Anda di halaman 1dari 11

H U K U M YA N G B E R L A K U

TERHADAP BANGUNAN DAN


PEMILIKAN BANGUNAN
M E N U R U T U U PA

OLEH:
A R I VA N H A L I M , S . H . , M . K n .
SEJARAH KEPEMILIKAN BANGUNAN
SEBELUM BERLAKUNYA UUPA
• Sebelum berlakunya UUPA terdapat 2 (dua) perangkat hukum tanah, yaitu hukum tanah barat yang
bersumber pada KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) dan hukum tanah adat yang bersumber pada hukum adat.
• Jika bangunan itu berdiri di atas tanah yang tunduk pada ketentuan hukum tanah barat, maka hukumnya
adalah bahwa bangunan itu menjadi bagian tanahnya karena berlaku asas perlekatan (asas natrekking atau
asas accessie) sebagaimana tercantum dalam Pasal 500 KUHPerdata (Burgelijk Wetboek). Karena
merupakan bagian dari tanahnya, dengan sendirinya bangunan itu tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
yang berlaku terhadap tanahnya.
• Atas dasar asas perlekatan (asas natrekking atau asas accessie) pula, pemilikan atas tanah hak barat itu
meliputi juga pemilikan dari bangunan yang ada di atasnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 571
KUHPerdata (Burgelijk Wetboek).
• Kemudian bangunan yang didirikan di aas tanah kepunyaan pihak lain menjadi milik yang empunya tanah
(sebagai tercantum dalam Pasal 601 KUHPerdata (Burgelijk Wetboek)) kecuali diperjanjikan lain.
• Berlainan halnya jika bangunan itu berdiri di atas tanah yang tunduk pada hukum adat (dikenal sebagai
tanah-tanah hak adat), dalam hukum adat berlaku asas pemisahan horizontal (Horizontal Scheiding) antara
tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya.
• Dalam hukum adat berlaku asas bahwa pihak yang membangun adalah pemilik dari bangunan tersebut.
KEPEMILIKAN BANGUNAN SETELAH
BERLAKUNYA UUPA
• Dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam diktum UUPA, terutama dari ketentuan Pasal 5
UUPA, dapat diambil kesimpulan antara lain:
- Asas yang dipergunakan dalam hukum yang berlaku saat ini
- Penerapan asas tersebut pada kasus-kasus konkret
- Jika kasusnya masih terbatas antara pihak yang membangun dan pihak yang mempunyai tanah
- Jika dalam kasusnya sudah tersangkut pihak ketiga
- Fungsi sertipikat hak atas tanah dalam hubungannya dengan kepemilikan bangunan
• Perlu diketahui bahwa UUPA mengadakan unifikasi hukum tanah dan unifikasi penguasaan
hak-hak atas tanah. Oleh karena itulah, Pasal-pasal KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) yang
mengatur mengenai Agraria dalam Buku II dinyatakan telah dicabut, kecuali Pasal-pasal yang
mengatur mengenai Hipotek.
LANJUTAN
• Dengan demikian, pasal-pasal yang mengandung penerapan dari asas accessie harus dianggap tidak berlaku
lagi. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum tanah, UUPA menetapkan selanjutnya dalam ketentuan
Pasal 5, yang menyatakan bahwa “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angka ialah hukum
adat”. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa hukum tanah positif kita menggunakan konsepsi-
konsepsi dan asas-asas dari hukum adat.
• Hak-hak atas tanah yang lama diubah (dikonversi) menjadi salah satu macam hak yang diatur dalam UUPA.
Dengan demikian tidak ada lagi penggolongan tanah dalam tanah-tanah hak barat dan tanah-tanah hak adat.
• Dari penjelasan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asas mengenai kepemilikan bangunan
yang dipergunakan dalam UUPA adalah asas hukum adat, antara lain:
- Bahwa pada asasnya, terdapat pemisahan antara tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya (asas pemisahan
horizontal) yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap tanah tidak dengan sendirinya berlaku
juga terhadap bangunan yang berdiri di atasnya. Tanah tunduk pada hukum tanah, sedangkan pengaturan
soal bangunan termasuk hukum perutangan.
- Bahwa hak kepemilikan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi juga pemilikan bangunan yang ada di
atasnya. Dalam hukum adat ada ketentuan bahwa “barang siapa yang membangun, dialah pemilik bangunan
yang dibangun itu”.
PENERAPANNYA PADA KASUS-KASUS
KONKRET
• Dalam penerapannya, perlu diingat bahwa asas-asas dalam hukum adat tidak bersifat mutlak. Penerapan
asas-asas hukum adat pada kasus-kasus konkret selalu memerhatikan faktor-faktor meliputi atau
