabi
Isa, karena banyak ahli kedokteran; dan bagi Nabi Musa karena banyak tukang sihir. Allah
menciptakan mukjizat para nabi untuk menghadapi kepandaian populer, sebagai bentuk keahlian
yang paling diunggulkan pada zaman dimana seorang nabi akan diutus.
Al-Qur’an –pada masa Nabi Muhammad SAW– diturunkan kepada bangsa Arab yang pandai
bersastra –berbahasa dan silat lidah– maka tidak mengherankan jika kemudian mereka menyebut
Nabi Muhammad SAW dengan Al-Qur’annya pada kala itu sebagai sebagai penyair dan peramal.
Tentunya penyebutan itu mereka lontarkan berdasar pada “persamaan” yang bangsa Arab tangkap
antara teks Al-Qur’an dengan teks-teks penyair dan tukang ramal.
Dari sinilah kemudian muncul istilah penyebutan yang berbeda untuk syair atau puisi
dengan Al-Qur’an. Istilah qafiyah berubah menjadi fashilah dalam Al-Qur’an, bait menjadi
ayat, dan qashidah menjadi surat. Dari segi penyampaiannya, penyair sebutan untuk
pembawa/pencipta puisi, sedangkan bagi Al-Qur’an Muhammad adalah penyampai risalah
(Nasr Hamid,1993).
Jika esensinya –syair/puisi dan penyair¬– adalah kebencian, hasud, dan cenderung
mengantarkan ke dalam keburukan, maka yang dilarang adalah kebencian, hasud, dan
keburukannya. Jika esensinya mengantarkan kepada kebaikan dan mendekatkan kepada
Tuhan, maka puisi tak ubahnya adalah nasihat dalam berkehidupan. Berangkat dari
penjelasan di atas, Al-Qur’an tak ubahnya strategi kebudayaan.
Al-Qur’an adalah mukjizat yang berakulturasi dengan manifestasi kebudayaan bangsa
Arab. Al-Qur’an menolak disebut syair/puisi akan tetapi di dalamnya mengandung nilai
sastrawi sebagaimana bangsa Arab maju dalam bidang sastra kala itu. Yang kemudian
ditolak Al-Qur’an adalah hal-hal yang mengantarkan kepada keburukan. Konsep
akulturasi budaya seperti inilah yang kemudian menginspirasi dakwah Wali Songo di
Jawa, dan penyebar Islam lainnya di Indonesia. Yang kemudian dalam perjalanannya
muncul kaidah “al-muhafadhatu ‘ala qadimis shalih wa al-akhdzu bi jadidil ashlah”.
Wallahu A’lam .
6.Rekontruksi Penafsiran Al-Quran sebagai Inspirasi
Budaya
Penafsirannya (tafsir) Alquran, disebut telah memenuhi beberapa pemikiran terbaik dari
komunitas Muslim. Studi tentang tata bahasa dan cara penulisan, kefasihan,
perumpamaan dan metafora, pengibaratan dan cerita, telah berkembang menjadi ilmu
yang dimuliakan. Demikian juga untuk pembacaannya, baik dalam nyanyian sederhana
(tartil) atau membawakan musik artistik yang sangat maju (tajwid), telah menarik suara
dan talenta terbaik masyarakat Muslim sepanjang sejarah Muslim. Dalam pembacaan
Alquran, kekuatan dan keindahannya dirasakan oleh Muslim yang saleh. Oleh karena itu,
para pelafal Alquran menempati posisi kehormatan khusus dalam komunitas Muslim.
Pemikiran tafsir kontemporer, pemikiran tafsir yang memberikan warna baru terhadap dunia
penafsiran, penafsiran yang ‘berevolusi’ dari tafsir klasik-pertengahan menuju tafsir modern-
kontemporer, berusaha memberikan tawaran-tawaran ide dengan adanya ‘shifting paradigm ‘
(pergeseran paradigma) yang menunjukkan adanya ciri khas yang menonjol dari pemikiran
tafsir kontemporer. Pemikiran-pemikiran tafsir para tokoh pada masa kontemporer ini
mempunyai kegelisahan masing-masing terhadap pemikiran tafsir klasik yang cenderung
‘atomistik’ dan ‘subjektif’ dalam melihat naş. Tafsir klasik lebih terlihat sebagai tafsir
kepemilikan masing-masing golongan. Kegiatan penafsiran hanya dilakukan untuk
kepentingan golongan yang digunakan untuk menjustifikasi pendapat mereka sehingga dapat
dijadikan hujjah atas apa yang mereka lakukan.
Oleh karena itu, para pemikir tafsir kontemporer muncul untuk berusaha
mengangkat ide untuk bertitik tolak pada pemikiran yang jumud dan
statis. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Nasr Hamid Abu
Zayd merupakan salah satu tokoh yang menjadi sorotan pada abad 21
M. Banyak pemikirannya yang memacu reaksi keras dari kalangan
ulama-ulama muslim. Pendapatnya dianggap melenceng dari prinsip-
prinsip yang telah dirumuskan Islam.
 
THANK YOU FOR JOINING TODAY'S
CLASS.

Anda mungkin juga menyukai