bersangkutan dengan kasus yang dihadapi karena hukum adat bersikap “realistis” berdasarkan kenyataan-
kenyataan yang ada.
• Demikian pula halnya terhadap penerapan asas mengenai kepemilikan bangunan, penerapannya pun
tidaklah bersifat mutlak. Sehingga asas tersebut akan diterapkan menurut rumusan sebagaimana diuraikan
dan sejalan dengan sifat hukum adat jika penerapannya dilakukan secara konkret relatif, yang artinya
bahwa dengan memerhatikan faktor-faktor konkret dan realita yang meliputi kasus yang dihadapi selalu
ada kemungkinan untuk mengadakan penyimpangan supaya penyelesaiannya memenuhi rasa keadilan.
• Jika kalau menurut kenyataannya bangunan yang bersangkutan memang tidak merupakan satu-kesatuan
dengan tanahnya (misalnya kayu, bambu, atau pre-febricated) hingga mudah dibongkar dan dipindah,
maka ketentuan hukum tanah tidaklah berlaku terhadapnya
• Misalnya ketentuan Pasal 21, 26, 30, dan 36 UUPA yang menyatakan bahwa jatuhnya tanah yang
bersangkutan pada negara. Jika ada bangunan di atas yang terkena ketentuan pasal-pasal tersebut yang
menjadi milik pemegang hak atas tanahnya, bangunan itu pun turut jatuh pula kepada negara.
LANJUTAN
• Sebaliknya, ketentuan-ketentuan mengenai persyaratan bagi subjek-subjek hak-hak atas tanah
misalnya, tidak berlaku terhadap bangunan, walaupun bangunan yang bersangkutan menurut
kenyataannya merupakan satu kesatuan dengan tanahnya. Sehingga harus dilihat terlebih
dahulu hak yang membebani tanah tersebut, serta dapat diketahui apakah prinsip pemisahan
horizontal dapat berlaku.
• Asas pemisahan horizontal sebenarnya tetap diperlukan, tetapi tidak mutlak melainkan secara
konkret relatif.
• Dalam kasus-kasus pemilikan bangunan, dapat tersangkut kepentingan 3 (tiga) pihak, yaitu
sebagai berikut:
- Pihak Pertama, yaitu Pihak yang membangun
- Pihak Kedua, yaitu Pihak yang mempunyai tanah
- Pihak Ketiga, yaitu Pihak yang membeli tanah beserta bangunan yang ada di atasnya dan
kreditur yang menerima tanah beserta bangunan yang ada di atasnya sebagai jaminan hutang.
KASUS TERBATAS DALAM KONDISI ANTARA
PIHAK YANG MEMBANGUN DAN PIHAK YANG
MEMPUNYAI TANAH
• Kemungkinan Pertama, Apabila diantara para pihak terdapat perjanjian mengenai pemilikan
bangunan yang dibangun tersebut, apa yang mereka sepakati itulah yang merupakan
hukumnya. Kesepakatannya dapat menyatakan bahwa bangunan tersebut menjadi milik yang
mempunyai tanah, namun pihak pertama dapat memakainya sampai sekian tahun dengan
kewenangan untuk memindahkan hak pemakaiannya kepada pihak lain atau bangunan menjadi
milik yang membangun akan tetapi setelah sekian tahun akan menjadi milik yang memiliki
tanah tanpa kewajiban memberikan ganti kerugian.
• Kemungkinan Kedua, apabila antar pihak tidak ada perjanjian, berlakulah asas pemisahan
horizontal. Bangunan yang bersangkutan menjadi milik yang membangun, tanpa dipersoalkan
di daerah mana kasus ini terjadi. Para pihak dianggap mengetahui adanya asas pemisahan
horizontal dalam hukum yang berlaku sekarang ini dan pihak kedua mengetahui bahwa bukan
dia yang membangun bangunan tersebut.
LANJUTAN
• Pembangunan dan penguasaan tanah pada umumnya dilakukan dengan izin kepada pihak yang
mempunyai tanah tersebut. Penguasaan tanah dapat dilakukan dengan HGB, Hak Pakai, Hak
Sewa ataupun hak menumpang.
• Dengan demikian apabila di atas tanah tersebut terdapat Hak Milik, maka pihak yang
menguasai tanah tersebut dapat meminta agar adanya pemilikan bangunan tersebut dicatat
dalam buku tanah dan sertipikat Hak Milik tanah yang dipunyai oleh pemilik tanah.
• Sudah tentu pencatatan tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari pemilik tanah.
Meskipun dalam hal ini pemilik bangunan tidak memperoleh sertipikat, namun pencatatan pada
buku tanah dan sertipikat hak miliknya sudah cukup memenuhi syarat publisitas untuk
mengikat pihak lain yang mengadakan perbuatan hukum dengan tanah tersebut.
• Kemudian apabila pemilikan bangunan tersebut dibangun oleh pihak yang membangun dengan
cara ilegal tanpa ada persetujuan dari pihak pemilik tanah, maka asas pemisahan horizontal
berlaku dan sengketa mengenai pembangunan tidak mengurangi hak kepemilikan pihak yang
membangun atas bangunan yang dibangunnya tersebut.
FUNGSI SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DALAM
HUBUNGANNYA DENGAN KEPEMILIKAN BANGUNAN

• Sertipikat menurut UUPA dan PP No. 1 Tahun 1961 merupakan Surat tanda bukti hak atas
tanah yang kuat. Sertipikat tidak dimaksudkan sebagai pembuktian pemilikan bangunan. Hal
ini dapat diketahui dari surat ukurnya, jika hak atas tanahnya merupakan HGB, kepemilikan
bangunannya disimpulkan dari isi haknya, yaitu sebagai hak untuk mendirikan bangunan di
atas tanah milik pihak lain.
• Dalam praktik di pengadilan, sertipikat hak atas tanah bukan hanya berfungsi membuktikan
hak atas tanahnya saja, melainkan juga hak kepemilikan atas bangunan yang ada di atasnya.
Jika demikian halnya, bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan hukum mengenai tanah dan
bangunan yang ada di atasnya cukuplah berpegang pada apa yang disebutkan di dalam
sertipikat hak atas tanahnya.
• Apabila di dalam sertipikat tersebut tidak ada catatan keterangan yang sebaliknya, dapat
dianggap bahwa bangunan yang terdapat di atas tanah tersebut adalah juga milik dari yang
mempunyai tanah.
HUBUNGAN HUKUM KEPEMILIKAN
BANGUNAN DAN PENATAAN RUANG
• Sebagaimana tercantum dalam Pasal 61 UUPR yang menyatakan bahwa “setiap orang wajib menaati
penataan ruang yang telah ditetapkan”. Dengan demikian, barang siapa yang membangun atau menanam
harus menaati Tata Ruang yang telah ditetapkan yang membangun atau menanam belum tentu pemilik
tanah.
• Sebagai inti dari asas pemisahan horizontal dapat dikatakan bahwa “barang siapa yang membangun atau
menanam, maka dialah pemilik bangunan atau tanah tersebut”. Sehingga yang membangun atau yang
menanam belum tentu sebagai pemilik tanah.
• Dalam UUPA terdapat 1 (satu) Pasal yang tegas mencerminkan bahwa UUPA menganut asas pemisahan
horizontal, yaitu Pasal 35 Ayat (1) UUPA yang memuat definisi Hak Guna Bangunan yang menyatakan
bahwa “Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah
yang bukan miliknya sendiri”.
• Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah dijelaskan di atas bahwasanya siapapun yang
membangun (baik yang mempunyai tanah sendiri ataupun bukan pemilik tanah, tetapi mempunyai
penguasaan yang legal berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah) tetap harus menaati dan
memperhatikan ketentuan hukum sebagaimana diwajibkan kepada setiap orang yang memanfaatkan ruang.
KETENTUAN HUKUM MENGENAI
HUKUM KEPEMILIKAN BANGUNAN
• Setidaknya ketentuan hukum yang wajib ditaati adalah sebagai berikut:
- UUPA (pada Pasal 6, Pasal 14, dan Pasal 15).
- UUPLH (UU 23/1997 pada Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2)).
- UUPR (UU 26/2007 pada Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 61).
• Pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dapat dikenakan sanksi administratif, perdata,
bahkan pidana tergantung dari jenis pelanggarannya.

Anda mungkin juga menyukai